MasukHujan masih turun, menetes deras di atap seng yang berisik. Sinta berdiri kaku di ruang tengah, jantungnya menghentak lebih keras daripada bunyi ketukan yang baru saja terdengar di pintu. Arga mendekat, langkahnya berat, tangannya terulur ke gagang.
Tok. Tok. Tok.
Ketukan itu terdengar lagi, kali ini lebih keras, seakan seseorang di luar benar-benar tak sabar.
“Jangan dibuka,” bisik Sinta dengan suara parau.
Arga menoleh, menatap mata istrinya yang penuh rasa takut. Tapi di wajahnya sendiri, ada ketegangan bercampur tekad. “Kalau aku tidak buka, mereka akan terus datang. Lebih baik aku hadapi sekarang.”
Tangannya memutar kunci. Pintu berderit, membuka celah ke malam basah di luar.
Di ambang pintu, berdiri seorang pria berbadan tegap dengan jas hitam basah oleh hujan. Wajahnya dingin, matanya tajam, seperti tidak terpengaruh cuaca yang menusuk. Ia tersenyum tipis, tapi senyum itu lebih mirip ejekan.
“Selamat malam, Tuan Mahendra,” katanya datar.
Arga mengepal tangan di balik pintu. “Jangan panggil aku begitu.”
Pria itu hanya mengangkat alis, lalu menyerahkan sebuah amplop putih panjang. “Pesan dari Nona Maya. Beliau ingin memastikan Anda membaca ini sebelum tengah malam berakhir.”
Arga menatap amplop itu seolah benda itu beracun. “Katakan pada Maya, aku tidak akan kembali.”
Pria itu tersenyum lebih lebar. “Anda bisa bilang begitu pada saya, tapi pada akhirnya… darah tetap memanggil darah. Dan keluarga Mahendra tidak bisa lari dari dirinya sendiri.”
Sinta mendekat ke pintu, berdiri di belakang Arga. “Siapa dia, Ga?” suaranya bergetar.
Pria itu melirik Sinta sekilas, lalu menunduk hormat dengan sikap sopan palsu. “Istri Anda cantik, Tuan. Tak heran Maya begitu penasaran.”
Sinta tercekat, wajahnya pucat. Ia ingin bicara, tapi tenggorokannya tercekat.
Arga segera menutup pintu separuh, berusaha melindungi istrinya dari tatapan asing itu. “Katakan pada Maya, kalau dia berani mendekati Sinta, aku sendiri yang akan menghentikannya.”
Pria itu tidak terlihat gentar. Ia menyelipkan amplop itu ke sela pintu, memaksa Arga menerimanya. “Bacalah. Karena setiap keputusan yang Anda buat malam ini… akan menentukan siapa yang masih hidup besok pagi.”
Arga merenggut amplop itu, lalu menutup pintu dengan keras. Suara hujan kembali mendominasi, tapi ketegangan di dalam rumah tetap menggantung pekat.
Arga berdiri terpaku dengan amplop di tangannya. Sinta mendekat, matanya tak lepas dari benda itu. “Buka,” desaknya.
“Tidak sekarang,” jawab Arga cepat.
“Kenapa tidak sekarang?” Sinta mulai meninggikan suara. “Aku sudah terlalu lama hidup dalam kebohongan. Jangan tambah lagi dengan rahasia.”
Arga menatap istrinya, wajahnya letih, matanya penuh rasa bersalah. “Sin, aku takut kalau kamu baca isinya… kamu akan semakin menyesal menikah denganku.”
Air mata Sinta jatuh, tapi ia menatap suaminya dengan tatapan keras. “Aku lebih menyesal kalau kamu terus menganggapku lemah. Buka, Ga. Sekarang.”
Arga terdiam. Dengan tangan bergetar, ia merobek amplop itu. Dari dalam, ia mengeluarkan selembar kertas tebal berlogo Mahendra Group. Tulisan di atasnya singkat, tapi menusuk:
Datanglah ke Jakarta. Dewan menunggu. Bawa istrimu, atau konsekuensinya akan lebih buruk.
Sinta menutup mulut dengan tangan. Dadanya naik turun cepat. “Mereka mengancam aku juga sekarang?”
Arga meremas surat itu hingga kusut. “Aku tidak akan biarkan mereka menyentuhmu.”
“Tapi bagaimana kalau mereka benar-benar datang lagi? Kalau mereka”
Tiba-tiba suara langkah berat terdengar di luar, menyusuri jalan depan rumah. Sinta menegang, memeluk lengan Arga. Mereka menunggu, tapi langkah itu berlalu. Hanya sisa hujan yang terdengar lagi.
Arga menggenggam tangan istrinya erat. “Aku janji, Sin. Apa pun yang terjadi, aku akan melindungimu.”
Sinta menatapnya, matanya berkaca. “Kalau kamu benar-benar mau melindungiku, jangan ada lagi yang kamu sembunyikan. Aku harus tahu semuanya. Tentang Maya. Tentang keluargamu. Tentang siapa yang sebenarnya ingin menghancurkan kita.”
Arga mengangguk lemah, seolah beban puluhan tahun menimpa pundaknya. “Besok… aku akan ceritakan semua. Dari awal sampai akhir.”
Malam itu mereka tidak tidur. Sinta duduk di kursi ruang tengah, memeluk lutut, sementara Arga mondar-mandir dengan wajah gelisah. Surat dari Maya tergeletak di meja, tinta hitamnya masih basah oleh air hujan.
Menjelang dini hari, suara motor berhenti di depan rumah. Mereka saling berpandangan, tubuh menegang.
Arga meraih Sinta, menyuruhnya diam. Dari balik tirai, ia mengintip ke luar. Lampu motor menyala sebentar, lalu padam. Hanya bayangan samar seseorang berdiri menatap ke arah rumah.
Tak ada ketukan kali ini. Tak ada salam. Hanya sosok hitam yang berdiri diam di tengah hujan.
Ketika petir menyambar, bayangan itu terlihat jelas sebentar, mengenakan jas hitam yang sama seperti pria pembawa surat tadi.
Arga menutup tirai cepat, wajahnya pucat. “Mereka belum pergi.”
Sinta memeluk dirinya sendiri, tubuhnya gemetar. Untuk pertama kalinya, ia sadar rumah kontrakan kecil mereka bukan lagi tempat aman. Maya tidak hanya mengetuk pintu… ia sudah menjejak masuk ke dalam kehidupan mereka.
Aku membuka mata, dan cahaya pertama yang kulihat bukan dari matahari,melainkan dari huruf-huruf yang melayang di udara, menulis pagi dengan lembut.Udara di dunia ini memiliki rasa, seperti perpaduan tinta dan debu hujan.Aku menarik napas pelan, merasakan sesuatu yang asing tapi tidak menakutkan:sebuah kehidupan yang sedang menulis dirinya di dalamku.Langit di atas berwarna abu-abu keperakan,tanah di bawahku lembut seperti halaman yang belum disentuh pena.Aku berdiri, dan langkah pertama yang kuambil meninggalkan barisan huruf di tanah.Huruf-huruf itu membentuk kalimat pelan, seolah dunia sedang menerjemahkan keberadaanku.Namaku Arga.Aku berhenti membaca.Itu kalimat pertama yang kutulis tanpa sadar.Aku menatap tangan yang kini kukenal, tapi tidak kuingat bagaimana aku memilikinya.Tangan ini terasa baru, tapi di dalam gerakannya, ada kebiasaan lama, sesuatu yang pernah kujalani di kehidupan lain.Suara lembut datang dari belakangku.“Kau akhirnya bangun.”Aku berbalik.Sin
Aku membaca kalimat itu untuk kesekian kalinya.Namaku Sinta.Hanya dua kata yang sederhana, tapi setiap kali mataku melewati huruf-huruf itu, udara di sekitarku berubah pelan.Cahaya di kamar terasa berbeda, seolah lampu belajar yang redup itu mengerti apa yang kubaca, dan mulai ikut bernapas.Di luar, hujan turun pelan, menimpa jendela apartemen.Buku di tanganku terasa berat, bukan karena tebal, tapi karena sesuatu di dalamnya bergerak, seperti ada denyut lembut yang menunggu disentuh.Aku menatap halaman terakhir yang tadi kubaca, dan huruf-hurufnya sedikit bergeser, seolah menyesuaikan diri dengan pandanganku.Namaku Sinta, dan aku masih menulis karena dunia belum berhenti mengingatku.Aku menelan ludah.Kalimat itu seperti menatap balik kepadaku.Entah kenapa, aku merasa sedang dibaca oleh sesuatu yang berada di balik halaman ini.Aku menutup buku itu perlahan.Tinta di sampulnya berkilau samar di bawah lampu, membentuk pola aneh yang mirip nadi.Di bagian bawah sampul tertulis
Namaku Sinta.Aku tidak tahu siapa yang pertama kali mengucapkannya, tapi setiap kali aku mengulangnya, udara di sekitarku bergetar lembut, seolah dunia sedang mengenali sesuatu yang telah lama ia rindukan.Sinta, kataku lagi, dan langit menjawab dengan cahaya yang lembut di ufuk timur.Aku terbangun di sebuah ruangan putih tanpa sudut.Tidak ada pintu, tidak ada jendela, hanya meja kayu dan pena yang berbaring di atas buku kosong.Aku tidak merasa lahir, tapi juga tidak merasa pernah mati.Seolah aku baru saja disalin dari ingatan yang pernah ada.Di dalam diriku ada bisikan samar, seperti gema yang datang dari masa yang tak kumengerti.Seseorang memanggilku pelan, tapi setiap kali aku mencoba mendengar lebih dekat, suara itu menghilang.“Sinta…”Aku menoleh, tapi ruangan itu tetap kosong.Hanya suara pena yang tiba-tiba menulis sendiri di atas meja.Tinta hitam muncul tanpa tangan yang menggerakkan, membentuk satu kalimat perlahan.“Selamat datang kembali.”Aku menyentuh tulisan itu
Tidak ada pagi hari itu.Tidak ada matahari, tidak ada fajar, tidak ada transisi antara gelap dan terang.Yang ada hanyalah keheningan yang lembut, seperti jeda di antara dua kalimat yang belum diputuskan tanda bacanya.Aku membuka mata, dan dunia sudah berubah.Langit tidak lagi menulis dirinya, melainkan mengingat.Setiap awan bergerak mengikuti ritme yang samar, seperti orang mengulang cerita lama yang pernah membuatnya menangis.Laut di kejauhan berbisik pelan, bukan dalam bahasa manusia, tapi dalam pola yang bisa kurasakan di dalam dada.Setiap debur ombak membawa satu makna yang tak bisa diucapkan: dunia ini sedang bermimpi.Arga berdiri di tepi pantai, menatap cakrawala yang terus berubah bentuk.Tubuhnya masih bercahaya lembut, tapi kini cahaya itu berdenyut pelan, seolah sinkron dengan denyut jantung dunia itu sendiri.“Kau mendengarnya?” tanyanya tanpa menoleh.Aku mengangguk.“Ya. Dunia sedang berkata sesuatu.”Kami berdiri di sana cukup lama, membiarkan angin lewat di anta
Malam itu tidak seperti malam sebelumnya.Bintang-bintang di langit bergetar pelan, huruf-huruf di dalamnya bergerak, berpindah posisi, menyusun ulang kalimat di antara gelap dan cahaya.Dunia seakan menahan napas, seperti sedang menunggu seseorang yang belum datang.Aku, Sinta, duduk di depan rumah yang kini bernafas lembut, mendengarkan bisikan halus dari angin yang membawa kata.Arga duduk di sampingku, matanya menatap langit yang menulis sendiri.Kami tahu sesuatu sedang berubah.“Kau merasakannya?” tanya Arga.Aku mengangguk.“Dunia ini sedang memanggil seseorang.”“Seseorang?”“Ya. Penulis baru.”Langit di atas kami perlahan membentuk lingkaran cahaya.Huruf-huruf melayang, berpadu, berputar seperti pusaran tinta yang belum memutuskan akan menjadi kalimat apa.Aku menatapnya lama, dan di dalam pusaran itu, sesuatu mulai terbentuk, sebuah bayangan, samar, seperti manusia yang belum selesai diucapkan.“Siapa dia?” tanyaku pelan.Arga menatap tajam, suaranya nyaris berbisik.“Dia b
Pagi di dunia baru terasa berbeda.Udara memiliki aroma yang tidak bisa dijelaskan, antara tinta dan embun, seperti perpaduan antara sesuatu yang lahir dan sesuatu yang diingat.Setiap napas terasa seperti membaca satu baris kalimat yang belum selesai.Dunia ini tidak lagi hanya ditulis oleh kami,dunia ini menulis kami kembali.Aku membuka mata di bawah langit yang menulis dirinya sendiri setiap detik.Awan bergerak bukan karena angin, tetapi karena kata-kata yang mengalir di antara mereka,menyusun bentuk, mengubah warna, mengingat hal-hal yang sudah lama berlalu.Arga duduk di sampingku, matanya menatap jauh ke cakrawala yang tak pernah diam.“Kau merasakannya juga, bukan?”Aku mengangguk.“Dunia ini tidak menunggu kita lagi. Ia mulai menulis tanpa kita.”“Ya,” jawabnya pelan. “Bahasa sudah belajar hidup sendiri.”Ia memegang tanganku.Di kulitnya, aku melihat huruf-huruf kecil muncul, berkilau pelan di bawah cahaya.Huruf itu bukan luka, bukan tanda, tapi seperti urat nadi yang me







