Suamiku kembali pulang setelah tenggelam di lautan bersama selingkuhannya dan dinyatakan meninggal dunia. Dia datang dengan perbedaan berbanding terbalik seratus delapan puluh derajat! Apakah dia suamiku yang asli atau hanya arwahnya saja?
View More“Kalau bukan manusia, lalu apa?”
“Bisa jadi itu arwahnya. Coba perhatikan mana mungkin suami kamu bersikap baik begitu, berbanding terbalik seratus delapan puluh derajat!”
Tiba-tiba saja ibu mertua membangunkanku di pagi buta dan mengatakan bahwa suamiku bukan manusia. Aku yang masih mengantuk tentu saja kaget dengan pernyataannya.
“Kalau tidak percaya, ayo ikut ibu!” Ibu Mertua lanjut mengajakku ke dapur, dengan semangat bercampur sedikit rasa takut tangannya yang gemetaran menarik tanganku agar mengikuti langkahnya.
Mas Burhan—suamiku—sedang sibuk mencetak pentol untuk jualan. Kami memang punya usaha pentol ojeg sebagai mata pencaharian, sudah dua tahun berjalan dan belum ada kemajuan, masih kecil-kecilan. Berbeda dengan pentol ojeg temanku yang kini sudah punya karyawan. Usahaku macet karena Mas Burhan sempat meninggalkanku selama setahun.
“Biarkan saja,” bisikku pada ibu mertua yang nampak tak percaya dengan pemandangan di depannya. “Mungkin setelah kejadian kemarin, Mas Burhan jadi sadar, makanya dia sekarang berubah. Lihat, kakinya menapak ke lantai jadi tidak mungkin dia hantu!” lanjutku.
“Tapi ibu masih tidak percaya. Mana mungkin orang yang sudah tenggelam di lautan dan hilang selama setahun bahkan sudah dinyatakan meninggal lalu tiba-tiba pulang ke rumah seakan tidak terjadi apa-apa. Apalagi wataknya berbeda sekali. Secara fisik memang itu Burhan—anak ibu, tapi secara watak, sikap, dan sifatnya ... ibu rasa itu bukan Burhan! Ibu kenal betul siapa Burhan, dan dia bukanlah sosok yang ada di hadapan kita sekarang!” Ibu Mertua kukuh dengan firasatnya.
Kurang lebih setahun yang lalu saat usia kehamilanku baru satu bulan, Mas Burhan kabur dengan wanita selingkuhannya yang bernama Risma. Mereka menjalin kasih sudah sangat lama dan baru ketahuan olehku pada waktu itu sehingga membuatku marah besar, akibatnya Mas Burhan muak padaku dan akhirnya kabur dari rumah. Menurut informasi yang kudengar saat itu, mereka kabur ikut naik perahu temannya yang seorang nelayan dan keesokan harinya aku menerima kabar tenggelamnya Mas Burhan beserta semua orang di atas perahu itu. Semua orang dari mulai nelayan hingga warga di sekitar pesisir pantai ikut mencari, bahkan melibatkan tim SAR. Pencarian dilakukan sampai hampir sebulan namun tidak ada hasil sama sekali, semua korban dinyatakan meninggal.
Semenjak kejadian itu, aku menjalani kehamilan seorang diri dan mengurus usaha pentol yang baru saja kurintis, namun karena dalam kondisi hamil aku hanya bisa berjualan di teras rumah dan hasilnya cukup untuk membiayai kebutuhan. Mertuaku yang punya ladang dan sawah juga sering menyumbang beras dan hasil kebun, karena anak lelakinya dinyatakan meninggal jadi mertuaku masih bertanggungjawab menafkahiku, apalagi aku tengah mengandung cucunya waktu itu.
Hari demi hari kulalui sampai akhirnya aku melahirkan secara sesar. Mertua yang membiayai dan mengurus semua keperluan, termasuk merawatku dan bayiku hingga sekarang, itulah sebabnya ibu mertua masih tinggal di rumahku sedangkan bapak mertua harus pulang karena pekerjaan.
Hingga seminggu yang lalu, tepat bayiku berusia tiga bulan, Mas Burhan pulang secara tiba-tiba. Dia langsung membuka pintu rumah tanpa mengucap salam dan tanpa berkata sepatah kata, melengos ke dapur dan minum segelas air putih. Aku dan ibu mertua yang tengah menonton TV waktu itu sangat kaget dan hanya bisa mematung, antara tak percaya dan takut karena Mas Burhan yang dinyatakan sudah meninggal tiba-tiba saja masuk rumah.
“Lita, aku ngantuk. Aku mau tidur. Siapkan sajadah di kamar salat, bangunkan aku sebelum azan asar.” Itu adalah kalimat pertama yang diucapkan setelah kepulangannya. Masih terngiang di telingaku dengan sangat jelas hingga saat ini.
Setelah minum, Mas Burhan langsung tidur di kamar kami. Bayiku yang awalnya lelap tidur dalam gendonganku mendadak menangis kencang saat Mas Burhan masuk kamar. Aku pun disadarkan oleh tangisan bayiku sedangkan ibu mertua masih terpaku mematung. Keluar keringat dingin dari keningnya.
“Lita, kamu barusan lihat dan dengar sendiri kan siapa yang berbicara? Apa Cuma halusinasi ibu saja?” kata ibu mertua gemetaran waktu itu.
“Dia Mas Burhan, Bu,” jawabku tak kalah gemetaran.
Mas Burhan datang dengan begitu santuy-nya, sehingga membuatku dan ibu mertua heran, heran sekali, bingung, takut, dan tanda tanya besar!
Benarkah dia Mas Burhan? Dari fisik itu memang seratus persen Mas Burhan—suamiku, tapi sifat dan sikapnya jelas berbeda. Mas Burhan yang dahulu adalah seorang yang pemalas, kasar, acuh perhatian, masa bodo-an, hanya satu bagusnya yaitu dia tidak pelit kalau pas lagi punya uang. Sedangkan Mas Burhan yang sekarang dia sangat baik, rajin, bertanggungjawab, agak posesif terhadapku, royal, rajin beribadah. Pokoknya berbanding terbalik. Wajar kalau kami tidak percaya itu adalah Mas Burhan.
Sejak saat itu ibu mertua selalu waspada terhadap sosok Mas Burhan yang baru, dia merasa sosok itu adalah arwah alias hantu. Sedangkan aku lebih memilih menerimanya, mau itu Mas Burhan atau bukan yang penting aku tidak kehilangan sosok suamiku. Meski perselingkuhannya yang membuatku sakit hati masih membekas dalam ingatan, namun tak dapat kupungkiri aku merindukan Mas Burhan yang hilang selama setahun.
Suara piring jatuh membuyarkan lamunanku akan kejadian itu, tak sengaja ibu mertua menyenggol rak piring saat kami mengintip aktivitas Mas Burhan di dapur dini hari ini. Suamiku itu jadi menengok ke belakang, “sedang apa kalian di sini?” tanyanya.
“Ini Mas, aku dan ibu mau bantuin nyetak pentol, sekalian nyiapin yang lainnya juga untuk jualan,” jawabku spontan.
“Tidak usah. Urusan pekerjaan itu tanggungjawab suami. Banting tulang cari nafkah dari mulai persiapan, berangkat, hingga pulang lagi itu semua jadi urusan tanggungjawabku. Tugas kamu sebagai istri hanya di rumah saja, urus anak, urus suami, urus rumah, dan jangan lupa pula urus dirimu sendiri. Sudah sana, kembali ke kamar, rebahan istirahat sambil nunggu azan subuh berkumandang. Nanti kita salat berjamaah!” titah Mas Burhan.
Aku menelan ludah mendengar perintahnya, apalagi mendengar pernyataannya tentang tanggungjawab suami dan istri! Rasanya aneh aja gitu, Mas Burhan jadi sok bijaksana gitu bicaranya.
Apalagi ibu mertua, terlihat jelas rasa kaget campur tak percaya dari raut wajahnya. “Lita, kali ini ibu benar-benar yakin kalau dia bukan Burhan. Burhan itu anaknya tengil, manja, malas, enggak bijaksana seperti ini!” bisiknya.
“Sudah, Bu. Jangan mikir aneh-aneh dulu,” kataku berbisik. “Mending kita nurut aja.”
“Ibu juga, nanti pagi pulang saja ke rumah ibu. Kasihan bapak di rumah sendirian. Sudah cukup ibu menemani istri dan anakku, tiba giliran ibu untuk mengurus diri sendiri tidak direpotkan lagi dengan kami.” Giliran Mas Burhan bicara pada ibu mertua.
*
Pagi hari sekitar jam delapan-an, aku baru saja menandikan Syifa—bayiku—dan hendak menjemurnya di teras rumah yang tersinari matahari pagi. Sedangkan di halaman, Mas Burhan sedang menaikkan ‘gerobak’ pentol ke jok belakang motor dan mempersiapkan keperluan untuk jualan. Tampaknya sebentar lagi suamiku itu akan segera berangkat kerja.
Tiba-tiba ibu mertua duduk di sampingku sambil menenteng tas besar, aku tebak itu adalah baju-bajunya.
“Ibu mau kemana?” tanyaku heran.
“Pulang. Kan tadi Burhan nyuruh ibu pulang.”
“Jangan dulu, Bu. Aku takut, kalau dia bukan Mas Burhan yang asli bagaimana?” pintaku berbisik. Aku mulai merasa takut juga.
“Ya makanya mending ibu pulang aja. Di sini serem ih! Ada hantu.” Ibu malah menakut-nakutiku meski dia bicara serius sambil mengeluarkan ponsel dari saku tas nya dan menunjukkan layarnya padaku. “Nanti kalau hasil panen bapak sudah laku ibu mau beli ini,” lanjutnya sambil menunjuk sebuah daster di keranjang belanja online nya. Meski sedang merasa takut, masih sempat pamer daster incarannya padaku. Mertuaku dua-duanya memang doyan belanja online.
Aku manggut-manggut saja mengiyakan, meski dalam hati merasa agak ngenes juga karena tahu niat ibu mertua mau memanasiku.
Suara mesin motor mulai menyala, Mas Burhan rupanya mau berangkat. Dia menghampiriku dan mencium Syifa, lalu mengelus ubun-ubun kepalaku dan mencium keningku.
“Mas berangkat dulu ya, sayang. Jaga dirimu baik-baik di rumah selama Mas pergi mencari nafkah. Nanti kalau Mas pulang mau dibelikan apa?” katanya padaku, membuatku melongo dengan sikap Mas Burhan.
“Bu—burhan?” Ibu sepertinya refleks bereaksi terhadap sikap Mas Burhan yang menggelikan.
“Kenapa, Bu? Ibu mau protes?” Mas Burhan menoleh pada ibu mertua. “Sebagai suami, aku sadar belum bisa membahagiakan istriku dengan harta, maka aku akan membahagiakannya dengan perhatian, cinta, dan kasih sayangku,” jelas Mas Burhan dengan begitu yakinnya.
Bugh!
Baik aku dan Mas Burhan sama-sama terkejut karena ibu mertua langsung jatuh pingsan hingga menimbulkan suara ‘bugh’ di teras rumah.
“Apa maksudmu? Jangan bilang kamu suka sama gadis itu. Huh, gak kapok ya lirik-lirik perempuan terus,” kataku panas hati.“Jangan dulu cemburu. Aku biasa aja sama Lastri, tertarik bukan berarti suka.” Mas Burhan membela diri.“Udah lah, Mas. Kupikir setelah kejadian kemarin kamu akan berubah tapi ternyata sama aja. Aku gak nyangka kamu macam-macam selama keliling jualan, aku yakin kamu pasti suka main ke rumah Lastri, kan.”“Astaghfirullah. Dengar dulu—”“Capek ah, Mas!”Langsung kutinggalkan Mas Burhan sendirian, kugendong Syifa dan pindah menidurkannya di kamar. Cerita ibu-ibu pelanggan tadi siang membuatku kepikiran dan mumet, entah mungkin aku yang berlebihan meresponnya tapi perasaan cemburu ini tak dapat kuhindari. Bagaimana pun baiknya seorang suami terhadap istrinya, tidak jadi jaminan dia tidak akan tergoda perempuan lain di luar sana. Apalagi Mas Burhan ganteng, siapapun bisa terpikat meski profesinya hanya penjual pentol.Sengaja tak kututup pintu kamar, agar aku bisa mengi
“Mas Burhaaan!”Dari kejauhan mereka melambaikan tangan seraya memanggil nama suamiku. Tentu saja aku semakin penasaran dengan maksud kedatangan mereka.“Ada apa ya, Mas. Kok mereka ngumpul di depan rumah kita terus manggil-manggil nama kamu dengan antusias seperti itu?” tanyaku pada Mas Burhan.“Hadeuuhh …” gumam Mas Burhan sambil geleng-geleng kepala.“Siapa sih, Mas?”Mas Burhan hanya diam saja ketika kutanya karena fokusnya hanya tertuju pada ibu-ibu di depan sana yang terus-terusan memanggil namanya.Awalnya kupikir sekumpulan ibu-ibu itu adalah para tetanggaku yang menunggu kedatangan kami, mengingat kabar sakit non medis-ku beberapa hari kemarin ternyata sudah menyebar dan menjadi bahan perbincangan warga sekitar, kupikir mereka datang hendak menjenguk atau sekedar kepo dengan apa yang terjadi padaku. Tapi, setelah aku sampai di halaman rumah dan tepat berada di hadapan mereka … ternyata mereka bukan tetanggaku, aku sama sekali tidak mengenali mereka. “Mas, jawab dong, mereka
Akhirnya aku menggelengkan kepala sebagai jawaban.“Karena dunia ini Tuhan-lah yang mengatur, bukan manusia. Kita tidak bisa tahu setiap misteri yang terjadi dalam hidup ini,” jawab Mbah Aki dengan tenang. Rupanya, tadi itu dia hanya menggertak saja. “Singkirkan berbagai macam pertanyaan dalam pikiranmu, itu hanya akan menyulitkanmu saja. Mulailah ber-aksi, ikuti nasihat-nasihat yang tadi kuberikan. Dan kalau kamu merasa tidak adil, hidup ini kadang memang tidak adil. Tapi gak apa-apa, tetap hidup saja hadapi setiap keadaan. Tak perlu banyak bertanya lagi. Paham?”Aku mengangguk. Sampai sini pemahamanku mulai bisa mencerna semuanya. “Di sini masyaraktnya hidup makmur semua,” celetuk Dimas menyela peribncanganku dengan Mbah Aki. Dimas melihat melalui jendela sekelompok orang yang beraktivitas d luar sana. “Pakaian dan kendaraan mereka mahal semua.”“Apa pekerjaan warga sini, Mbah?” Mas Burhan ikut bertanya.Kini topik pembicaraan beralih tentang Desa Kabut dan keseharian warganya.“Pe
“Aku merasa jadi korban, kenapa disalahkan?” tanyaku. “Ingat-ingat lagi apa yang kamu lakukan ketika tahu suamimu selingkuh dan apa yang kamu ucapkan!” perintah Mbah Aki.“Sumpah serapah?”“Itulah kesalahanmu!”“Di mana letak salahnya? Aku hanya merasa perlu mendapat keadilan dari sakit hati yang kuderita. Suamiku selingkuh dengan sahabatku sendiri, apa aku harus bahagia? Tentu saja aku merasa sakit hati, dan karena itu aku spontan mengucapkan sumpah itu.”“Dan sumpahmu itu menjadi kenyataan.”“Pasti lah. Karena doa istri yang terdzalimi kemungkinan besar akan dikabulkan.”“Itu menurutmu.”“Lalu menurut Mbah?”“Tanpa kamu sadari, sebenarnya sumpah yang kamu ucapkan itu juga berbalik pada dirimu sendiri. Lihatlah dirimu, dan ingat-ingat lagi kejadian dari mulai kamu dengar kabar suamimu tenggelam hingga kini kamu berada di sini meminta pertolonganku agar terlepas dari karma. Kamu juga ikut menderita, bukan?”Aku termenung lagi, tertampar lagi dengan pernyataan Mbah Aki. Sejauh ini hid
Mas Burhan dan Kak Rudi sontak menoleh padaku, ada perasaan khawatir yang terpancar dari ekspresi Kak Rudi, sedangkan Mas Burhan menggenggam tanganku lebih erat meski dia terlihat cukup tenang saat mendengar pernyataan Mbah Aki.“Kenapa takut?” Mbah Aki langsung mengarahkan pertanyaan itu padaku. Tentu saja dia dapat membaca pikiran dan isi hatiku yang memang tengah ketakutan. “Aku tidak sedang menakutimu. Yang kukatakan barusan itu memang suatu hal yang mutlak,” lanjutnya dengan warna suara yang khas.. Aku langsung menunduk, menyembunyikan wajahku yang mendadak kaku dan segan jika harus berhadapan langsung dengan Mbah Aki. Tak kurespon sepatah kata pun apa yang dinyatakannya.“Semua yang hidup pasti akan mati. Artinya, kita semua memang diikuti oleh ajal. Itu hal yang mutlak.” Dimas lah yang akhirnya menjawab dengan lantang, membutat Mbah Aki manggut-manggut saat mendengarnya.“Kamu memang bukan orang biasa,” ucap Mbah Aki pada Dimas. Sudah pasti dia mengetahui bahwa Dimas mempunyai
“Tempatnya angker. Maklum, penghuninya rata-rata penganut ilmu hitam yang pasti berkawan dengan setan dan jin,” jelas Kak Rudi.“Apa kalau kita ke sana nanti bakal celaka?” tanya Mas Burhan.“Bisa jadi, mereka jahil.”Terlintas keraguan dalam benakku untuk pergi ke sana. Bagiku, mendatangi tempat itu sangat beresiko. Setelah kejadian kemarin Mas Burhan tenggelam di lautan dan kejadian-kejadian mistis yang kualami setelahnya, aku tidak ingin lagi bergelut dengan hal-hal semacam itu. Sudah terbayang bagaimana jadinya nanti ketika tiba di Desa Kabut yang katanya angker itu, takut terjadi apa-apa. Belum lagi nanti ketika pulang pasti ada satu atau dua makhluk halus yang ikut dengan kami.“Jangan terlalu takut. Kita tidak berniat jahat datang ke sana,” ucap Kak Rudi padaku. Rupanya dia paham tentang apa yang kupikirkan. “Tujuan kita hanya untuk mencari kalung pusaka, untuk dikembalikan pada Risma agar kutukan kalung itu terhenti.”“Tetap saja hasilnya belum pasti. Daripada nanti malah dapa
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Comments