Share

BAB 2

"Iya gitu, Bu. Kami sih dari pihak keluarga bisa apa? Untung saja Sania mau membantu kami untuk mempertahankan nama baik keluarga."

Bu Halimah yang pagi itu masih berada di rumah keluarga Dinar, tiba-tiba membeberkan alasan kenapa mempelai wanita di ganti di hari resepsi dan akad.

"Wah. Gak bersyukur banget sih itu si Dinar. Udah dapet laki-laki yang bermasa depan bagus kayak Danu, eh malah selingkuh."

Satu persatu ibu-ibu yang tengah menunggu tukang sayur termakan cerita itu.

"Iya. Untung ada Sania."

Skenario yang di bangun Bu Halimah berjalan mulus. Tak ada warga yang tidak percaya dengan congornya.

"Emang cocok Sania sama Danu. Sama-sama kerja di pemerintahan terus sama-sama kuliah juga. Cocok deh pokoknya."

"Jadi itu si Dinar kepincut sama kakaknya Danu yang kerja jadi tukang parkir?"

"Bodoh banget ya jadi perempuan."

Dinar menatap orang-orang yang membicarakan dirinya dari celah kaca dalam rumah. Dengan cukup jelas ucapan mereka terdengar di telinganya.

Ia sudah tidak sanggup lagi mendengar orang-orang mengata-ngatai dirinya atas hal yang tidak ia lakukan.

Bak keluarganya bersatu untuk melimpahkan segala kesalahan pada Dinar yang jelas-jelas tidak salah apa-apa.

Dinar tidak akan mau dizolimi seperti ini. Ia tidak terima. Di saat ia yang harus berkorban untuk pernikahan, apa ia juga yakin harus di korbankan untuk menutupi aib pernikahan adiknya?

Setelah ia di sakiti, dan sekarang orang-orang malah menghina dirinya.

"Tunggu!"

"Jangan keluar, Dinar."

Tangan Dinar di cekal. Ia menoleh lalu mencoba melepaskan tangannya.

"Ikut saya."

Dinar di tarik ke belakang. Ia membawa Dinar masuk ke dalam kamar gadis itu.

"Lepas! Kamu mau apain saya?!" sentak Dinar memberontak.

Namun tenaga lelaki di depannya ini tidak main-main kuat. Ia mendorong Dinar masuk dan mengunci pintu itu dari dalam.

"Kamu mau apa?!" teriak Dinar yang langsung dibekap orang lelaki itu.

"Saya ingin bicara baik-baik," bisiknya.

Ia berusaha menenangkan Dinar lalu memintanya duduk di sisi ranjang agar mereka bisa bicara.

"Sebelumnya kamu tau nama saya Yuda kan?"

Dinar mengangguk dengan wajah tak bersahabat.

Lelaki itu tersenyum tipis. "Saya bisa memahami rasa sakit kamu," ucapnya mencoba memulai pendekatan.

Semua agar Dinar mau mendengarkan dirinya terlebih dahulu.

"Saya juga pernah merasakan sakit itu. Jadi, saya ingin kamu dengarkan saya."

Dinar menjaga jarak pada pria itu dengan terus waspada. Ia tidak tau mau pria ini apa. Sejak tiga hari lalu selalu ada di rumah ini.

"Seperti kamu, saya juga tidak kuliah. Saya cuma jadi tukang parkir saat merantau di Bali." Yuda mulai bercerita.

"Bu Halimah adalah ibu tiri saya. Bisa di bilang dia merebut papa saat mama saya sakit dulu. Saya pernah di posisi seperti kamu Dinar."

"Pernah gagal nikah?"

"Bukan." Yuda tertawa pelan. "Pernah di kambing hitamkan."

Dinar terdiam.

"Dinar. Ayo kita sama-sama balas perbuatan mereka dengan cara halus," ajak Yuda.

****

"Pertama. Ayo terima aturan mereka untuk kita berdua menikah."

"Kenapa? Aku tidak mau lagi menikah! Lagian kita tidak saling kenal!"

"Kamu mau membalas mereka atau tidak?"

"Ma-mau... Tapi...."

"Kalau kamu tidak menikah dengan saya, kamu mau tinggal di mana? Kalau kamu nikah sama saya, seenggaknya kita masih bisa tinggal di rumah orang tua kamu."

Dinar menghela nafas saat membiarkannya Yuda menerangkan kalau mereka setuju untuk menikah. Rencana yang tadi pagi di utarakan Yuda, kini mulai di jalankan.

Hanya berjarak dua jam setelah keputusan keduanya untuk menikah seperti rencana keluarga.

"Tapi kami tetap tinggal di sini," ujar Yuda.

"Loh. Kamu gak kerja dong kalau tinggal di sini," celetuk Bu Halimah.

Dinar memutar bola mata melihat perempuan itu masih di rumahnya. Entah kapan dia akan pulang. Betah sekali ngejogrok di rumah orangtuanya.

"Nanti saya izin cuti," balas Yuda singkat.

"Gaya banget kamu tukang parkir cuti!"

"Mama mau saya dan Dinar menikahkan? Kalau mama mau begitu, maka terima juga kalau kami ingin di sini sementara waktu."

Dengan decakan kesal Bu Halimah menyetujui hal itu. Lagi-lagi tidak peduli kalau yang punya rumah setuju atau tidak.

Dan anehnya, orang tuanya iya-iya saja juga dengan keputusan Bu Halimah. Seolah titah Bu Halimah adalah keputusan mutlak yang tidak bisa di tawar.

"Tapi, Nak. Nanti kamu di hujat orang-orang kalau masih tinggal di sini," ujar ibu Dinar yang menatap putrinya iba.

Masih ada ternyata rasa kasian di mata ibunya itu setelah berbuat sesuka hati menyakiti dirinya.

"Tak apa, Bu. Dinar terima," ujar Dinar lalu melirik Yuda yang tersenyum simpul.

Semua pria itu yang atur. Walau Dinar sempat bimbang, tapi dia tidak punya rencana apa-apa untuk ke depannya. Bahkan pikiran Dinar sangat sempit hingga yang ada di kepalanya hanya pergi, lenyap begitu saja dari muka bumi ini.

****

"Aku gak mau satu kasur!" tegas Dinar.

Malam ini mereka sudah sah sebagai suami isteri setelah akad nikah sangat sederhana di KUA tadi pagi.

Entah kurang malang apalagi dirinya. Kemarin pernikahan yang diperuntukkan untuknya, di rampas oleh Sania. Sekarang, dirinya malah menikah dengan lelaki asing yang tidak begitu dikenalnya, dan hanya di KUA. Hanya dua hari setelahnya.

Jangan tanyakan gaun pernikahan, seserahan pernikahan saja tidak ada. Bahkan mahar hanya berupa uang 100 ribu. Hanya sekedar syarat sah pernikahan.

"Ya udah. Nanti aku tidur di bawah," balas Yuda tanpa banyak protes.

Pria itu pamit ke masjid setelah terdengar panggilan akan dilaksakannya sholat Maghrib.

Lengkap dengan baju koko dan sarung sederhana, pria itu keluar. Berpapasan dengan bapak Hadi yang juga hendak ke masjid.

"Bareng ke masjidnya, Pak?" tawar Yuda dengan sopan.

"Saya bareng Danu nanti, Yuda."

"Oh, ya sudah. Saya duluan, Pak."

Yuda pamit tanpa banyak bicara. Sementara di dalam kamar Dinar mencebik dengan respon bapaknya yang tidak mau berangkat bersama Yuda.

Kenapa sih kedua orang tuanya punya penilaian sesempit itu? Bahwa hanya orang yang berkesempatan jadi PNS saja yang punya masa depan.

Iya berani bertaruh sebenarnya Bapak tidak mau pergi ke masjid bersama Yuda, karena tidak ada yang bisa di banggakan dari menantunya yang satu itu. Beda dengan Danu yang bisa ia serukan sebagai menantu kesayangan.

****

Dinar berbaring di atas tempat tidur. Hatinya masih sakit dan kini hadir pula perasaan risau setelah mengambil keputusan menikah dengan Yuda. Lelaki yang tidak ia kenal.

Betapa bodoh ia. Kenapa kemarin menerima begitu saja tawaran Yuda tanpa berfikir ulang lagi.

Dinar baru menyadari kegilaannya ini setelah semua sudah terjadi.

Mungkinkah rasa sakit yang ia terima membuat otaknya jadi berfikiran pendek?

Tapi kalau tidak menikah dengan Yuda, mungkin ia sudah di usir dari rumah ini sekarang.

"Belum tidur?"

Yuda muncul di balik pintu kamar. Ia sudah bertukar pakaian dengan kaos lusuh dan celana pendek.

"Belum," balas Dinar pendek.

Lelaki itu kemudian mengambil tempat di lantai samping ranjang lalu menggelar sarung yang ia gunakan untuk sholat tadi.

Tanpa banyak bicara ia berbaring menghadap ke atas.

"Kok gak pakai bantal?" tanya Dinar yang tadi sudah menyiapkan tikar dan bantal untuk Yuda.

"Gak apa. Saya biasa kayak gini," balas Yuda.

Dinar menggeleng. Ia mengambil bantal dan selimut tebal yang masih ada satu lagi di dalam lemari.

"Nanti kamu sakit," kata Dinar sambil memberikan bantal dan selimut pada pria itu.

Yuda tersenyum. "Terima kasih perhatiannya," katanya.

Dinar mencebikan bibir dengan respon berlebihan Yuda. Dirinya melakukan itu padahal hanya karena kasihan saja.

Bersambung. . . .

Komen (4)
goodnovel comment avatar
Bunda Wina
semoga nnti Yuda bisa sukses melebihi suami adik mu dinar
goodnovel comment avatar
Christie
pret lu ah banyak bacot
goodnovel comment avatar
Rania Humaira
kamu memang tolol dan gampang dijendalikan dinar. cocoklah utk dijadikan kambing hitam. kau g pantas dihormati dan dihargai krn kau membiarkan orang mengendalikan hidup mu. jd pantas aja klu kau g lebih baik dari sampah
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status