Aku keluar dari apartemen Mas Niko dengan perasaan sakit. Setengah berlari, aku menuju lift apartemen. Kupencet tombolnya, dan tak lama kemudian, lift yang kebetulan kosong langsung terbuka.
Aku masuk dan berdiri di depan cermin dalam lift. Begitu pintu tertutup, kedua telapak tanganku terangkat, menutupi wajahku yang kembali dibanjiri air mata. Aku menangis tersedu-sedu. "Niko jahat! Niko brengsek! Niko buaya! Tidak tahu diri! Kamu bilang kita putus karena aku anak yatim piatu. Memangnya kenapa kalau aku yatim piatu? Bukan keinginanku ditinggal mati orang tuaku!" umpatku di sela tangisan, meluapkan kekesalanku yang seharusnya tadi kuucapkan langsung di depan wajahnya. "Kamu bilang kita putus karena aku hanya karyawan biasa. Tidak selevel denganmu. Memangnya kenapa kalau aku hanya karyawan biasa? Gajiku tinggi! Bahkan dengan gaji itulah kamu bisa menyelesaikan kuliah D3-mu saat keluargamu kesulitan ekonomi!" "Kalau aku memang tidak selevel denganmu, kenapa baru sekarang kamu bilang? Setelah lima tahun kita pacaran?" Aku terus meracau, melampiaskan amarahku. Hingga akhirnya lift berhenti. Aku buru-buru mengusap wajah dengan sapu tangan yang ada di tasku. Aku tidak ingin menjadi pusat perhatian. Pintu lift terbuka, dan aku langsung melangkah keluar menuju pintu lobi apartemen. Begitu keluar, aku terkejut. Abang Ojol sudah menunggu tepat di depan pintu lobi. Aku mengernyit. Secepat itu? Bukankah baru sebentar aku memesannya? "Kamu pasti Mas Bambang kan? Driver Ojol yang saya pesan," tebakku cepat. Abang Ojol itu membuka kaca helmnya. "Saya bukan Bambang. Nama saya Putra. Saya bukan A...." "Ah sudahlah! Kamu jangan banyak bicara. Siapapun nama kamu, sekarang antarkan saya cepat! Saya tidak ingin berada di tempat ini lebih lama lagi!" potongku sebelum dia menyelesaikan ucapannya. Tanpa memedulikan apa pun yang ingin dikatakannya. Tanpa permisi, tanpa menunggu dipersilakan, aku langsung naik ke jok belakang. "Tapi, Mbak, saya bu—" "Lagi-lagi banyak bicara! Ayolah, Bang! Kita harus cepat pergi!" suaraku mulai serak, hampir pecah karena tangis yang kutahan. Sepertinya, melihat mataku yang sembab, Abang Ojol itu akhirnya memilih diam. Dia hanya mengulurkan helm lain yang tergantung di leher motor. "Ini, pakai helmnya, Mbak." Aku menerima helm itu dan langsung memakainya. "Memangnya Mbak mau pulang ke mana? Alamatnya di mana?" tanya Abang Ojol lagi. Aku mengerutkan kening. Bukankah alamat sudah tertera di aplikasi? Kenapa dia masih bertanya? Aku ingin protes, tapi aku sedang tidak ingin berdebat. Dengan malas, kuambil ponsel dari dalam tas dan membuka aplikasi ojek online. Lalu, kuperlihatkan layar ponselku yang berisi alamat tujuan. Dia menatap sebentar, kemudian mengangguk. Sepertinya, dia sudah hafal alamat yang kutuju. "Mbak sudah siap?" tanyanya lagi. "Hm." Aku hanya berdehem. "Kalau sudah siap, kenapa tangan Mbak belum pegangan?" tanyanya lagi. Aku mendengus kesal. Kenapa dia bawel sekali?! Walau begitu, aku tetap menurut. Tanganku segera memegang sisi jok motor kiri dan kanan. "Sudah pegangan, Mbak?" Astaga! Kenapa cerewet sekali, sih?! "Aku sudah pegangan! Cerewet!" ketusku. "Baik kalau sudah pegangan. Kita berangkat sekarang, ya?" Ck! Masih bertanya! gerutuku sambil berdecak jengkel. Aku tidak tahu apakah dia mendengar atau tidak, tapi dia tidak bertanya lagi. Motor pun mulai melaju meninggalkan apartemen Mas Niko. --- Sepanjang perjalanan, aku menangis di balik kaca helm. Mengingat kembali semua yang terjadi. Aku sudah berjuang untuk hubungan ini, berharap bisa bertahan hingga ke pelaminan. Tapi nyatanya, lima tahun kebersamaan kami berakhir begitu saja. Rumahku cukup jauh dari apartemen Mas Niko, sekitar satu setengah jam perjalanan. Baru satu jam perjalanan, tiba-tiba hujan turun tanpa aba-aba. Deras. Seperti air yang ditumpahkan langsung dari langit, disertai angin kencang yang bergemuruh. "Mbak! Bagaimana ini?! Hujan deras! Saya lupa tidak membawa jas hujan. Kita berteduh dulu atau lanjut?" teriak Abang Ojol, berusaha mengalahkan suara hujan. Aku mendengus kesal. Masa narik ojeg enggak bawa jas hujan?! "Tidak perlu! Sudah tanggung basah! Kita langsung ke rumah saja! Jaraknya tinggal sedikit lagi!" balasku, meneriakkan jawabanku. Abang Ojol tidak membantah. Dia menurut saja. Melanjutkan perjalanan sesuai alamat yang ku sebutkan. Setelah beberapa saat, akhirnya kami sampai di depan rumahku. Aku segera turun dari motor. Tadinya, aku ingin langsung membayar ongkos dan menyuruhnya pergi. Tapi, melihat bajunya yang basah kuyup, aku berubah pikiran. Aku melangkah ke pintu pagar dan membukanya. "Masuk dulu, Bang. Berteduh sebentar. Baju Abang sudah basah kuyup," ajakku. "Tidak, Mbak. Saya mau langsung pulang saja," tolaknya halus. "Sudahlah, Bang. Jangan ngeyel. Cepat masukkan motornya!" aku bersikeras. Abang Ojol menghela napas. "Baiklah, Mbak. Tapi di rumah ada orang, kan?" tanyanya. "Tentu saja ada. Ibu dan dua adik tiriku di dalam," jawabku. Dia mengangguk dan akhirnya memarkirkan motornya di teras rumahku. "Tunggu sebentar, Bang. Saya ambil baju milik mendiang ayah saya. Buat ganti baju Abang yang basah," ucapku sebelum masuk ke dalam rumah. Dia diam saja. Hanya mengangguk. Bibirnya terlihat pucat dan gemetar. Tanda dia kedinginan. Kedua tangannya berdedekap di dada. Untuk mengurangi ras adingjn do tubuhnya. * Aku masuk dengan kunci cadangan yang selalu kubawa. Rumah tampak sepi meskipun lampu menyala. Pintu kamar ibu tiri dan adik-adik tiriku tertutup. Pasti mereka sudah tidur. Padahal masih setengah sembilan malam. Aku buru-buru ke kamarku. Mengambil handuk dan baju ganti untukku sendiri, juga sehelai kaos dan celana training milik mendiang ayah. Aku memang menyimpan beberapa baju ayah sebagai kenang-kenangan. Aku memilih kaos karena bahannya melar, mungkin cukup untuk tubuh tinggi besar si Abang Ojol. Sebelum ke kamar mandi, aku keluar lagi dan menyerahkan baju ganti kepadanya. "Ini, Bang. Mudah-mudahan muat," kataku. Dia menerimanya. "Terima kasih, Mbak," ucapnya dengan bibir bergetar karena kedinginan. "Sama-sama. Saya mandi dulu," pamitku. "Iya, Mbak. Saya juga mau ganti baju di sini," sahutnya. Aku masuk ke rumah tanpa mengunci pintu, entah kenapa aku percaya laki-laki itu tidak akan berbuat macam-macam. Aku melewati ruang tamu menuju dapur, di mana kamar mandi berada. Tapi baru saja melewati ruang tamu dan hendak masuk ke ruang tengah, tiba-tiba sesuatu terbang dan hinggap di kakiku. Seekor kecoak! Bersamaan dengan itu, lampu rumah mati. "Aaaakkhhh!!!" Aku menjerit panik.Sore ini, langit Jakarta terlihat cerah. Seolah ikut merayakan kebahagiaan dua insan yang akhirnya bersatu dengan hati yang utuh. Gedung megah di pusat kota disulap menjadi taman surga. Lampu kristal menggantung di langit-langit yang menjulang tinggi, bunga putih dan ungu tersusun rapi menghiasi setiap sudut, dan musik klasik lembut mengalun memenuhi udara.Hari ini adalah hari resepsi pernikahan Putra dan Jingga—resepsi yang sesungguhnya.Bukan lagi di balai desa dengan kursi seadanya, bukan lagi dengan kebaya pinjaman dan make-up seadanya. Tapi sebuah pesta besar-besaran, tempat mereka menebus janji yang dulu hanya mereka ucapkan di bawah tekanan.Putra berdiri gagah dalam setelan tuxedo hitam berpotongan rapi. Dasi kupu-kupu peraknya serasi dengan bros kecil berbentuk mawar putih di dada kiri. Ia tampak seperti pangeran dari dongeng masa kini. Tapi semua mata tak bisa lepas dari wanita yang perlahan berjalan ke arahnya—Jingga.Gaun pengantinnya menjuntai anggun, dihiasi bordiran m
"Jadi karena hal ini makanya kamu membohongi aku selama ini ya Mas?" Ucap Jingga lagi. Mendengar itu, Putra langsung melepaskan pelukannya. Menegakkan kepalanya. "Tidak, Sayang. Sebenarnya awalnya aku tidak berniat membohongimu. Itu tidak Mas sengaja.""Benarkah?" Putra menatap Jingga dalam diam. Matanya masih merah, bibirnya bergetar mencoba menahan emosi yang masih bergemuruh di dalam dadanya. Ia menarik napas panjang, lalu mengembuskannya perlahan.“Awalnya... aku memang tidak berniat membohongimu,” ucap Putra akhirnya, suaranya lirih, nyaris tak terdengar. “Malam itu... aku baru pulang dari luar negeri. Aku disuruh papa pulang setelah bertahun-tahun berada di luar negeri.""Saat aku pulang, aku tidak langsung ke rumah papa. Juga tidak ke apartemen. Aku malah langsung ke rumah Bambang, Abang Ojol itu.""Tapi saat di rumah Bambang, ada sesuatu yang ingin ku ambil dari apartemen. Karena ingin cepat sampai, aku pinjam motor dan jaket dia. Mungkin kebetulan di waktu ynag sama kamu
Mobil kembali melaju pelan setelah momen perkenalan ulang yang manis itu. Jalanan sore mulai tampak lengang. Cahaya matahari senja mengintip dari sela gedung-gedung tinggi, memantulkan cahaya ke kaca mobil.Putra melirik sekilas ke arah Jingga, lalu berkata dengan nada menggoda, “Aku punya kejutan kecil buat kamu.”Jingga mengangkat alis. “Keju...tan? Jangan bilang kamu tiba-tiba mau ngajak aku ke KUA lagi?” candanya, walau separuh hati masih serius.Putra tertawa pendek. “Tenang. Nggak secepat itu juga. Tapi aku mau ajak kamu ke satu tempat. Kita pernah bahagia di sana.”Tak lama, mereka tiba di sebuah gedung apartemen yang tampak familier bagi Jingga. Jingga langsung menatap Putra dengan kening berkerut. “Ini... apartemen kita yang dulu, kan? Bukannya... udah dijual?”Putra hanya tersenyum misterius dan membuka pintu mobil. Dia membukakan pintu untuk Jingga, lalu menuntunnya naik ke lantai atas.Setelah pintu apartemen dibuka, aroma khas ruangan itu langsung menyambut mereka. Sofa a
Jingga masih terduduk di lantai, bersandar pada kedua lututnya. Air mata terus mengalir di pipinya, meski pandangannya tertuju kosong ke arah tempat pesawat lepas landas. Dalam hatinya, ia berharap semua ini hanya mimpi. Bahwa Putra belum benar-benar pergi. Bahwa ia masih bisa memutar waktu.Hatinya terasa hampa. Sunyi. Dingin.Meskipun orang-orang masih berlalu-lalang di sekitar, Jingga tidak peduli. Dunia di sekelilingnya seperti kehilangan suara. Bandara yang sibuk itu terasa begitu lengang di matanya.Entah sudah berapa lama ia duduk di sana. Lututnya terasa kaku, tangannya gemetar, dan dadanya sesak. Satu tangan terangkat pelan, menggenggam bajunya sendiri di bagian dada. Ia menekan pelan, mencoba meredakan nyeri yang entah kenapa justru semakin dalam. Air matanya kembali turun.Lalu, sebuah sentuhan mendarat di bahunya. Lembut. Hangat.Jingga tak langsung menoleh. Dalam pikirannya, itu pasti Keysha. Mungkin adik iparnya itu merasa khawatir dan kembali menemaninya."Key... akhirn
Pagi masih terasa dingin. Bahkan matahari pun seolah enggan bersinar terang, seakan tahu bahwa hati Jingga sedang diliputi kabut tebal. Ia duduk di kursi dekat jendela, menatap kosong ke luar, sementara secangkir teh di tangannya sudah dingin sejak tadi.Koper kecil masih tergeletak di sudut ruangan. Bukan milik Putra, melainkan miliknya sendiri—kado dari Putra waktu ulang tahun pernikahan pertama mereka. Belum pernah dipakai, belum pernah dibuka. Tapi entah kenapa, tadi malam ia ambil dari lemari dan letakkan di situ. Seolah-olah dirinya sudah bersiap pergi, entah ke mana.Namun, pikirannya masih macet.Pergi ke bandara? Mengejar Putra? Untuk apa?Dia sudah memutuskan semuanya, kan? Sudah siap bercerai. Sudah tidak ingin dibohongi lagi. Sudah cukup.Tapi kenapa hatinya terasa nyeri? Kenapa setiap jam yang berdetak seperti pisau yang menghitung waktu kepergian Putra dari hidupnya… selamanya?Ponselnya tiba-tiba bergetar. Ada nama Keysha di layar ponselnya. Jingga sempat ragu, tapi ak
Malam ini adalah malam kedua setelah Keysha memberitahunya kalau Putra akan pergi ke luar negeri. Itu artinya besok. Jingga tak bisa memejamkan mata. Waktu terus bergulir, menit demi menit, tapi kantuk tak juga datang. Yang ada hanya rasa sesak di dada, pikiran yang berkecamuk, dan bayangan wajah Putra yang terus hadir meski sudah berusaha ia buang jauh-jauh.Dia mendesah. Memeluk bantal, memejamkan mata… lalu membukanya lagi. Dada terasa berat. Kata-kata Keisha menggaung kembali di kepalanya."Kalau kamu masih punya sedikit saja rasa untuk Mas Putra, pikirkan baik-baik sebelum dia pergi...""Setelah ini... kamu mungkin tak akan pernah bisa melihatnya lagi."Tiba-tiba, tubuhnya menggigil. Bukan karena dingin. Tapi karena ketakutan. Ketakutan akan kehilangan yang sesungguhnya."Aku marah padamu, Mas... Tapi aku juga takut kehilanganmu..." bisiknya lirih, nyaris tak terdengar.Dia bangkit perlahan dari tempat tidur. Membuka pintu kamar dengan hati-hati, tak ingin mengganggu siapa pun.