cuplikan:
Dinar berbaring di atas tempat tidur. Hatinya masih sakit dan kini hadir pula perasaan risau setelah mengambil keputusan menikah dengan Yuda. Lelaki yang tidak ia kenal.Betapa bodoh ia. Kenapa kemarin menerima begitu saja tawaran Yuda tanpa berfikir ulang lagi.Dinar baru menyadari kegilaannya ini setelah semua sudah terjadi.Mungkinkah rasa sakit yang ia terima membuat otaknya jadi berfikiran pendek?Tapi kalau tidak menikah dengan Yuda, mungkin ia sudah di usir dari rumah ini sekarang."Belum tidur?"Yuda muncul di balik pintu kamar. Ia sudah bertukar pakaian dengan kaos lusuh dan celana pendek."Belum," balas Dinar pendek.Lelaki itu kemudian mengambil tempat di lantai samping ranjang lalu menggelar sarung yang ia gunakan untuk sholat tadi.Tanpa banyak bicara ia berbaring menghadap ke atas."Kok gak pakai bantal?" tanya Dinar yang tadi sudah menyiapkan tikar dan bantal untuk Yuda."Gak apa. Saya biasa kayak gini," balas Yuda.Dinar menggeleng. Ia mengambil bantal dan selimut tebal yang masih ada satu lagi di dalam lemari."Nanti kamu sakit," kata Dinar sambil memberikan bantal dan selimut pada pria itu.Yuda tersenyum. "Terima kasih perhatiannya," katanya.Dinar mencebikan bibir dengan respon berlebihan Yuda. Dirinya melakukan itu padahal hanya karena kasihan saja.****Hari ini meja makan penuh karena bertambahnya dua personil keluarga.Dua setengahlah sama bayi di dalam perut Sania yang kini tengah di manja dengan susu ibu hamil dan buah-buahan"Dinar, kamu sama Yuda makanya nasi sama tahu tempe aja ya? Ayam goreng buat Danu sama Sania. Mereka harus kerja. Juga, anak Sania perlu nutrisi," ujar ibunya sambil menyerahkan sepiring tempe dan tahu serta nasi yang sudah di bagi-bagi.Mulai terasa kesenjangan sosial di rumah ini.Dinar hendak proses lagi-lagi karena tidak terima dengan ketidak adilan ini. Tapi Yuda, lelaki itu dengan cepat menahannya."Baik, Bu. Makasih sudah di buatkan sarapan," ujarnya dengan sopan.Dinar melirik sinis Yuda yang hanya membalas dengan senyuman simpul.Sementara Sania tersenyum penuh kemenangan.Datanglah Danu yang pakaiannya sama-sama coklat seperti Sania. Mereka sepertinya mulai bekerja hari ini. Seragam yang sangat di agung-agungkan keluarga besarnya."Ini, Bu. Karena tinggal di sini, Danu akan usahakan kasih uang buat dapur tiap bulan." Lelaki itu memberikan sebuah amplop putih pada ibu mertuanya."Gak perlu, Danu. Kamu tabung buat lahiran Sania aja," tolak beliau.Ibu Tiara mengembalikan amplop itu. Tapi kemudian memandang Dinar dan Yuda bergantian."Tapi, Yuda. Kamu sama Dinar maukan bantu buat memenuhi kebutuhan dapur?" tanya Bu Tiara."Mau, Bu. Nanti Yuda akan usahakan supaya bisa membantu," ujarnya lagi-lagi tanpa masalah sedikitpun.Tapi lain dengan Dinar yang sudah tidak tahan. "Kalau gitu Mas Danu juga harus kasih! Gak adil kalau cuma Mas Yuda!" ucap Dinar."Mas Danu mau kasih kok! Tapi ibu melarang karena kami harus fokus sama anak kami," balas Sania."Anak haram kalian itu?!""Dinar!""Mbak!""Dinar!"Ibunya, Sania dan Yuda menegur bersamaan.Kalau ibunya dan Sania, ia paham kalau di tegur. Tapi ini si Yuda entah kenapa malah ikut-ikutan."Minta maaf," desis Yuda menatapnya dingin.Dinar membalas dengan tatapan sengit."Minta maaf, Dinar," titah Yuda lagi."Ck! Maaf!"Selera makannya serasa memudar. Apalagi mengingat yang di makan cuma nasi dan tempe tahu.Dinar beranjak pergi membawa rasa kesalnya.Harusnya Yuda membela dirinya. Tapi pria itu malah sama saja. Menyesal rasanya menerima tawaran menikah dengan pria itu.Yuda ingkar janji padanya!"Tidak baik mengatakan janin yang suci sebagai anak haram, Dinar."Suara Yuda terdengar dari ambang pintu.Pria itu masuk mendekati Dinar."Jangan begitu lagi. Kalau kamu benci orang tuanya, maka benci saja. Jangan bawa anaknya," ujar Yuda memberi pengertian.Dinar menatap pria itu dengan wajah menekuk. Ia masih kesal walau apa yang dikatakan Yuda tiba-tiba membuka kesadaran Dinar datang. Ia juga jadi menyesal telah berkata begitu.Anak itu mungkin kalau lahir nanti di tanya, dia juga tidak mau lahir dengan kondisi seperti itu.Yuda menghela nafas. "Kita sarapan di luar saja ya?" ajaknya.Dinar menggeleng."Kamu marah?"Ia kembali menggeleng."Saya minta maaf deh kalau begitu."Kali ini Dinar terdiam."Kita sarapan nasi kuning di depan pertigaan sana mau?" Yuda lagi. "Pakai ayam balado enak loh. Boleh doble deh lauknya. Biar puas," bujuknya bertubi-tubi.Nasi kuning pakai lauk ayam. Lama juga tidak makan itu.Karena berhemat untuk acara pernikahan sialan ini, membuat Dinar berfikir ulang untuk membeli makanan sesederhana nasi kuning."Mas ada uang?" tanya Dinar takut dirinya malah harus membayar.Bukan apa-apa. Uang tabungannya menipis sekali setelah acara pernikahan sialan itu. Dan bahkan tidak di kembalikan sedikitpun.Tabungannya ikut terkuras karena uang mahar Danu tidak mencukupi. Padahal keinginan keluarganya sangat tinggi untuk membuat pernikahan sempurna."Iya. Mas bayar. Tenang," balas Yuda ringan.Akhirnya ia mengangguk.****"Oh jadi bener kamu nikah sama kakaknya Danu?"Niatnya mau sarapan tenang, hitung-hitung pendekatan siapa tau mereka bisa saling menguatkan. Eh malah bertemu genk emak-emak mulut runcing."Iya, Bu," balas Dinar malas"Ih. Kamu jahat kayak gitu, Dinar," ucap salah satu dari mereka."Iya bener. Kasian Danu.""Untung ada Sania."Ibu-ibu itu bersahutan mengomentari sesuatu yang hanya keluar dari kabar burung.Benar-benar sukses Bu Halimah mengarang cerita. Kalau jadi penulis, pasti langsung best seller karena ceritanya mampu mempengaruhi orang satu kampung.Cepat-cepat Yuda mengelus tangan Dinar yang mulai mengepal tanda gadis itu marah besar karena tidak terima."Dinar melakukan itu demi masa depan yang lebih baik, Bu," balas Yuda dengan pedenya."Baik apanya? Situ cuma tukang parkir," celetuk salah satu ibu-ibu itu lalu di susul tawa dari teman-temannya."Tukang parkir gak selamanya bermasa depan suram, Bu," balas Yuda"Iya gak suram. Lebih tepatnya ancur."Lagi-lagi celetukan itu di sambut tawa.Dinar sudah tidak mampu diam. Ia menatap Yuda dengan mata berkaca-kaca.Sebelum Dinar mengeluarkan emosinya, Yuda dengan cepat berkata, "Kita pulang ya?" ajaknya.****Dinar membenamkan wajahnya di bantal. Menumpahkan tangis karena ucapan menyakitkan yang ia dengar barusan.Ia seorang diri di kamar. Yuda bahkan tidak terlihat. Dia pergi dengan motor bututnya setelah mengantar Dinar yang sedih ke rumahnya.Ia kesal pada Yuda. Kenapa harus berkata demikian. Malah membuat ia semakin di pojokan dan rasanya kata itu malah membenarkan ucapan ibunya.Apa Yuda memang sengaja?Mungkin itu suruhan dari Bu Halimah. Dan Yuda menikahinya lagi-lagi karena untuk membuat orang-orang percaya kalau Dinar telah berselingkuh.Jadi orang-orang akan percaya kalau Danu dan Sania tidak salah menikah.Pikiran buruk demi pikiran buruk melintas di kepala Dinar. Rasa sakit kian menumpuk di hatinya.Pintu kamar terbuka setelah lebih dari dua jam ia terdiam setelah puas menangis."Kenapa kamu nangis, Nak?" tanya Bu Tiara."Gak apa-apa, Bu," balas Dinar lemahTanpa banyak bertanya lagi, sang ibu memperlihatkan sesuatu padanya."Ini daftar belanjaan yang habis di dapur. Kasih tahu suami kamu ya? Usahakan biar bisa di beli."Dinar melihat list bahan dapur itu."Banyak sekali, Bu? Ini mas Yuda semua yang harus beli?"Gila sih ini. Mana mungkin Yuda punya uang sebanyak ini, pikir Dinar."Iya. Usahakan ya."Sang ibu beranjak pergi tanpa perduli perasaan putrinya itu.Kekalutan makin kental ia rasakan. Dinar rasanya mau pingsan saja.Bersambung. . . .Apa Yuda memang sengaja?Mungkin itu suruhan dari Bu Halimah. Dan Yuda menikahinya lagi-lagi karena untuk membuat orang-orang percaya kalau Dinar telah berselingkuh. Jadi orang-orang akan percaya kalau Danu dan Sania tidak salah menikah. Pikiran buruk demi pikiran buruk melintas di kepala Dinar. Rasa sakit kian menumpuk di hatinya.Pintu kamar terbuka setelah lebih dari dua jam ia terdiam setelah puas menangis."Kenapa kamu nangis, Nak?" tanya Bu Tiara."Gak apa-apa, Bu," balas Dinar lemah Tanpa banyak bertanya lagi, sang ibu memperlihatkan sesuatu padanya."Ini daftar belanjaan yang habis di dapur. Kasih tahu suami kamu ya? Usahakan biar bisa di beli."Dinar melihat list bahan dapur itu."Banyak sekali, Bu? Ini mas Yuda semua yang harus beli?" Gila sih ini. Mana mungkin Yuda punya uang sebanyak ini, pikir Dinar."Iya. Usahakan ya."Sang ibu beranjak pergi tanpa perduli perasaan putrinya itu.Kekalutan makin kental ia rasakan. Dinar rasanya mau pingsan saja.****"Assalamualaikum"
"Wih, belanjaan banyak nih," komentar Dinar saat melihat sang ibu masuk membawa begitu banyak belanjaan untuk dapur. Pertama kalinya sang ibu terlihat sangat senang karena kebutuhan dapur lebih melimpah sekarang."Iya. Makasih ya sama Yuda udah kasih uang buat belanja bulanan. Uang dari bapak bisa ibu tabung jadinya," balas Bu Tiara dengan wajah sumberingah.Jujur sebenarnya Dinar tidak suka dengan sikap keduanya orang tuanya. Apa ia dan Yuda hanya di jadikan alat untuk memenuhi kebutuhan rumah tangga? Tapi, memang pada awalnya ia dan Yuda juga yang ingin tinggal di rumah ini."Bu. Minta uang dong. Sania ngidam pengen makan pizza nih." Tiba-tiba Sania pulang. Tampak pakaian dinas yang sangat di agung-agungkannya itu masih melekat."Kamu ngidam ya?" tanya Bu Tiara."Iya nih, Bu. Kepengen makan pizza."Sok banget ngidamnya. Dinar mencelos dalam hati mendengar pengutaraan sang adik. Masih terasa di hatinya sakit akibat tikaman tak kasat mata dari Sania.Apalagi masih banyak suara sumb
Dinar menatap uang yang kemarin di berikan Yuda padanya. Cukup lama ia terdiam dengan pikiran berkecamuk."Orang sekarang tidak melihat benar atau tidak perbuatan seseorang. Kebanyakan orang melihat kekayaan yang dimiliki orang tersebut, melalui apa yang ia punya saat ini." Begitulah kata Yuda kemarin. Dinar dalam keadaan bimbang. Apa ia pakai saja uang ini untuk membeli pakaian baru?Tapi, apa halal uang yang Yuda berikan padanya? Pria itu bahkan enggan mengakui dari mana ia dapat uang sebanyak itu. Ia terus bilang kalau itu hasil ia markir. Orang bodoh mana yang mau percaya?Dinar memasukkan uang itu ke dalam dompet lagi. Sepertinya ia perlu berfikir panjang sebelum menggunakan uang itu.Setelahnya ia pergi ke dapur saja untuk memasak."Kalian serasi banget.""Iya. Semoga masa depan kalian cerah."Netra Dinar menangkap kedatangan orang tua Danu. Mereka sedang memuji pasangan yang dianggap serasi itu.Keduanya sama-sama menggunakan baju dinas, sepertinya baru pulang kerja. Bu Halim
"Wah cantik bener, Dinar. Tampilannya modis," puji Bu-ibu di tukang sayur."Bisa aja ibu," balas Dinar sambil memilih sayur. Hari ini ia sengaja ingin beli sayur demi memperlihatkan kalau ia bahagia. Sekarang dirinya jadi lebih setuju untuk tidak menepis, tapi membuktikan."Jangan terlalu maksa, Dinar. Kasian suami kamu yang tukang parkir itu. Dia pasti ngutang tuh buat bikin kamu tampil secantik ini," nyinyir salah atau ibu."Jangan souzon, Bu. Siapa tau memang suami Dinar mampu," bela salah satunya"Kalau mampu di mampu-mampuin sih ya namanya maksa. Nanti juga di tagih hutang sama koperasi."Tak mau ambil pusing, Dinar langsung membayar belanjaannya. Ia harus sabar. Semua butuh proses. Buktinya sekarang ada beberapa orang yang tidak merendahkan dirinya lagi berkat tampil lebih cantik."Berapa, Mang?""30 ribu, Neng."Uang merah melayang ke depan tukang sayur."Wah, kembaliannya belum ada ini
Tatapan sinis tak luput Dinar dapatkan saat keluar dari kamar ke esokan paginya."Makanya jangan sok! Udah ketahuankan belangnya?" sindir Sania.Dinar memilih mengindahkan. Nakun matanya justru menangkap sosok manusia menyebalkan. Nasib buruk sekali rasanya melihat Bu Halimah sudah ada di rumahnya sepagi ini. "Kamu bikin ibu malu lagi Dinar. Untung ada Bu Halimah yang menolong," ujar ibunya.Tatapan tajam yang jauh berbeda dari beberapa hari ini. Padahal baru kemarin sang ibu memuji-muji Yuda karena membantu memenuhi kebutuhan dapur."Bilang terima kasih kamu sama keluarga Danu!" perintah bapaknya.Suami Bu Halimah yang tidak lain adalah ayah mertuanya itu berucap, "Dinar. Saya rasa kamu tidak perlu melakukan apapun. Biarkan saja agar tidak memberatkan Yuda." Dahi Dinar mengerut dengan penuturan mertuanya. Aneh. Kenapa jangan melakukan apapun? "Bapak sudah memberikan uang 10 juta yang Bu Asih tuntut. Tapi pih
"Ini, bukti mutasi rekening bank, dan struk pengambilan uang atas nama Yuda Saputra di ATM beberapa hari lalu. Tepat di saat Bu Asih kehilangan uang!"Bulan melampirkan semua bukti yang mematahkan tuduhan."Hanya karena Yuda menyapa Bu asih saat Bu Asih memegang uang 10 juta, bukan berarti Yuda yang mengambil uang itu saat hilang!" tegas Bulan.Ia menatap petinggi polisi yang duduk di hadapannya. "Kepercayaan masyarakat pada kepolisian sedang di uji. Tolong jangan buat kepercayaan masyarakat semakin berkurang, Bapak polisi! Anda menangkap orang yang salah!"Bulan menatap Bu Asih dengan tatapan tajam khas dirinya saat menjadi pengacara."Bu Asih! Ibu telah merusak reputasi Yuda Saputra! Klien saya tidak terima, dan kami akan memberikan tuntutan!" Wajah Bu Asih memucat."Kalau bermain koneksi, saya punya koneksi yang jauh lebih kuat dari pada kamu!" sengit Bulan pada keponakan ibu Asih yang mengenakan pakaian polisi.Berdasarkan analisa Bulan, laporan polisi ini lolos bahkan tanpa bukti
"Habiskan ayamnya," suruh Yuda dengan senyum simpul.Malu-malu Dinar menyambar paket besar ayam krispi yang dipesan Yuda.Lelaki itu paham dirinya sejak tadi melirik potongan ayam yang masih utuh dalam kotak kertas. "Toko emas depan hotel masih buka tuh. Habis makan ke sana ya?" ajak Yuda.Posisi duduk mereka di resto hotel berhadapan dengan sebuah toko emas.Ayam yang baru ia gigit, terdiam beberapa saat di bibir gadis itu. Dinar mengunyah pelan lalu menelan dengan susah payah "Beli emas?" tanya Dinar memastikan "Iyalah."Dinar tercenung beberapa saat. Mungkin kalau Yuda menjelaskan dari mana uang yang ia miliki dengan penjelasan logis, ia akan senang.Ya kali. Perempuan mana yang akan menolak kalau di tawari membeli emas oleh suami sendiri.Hanya saja, situasinya kini berbeda. Semenjak kasus di penjaranya Yuda, walau ini cuma salah tangkap, masih menyisakan kekhawatiran di lubuk hati Dinar
"Dinar kasian, Mas, sama keluarga Bu Asih," lirih Dinar di samping Yuda.Pria itu menghela nafas lalu menuntun kepala istrinya agar bersandar di bahunya."Kita sudah berbaik hati tidak menuntut mereka, Sayang. Tapi kita harus memikirkan tentang kenyamanan kita juga," terang Yuda. Usapan lembut dikepala Dinar makin membuatnya merasa betah bersandar di bahu suaminya ini."Kasian aja gitu. Pasti anak-anak Bu Asih nanti di bully di sekolah."Yah, memang bukan main viralnya video klarifikasi itu. Sebab melibatkan akun seorang selebgram yang ternyata kenal baik dengan Bulan.Orang-orang yang tadinya ingin menghujat Yuda dan Dinar, berbalik menghujat Bu Asih atas salahnya sendiri."Itu resiko. Ada beberapa hal yang perlu kita maafkan dari kesalahan orang lain. Dan ada juga yang harus kita beri pelajaran."Dinar mengangguk walau hatinya masih tidak nyaman. Pikirannya masih menerawang bagaimana nasib anak-anak Bu Asih nanti."Oh, iya. Masalah tabungan saya, nanti ya saya kasih. Soalnya tabun