Share

Bab 03

Author: Syahfa Thea
last update Last Updated: 2025-06-05 12:33:55

Aku keluar dari apartemen Mas Niko dengan perasaan sakit. Setengah berlari, aku menuju lift apartemen. Kupencet tombolnya, dan tak lama kemudian, lift yang kebetulan kosong langsung terbuka.

Aku masuk dan berdiri di depan cermin dalam lift. Begitu pintu tertutup, kedua telapak tanganku terangkat, menutupi wajahku yang kembali dibanjiri air mata. Aku menangis tersedu-sedu.

"Niko jahat! Niko brengsek! Niko buaya! Tidak tahu diri! Kamu bilang kita putus karena aku anak yatim piatu. Memangnya kenapa kalau aku yatim piatu? Bukan keinginanku ditinggal mati orang tuaku!" umpatku di sela tangisan, meluapkan kekesalanku yang seharusnya tadi kuucapkan langsung di depan wajahnya.

"Kamu bilang kita putus karena aku hanya karyawan biasa. Tidak selevel denganmu. Memangnya kenapa kalau aku hanya karyawan biasa? Gajiku tinggi! Bahkan dengan gaji itulah kamu bisa menyelesaikan kuliah D3-mu saat keluargamu kesulitan ekonomi!"

"Kalau aku memang tidak selevel denganmu, kenapa baru sekarang kamu bilang? Setelah lima tahun kita pacaran?"

Aku terus meracau, melampiaskan amarahku. Hingga akhirnya lift berhenti. Aku buru-buru mengusap wajah dengan sapu tangan yang ada di tasku. Aku tidak ingin menjadi pusat perhatian.

Pintu lift terbuka, dan aku langsung melangkah keluar menuju pintu lobi apartemen.

Begitu keluar, aku terkejut. Abang Ojol sudah menunggu tepat di depan pintu lobi.

Aku mengernyit. Secepat itu? Bukankah baru sebentar aku memesannya?

"Kamu pasti Mas Bambang kan? Driver Ojol yang saya pesan," tebakku cepat.

Abang Ojol itu membuka kaca helmnya. "Saya bukan Bambang. Nama saya Putra. Saya bukan A...."

"Ah sudahlah! Kamu jangan banyak bicara. Siapapun nama kamu, sekarang antarkan saya cepat! Saya tidak ingin berada di tempat ini lebih lama lagi!" potongku sebelum dia menyelesaikan ucapannya. Tanpa memedulikan apa pun yang ingin dikatakannya.

Tanpa permisi, tanpa menunggu dipersilakan, aku langsung naik ke jok belakang.

"Tapi, Mbak, saya bu—"

"Lagi-lagi banyak bicara! Ayolah, Bang! Kita harus cepat pergi!" suaraku mulai serak, hampir pecah karena tangis yang kutahan.

Sepertinya, melihat mataku yang sembab, Abang Ojol itu akhirnya memilih diam. Dia hanya mengulurkan helm lain yang tergantung di leher motor.

"Ini, pakai helmnya, Mbak."

Aku menerima helm itu dan langsung memakainya.

"Memangnya Mbak mau pulang ke mana? Alamatnya di mana?" tanya Abang Ojol lagi.

Aku mengerutkan kening. Bukankah alamat sudah tertera di aplikasi? Kenapa dia masih bertanya?

Aku ingin protes, tapi aku sedang tidak ingin berdebat. Dengan malas, kuambil ponsel dari dalam tas dan membuka aplikasi ojek online. Lalu, kuperlihatkan layar ponselku yang berisi alamat tujuan.

Dia menatap sebentar, kemudian mengangguk. Sepertinya, dia sudah hafal alamat yang kutuju.

"Mbak sudah siap?" tanyanya lagi.

"Hm." Aku hanya berdehem.

"Kalau sudah siap, kenapa tangan Mbak belum pegangan?" tanyanya lagi.

Aku mendengus kesal. Kenapa dia bawel sekali?!

Walau begitu, aku tetap menurut. Tanganku segera memegang sisi jok motor kiri dan kanan.

"Sudah pegangan, Mbak?"

Astaga! Kenapa cerewet sekali, sih?!

"Aku sudah pegangan! Cerewet!" ketusku.

"Baik kalau sudah pegangan. Kita berangkat sekarang, ya?"

Ck! Masih bertanya! gerutuku sambil berdecak jengkel.

Aku tidak tahu apakah dia mendengar atau tidak, tapi dia tidak bertanya lagi. Motor pun mulai melaju meninggalkan apartemen Mas Niko.

---

Sepanjang perjalanan, aku menangis di balik kaca helm. Mengingat kembali semua yang terjadi. Aku sudah berjuang untuk hubungan ini, berharap bisa bertahan hingga ke pelaminan. Tapi nyatanya, lima tahun kebersamaan kami berakhir begitu saja.

Rumahku cukup jauh dari apartemen Mas Niko, sekitar satu setengah jam perjalanan.

Baru satu jam perjalanan, tiba-tiba hujan turun tanpa aba-aba. Deras. Seperti air yang ditumpahkan langsung dari langit, disertai angin kencang yang bergemuruh.

"Mbak! Bagaimana ini?! Hujan deras! Saya lupa tidak membawa jas hujan. Kita berteduh dulu atau lanjut?" teriak Abang Ojol, berusaha mengalahkan suara hujan.

Aku mendengus kesal. Masa narik ojeg enggak bawa jas hujan?!

"Tidak perlu! Sudah tanggung basah! Kita langsung ke rumah saja! Jaraknya tinggal sedikit lagi!" balasku, meneriakkan jawabanku.

Abang Ojol tidak membantah. Dia menurut saja. Melanjutkan perjalanan sesuai alamat yang ku sebutkan.

Setelah beberapa saat, akhirnya kami sampai di depan rumahku. Aku segera turun dari motor. Tadinya, aku ingin langsung membayar ongkos dan menyuruhnya pergi.

Tapi, melihat bajunya yang basah kuyup, aku berubah pikiran. Aku melangkah ke pintu pagar dan membukanya.

"Masuk dulu, Bang. Berteduh sebentar. Baju Abang sudah basah kuyup," ajakku.

"Tidak, Mbak. Saya mau langsung pulang saja," tolaknya halus.

"Sudahlah, Bang. Jangan ngeyel. Cepat masukkan motornya!" aku bersikeras.

Abang Ojol menghela napas. "Baiklah, Mbak. Tapi di rumah ada orang, kan?" tanyanya.

"Tentu saja ada. Ibu dan dua adik tiriku di dalam," jawabku.

Dia mengangguk dan akhirnya memarkirkan motornya di teras rumahku.

"Tunggu sebentar, Bang. Saya ambil baju milik mendiang ayah saya. Buat ganti baju Abang yang basah," ucapku sebelum masuk ke dalam rumah.

Dia diam saja. Hanya mengangguk. Bibirnya terlihat pucat dan gemetar. Tanda dia kedinginan. Kedua tangannya berdedekap di dada. Untuk mengurangi ras adingjn do tubuhnya.

*

Aku masuk dengan kunci cadangan yang selalu kubawa. Rumah tampak sepi meskipun lampu menyala. Pintu kamar ibu tiri dan adik-adik tiriku tertutup. Pasti mereka sudah tidur. Padahal masih setengah sembilan malam.

Aku buru-buru ke kamarku. Mengambil handuk dan baju ganti untukku sendiri, juga sehelai kaos dan celana training milik mendiang ayah. Aku memang menyimpan beberapa baju ayah sebagai kenang-kenangan.

Aku memilih kaos karena bahannya melar, mungkin cukup untuk tubuh tinggi besar si Abang Ojol.

Sebelum ke kamar mandi, aku keluar lagi dan menyerahkan baju ganti kepadanya.

"Ini, Bang. Mudah-mudahan muat," kataku.

Dia menerimanya. "Terima kasih, Mbak," ucapnya dengan bibir bergetar karena kedinginan.

"Sama-sama. Saya mandi dulu," pamitku.

"Iya, Mbak. Saya juga mau ganti baju di sini," sahutnya.

Aku masuk ke rumah tanpa mengunci pintu, entah kenapa aku percaya laki-laki itu tidak akan berbuat macam-macam.

Aku melewati ruang tamu menuju dapur, di mana kamar mandi berada.

Tapi baru saja melewati ruang tamu dan hendak masuk ke ruang tengah, tiba-tiba sesuatu terbang dan hinggap di kakiku.

Seekor kecoak!

Bersamaan dengan itu, lampu rumah mati.

"Aaaakkhhh!!!"

Aku menjerit panik.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Suamiku Bukan Abang Ojol Biasa    Bab 4

    "Aaakkkh!"Aku berteriak sekuat tenaga saat melihat seekor kecoak tiba-tiba hinggap di kakiku. Seketika tubuhku merinding, gemetar hebat. Seolah situasi belum cukup buruk, lampu rumah juga mendadak padam, menambah ketakutanku.Aku membeku di tempat, tubuh menggigil bukan hanya karena ketakutan tetapi juga kedinginan. Handuk dan baju yang tadi kubawa tercecer di lantai. Aku benar-benar panik.Tiga hal yang paling kutakuti: kecoak, kegelapan, dan suara petir."Mbak! Mbak nggak apa-apa?" suara seorang laki-laki terdengar dari luar. Itu suara abang ojol yang tadi mengantarku pulang. Kudengar langkahnya mendekat ke arah pintu."Aakkh! To_tolong!" Suaraku bergetar, tertahan oleh rasa takut yang melumpuhkan."Mbak, saya boleh masuk?" tanyanya lagi, kali ini terdengar lebih cemas.Aku tidak menjawab. Aku bahkan tidak bisa berpikir jernih. Aku hanya bisa menangis dan meracau."Aayah… Iibu… tolong Jingga… Jingga takut…"Hingga tiba-tiba, sebuah tangan menyentuh bahuku dalam gelap."Mbak… ternya

  • Suamiku Bukan Abang Ojol Biasa    Bab 05

    "Saya terima nikah dan kawinnya saudari Jingga Dewi Lestari binti Mustofa dengan maskawin uang lima puluh ribu, dibayar tunai." Suara ijab kabul mengalun dari mulut Abang Ojol. Atas desakan warga, akhirnya malam itu juga aku dan Abang Ojol yang baru kuketahui saat ijab kabul bernama Putra Dewangga, resmi menikah atas paksaan para warga di sekitar rumahku. Dengan mas kawin hanya lima puluh ribu rupiah saja. Sesuai dengan yang ada di saku celananya. Itu juga ongkos ojek dariku yang belum dia kembalikan. Karena dompetnya tertinggal katanya. Aku baru menyadari. Kalau ternyata wajah Abang Ojol itu sangat tampan. Tubuhnya juga tinggi proporsional. Menurutku dari wajah dan tubuhnya tidak pantas jadi seorang tukang ojek online. Yang hanya mengendarai motor bebeknya. Dia malah lebih pantas menjadi seorang pembalap yang menaiki motor sport nya. Tapi sudahlah. Untuk apa memikirkan wajah dan tubuh Abang Ojol bernama Putra itu. "Bagaimana para saksi? Apakah sudah sah!" Teriak Pak ustad yang

  • Suamiku Bukan Abang Ojol Biasa    Bab 04

    "Aaakkkh!"Aku berteriak sekuat tenaga saat melihat seekor kecoak tiba-tiba hinggap di kakiku. Seketika tubuhku merinding, gemetar hebat. Seolah situasi belum cukup buruk, lampu rumah juga mendadak padam, menambah ketakutanku.Aku membeku di tempat, tubuh menggigil bukan hanya karena ketakutan tetapi juga kedinginan. Handuk dan baju yang tadi kubawa tercecer di lantai. Aku benar-benar panik.Tiga hal yang paling kutakuti: kecoak, kegelapan, dan suara petir."Mbak! Mbak nggak apa-apa?" suara seorang laki-laki terdengar dari luar. Itu suara abang ojol yang tadi mengantarku pulang. Kudengar langkahnya mendekat ke arah pintu."Aakkh! To_tolong!" Suaraku bergetar, tertahan oleh rasa takut yang melumpuhkan."Mbak, saya boleh masuk?" tanyanya lagi, kali ini terdengar lebih cemas.Aku tidak menjawab. Aku bahkan tidak bisa berpikir jernih. Aku hanya bisa menangis dan meracau."Aayah… Iibu… tolong Jingga… Jingga takut…"Hingga tiba-tiba, sebuah tangan menyentuh bahuku dalam gelap."Mbak… ternya

  • Suamiku Bukan Abang Ojol Biasa    Bab 03

    Aku keluar dari apartemen Mas Niko dengan perasaan sakit. Setengah berlari, aku menuju lift apartemen. Kupencet tombolnya, dan tak lama kemudian, lift yang kebetulan kosong langsung terbuka.Aku masuk dan berdiri di depan cermin dalam lift. Begitu pintu tertutup, kedua telapak tanganku terangkat, menutupi wajahku yang kembali dibanjiri air mata. Aku menangis tersedu-sedu."Niko jahat! Niko brengsek! Niko buaya! Tidak tahu diri! Kamu bilang kita putus karena aku anak yatim piatu. Memangnya kenapa kalau aku yatim piatu? Bukan keinginanku ditinggal mati orang tuaku!" umpatku di sela tangisan, meluapkan kekesalanku yang seharusnya tadi kuucapkan langsung di depan wajahnya."Kamu bilang kita putus karena aku hanya karyawan biasa. Tidak selevel denganmu. Memangnya kenapa kalau aku hanya karyawan biasa? Gajiku tinggi! Bahkan dengan gaji itulah kamu bisa menyelesaikan kuliah D3-mu saat keluargamu kesulitan ekonomi!""Kalau aku memang tidak selevel denganmu, kenapa baru sekarang kamu bilang? S

  • Suamiku Bukan Abang Ojol Biasa    Bab 02

    "Dor! Kejut..."“A-apa yang kamu lakukan, Mas?” teriakku saat membuka pintu kamar Mas Niko, ingin memberikan kejutan untuknya.Tapi teriakanku terhenti begitu saja. Aku membeku di tempat. Kejutanku berubah menjadi keterkejutan yang luar biasa.Pandanganku tertuju pada ranjang. Nafasku memburu, dadaku sesak. Kaki terasa berat untuk digerakkan. Mulutku terkunci rapat. Aku hanya bisa berdiri terpaku, menyaksikan pemandangan di depanku—sesuatu yang tidak pernah kubayangkan akan kulihat.Di sana, di atas ranjang Mas Niko, aku melihat sepasang manusia tengah beradu peluh, berbagi saliva dengan rakus. Saling menyerang, saling bertahan.Aku seperti sedang menonton adegan film dewasa secara langsung. Tapi yang lebih menyakitkan, aktor utama dalam pertunjukan itu adalah Mas Niko, kekasihku sendiri!“M-Mas Niko... A-apa yang kamu lakukan?” suaraku bergetar, nyaris tak terdengar.Niko menoleh cepat. Wajahnya yang tadinya dipenuhi gairah berubah pucat pasi. Ia tampak kaget dan panik. Dengan geraka

  • Suamiku Bukan Abang Ojol Biasa    Bab 01

    Namaku Jingga. Kependekan dari Jingga Dewi Lestari. Orang lebih suka memanggilku dengan nama Jingga. Usiaku 23 tahun. Hanya lulusan SMA. Bekerja di sebuah perusahaan besar yang bergerak di bidang produsen berbagai jenis makanan dan minuman. Sebagai seorang karyawan biasa.Mungkin karena ijazahku yang hanya SMA, yang membuatku tidak bisa mengejar jabatan ke jenjang yang lebih tinggi. Meski hanya karyawan biasa. Tapi aku bersyukur bisa bekerja di sana. Sebab gaji yang diberikan kepada setiap karyawan jauh diatas rata-rata gaji UMR. Kata orang wajahku sangat cantik. Terbukti saat sekolah dulu, banyak yang menyukaiku. Namun hanya satu yang kucintai sejak dulu. Sejak aku kelas tiga SMA sampai sekarang. Dia adalah Niko. Teman setingkatku tapi beda sekolah. Dengan Mas Niko aku sudah menjalani hubungan pacaran selama lima tahun. Sebulan lagi kami berencana akan menikah. *Malam ini sepulang kerja, aku berjalan di koridor sebuah apartemen. Hari ini aku ingin menemui Mas Niko. Laki-laki yan

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status