Share

Gemoy

Bukannya menenangkan, Mas Burhan malah menjawab dengan lebih menyakitkan. “Lihat dirimu, ambil cermin sana! Pikirkan kenapa aku bisa berpaling,“ katanya sinis.

Aku mengerti kemana arah pembicaraanya. “Tapi aku kan sedang mengandung anakmu, ini anak pertama kita. Makanku tidak selera, badanku sering terasa tidak enak. Kamu harusnya mengerti kondisiku, harusnya kamu mendukung dan membantuku … bukannya malah pelarian ke wanita lain.”

Bodohnya aku waktu itu berharap Mas Burhan jadi suami yang baik, padahal jelas dia lelaki egois.

“Di luar sana banyak wanita hamil, tapi mereka pandai merawat diri tidak seperti kamu yang banyak alasan,” jawabnya lagi.

“Mereka bisa terawatt karena suaminya tanggungjawab lahir batin, Mas! Istrinya dijagain, disayangin, diperhatiin. Sedangkan aku? Kamu lihat dong sikapmu ke aku bagaimana, pagi-pagi baru aja aku bangun tidur belum sempat cuci muka udah nyuruh ke pasar lah, ke warung beli kopi dan rokokmu lah! Mending kamu ngasih uangnya cukup, ini buat rokokmu aja masih kurang … mana mungkin aku bisa beli skincare?”

Karena merasa sakit hati dengan perkataan Mas Burhan waktu itu, aku membalasnya dengan kasar dan pedas. Aku sadar apa yang kulakukan itu salah, karena sebagai istri harusnya aku bersikap lemah lembut pada suami, tapi pada waktu itu hubunganku dengan Mas Burhan sangat buruk jadi yang ada hanya pertengkaran setiap harinya.

Mendengar balasanku, wajah Mas Burhan langsung memerah, mungkin dia malu atau bisa jadi marah. Langsung dinyalakannya sebatang rokok yang masih utuh, diisapnya dalam-dalam di depanku lalu berlalu pergi seakan pura-pura tak mendengar ungkapan hati yang baru saja kuledakkan.

Dan dia tidak pernah pulang lagi sejak saat itu. Itulah detik-detik Mas Burhan kabur dari rumah,

Kumandang azan asar menyadarkanku dari memori itu. Jika diingat-ingat lagi, rasanya tidak mungkin Mas Burhan yang sekarang adalah suamiku yang dahulu. Mustahil. Perbedaannya sangat jauh. Apa mungkin seseorang bisa berubah drastis menjadi sangat baik hanya dalam waktu satu tahun? Apalagi, Mas Burhan yang tenggelam di lautan sudah dinyatakan meninggal. Mengingat hal itu, aku merasa harus tetap waspada pada sosok yang tinggal bersamaku di rumah ini.

*

“Kamu belum ngantuk, sayang?” tanya Mas Burhan saat aku mengambil air minum ke dapur. Dia tengah menghitung uang hasil jualan pentol di meja makan. Tumben sekali Mas Burhan baru pulang jam segini, biasanya jam lima sore dia sudah pulang. “Hampir jam sembilan, jangan tidur terlalu malam.”

“Aku belum tidur karena Syifa juga masih anteng,” jawabku.

Mas Burhan menyisihkan uang yang tengah dihitungnya lalu menyerahkan padaku, “ini uang belanjamu. Hari ini sengaja Mas jual pentol dua kali lipat dari biasanya. Di desa sebelah ada hajatan, jadi Mas stand by di sana sampai sore lalu keliling ke rute biasa.”

Jumlahnya seratus lima puluh ribu. Lebih dari biasanya, ini pasti untung bersihnya. “Kan sekarang semua kebutuhan kamu yang pesanin pakai delivery order, Mas? Kok uangnya dikasih ke aku?”

“Siapa bilang itu buat kebutuhan rumahtangga? Aku kan bilang buat belanjamu, ya beliin barang-barang yang kamu mau lah,” jawabnya. “Jangan mau kalah sama ibu, dia belanja online terus. Kamu juga beli daster baru, gih! Beli skincare atau apa terserah kamu, yang penting kamu bahagia.”

“Hah? Aku gak salah dengar, Mas?” tanyaku bengong.

Seumur menikah, baru kali ini aku diperhatikan oleh suami urusan nafkah pribadi tanpa diminta. Rasanya yang di hadapanku sekarang ini bukan Mas Burhan, meski fisiknya seratus persen iya.

“Nggak, lah. Kan sudah kubilang, aku akan usahakan agar kamu betah di rumah. Habiskan saja, nanti kukasih lagi. Aku kerja kan untuk anak istri.”

“Mas … ra—rasanya kok aku lagi ada di dunia fiksi ya punya suami sebaik kamu begini, baik banget malah.” Bukannya senang, aku malah merasa takut dengan kebaikan suamiku.

“Ini dunia nyata, lah. Coba sini kalau gak percaya, biar kucubit pipimu,” katanya seraya mencubit pipiku. “Tuh kan, kena … gemoy banget istriku ini. Ini tandanya kamu memang ada di dunia nyata.”

Dih, sikap Mas Burhan semakin meresahkan. Aku bingung harus takut atau senang, bikin merinding namun juga ada perasaan senang karena diperlakukan seperti barusan.

Kusimpan uang pemberian Mas Burhan ke dalam saku daster, lalu duduk di kursi sebelahnya. Tujuanku untuk menemani sekaligus memperhatikan Mas Burhan, menyelidiki sikapnya yang ganjil.

“Kenapa lihatin aku seperti itu?” tanyanya, menyadari bahwa aku diam-diam mencuri pandang dan memperhatikan gerak-geriknya.

Mas Burhan tampak teliti menghitung uang, dia fokus namun masih peka terhadap pergerakanku. Pembawaannya juga sangat tenang. Berbeda dengan Mas Burhan yang dulu, boros dan tidak sabaran jika harus hitung-hitungan uang. Dan yang paling mengherankan, sejak pulang kembali aku tidak pernah melihatnya merokok.

“Gak apa-apa, Mas. Oh iya, yang tadi dikasih ke aku itu untung bersihnya?” 

“Iya, memangnya kenapa? Kurang?”

“Gak juga. Banyak yang kamu kasih ke aku, apa uang rokokmu aman?”

“Sejak kapan aku merokok? Aku bukan perokok. Mending uangnya buat anak istri atau beli yang lain.”

Aku diam beberapa saat, merasakan bulu kudukku merinding. Dia bilang bukan perokok, apa dia lupa dulu uang jatah beras sering dimintanya untuk dibelikan rokok? Secandu itu Mas Burhan pada rokok, bahkan lebih baik tidak makan nasi daripada tidak merokok.

“Tapi biasanya kamu suka merokok, Mas. Kamu lupa, ya?” tanyaku hati-hati.

Mas Burhan mengernyitkan dahinya. “Aku tidak pernah merokok.”

Mungkinkah Mas Burhan lupa ingatan atau kepalanya terbentur sesuatu saat tenggelam di lautan, sehingga membuatnya amnesia dan berubah seperti sekarang? 

“Memangnya kenapa? Kok ngotot banget nuduh aku ini perokok?”

Ingin kujawab bahwa Mas Burhan yang kukenal dulu adalah seorang perokok berat, namun aku tak berani mengatakannya. Mulutku mendadak kelu untuk berbicara lagi. Bahkan banyak pertanyaan yang akhirnya hanya kusimpan sendiri meskipun ini adalah waktu yang tepat untuk menanyakannya.

Semua uang sudah dirapikan dan dimasukkan ke dalam dompet. Mas Burhan mengusap kepalaku dan menyuruhku tidur lebih dulu karena dia harus membersihkan badannya. 

Saat suamiku itu hendak menuju kamar mandi, kulihat dia malah berhenti di depan ‘kamar keramat’ dan menoleh padaku dengan wajah heran.

“Ini kamar apa?” Dia bertanya.

Seketika kakiku gemetaran namun sebisa mungkin kutahan. Jika dia Mas Burhan yang asli, kenapa dia menanyakan kamar itu? Harusnya dia tau betul kamar pribadinya yang tak boleh dimasuki orang lain itu.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status