Seli yang berdiri tepat di sisi Esme sontak gusar. Matanya menyalang, pipinya memerah menahan amarah. Ia melangkah maju, berdiri di hadapan teman-teman yang masih terkejut oleh ucapan Wina.“Jangan percaya pada omong kosong Wina!” serunya lantang, membuat kerumunan itu terdiam sejenak."Dia hanya iri, karena nggak bisa menandingi Esme. Aku dan Sela sudah bertemu langsung dengan suami Esme. Dia sangat sehat, bukan seperti yang dituduhkan Wina.”Beberapa pasang mata masih dipenuhi keraguan. Seolah ingin menghapus semua tanda tanya, Seli merogoh ponselnya dengan cepat, lalu membuka galeri. “Lihat ini!” katanya sambil memperlihatkan sebuah foto selfie, di mana ia dan Sela berfoto bersama Reinan. Kerumunan langsung terjadi. Tatapan kagum bermunculan, bahkan terdengar desahan kecil dari beberapa wanita. Mereka semua mengakui bahwa suami Esme sangat tampan.Sela, yang sedari tadi menunggu momen itu, langsung menambahkan dengan nada penuh kemenangan. “Benar kan? Suami Esme bukan hanya tamp
Esme terduduk di sofa. Tanpa sadar, jemarinya meremas ponsel Reinan yang masih ia genggam. Daripada terus-menerus dirundung gelisah, Esme memutuskan untuk menghubungi Reinan terlebih dahulu. Paling tidak, dia bisa memastikan Reinan sekarang berada di mana.Dengan tangan bergetar, Esme pun menekan nomor miliknya sendiri. Harapannya sederhana, jika Reinan sudah mengambil ponselnya, maka pria itu akan menjawab.Jantung Esme berdegup kencang menanti nada sambung. Namun yang terdengar hanya suara mesin operator, dingin dan tak berperasaan. Nomor yang ia tuju tidak aktif.Esme menghela napas panjang, berpikir mungkin baterai ponselnya telah habis. Tetapi tetap saja, bayangan Reinan yang seharusnya pulang, terus mengganggu.Tak ingin menyerah pada kebimbangan, Esme mencoba cara lain. Matanya menatap telepon yang terletak di sudut ruangan. Dengan langkah ragu, Esme bangkit lalu meraih gagang telepon, menekan nomor paviliun yang begitu ia kenal. Harapannya kembali menggantung, meski hatinya
Setelah perut mereka kenyang, Sela dan Seli mengajak Esme kembali ke mobil. Mereka melirik jam yang sudah menunjukkan pukul dua siang.“Esme, kami harus pulang untuk memilih gaun dan bersiap," kata Sela sambil menyalakan mobil. “Siapa tahu nanti ketemu Kak Virgo atau Kak Brandon. Dulu mereka idola kami di sekolah. Jangan heran kalau nanti kami sibuk mendekati mereka."Seli tergelak, matanya berbinar penuh usil. "Lalu bagaimana denganmu, Esme? Ikut kami ke rumah, atau pulang ke apartemen menunggu Reinan?”Esme menunduk sejenak, menimbang. Namun kemudian, ia mengangkat wajahnya dengan mantap."Aku ikut kalian dulu. Aku nggak punya alat rias sama sekali, semuanya tertinggal di paviliun. Kalau boleh, aku pinjam milik kalian.”Sela terkekeh puas. “Tentu saja boleh! Tapi, kenapa nggak ke salon saja? Bukankah lebih mudah?”Esme sontak menggeleng cepat. “Aku nggak mau membuang uang Reinan untuk hal yang bisa kulakukan sendiri. Selama aku masih bisa merias dengan tanganku, aku akan kerjakan i
Meski hatinya masih diliputi keraguan, akhirnya Esme mengikuti dorongan Sela dan Seli. Dengan setengah pasrah, ia membayar gaun beserta sepasang sepatu hak tinggi berwarna senada. Entah mengapa gaun indah itu seakan menjadi pertaruhan harga diri sekaligus cintanya.Setelah menyelesaikan pembayaran, Sela menepuk bahu Esme. “Oke, misi pertama berhasil. Sekarang waktunya isi perut. Aku tahu tempat makan enak yang membuat stamina lebih kuat.”Seli langsung menyambung dengan mata berbinar."Ya, kita pergi makan sup iga sapi dan sate daging domba. Katanya itu bisa meningkatkan stamina, dan membuat badan lebih bertenaga. Cocok untukmu, Esme, supaya kamu kuat menghadapi dua musuh besar, Wina dan Isabella.”Esme hanya bisa pasrah pada kemauan Sela dan Seli. Mereka pun meluncur menuju sebuah rumah makan bergaya modern rustic, yang sebagian pengunjungnya adalah anak muda. Mereka bertiga duduk di sudut ruangan. Seli dengan antusias memesan tiga porsi sup iga. Ditambah satu porsi sate domba ped
Di apartemen, ponsel Reinan yang masih berada di tangan Esme bergetar pelan. Layar menyala menampilkan nama Sela. Senyum Esme mengembang. Dunia yang tadinya sepi seketika ramai oleh kehadiran teman yang paling ia rindukan.Dengan ceria ia menyambungkan panggilan. “Sela, halo.”Suara riang Sela langsung terdengar.“Esme, cepat turun ke lobi. Aku dan Seli sudah di sini. Jangan lama-lama, nanti kami dikira sales panci keliling yang salah alamat masuk apartemen mewah. Security dari tadi melirik kami terus.”Esme terkekeh, bayangan dua sahabat kembarnya yang selalu jenaka melintas jelas di kepalanya. “Mungkin security itu bukan curiga, tapi malah terpikat kecantikan kalian. Jangan-jangan dia ingin minta nomor telepon," canda Esme.Tawa di ujung sana terdengar berderai. Kali ini suara Seli menyahut cepat. “Sekarang kamu mulai pintar menggoda kami, ya? Sepertinya efek semalam bersama Reinan.”Pipi Esme seketika merona, ia menggigit bibir bawahnya malu-malu. "Duduk saja di lobi. Aku seger
Melihat Isabella sudah bertindak di luar batas, Reinan seketika maju. Ia meraih pergelangan tangan Isabella, menahannya agar tidak melucuti seluruh pakaian yang tersisa.“Jangan lakukan ini, Bella. Membuka pakaian di hadapanku itu nggak pantas,” cegah Reinan.“Kamu sedang sakit, tubuhmu lemah. Seharusnya kamu beristirahat, bukan melakukan hal memalukan seperti ini.”Kata-kata itu bagaikan cambuk yang memecah udara di antara mereka.Isabella terhuyung mundur, menatap Reinan dengan napas terengah. “Jadi, begitu pendapatmu tentang aku,” bisiknya getir, hampir tak terdengar. “Sekarang kamu menganggapku sebagai gadis yang memalukan?”Suara Isabella bergetar, disertai air mata yang mengalir deras membasahi pipi pucatnya.“Rein, kamu benar-benar jahat. Kamu bukan lagi Reinan yang dulu kukenal… yang selalu menjagaku, yang selalu menginginkan aku."Reinan menahan napas. Hatinya terusik melihat luka yang ia tinggalkan untuk Isabella, meski ia tahu ia harus tetap teguh demi Esme. Detik selanju