Mas Burhan dan Kak Rudi sontak menoleh padaku, ada perasaan khawatir yang terpancar dari ekspresi Kak Rudi, sedangkan Mas Burhan menggenggam tanganku lebih erat meski dia terlihat cukup tenang saat mendengar pernyataan Mbah Aki.“Kenapa takut?” Mbah Aki langsung mengarahkan pertanyaan itu padaku. Tentu saja dia dapat membaca pikiran dan isi hatiku yang memang tengah ketakutan. “Aku tidak sedang menakutimu. Yang kukatakan barusan itu memang suatu hal yang mutlak,” lanjutnya dengan warna suara yang khas.. Aku langsung menunduk, menyembunyikan wajahku yang mendadak kaku dan segan jika harus berhadapan langsung dengan Mbah Aki. Tak kurespon sepatah kata pun apa yang dinyatakannya.“Semua yang hidup pasti akan mati. Artinya, kita semua memang diikuti oleh ajal. Itu hal yang mutlak.” Dimas lah yang akhirnya menjawab dengan lantang, membutat Mbah Aki manggut-manggut saat mendengarnya.“Kamu memang bukan orang biasa,” ucap Mbah Aki pada Dimas. Sudah pasti dia mengetahui bahwa Dimas mempunyai
“Aku merasa jadi korban, kenapa disalahkan?” tanyaku. “Ingat-ingat lagi apa yang kamu lakukan ketika tahu suamimu selingkuh dan apa yang kamu ucapkan!” perintah Mbah Aki.“Sumpah serapah?”“Itulah kesalahanmu!”“Di mana letak salahnya? Aku hanya merasa perlu mendapat keadilan dari sakit hati yang kuderita. Suamiku selingkuh dengan sahabatku sendiri, apa aku harus bahagia? Tentu saja aku merasa sakit hati, dan karena itu aku spontan mengucapkan sumpah itu.”“Dan sumpahmu itu menjadi kenyataan.”“Pasti lah. Karena doa istri yang terdzalimi kemungkinan besar akan dikabulkan.”“Itu menurutmu.”“Lalu menurut Mbah?”“Tanpa kamu sadari, sebenarnya sumpah yang kamu ucapkan itu juga berbalik pada dirimu sendiri. Lihatlah dirimu, dan ingat-ingat lagi kejadian dari mulai kamu dengar kabar suamimu tenggelam hingga kini kamu berada di sini meminta pertolonganku agar terlepas dari karma. Kamu juga ikut menderita, bukan?”Aku termenung lagi, tertampar lagi dengan pernyataan Mbah Aki. Sejauh ini hid
Akhirnya aku menggelengkan kepala sebagai jawaban.“Karena dunia ini Tuhan-lah yang mengatur, bukan manusia. Kita tidak bisa tahu setiap misteri yang terjadi dalam hidup ini,” jawab Mbah Aki dengan tenang. Rupanya, tadi itu dia hanya menggertak saja. “Singkirkan berbagai macam pertanyaan dalam pikiranmu, itu hanya akan menyulitkanmu saja. Mulailah ber-aksi, ikuti nasihat-nasihat yang tadi kuberikan. Dan kalau kamu merasa tidak adil, hidup ini kadang memang tidak adil. Tapi gak apa-apa, tetap hidup saja hadapi setiap keadaan. Tak perlu banyak bertanya lagi. Paham?”Aku mengangguk. Sampai sini pemahamanku mulai bisa mencerna semuanya. “Di sini masyaraktnya hidup makmur semua,” celetuk Dimas menyela peribncanganku dengan Mbah Aki. Dimas melihat melalui jendela sekelompok orang yang beraktivitas d luar sana. “Pakaian dan kendaraan mereka mahal semua.”“Apa pekerjaan warga sini, Mbah?” Mas Burhan ikut bertanya.Kini topik pembicaraan beralih tentang Desa Kabut dan keseharian warganya.“Pe
“Kalau bukan manusia, lalu apa?”“Bisa jadi itu arwahnya. Coba perhatikan mana mungkin suami kamu bersikap baik begitu, berbanding terbalik seratus delapan puluh derajat!”Tiba-tiba saja ibu mertua membangunkanku di pagi buta dan mengatakan bahwa suamiku bukan manusia. Aku yang masih mengantuk tentu saja kaget dengan pernyataannya.“Kalau tidak percaya, ayo ikut ibu!” Ibu Mertua lanjut mengajakku ke dapur, dengan semangat bercampur sedikit rasa takut tangannya yang gemetaran menarik tanganku agar mengikuti langkahnya.Mas Burhan—suamiku—sedang sibuk mencetak pentol untuk jualan. Kami memang punya usaha pentol ojeg sebagai mata pencaharian, sudah dua tahun berjalan dan belum ada kemajuan, masih kecil-kecilan. Berbeda dengan pentol ojeg temanku yang kini sudah punya karyawan. Usahaku macet karena Mas Burhan sempat meninggalkanku selama setahun.“Biarkan saja,” bisikku pada ibu mertua yang nampak tak percaya dengan pemandangan di depannya. “Mungkin setelah kejadian kemarin, Mas Burhan ja
“Mas, ibu pingsan, Mas!”Aku panik dan langsung menyuruh Mas Burhan membawa ibu ke kamarnya. Kugunakan kesempatan ini untuk meminta Mas Burhan mengurungkan niatnya menyuruh ibu mertua pulang, aku masih ingin ditemani karena sosok suamiku masih jadi teka-teki.“Kasihan ibu, Mas. Lebih baik kita izinkan ibu tinggal di sini beberapa bulan lagi, mungkin dia masih kangen cucunya dan gak mau jauh, makanya pingsan.”Saat tiba di kamar kucoba meyakinkan suamiku, padahal aku tahu ibu mertua pingsan karena dia terlalu merasa aneh dengan perubahan Mas Burhan, apalagi kata-katanya yang terakhir itu memang lebay.“Bukan, aku tahu ibu pingsan karena takut padaku,” jawab Mas Burhan, di luar dugaanku. Kukira dia tidak menyadari itu.“Ya apapun alasannya, tolong izinkan ibu tinggal di sini ya.”Mas Burhan akhirnya menyetujui permintaanku lalu dia berangkat jualan.*Menjelang duhur aku menyelinap ke kamar belakang tempat Mas Burhan biasa menghabiskan waktu sendirian jika sedang mencari ketenangan. Pad
“Karena wanita itu aurat, hampir semua bagian tubuhnya aurat. Jadi, mending kamu di rumah,” jawab Mas Burhan.Aku semakin melongo, benar-benar melongo. “Masa aku gak boleh ketemu orang?”“Bukan gak boleh, tapi dibatasi, diminimalisir kalau tidak perlu. Apalagi di pasar banyak laki-laki ... tukang ojeg, tukang becak, yang jualan pinggir jalan, pedagang, kuli pasar ... Mas gak mau kamu dilihat laki-laki lain.”“Ya ampun ... kan kalaupun aku dilihat orang lain juga mungkin sebatas lihat aja, bukan yang macem-macem. Lagipula ke pasar, ke warung, itu kan kebutuhan ... keperluan. Bukan mau main-main. Mas jangan berlebihan, dong. Aku gak nyaman,” protesku. “Kalau begini, aku bisa jadi kuper. Lagian, kenapa kamu jadi aneh begini sih, Mas? Biasanya juga kamu masa bodo amat sama aku. Sejak pulang kamu jadi berbanding terbalik.”Tanpa sengaja aku keceplosan mengungkapkan rasa anehku padanya. Namun untung saja sepertinya Mas Burhan tidak begitu peka akan hal itu, dia malah mengomentari protesku y
Bukannya menenangkan, Mas Burhan malah menjawab dengan lebih menyakitkan. “Lihat dirimu, ambil cermin sana! Pikirkan kenapa aku bisa berpaling,“ katanya sinis.Aku mengerti kemana arah pembicaraanya. “Tapi aku kan sedang mengandung anakmu, ini anak pertama kita. Makanku tidak selera, badanku sering terasa tidak enak. Kamu harusnya mengerti kondisiku, harusnya kamu mendukung dan membantuku … bukannya malah pelarian ke wanita lain.”Bodohnya aku waktu itu berharap Mas Burhan jadi suami yang baik, padahal jelas dia lelaki egois.“Di luar sana banyak wanita hamil, tapi mereka pandai merawat diri tidak seperti kamu yang banyak alasan,” jawabnya lagi.“Mereka bisa terawatt karena suaminya tanggungjawab lahir batin, Mas! Istrinya dijagain, disayangin, diperhatiin. Sedangkan aku? Kamu lihat dong sikapmu ke aku bagaimana, pagi-pagi baru aja aku bangun tidur belum sempat cuci muka udah nyuruh ke pasar lah, ke warung beli kopi dan rokokmu lah! Mending kamu ngasih uangnya cukup, ini buat rokokmu
“Kamu lupa itu kamar apa, Mas?” Aku balik bertanya sambil ketakutan. Mas Burhan menggelengkan kepalanya, terlihat dia keheranan. “Aku baru lihat ada kamar ini di rumah. Aneh, kamar kok kecil begini hanya cukup dimasuki satu orang. Apa fungsinya?” “Kamar itu sudah ada sejak rumah ini dibangun, Mas ....” Bingung menjelaskan, aku memilih pamit tidur dan membiarkan Mas Burhan dengan pertanyaannya sendiri. * Aku bangun kesiangan pagi ini, jam enam. Biasanya sebelum subuh aku sudah bangun. Namun karena malam tadi menemani Mas Burhan menghitung uang dan Syifa anteng terus sampai jam sebelas malam, akhirnya aku baru sempat tidur tengah malam dan baru bangun sekarang. Ditambah lagi, rasa penasaranku akan Mas Burhan yang bertanya tentang kamar pribadinya membuatku semakin sulit memejamkan mata. Setelah salat subuh yang kesiangan, aku langsung menuju ruang tengah karena mendengar suara ibu mertua bercakap dengan Mas Burhan. Ternyata mereka sedang mengerumuni Syifa—bayiku. “Syifa sayang ...