Mendengar nama ‘Isabella’, Esme sontak tertegun. Tangannya refleks menyentuh alat bantu dengar, mencoba memastikan bahwa telinganya tidak sedang mempermainkan pendengaran. Namun, gema nama itu terpatri begitu jelas.Sekejap ingatan Esme melayang pada sepasang cangkir keramik di apartemen Reinan. Salah satunya tercetak nama ‘Bella’ dengan ukiran halus, seolah dibuat untuk seseorang yang sangat istimewa.Hingga detik ini, Esme tidak pernah menanyakan siapa pemilik nama tersebut kepada Reinan. Namun, potongan-potongan yang semula tak berarti, kini sudah terangkai menjadi sebuah kepingan utuh.Hati Esme mendadak berdenyut perih. Ada rasa yang tak ia pahami—campuran getir, penasaran, dan tak rela. Ia bukan tipe wanita yang mudah cemburu, apalagi pada masa lalu seseorang. Hanya saja, perasaannya terhadap Isabella sangat berbeda. Esme yakin, Reinan dan gadis itu pernah memiliki kisah yang lebih dari sekadar teman. Isabella telah mengisi bagian hidup Reinan yang tak pernah ia sentuh. Dan dug
Di paviliun mansion, Esme duduk termenung di tepi ranjang. Layar televisi masih menyala, tetapi pandangannya justru tertuju pada gorden yang bergoyang tertiup angin.Entah mengapa di dalam benaknya masih terngiang percakapan terakhir dengan Reinan—tentang keinginan sang suami untuk memiliki bayi. Sejak itu, hati Esme tak pernah benar-benar tenang. Bayangan Reinan yang begitu yakin, begitu serius saat mengatakan hal itu, terus menghantui. Bagaimana jika malam ini Reinan kembali membahasnya? Atau lebih buruk lagi, menagih janji yang belum mampu ia berikan?Jantung Esme berdetak tak beraturan, naik turun seperti laju roller coaster,Ketika bunyi ketukan pelan terdengar di pintu, Esme hampir melompat dari duduknya. Ia berpikir bahwa Reinan sudah berdiri di ambang. Namun, saat pintu dibuka, sosok yang muncul bukan suaminya, melainkan Kailash, pelayan setia Reinan.“Nyonya Muda,” sapa Kailash dengan nada hormat. “Tuan Muda sudah menunggu di balkon. Beliau ingin menggambar bersama.”Esme me
Waktu yang dinanti akhirnya tiba.Ruang rapat utama di lantai tertinggi kantor pusat Gala Corp dipenuhi oleh atmosfer tegang. Sebuah meja bundar yang luas membentang di tengah ruangan, dikelilingi oleh kursi-kursi eksekutif berlapis kulit hitam. Aroma parfum floral, yang menjadi salah satu produk unggulan perusahaan, menyelimuti seisi ruangan. Namun, tidak cukup kuat untuk menutupi kecemasan di wajah para manajer dan anggota dewan direksi.Beberapa dari mereka tampak saling berbisik. Ada yang menggenggam pulpen terlalu erat, ada pula yang menunduk menatap layar ponsel, memantau grafik saham yang terus meluncur menukik tajam. Dirga, mantan asisten pribadi Reinan, juga duduk di sana dengan eskpresi datar. Matanya menatap ke depan penuh kewaspadaan. Tak ada yang tahu, bahwa ia sedang mengamati gerak-gerik setiap orang dan mencatat setiap kalimat dengan teliti. Ketika pintu besar berlapis kayu mahoni terbuka, ruangan itu menjadi hening. Langkah Nyonya Tania terdengar mantap, bergaung d
Suasana kantor Gala Corp siang itu diliputi ketegangan yang terasa dari setiap sudut. Beberapa karyawan memilih menunduk dan membisu, membiarkan bisik-bisik kegelisahan tertahan di dalam hati. Di lantai paling atas, tirai ruang Direktur Marketing tertutup rapat. Nelson duduk terpaku di balik meja panjang dengan wajah muram. Suasana ruang kerjanya begitu sunyi, hanya deru napasnya yang terdengar berat di antara dinding kaca. Laporan-laporan berserakan di meja, tak satu pun disentuh. Wajah Nelson memerah, campuran antara malu dan geram. Tangannya mengepal di atas tumpukan dokumen yang seharusnya ia tandatangani sejak pagi. Sesekali, Nelson menarik napas dalam-dalam dan mengembuskannya kasar, seolah ingin mengusir amarah yang telah naik ke ubun-ubun. Akan tetapi, satu kenyataan itu tak kunjung enyah dari pikiran Nelson: wajahnya, suaranya, tubuhnya, tersebar luas di internet. Ia telah menjadi bahan tontonan seluruh negeri. Viral, dengan label “pengkhianat rumah tangga”.Mendadak, not
Sorot mata Reinan tak kunjung beralih dari wajah Esme. Tatapannya penuh harap, sekaligus juga mengandung kesungguhan yang tak mudah diterjemahkan. "Kita harus melakukannya, supaya aku nggak terus-terusan dikurung di kamar ini,” lanjut Reinan kembali membujuk Esme. “Mama nggak akan curiga kalau aku sibuk mengurus bayi."Esme menelan ludah, bibirnya ragu-ragu untuk terbuka. Jarak mereka yang tak sampai sejengkal, membuat Esme semakin salah tingkah.Ia berusaha keras merangkai kata yang masuk akal untuk menolak permintaan Reinan. Namun, ia tidak kunjung menemukan jalan keluar.Mana mungkin, ia bisa melahirkan bayi sementara Nyonya Tania berusaha menjauhkannya dari Reinan. Selain itu, rasa bersalah, takut, dan trauma masa lalu membuat Esme belum mampu menjalankan kewajiban sebagai istri. Reinan masih menunggu. Matanya jernih dan terbuka, seperti halaman kosong yang menanti ditulisi dengan kejujuran."A-aku nggak tahu," ucap Esme terbata. "Aku belum pernah mencobanya... jadi, aku nggak b
Ketika pintu kamar Reinan terbuka, harum kayu cendana dari diffuser langsung menyapa indra penciuman Esme. Matanya menangkap sosok Reinan yang sedang duduk di atas karpet bulu, menonton film kartun dengan bibir mengerucut. Di sampingnya, terdapat semangkuk camilan yang tak tersentuh.Namun begitu Reinan melihat Esme berdiri di ambang pintu, wajah itu seketika berubah. Dengan senyum lebar yang merekah, ia segera berdiri dan berjalan menghampiri Esme.“Esme, kenapa lama sekali? Aku menunggumu,” gumam Reinan, penuh kelegaan. Tanpa banyak kata, ia menarik tubuh Esme ke dalam pelukannya.Saat itulah, dinding kesabaran yang telah Esme bangun runtuh tanpa bisa dicegah. Tubuhnya gemetar dalam pelukan Reinan, dan air matanya membasahi bagian dada kaus abu-abu yang dikenakan sang suami.Reinan mematung sesaat. Pelukannya mengencang.“H-hey, kenapa menangis?” tanyanya, bingung. “Apa kamu kangen padaku?"Esme menggeleng, berusaha tersenyum meski air matanya belum juga berhenti.“Bukan itu,” gumam