“Karena wanita itu aurat, hampir semua bagian tubuhnya aurat. Jadi, mending kamu di rumah,” jawab Mas Burhan.
Aku semakin melongo, benar-benar melongo. “Masa aku gak boleh ketemu orang?”
“Bukan gak boleh, tapi dibatasi, diminimalisir kalau tidak perlu. Apalagi di pasar banyak laki-laki ... tukang ojeg, tukang becak, yang jualan pinggir jalan, pedagang, kuli pasar ... Mas gak mau kamu dilihat laki-laki lain.”
“Ya ampun ... kan kalaupun aku dilihat orang lain juga mungkin sebatas lihat aja, bukan yang macem-macem. Lagipula ke pasar, ke warung, itu kan kebutuhan ... keperluan. Bukan mau main-main. Mas jangan berlebihan, dong. Aku gak nyaman,” protesku. “Kalau begini, aku bisa jadi kuper. Lagian, kenapa kamu jadi aneh begini sih, Mas? Biasanya juga kamu masa bodo amat sama aku. Sejak pulang kamu jadi berbanding terbalik.”
Tanpa sengaja aku keceplosan mengungkapkan rasa anehku padanya. Namun untung saja sepertinya Mas Burhan tidak begitu peka akan hal itu, dia malah mengomentari protesku yang keberatan jika dilarang keluar rumah.
“Kamu kan istriku, kalau bukan istriku mana mau aku peduli sama kamu. Aku ini bertanggungjawab dunia akhirat atas dirimu. Jadi, jelas aku harus protektif. Mau overprotektif juga aku tidak salah selama itu demi keselamatanmu,” tegasnya. “Ingat ya, perempuan betah di rumah itu sunah, bukan kuper!”
“Mas kan tahu sendiri aku tidak betah di rumah? Aku mesti keluar rumah untuk sekedar belanja atau jalan-jalan gendong Syifa, sumpek.” Aku mulai merajuk.
“Nanti akan kubikin supaya kamu betah di rumah.”
“Terus, kalau belanja delivery order ntar mahal di ongkir,” protesku lagi. Sebagai ibu rumah tangga, jiwa kalkulatorku bergelora saat mengingat ongkos kirim yang harus dikeluarkan.
“Tenang aja, kalau aku sempat, aku sendiri yang akan pergi belanja, gak usah delivery. Yang penting kamu tetap diam di rumah, ya sayang.”
Mas Burhan mengedipkan mata kanannya, genit. Dia selesai meracik saus untuk bumbu pentol lalu menghampiriku, mengusap kepalaku dan mencium keningku.
“Aku berangkat lagi, doakan jualanku habis. Kamu baik-baik di rumah, itu bumbu pentol yang barusan diantar Bi Dwi jangan diapa-apain, biar aku nanti yang mengerjakan. Kamu urusin pekerjaan rumahtangga aja,” katanya.
Refleks, tanganku salim ke Mas Burhan, aku mencium punggung tangannya, hal yang baru dua kali aku lakukan yaitu pada saat akad nikah dan sekarang. Mendadak aku merasa jadi istri salehah. Bagaimana tidak ... dulu sebelum kejadian Mas Burhan kabur, aku paling malas lihat wajahnya. Jangankan salim, sekedar memandang wajahnya pun aku gak mau saking jengkel dan kecewaku atas kelakuannya yang seenaknya, sering melupakan tanggungjawabnya pada keluarga. Tapi sekarang ... dia menjadi suami idaman.
*
Sejak Mas Burhan pulang duhur tadi, ibu mertua hanya berdiam diri di kamar. Dia tidak mau menunjukkan batang hidungnya di hadapan Mas Burhan karena merasa takut. Ibu memang selalu jaga jarak dari anaknya itu.
“Ibu tahu betul siapa Burhan, dan dia bukan Burhan. Ibu yakin, karena ibu sendiri yang melahirkan dan membesarkan dia, jadi ibu hatam betul wataknya. Dan Burhan bukan dia!” kata ibu mertua siang tadi, sesaat sebelum Mas Burhan pulang. Dan lagi-lagi ibu mertua mengatakan hal serupa jika sedang ketakutan.
Ini sudah hampir empat jam sejak ibu mertua mengurung diri di kamarnya. Aku pun cepat menghampirinya karena teringat dia belum makan nasi sejak pingsan tadi pagi.
“Bu, makan dulu ayo,” kataku sambil membuka pintu kamar.
Terlihat ibu mertua sedang rebahan di kasur sambil memainkan ponselnya. “Ibu sudah makan, tadi pas Burhan berangkat lagi dan kamu salat duhur, ibu keluar ambil nasi,” katanya sambil terus asyik scroll ponsel di layar.
“Kirain ibu gak berani keluar kamar. Ya sudah, aku simpan lagi aja nasinya,” kataku.
Baru selangkah aku memabalikkan badan hendak ke dapur, ibu mertua memanggilku. “Lita, tolong ini ibu mau checkout daster tapi kok ongkirnya mahal banget ini dari Bali,” katanya.
“Pakai voucher gratis ongkirnya dong, Bu.” Aku geleng-geleng kepala dengan hobi belanjanya yang masih membara meski di usia hampir lima puluh-an. Mertuaku selalu tidak pernah ketinggalan mode.
“Iya tapi gak ada vouchernya ini, biasanya kan otomatis terpotong ongkir,” balasnya ngotot.
“Klaim dulu voucher-nya Bu, baru nanti bisa dapat potongan ongkir.” Aku masih berdiri di ambang pintu kamar dan mengajarinya. “Kalau voucher-nya tetap tidak bisa di-klaim, ya berarti harus nunggu besok sampai tersedia lagi. Ibu belanja terus sih, pantas aja voucher-nya habis.”
“Iya gak apa-apa kan ibu sudah bosan pakai model daster yang itu-itu aja. Sekarang ibu lagi mau nyoba daster Bali yang model kimono biar terlihat lebih muda gitu lho, Lit. Apalagi wajah ibu ini kan ada Jepang-nya dikit, jadi pasti cocok lah,” jawabnya, membuatku geleng-geleng kepala lagi.
Aku pun membantu ibu mertua klaim voucher gratis ongkir demi checkout daster impiannya, dia menginstruksikan agar pembayarannya secara COD.
“Nanti kalau barangnya datang, bayar pakai uangmu dulu ya. Pasti ibu ganti deh, tenang aja sebentar lagi bapak panen singkong di kebun,” katanya dengan senyum khas merayu sambil mengusap pundakku.
Kurang asem memang, kebiasaan. Selalu saja kalau COD ujung-ujungnya pakai uangku, dan akhirnya dibayar dengan ucapan ‘maaf, uangnya kepake, ikhlasin aja.’
Untungnya, aku selalu ingat kembali pada kebaikannya. Jika kondisi keuangan mertuaku membaik, mereka selalu memberi sembako atau makanan untukku dan Mas Burhan. Bahkan, modal dagang pun awalnya diberi oleh mertua.
“Tahu gak, Lit ... ibu tuh belanja-belanja kayak gini untuk mengalihkan rasa takut ibu pada Burhan yang sekarang. Lumayan, otak ibu yang tadinya tegang jadi kembali rileks setelah checkout,” katanya setelah pesananya berhasil dibuat.
“Ah, emang dasar ibu doyan belanja aja. Dari dulu sebelum Mas Burhan kabur juga gercep belanja tiap ada model baru,” balasku.
Ibu mertua hanya nyengir lalu dia menunjukkan parfum yang dijual di marketplace Lazatta itu, katanya dia mengincar parfum itu untuk pergi ke kondangan sahabatnya bulan depan.
Mendadak rasanya dejavu saat melihat parfum di layar ponsel, karena kejadiannya sama persis dengan waktu itu saat detik-detik perselingkuhan Mas Burhan dan Risma—sahabatku—terendus.
Hari itu aku hendak meminta uang belanja pada Mas Burhan yang tengah nongkrong sambil merokok di teras rumah. Namun aku malah mendapati suamiku itu tengah asyik dengan ponselnya dan mataku menangkap percakapan haram di sana. Sontak aku menegurnya, apalagi setelah membaca nama perempuan yang kukenal baik yang jadi lawan chatting suamiku.
“Itu Risma mana yang lagi chattingan sama kamu, Mas?” tanyaku spontan saat mengintip aktivitas Mas Burhan dengan ponselnya.
Saat itu Mas Burhan tengah chatting dengan seorang wanita yang bernama Risma di kontaknya, dan dengan jelas mataku menangkap nama itu.
Terlihat Mas Burhan mengirimkan gambar parfum wanita bermerk dalam chat-nya, disertai kalimat yang tidak pantas diucapkan pada wanita yang bukan istrinya. Tampaknya mereka sedang merencanakan pertemuan untuk kencan, sekaligus suamiku berniat membelikan parfum itu untuk Risma.
Sontak Mas Burhan menyembunyikan ponselnya di balik kaus yang dia kenakan setelah kupergoki, mematikan rokok di tangan kirinya, lalu bangkit dari duduknya. “Ngapain ngintip? Bukan urusan kamu! Sana!” usirnya kaget, namun seperti biasa dia sama sekali tidak merasa bersalah atas sikapnya.
Waktu itu usia kandunganku baru satu bulan—kurang lebih—dan sejak hamil, semakin kelihatan sikap Mas Burhan yang bosan padaku.
“Jawab dulu, itu Risma siapa? Kamu selingkuh ya!” kataku sambil menghalanginya yang hendak pergi.
“Udah sana, mending masak aja kamu di dapur!” suruhnya, mengalihkan topik.
Aku coba meraih ponsel di tangan kananya, meski gagal namun sekilas dapat kulihat foto profil wanita itu adalah Risma sahabat karibku.
Firasat seorang istri memang tidak pernah salah. Sudah sangat lama aku mencurigai mereka berdua dan hari itu kecurigaanku terbukti.
“Sudah berapa lama kamu berhubungan dengan dia, Mas?” tanyaku penuh amarah.
Bukannya menenangkan, Mas Burhan malah menjawab dengan lebih menyakitkan. “Lihat dirimu, ambil cermin sana! Pikirkan kenapa aku bisa berpaling,“ katanya sinis.Aku mengerti kemana arah pembicaraanya. “Tapi aku kan sedang mengandung anakmu, ini anak pertama kita. Makanku tidak selera, badanku sering terasa tidak enak. Kamu harusnya mengerti kondisiku, harusnya kamu mendukung dan membantuku … bukannya malah pelarian ke wanita lain.”Bodohnya aku waktu itu berharap Mas Burhan jadi suami yang baik, padahal jelas dia lelaki egois.“Di luar sana banyak wanita hamil, tapi mereka pandai merawat diri tidak seperti kamu yang banyak alasan,” jawabnya lagi.“Mereka bisa terawatt karena suaminya tanggungjawab lahir batin, Mas! Istrinya dijagain, disayangin, diperhatiin. Sedangkan aku? Kamu lihat dong sikapmu ke aku bagaimana, pagi-pagi baru aja aku bangun tidur belum sempat cuci muka udah nyuruh ke pasar lah, ke warung beli kopi dan rokokmu lah! Mending kamu ngasih uangnya cukup, ini buat rokokmu
“Kamu lupa itu kamar apa, Mas?” Aku balik bertanya sambil ketakutan. Mas Burhan menggelengkan kepalanya, terlihat dia keheranan. “Aku baru lihat ada kamar ini di rumah. Aneh, kamar kok kecil begini hanya cukup dimasuki satu orang. Apa fungsinya?” “Kamar itu sudah ada sejak rumah ini dibangun, Mas ....” Bingung menjelaskan, aku memilih pamit tidur dan membiarkan Mas Burhan dengan pertanyaannya sendiri. * Aku bangun kesiangan pagi ini, jam enam. Biasanya sebelum subuh aku sudah bangun. Namun karena malam tadi menemani Mas Burhan menghitung uang dan Syifa anteng terus sampai jam sebelas malam, akhirnya aku baru sempat tidur tengah malam dan baru bangun sekarang. Ditambah lagi, rasa penasaranku akan Mas Burhan yang bertanya tentang kamar pribadinya membuatku semakin sulit memejamkan mata. Setelah salat subuh yang kesiangan, aku langsung menuju ruang tengah karena mendengar suara ibu mertua bercakap dengan Mas Burhan. Ternyata mereka sedang mengerumuni Syifa—bayiku. “Syifa sayang ...
“Apa?” Ibu mertua heran.“Iya, Bu. Katanya biar aku gak dilirik lelaki lain.”“Lebay banget.” Terlihat ekspresi geli dari wajah ibu mertua. “Gak ada itu Burhan begitu sikapnya, so so romantis bicara manis. Yakin deh itu bukan anak ibu.”“Masalahnya, firasatku merasa dia beneran suamiku. Bisa jadi kan, selama menghilang dia terdampar di suatu tempat lalu karena keadaan dia berubah jadi pribadi yang baik. Feeling istri itu kan gak pernah salah, Bu.”Kucoba memberikan alasan yang masuk akal pada ibu mertua tentang alasan Mas Burhan bisa berubah, meskipun mau dipikir bolak-balik berapa kali pun rasanya tidak mungkin lelaki egois dan keras kepala seperti Mas Burhan bisa berubah.“Dalam waktu satu tahun? Burhan yang sekarang berbeda sekali, baik semua karakternya. Orang kalau berubah itu pasti minimal ada sedikit karakter sebelumnya yang masih nempel. Burhan anak ibu itu keras kepala, dinasehatin dibilangin sama orangtua gak pernah nurut, makanya ibu nikahkan sama kamu yang penyabar banget
“Burhan, kamar itu bersih dan tidak ada apa-apa selain kasur lantai,” kata ibu mertua. Dia memberanikan diri berbicara. “Kamu jangan bikin kami takut. Sikapmu aneh, yang gak ada kamu bilang ada. Sejak rumah ini dibangun, tidak ada makhluk seperti itu di sini. Ibu dari dulu sering bolak-balik nginap di sini, dan tidak pernah merasakan hal yang aneh-aneh. Baru kali ini aja ibu nemu ada yang aneh, yaitu kamu.”Aku menoleh ke arah ibu mertua. Dia berani juga bicara seperti itu. Dari dahulu, sikap dan gaya bicara ibu mertua terhadap Mas Burhan memang begitu, terkesan galak. Namun bukan berarti tidak sayang, mertuaku hanya tidak ingin menunjukkannya karena Mas Burhan anak yang manja. Takutnya, malah akan membuat Mas Burhan semakin manja.“Kalian tidak bisa melihatnya, tapi aku bisa,” bela Mas Burhan.“Lagian itu kan kamarmu, kamar pribadimu. Apa kamu tidak ingat dulu kamu yang ngotot minta dibuatkan kamar khusus untukmu. Meski ibu sudah melarang karena kurang cocok di dapur ada kamar kecil,
Hening dan tak ada jawaban kuterima, Mas Burhan mendadak memejamkan matanya begitu kutanya demikian. Rupanya dia ingin menghindar dari pertanyaanku itu.*“Katanya sudah bersih, tidak ada gangguan lagi. Nanti kita pakai untuk nyimpan peralatan dapur yang sudah numpuk di lemari piring aja.”Pagi hari aku ngobrol dengan ibu mertua di dapur sambil mencuci piring. Aku menyampaikan kembali apa yang disampaikan Mas Burhan tadi malam tentang kamar keramat yang sudah bersih itu.“Bagus lah, suka-suka dia mau ngomong apa,” responnya. Ibu mertua tengah mengiris bawang untuk masak pagi ini. “Nanti kita pakai lemari plastik yang nganggur di gudang aja untuk tempat nyimpan perabotnya. Ibu juga sekalian lagi pesan rak bumbu via online, harganya lebih murah ketimbang beli di toko. Lihat tuh, garam dan gula cuma kamu taruh begitu aja di plastiknya, enggak rapi.”Aku memang tidak suka yang terlalu mengoleksi banyak barang, bagiku cukup membeli barang yang dibutuhkan saja. Berbeda dengan ibu mertua, di
Mas Burhan langsung menarik tanganku, mencari tempat berteduh.Lagi-lagi, pertanyaanku tak mendapat jawaban. Jika bukan Mas Burhan yang menghindar, pasti alam semesta seakan tak mendukung.Akhirnya kami berteduh di depan sebuah toko yang tutup. Kutunggu barangkali Mas Burhan akan menjawab pertanyaanku namun rupanya dia malah memperhatikan sepasang suami istri yang tengah jalan kaki berdua di bawah rintik hujan sambil membawa gerobak sampah. Suaminya berjalan di depan menarik gerobak, istrinya di belakang membantu mendorong gerobak. Sepertinya mereka seorang pemulung.Mas Burhan kelihatannya sangat tertarik dengan pasangan suami-istri itu.“Mereka sangat bahagia,” gumamnya.“Kata siapa, Mas? Kita gak tahu yang sebenarnya,” responku.“Jangan salah, orang yang hidup sederhana seperti mereka ... juga bisa berbahagia sama dengan yang hidupnya penuh kemewahan. Lihat saja, mereka kompak saling mengisi satu sama lain.”“Tapi, aku lihat orang yang bergelimang kemewahan pun bahagia, Mas. Aku da
Cepat aku menghampiri mereka, sedangkan Mas Burhan masuk rumah lewat pintu belakang yang terhubung langsung ke dapur. Katanya risih kalau lewat pintu depan, ada lawan jenis yang tidak dikenalinya dan dia merasa tidak perlu bertemu.“Ada apa, Bu?” tanyaku begitu sampai di antara ibu mertua dan tamu perempuan yang tak kukenal siapa.Perempuan itu malah langsung pamit pulang begitu aku sampai. Sementara ibu mertua menunjukkan rasa tak nyaman, dia belum juga mau menjawab pertanyaanku dan malah menyuruhku cepat masuk ke rumah sambil tergesa.Ibu langsung mendorong tubuhku ke kamarnya, antara cemas dan panik itulah ekspresinya sedari tadi. “Burhan mana?” katanya.“Tadi dia masuk lewat pintu belakang,” jawabku sambil menaruh barang belanjaan di kasur. “Ada apa sih ini?”“Itu barusan dari orang pesisir—“Jawaban ibu mertua terpotong karena ada lagi tamu yang mengetuk pintu rumah. Sengaja kami mendiamkannya beberapa saat untuk memastikan apakah ketukan pintu itu berasal dari depan rumahku atau
“Enggak, Lita. Perempuan itu bilang jasad mereka sudah ditemukan. Ibu dengar, kok,” tegas ibu mertua.Mendadak suasana menjadi genting. Aku pun tidak bisa berpikir dengan jernih.“Kalau itu benar, terus yang tidur denganku beberapa malam ini siapa, Bu?”Tangisku pecah mengingat bagaimana rasanya tidur dengan sosok lain yang menyerupai suamiku. Seandainya kabar itu benar, jantungku pasti copot betulan.Kujatuhkan diri ke lantai, menggeser posisi duduk dekat dinding kamar lalu bersandar. Napas ini begitu terasa panas saat diembuskan, terlalu syok dan takut hingga dadaku sesak dan jantung pun amat kencang berdetak. Hal serupa dilakukan ibu mertua, bahkan dia tak hanya memikirkan Mas Burhan tapi juga pasti memikirkan anaknya yang lain. Dapat kumengerti betapa mumet dan kacaunya pikiran ibu mertua saat ini.“Lita, apa yang harus kita lakukan dengan kabar ini?” tanya ibu mertua pasrah, kami memang pasrah karena situasi ini sungguh mengejutkan.“Bu, aku tidak bisa berpikir. Tapi kalau memang