Sebelum pukul tujuh pagi, Esme sudah keluar dari apartemen. Wajahnya yang berseri dihiasi senyum tipis, meski ada bayangan kelelahan yang masih tersisa dari malam penuh cinta bersama Reinan. Kailash sudah menunggu di depan, siap mengantarnya ke kantor. Sedangkan Reinan tidak bisa menemani, karena harus mendampingi Mr. Hayato menuju bandara. Kemudian, ia akan berkeliling untuk melakukan inspeksi ke beberapa outlet.Perjalanan menuju kantor terasa tenang. Dari balik jendela mobil, Esme menatap cahaya matahari yang menimpa gedung-gedung tinggi, menyalakan semangatnya untuk bekerja. Ia merasa ada kebanggaan tersendiri bisa menapakkan kaki di dunia yang penuh kreativitas, dunia parfum yang belakangan menjadi bagian dari jiwanya.Begitu tiba, Esme langsung menuju lantai tiga. Tangannya menggenggam kunci ruangan divisi perfumer yang sudah dipercayakan padanya. Bunyi kunci berputar di pintu, menjadi penanda dimulainya hari baru. Dengan sigap, Esme segera menyalakan lampu dan pendingin ruang
Meja makan masih berhiaskan piring kecil dengan taburan stroberi dan cupcake yang ditata rapi. Namun, yang dinanti Esme belum kunjung tiba. Tanpa sadar, gadis itu akhirnya tertidur di atas lengan karena lelah menunggu.Sebuah sentuhan hangat tiba-tiba mengusik pipi Esme. Lalu, kecupan ringan menyentuh kulitnya, begitu nyata hingga Esme tersentak bangun. Kelopak matanya bergetar terbuka, mendapati sepasang mata abu-abu yang menatap begitu dekat, penuh kelembutan.Reinan tersenyum, bibirnya melengkung menawan. “Kenapa kamu tidur di sini, hem? Bukannya lebih nyaman di kamar?”“Aku menunggumu. Kita belum makan cupcake berdua,” jawab Esme lirih.Tatapan Reinan bergeser ke meja yang telah dihias penuh kesungguhan. Ada piring cantik, hiasan stroberi, serta lilin aroma lavender. Senyumnya kian melebar. “Kalau begitu, aku mandi sebentar. Jangan ke mana-mana.”Tanpa menunda lagi, Reinan melangkah cepat menuju kamar mandi.Sementara air bergemericik di balik pintu, Esme menyalakan lilin di meja
Langkah tergesa Wina terdengar bergema di ruang tamu. Baru saja ia meraih gagang pintu, suara ibunya terdengar nyaring dari belakang.“Wina, jangan keluar rumah dulu. Migrain papamu kambuh sejak pagi. Kalau tiba-tiba dia pingsan, siapa yang bisa menolong Mama?” Wina berhenti sejenak. Senyum sinis menyelip di bibirnya. “Paling sakitnya Papa itu karena pusing memikirkan utang. Perusahaan rugi, saham jatuh... bukankah sudah jelas? Kepala siapapun pasti migrain kalau isi dompetnya kosong.”Nyonya Belinda terbelalak, wajahnya memucat. “Wina, apa maksudmu bicara begitu?”Alih-alih melunak, Wina justru mendesah pelan, nada bicaranya setengah mengejek. “Mama tunggu saja. Kalau aku pulang dengan membawa segepok uang, aku yakin migrain Papa akan sembuh seketika. Bukankah uang selalu jadi obat paling mujarab?”Nyonya Belinda membeku di tempat, hanya bisa memandang putrinya yang semakin hari semakin sulit diatur.Pintu berat itu menutup di belakang Wina, menyisakan sang ibu yang masih termangu
Ketika Esme keluar dari lobi, pandangannya langsung menangkap keberadaan Kailash di balik kemudi. Wajah Esme berbinar, kakinya bergegas menuju kendaraan mewah itu.Begitu pintu terbuka, Kailash menyambut ramah. “Selamat malam, Nyonya Muda,” ucapnya, sebelum menyalakan mesin.Esme pun duduk tenang, menyangka perjalanan mereka akan langsung menuju apartemen. Namun, rasa heran muncul saat mobil berbelok ke arah jalan kota yang ramai. Berhenti di depan toko kue yang menjadi langganan para sosialita.Kening Esme berkerut. “Paman Kailash, kenapa kita berhenti di sini?” tanya Esme, penasaran.Kailash menoleh sebentar, bibirnya membentuk senyum kecil. “Ada pesanan Tuan Muda untuk Nyonya. Mohon tunggu di mobil.”Hati Esme berdegup aneh. Ia ingin bertanya lebih jauh, tetapi Kailash sudah terlanjur keluar.Pria itu berjalan masuk ke toko kue yang diterangi cahaya keemasan. Beberapa menit kemudian ia kembali, membawa sebuah kotak mika berhiaskan pita satin.Kotak itu transparan, menampilkan dua c
Setelah Reinan dan Mr. Hayato pergi meninggalkan ruangan, atmosfer laboratorium kembali normal. Denting botol kaca, bunyi pena yang menoreh kertas laporan, serta suara halus mesin pencampur mendominasi ruangan. Para perfumer sibuk melanjutkan pekerjaan masing-masing, tak lagi mengingat momen yang barusan terjadi.Esme berusaha menenangkan diri dari sisa degup yang diciptakan Reinan. Di hadapannya, tabung berisi cairan beraroma bunga segar menyeruak di udara. Itu adalah formula pendamping untuk edisi Hari Ibu, yang telah dinyatakan layak oleh Violin.Disti, yang sejak tadi memperhatikan, berjalan mendekati Esme. Matanya melirik ke arah larutan yang memantulkan cahaya keemasan. “Apakah formulanya sudah selesai?”Esme mengangguk. “Sudah. Tinggal menunggu instruksi Bu Violin untuk penyimpanan.”Alis Disti terangkat, pura-pura penasaran. “Lalu, akan disimpan di mana? Apakah di Secret Room?”“Aku tidak tahu pasti,” jawab Esme.Disti mengangguk kecil seraya mengulas senyum tipis. Namun, sor
Suasana laboratorium sore itu mendadak berbeda, begitu Reinan berdiri di ambang pintu. Tubuhnya yang tinggi tegap memancarkan kharisma, membuat setiap pasang mata menunduk penuh hormat. Di samping Reinan, Mr. Hayato terlihat begitu antusias. Ia menatap barisan meja kerja, botol kaca berisi cairan warna-warni, dan aroma samar dari bunga serta rempah yang memenuhi udara.“Inilah salah satu pusat kehidupan Gala Corp,” tukas Reinan mantap, suaranya jelas terdengar ke seluruh ruangan. “Tempat para perfumer terbaik kami menciptakan keharuman yang dipercaya pelanggan dari berbagai negara.”Mr. Hayato mengangguk, wajahnya menampakkan kekaguman yang tulus. “Luar biasa. Saya kagum melihat bagaimana semua ini dikerjakan. Bolehkah saya berkenalan dengan para perfumer?”Violin yang sejak tadi berdiri dengan sikap waspada, bergegas menghampiri sang tamu kehormatan. Senyumnya terjaga, penuh profesionalisme. “Tentu saja, Mr. Hayato. Mari saya antar.”Pria Jepang itu mengangguk senang, sebelum berja