Share

Delivery Order

“Mas, ibu pingsan, Mas!”

Aku panik dan langsung menyuruh Mas Burhan membawa ibu ke kamarnya. Kugunakan kesempatan ini untuk meminta Mas Burhan mengurungkan niatnya menyuruh ibu mertua pulang, aku masih ingin ditemani karena sosok suamiku masih jadi teka-teki.

“Kasihan ibu, Mas. Lebih baik kita izinkan ibu tinggal di sini beberapa bulan lagi, mungkin dia masih kangen cucunya dan gak mau jauh, makanya pingsan.”

Saat tiba di kamar kucoba meyakinkan suamiku, padahal aku tahu ibu mertua pingsan karena dia terlalu merasa aneh dengan perubahan Mas Burhan, apalagi kata-katanya yang terakhir itu memang lebay.

“Bukan, aku tahu ibu pingsan karena takut padaku,” jawab Mas Burhan, di luar dugaanku. Kukira dia tidak menyadari itu.

“Ya apapun alasannya, tolong izinkan ibu tinggal di sini ya.”

Mas Burhan akhirnya menyetujui permintaanku lalu dia berangkat jualan.

*

Menjelang duhur aku menyelinap ke kamar belakang tempat Mas Burhan biasa menghabiskan waktu sendirian jika sedang mencari ketenangan. Pada saat membangun rumah ini, Mas Burhan minta dibuatkan satu kamar khusus untuknya yang letaknya di dapur. Sebuah kamar kecil yang hanya boleh dimasuki olehnya.

Mertuaku cukup berada, sehingga kami langsung dibuatkan rumah setelah menikah. Meski bukan rumah besar, namun bisa untuk berteduh.

Pernah ada selentingan kabar yang sampai ke telingaku, bahwa Mas Burhan mempelajari ilmu tertentu sehingga dia minta dibuatkan kamar khusus ini untuk tempat memperdalam ilmunya. Namun aku tidak percaya. Suamiku bukan orang yang percaya takhayul atau hal mistis.

Kamar ini gelap, sengaja tidak dipasangi lampu. Entahlah kenapa. Apalagi tidak dipasang jendela, hanya satu kotak glassblock terpasang di dinding yang menghadap halaman belakang. Dari situlah cahaya matahari masuk sebagai satu-satunya sumber penerangan. Dan hanya satu buah kasur lantai kecil yang tergeletak di lantai, tidak ada apa-apa lagi selain itu.

Anehnya, kamar ini bersih, licin, dan wangi padahal aku sama sekali tidak pernah membersihkannya, Mas Burhan pun tidak mungkin melakukannya karena dia tidak pernah memegang sapu maupun lap pel. Auranya bikin merinding meski tempatnya bersih dan wangi.

Apa yang suamiku lakukan di kamar ini?

Mataku mengitari ruangan, mencari barangkali ada satu atau dua hal yang bisa menjadi petunjuk akan teka-teki Mas Burhan. Jujur, aku takut ketahuan memasuki kamar ini sampai-sampai kakiku gemetaran saat menapaki lantai.

Tak ada satu pun yang kutemukan. Aku mengambil tangga portabel dari gudang untuk naik meraba-raba seluruh bagian dinding kamar, barangkali ada satu celah yang tersembunyi. Begitupun dengan lantai, aku meraba seluruh bagian namun tak ada celah rahasia yang kutemukan. Lantas kenapa kamar ini begitu misterius dan sangat sakral bagi Mas Burhan?

“Lita?”

Aku hampir terpeleset saat mendengar suara Mas Burhan memanggil namaku, mendadak lantai jadi licin. Tak lama pintu kamar dibuka dan betapa terkejutnya aku karena yang datang ternyata ibu mertua, bukan Mas Burhan. Padahal jelas-jelas tadi yang memanggilku adalah suara Mas Burhan.

“Sedang apa kamu, cepat keluar!” katanya dengan buru-buru serta ekspresi cemas. Kali ini yang kudengar adalah suara ibu mertua yang sebenarnya.

“Berani banget kamu masak kamar ini, gimana kalau Burhan tahu?”

“Maaf, Bu. Aku penasaran dengan kamar ini, barangkali aja ada jawaban atas teka-teki Mas Burhan di sini.”

“Aduh, ya jangan kamar ini juga, kamu nyari gara-gara aja! Udah cepet keluarin itu tangganya, tutup lagi pintunya! Burhan bisa marah besar kalau tahu ada yang berani masuk!”

Ibu mertua jadi ikut marah padaku. Aku sedikit curiga juga mungkinkah dia tahu seluk-beluk atau alasan kenapa kamar ini dibuat?

“Kenapa kita gak boleh masuk kamar ini, Bu?” tanyaku setelah menyimpan kembali tangga ke gudang.

“Ibu juga gak tahu, tapi jangan coba-coba masuk kamar itu. Ibu tahu betul Burhan, bagaimana ngamuknya dia kalau larangannya dilanggar!”

“Dan anehnya, kamar itu bersih, rapi, wangi sekali. Padahal gak ada yang bersihkan. Apalagi Mas Burhan juga tidak pernah masuk kamar itu lagi sejak dia kabur dari rumah, dan setelah dia pulang seminggu yang lalu pun dia tidak masuk kamar itu. Meskipun begitu, auranya tetep serem. Di dalam sana bikin merinding, tadi waktu Ibu manggil namaku malah kukira Mas Burhan, karena yang terdengar ke dalam itu jelas sekali suaranya Mas Burhan.”

“Makanya, ibu bilang juga apa ... jangan berani masuk ke sana! Itu kamar keramat!” balas ibu mertua cepat sambil ketakutan.

“Keramat?” tanyaku penasaran. “Apa benar yang orang-orang bilang kalau Mas Burhan itu mendalami ilmu tertentu, semisal ilmu hitam?”

“Ibu gak tahu, tapi menurut ibu gak mungkin Burhan melakukannya. Dia tidak percaya yang begituan. Yang ibu maksud keramat itu ya itu kamar cuma milik Burhan, ibu ingat sekali dulu waktu dia minta dibuatkan kamar itu, dia ngotot pengen kamar khusus,” jawabnya. “Makanya ibu bilang itu kamar keramat!”

Azan duhur berkumandang, cepat kuajak ibu menjauh dari dapur karena di waktu ini biasanya Mas Burhan akan pulang dulu untuk istirahat, dan pasti dia akan masuk lewat pintu dapur.

Kudengar suara perempuan mengucap salam dari pintu depan rumah, aku pun langsung menghampiri.

“Neng Lita ... ini belanjaannya!” ucapnya, dari suaranya itu pasti Bi Dwi—penjual bumbu dapur dan sayuran di pasar. Dia juga tetanggaku.

Cepat aku menghampiri, sambil membawa rasa penasaran di hati. Hari ini aku tidak ke pasar dan bahkan lupa kalau harus membeli bumbu pentol yang sudah habis, kenapa tiba-tiba Bi Dwi datang membawa belanjaan seolah ada yang memesan?

“Itu apa?” tanyaku begitu bertatap muka dengan Bi Dwi.

“Biasa,” jawabnya sambil menyerahkan satu keresek besar warna hitam. Kulihat isinya ada bawang merah, bawang putih, lada, cabai rawit, dan bumbu dapur lainnya. Ada juga beberapa sayuran dan daging ayam. Ini adalah bahan dan bumbu membuat pentol untuk jualan suamiku.

“Kok diantarkan, aku kan gak pesan? Malah, tadinya aku lupa dan mau belanja siang ini aja ke pasar. Eh, tahunya malah dianterin,” kataku setelah mengecek isi keresek.

“Burhan yang pesan, tadi pagi sebelum dia berangkat jualan dia mampir ke jongkoku di pasar, minta diantar pesanannya siang ini. Katanya biar kamu gak usah keluar rumah, jadi mulai sekarang semua kebutuhan jualannya akan diantar ke rumah alias delivery order,” jelas Bi Dwi.

“Hah?” Aku kurang paham dengan maksudnya.

“Saya gak boleh keluar rumah? Kata Mas Burhan?” tanyaku memastikan.

Bi Dwi mengangguk lalu menyerahkan nota belanjaan. “Ini notanya, sudah dibayar lunas sama Burhan, termasuk ongkos kirimnya.”

“Hah? Ada ongkos kirimnya? Kan deket dari sana ke sini,” protesku sambil menunjuk ke arah rumah Bi Dwi lalu ke rumahku yang jaraknya hanya tujuh langkah.

“Ya ada dong, namanya juga delivery order. Aku kan ngambil barangnya dari pasar, sampai ke sini pakai bensin. Lagian, kalau jalan kaki pun pakai tenaga, kan,” jawabnya lalu pamit pergi.

Haduh, ada-ada aja. Kalau aku gak boleh belanja ke pasar dan semua kebutuhan diantar ke rumah, harus pakai ongkos kirim nanti boros jatuhnya. Padahal untung jualan pentol ojeg tidak seberapa banyaknya.

Mas Burhan kenapa semakin aneh. Dahulu sebelum menghilang, dia yang selalu memaksaku belanja ini-itu ke pasar dan mengerjakan semuanya sendiri, dia hanya tinggal berangkat jualan saja. Tapi kenapa sekarang berbanding terbalik? Jangan-jangan benar kecurigaan ibu mertua bahwa dia bukan Mas Burhan yang asli?

Semakin pusing dengan teka-teki Mas Burhan, aku pun lebih memilih tak memikirkannya dan langsung ke dapur untuk menyimpan belanjaan. Tak kusangka rupanya Mas Burhan sudah pulang dan tengah asyik membuat saus pentol.

“Sausnya habis, ini Mas lagi bikin lagi,” katanya tanpa kutanya sambil melihat padaku. Tatapan matanya sesejuk salju, seteduh bayangan pohon beringin yang rindang.

Aku jadi terpana. “Iya, Mas,” jawabku bagai terhipnotis.

“Bi Dwi sudah antarkan belanjaan pesanan Mas? Taruh cepat jangan dipegangi terus, itu berat, nanti tanganmu pegal. Mulai sekarang, kamu tidak usah repot-repot belanja, semua akan pakai sistem delivery order. Mas gak mau kamu keluar rumah dan dilihat lelaki lain!” katanya dengan begitu yakin dan penuh perhatian.

“Hah?” Rasanya aku tak percaya dengan yang barusan kudengar. Seingatku, dulu Mas Burhan sangat cuek dan bahkan tidak peduli aku mau pergi ke mana dan pulang jam berapa, tapi sekarang .... “Ke—kenapa?”

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status