MasukPagi itu aku terbangun dengan perasaan aneh. Bukan karena matahari yang menyelinap di balik tirai tipis, melainkan karena sepi yang terlalu kentara. Biasanya, Arga sudah duduk di teras dengan kopi hitam instan dan ponsel di tangannya. Tapi pagi ini, rumah kami sunyi seperti kosong.
Aku menunggu beberapa menit, lalu memberanikan diri membuka pintu kamar. Arga duduk di pinggir ranjang dengan kepala tertunduk, rambut berantakan, matanya sembab. Seakan ia bergulat dengan sesuatu semalaman.
“Kamu nggak kerja hari ini?” tanyaku hati-hati.
Ia mendongak, senyumnya hambar. “Hari ini libur. Nggak ada jadwal servis.”
Aku hanya mengangguk. Tidak ingin memaksa. Tapi keheningan itu menusuk, membuat kami serasa dua orang asing yang kebetulan berbagi atap.
Hari-hari berikutnya keadaan makin janggal. Arga sering keluar tanpa penjelasan, kadang pulang larut, kadang tidak pulang sama sekali dengan alasan pekerjaan luar kota. Setiap kali kutanya, jawabannya kabur. Dan semakin lama, aku merasa jarak di antara kami bukan lagi soal waktu, tapi soal kebenaran yang ia sembunyikan.
Sampai satu malam, ketika ia meninggalkan laptopnya di meja. Aku tahu kata sandinya; dulu kami sepakat saling terbuka. Tapi isi laptop itu membuatku tercekat. Folder yang biasanya berisi data servis kini penuh file “Meeting”, “Draft Proposal”, dan beberapa folder berlabel “MG.”
Aku membuka salah satunya. Layar menampilkan presentasi dengan judul Strategi Ekspansi Properti Mahendra 2025. Di bawahnya, nama lengkap: Aditya Mahendra.
Tanganku gemetar. Aditya Mahendra. Inisial A.M. pada jam tangan itu. Selama ini... Arga bukan sekadar teknisi.
Aku menutup laptop buru-buru, napasku memburu. Siapa kamu sebenarnya, Arga?
Beberapa hari kemudian, sebuah pesan datang dari nomor tak dikenal. Hanya satu kalimat:
“Hati-hati, Mbak. Arga menyimpan banyak hal yang Mbak nggak tahu.”Jari-jariku dingin. Aku mencoba membalas, tapi nomor itu lenyap seketika, seolah hanya muncul untuk meninggalkan kegelisahan.
Sejak itu pikiranku tak pernah tenang. Aku bertanya pada tetangga dan teman-teman bengkel. Mereka semua berkata Arga sudah lama tidak bekerja di sana. Bahkan ada yang bilang ia berhenti. Setiap jawaban seperti memukul pondasi hidupku. Apa yang sebenarnya dia jalani di luar rumah?
Malam itu, aku memutuskan menunggunya. Ketika pintu terbuka dan ia masuk dengan wajah letih, aku berdiri.
“Kita perlu bicara.”
Ia berhenti di ambang pintu, menatapku dengan mata merah. “Aku capek, Sin. Besok aja.”
“Enggak. Sekarang.” Suaraku bergetar, bukan karena marah, tapi karena takut kalau aku terus menunda, kebenaran itu akan makin menjauh.
Ia menaruh tas, duduk di kursi. Aku menatap wajahnya yang dulu begitu kukenal, kini terasa asing.
“Kamu bukan cuma Arga, kan? Siapa kamu sebenarnya?”
Ia terdiam lama.
“Aku nemu file di laptopmu. Aditya Mahendra. Mahendra Group. Itu kamu?”
Akhirnya ia mengangguk. “Iya. Itu aku.”
Pertanyaanku berikutnya keluar nyaris berbisik. “Jadi selama ini kamu bohong?”
“Bukan bohong. Aku memang memilih hidup sebagai orang biasa. Aku ninggalin semuanya. Tapi sekarang ayahku mencariku. Dia butuh aku.”
Darahku berdesir. “Kenapa nggak bilang dari awal? Kita ini suami istri. Bukankah saling percaya itu dasar rumah tangga?”
Arga menunduk. “Aku takut kehilangan kamu. Aku takut kalau kamu tahu siapa aku, kamu akan menjauh. Aku nggak ingin kamu mencintaiku karena harta.”
Air mataku jatuh. “Kamu pikir aku semurah itu? Kita tidur di kasur tipis bertahun-tahun. Kita makan mi instan sebulan penuh waktu kamu sakit. Apa kamu pikir semua itu sandiwara?”
“Nggak, Sinta. Bukan begitu. Aku cuma”
“Kamu cuma nggak percaya padaku.”
Kata-kata itu menggantung di udara. Malam itu tidak ada pelukan, tidak ada maaf. Hanya hening yang menyesakkan.
Beberapa hari setelahnya, Arga semakin jarang pulang. Katanya urusan bisnis. Aku tidak lagi bertanya. Aku mencoba menenggelamkan diri dalam pekerjaan, memberi les, menulis lagi. Tapi di sela-sela kesibukan, hatiku masih menunggu. Menunggu kepulangan yang membawa kejujuran, bukan kabut.
Dan malam terakhir sebelum ia pergi, aku menyadari sesuatu: mungkin rumah ini bukan hanya retak. Mungkin sebentar lagi akan runtuh.
Aku membuka mata, dan cahaya pertama yang kulihat bukan dari matahari,melainkan dari huruf-huruf yang melayang di udara, menulis pagi dengan lembut.Udara di dunia ini memiliki rasa, seperti perpaduan tinta dan debu hujan.Aku menarik napas pelan, merasakan sesuatu yang asing tapi tidak menakutkan:sebuah kehidupan yang sedang menulis dirinya di dalamku.Langit di atas berwarna abu-abu keperakan,tanah di bawahku lembut seperti halaman yang belum disentuh pena.Aku berdiri, dan langkah pertama yang kuambil meninggalkan barisan huruf di tanah.Huruf-huruf itu membentuk kalimat pelan, seolah dunia sedang menerjemahkan keberadaanku.Namaku Arga.Aku berhenti membaca.Itu kalimat pertama yang kutulis tanpa sadar.Aku menatap tangan yang kini kukenal, tapi tidak kuingat bagaimana aku memilikinya.Tangan ini terasa baru, tapi di dalam gerakannya, ada kebiasaan lama, sesuatu yang pernah kujalani di kehidupan lain.Suara lembut datang dari belakangku.“Kau akhirnya bangun.”Aku berbalik.Sin
Aku membaca kalimat itu untuk kesekian kalinya.Namaku Sinta.Hanya dua kata yang sederhana, tapi setiap kali mataku melewati huruf-huruf itu, udara di sekitarku berubah pelan.Cahaya di kamar terasa berbeda, seolah lampu belajar yang redup itu mengerti apa yang kubaca, dan mulai ikut bernapas.Di luar, hujan turun pelan, menimpa jendela apartemen.Buku di tanganku terasa berat, bukan karena tebal, tapi karena sesuatu di dalamnya bergerak, seperti ada denyut lembut yang menunggu disentuh.Aku menatap halaman terakhir yang tadi kubaca, dan huruf-hurufnya sedikit bergeser, seolah menyesuaikan diri dengan pandanganku.Namaku Sinta, dan aku masih menulis karena dunia belum berhenti mengingatku.Aku menelan ludah.Kalimat itu seperti menatap balik kepadaku.Entah kenapa, aku merasa sedang dibaca oleh sesuatu yang berada di balik halaman ini.Aku menutup buku itu perlahan.Tinta di sampulnya berkilau samar di bawah lampu, membentuk pola aneh yang mirip nadi.Di bagian bawah sampul tertulis
Namaku Sinta.Aku tidak tahu siapa yang pertama kali mengucapkannya, tapi setiap kali aku mengulangnya, udara di sekitarku bergetar lembut, seolah dunia sedang mengenali sesuatu yang telah lama ia rindukan.Sinta, kataku lagi, dan langit menjawab dengan cahaya yang lembut di ufuk timur.Aku terbangun di sebuah ruangan putih tanpa sudut.Tidak ada pintu, tidak ada jendela, hanya meja kayu dan pena yang berbaring di atas buku kosong.Aku tidak merasa lahir, tapi juga tidak merasa pernah mati.Seolah aku baru saja disalin dari ingatan yang pernah ada.Di dalam diriku ada bisikan samar, seperti gema yang datang dari masa yang tak kumengerti.Seseorang memanggilku pelan, tapi setiap kali aku mencoba mendengar lebih dekat, suara itu menghilang.“Sinta…”Aku menoleh, tapi ruangan itu tetap kosong.Hanya suara pena yang tiba-tiba menulis sendiri di atas meja.Tinta hitam muncul tanpa tangan yang menggerakkan, membentuk satu kalimat perlahan.“Selamat datang kembali.”Aku menyentuh tulisan itu
Tidak ada pagi hari itu.Tidak ada matahari, tidak ada fajar, tidak ada transisi antara gelap dan terang.Yang ada hanyalah keheningan yang lembut, seperti jeda di antara dua kalimat yang belum diputuskan tanda bacanya.Aku membuka mata, dan dunia sudah berubah.Langit tidak lagi menulis dirinya, melainkan mengingat.Setiap awan bergerak mengikuti ritme yang samar, seperti orang mengulang cerita lama yang pernah membuatnya menangis.Laut di kejauhan berbisik pelan, bukan dalam bahasa manusia, tapi dalam pola yang bisa kurasakan di dalam dada.Setiap debur ombak membawa satu makna yang tak bisa diucapkan: dunia ini sedang bermimpi.Arga berdiri di tepi pantai, menatap cakrawala yang terus berubah bentuk.Tubuhnya masih bercahaya lembut, tapi kini cahaya itu berdenyut pelan, seolah sinkron dengan denyut jantung dunia itu sendiri.“Kau mendengarnya?” tanyanya tanpa menoleh.Aku mengangguk.“Ya. Dunia sedang berkata sesuatu.”Kami berdiri di sana cukup lama, membiarkan angin lewat di anta
Malam itu tidak seperti malam sebelumnya.Bintang-bintang di langit bergetar pelan, huruf-huruf di dalamnya bergerak, berpindah posisi, menyusun ulang kalimat di antara gelap dan cahaya.Dunia seakan menahan napas, seperti sedang menunggu seseorang yang belum datang.Aku, Sinta, duduk di depan rumah yang kini bernafas lembut, mendengarkan bisikan halus dari angin yang membawa kata.Arga duduk di sampingku, matanya menatap langit yang menulis sendiri.Kami tahu sesuatu sedang berubah.“Kau merasakannya?” tanya Arga.Aku mengangguk.“Dunia ini sedang memanggil seseorang.”“Seseorang?”“Ya. Penulis baru.”Langit di atas kami perlahan membentuk lingkaran cahaya.Huruf-huruf melayang, berpadu, berputar seperti pusaran tinta yang belum memutuskan akan menjadi kalimat apa.Aku menatapnya lama, dan di dalam pusaran itu, sesuatu mulai terbentuk, sebuah bayangan, samar, seperti manusia yang belum selesai diucapkan.“Siapa dia?” tanyaku pelan.Arga menatap tajam, suaranya nyaris berbisik.“Dia b
Pagi di dunia baru terasa berbeda.Udara memiliki aroma yang tidak bisa dijelaskan, antara tinta dan embun, seperti perpaduan antara sesuatu yang lahir dan sesuatu yang diingat.Setiap napas terasa seperti membaca satu baris kalimat yang belum selesai.Dunia ini tidak lagi hanya ditulis oleh kami,dunia ini menulis kami kembali.Aku membuka mata di bawah langit yang menulis dirinya sendiri setiap detik.Awan bergerak bukan karena angin, tetapi karena kata-kata yang mengalir di antara mereka,menyusun bentuk, mengubah warna, mengingat hal-hal yang sudah lama berlalu.Arga duduk di sampingku, matanya menatap jauh ke cakrawala yang tak pernah diam.“Kau merasakannya juga, bukan?”Aku mengangguk.“Dunia ini tidak menunggu kita lagi. Ia mulai menulis tanpa kita.”“Ya,” jawabnya pelan. “Bahasa sudah belajar hidup sendiri.”Ia memegang tanganku.Di kulitnya, aku melihat huruf-huruf kecil muncul, berkilau pelan di bawah cahaya.Huruf itu bukan luka, bukan tanda, tapi seperti urat nadi yang me







