Beranda / Romansa / Suamiku Bukan yang Kukira / BAB 6 : Tamu Tak Diundang

Share

BAB 6 : Tamu Tak Diundang

Penulis: Sunshine
last update Terakhir Diperbarui: 2025-07-29 13:32:04

Hujan masih turun, menetes deras di atap seng yang berisik. Sinta berdiri kaku di ruang tengah, jantungnya menghentak lebih keras daripada bunyi ketukan yang baru saja terdengar di pintu. Arga mendekat, langkahnya berat, tangannya terulur ke gagang.

Tok. Tok. Tok.

Ketukan itu terdengar lagi, kali ini lebih keras, seakan seseorang di luar benar-benar tak sabar.

“Jangan dibuka,” bisik Sinta dengan suara parau.

Arga menoleh, menatap mata istrinya yang penuh rasa takut. Tapi di wajahnya sendiri, ada ketegangan bercampur tekad. “Kalau aku tidak buka, mereka akan terus datang. Lebih baik aku hadapi sekarang.”

Tangannya memutar kunci. Pintu berderit, membuka celah ke malam basah di luar.

Di ambang pintu, berdiri seorang pria berbadan tegap dengan jas hitam basah oleh hujan. Wajahnya dingin, matanya tajam, seperti tidak terpengaruh cuaca yang menusuk. Ia tersenyum tipis, tapi senyum itu lebih mirip ejekan.

“Selamat malam, Tuan Mahendra,” katanya datar.

Arga mengepal tangan di balik pintu. “Jangan panggil aku begitu.”

Pria itu hanya mengangkat alis, lalu menyerahkan sebuah amplop putih panjang. “Pesan dari Nona Maya. Beliau ingin memastikan Anda membaca ini sebelum tengah malam berakhir.”

Arga menatap amplop itu seolah benda itu beracun. “Katakan pada Maya, aku tidak akan kembali.”

Pria itu tersenyum lebih lebar. “Anda bisa bilang begitu pada saya, tapi pada akhirnya… darah tetap memanggil darah. Dan keluarga Mahendra tidak bisa lari dari dirinya sendiri.”

Sinta mendekat ke pintu, berdiri di belakang Arga. “Siapa dia, Ga?” suaranya bergetar.

Pria itu melirik Sinta sekilas, lalu menunduk hormat dengan sikap sopan palsu. “Istri Anda cantik, Tuan. Tak heran Maya begitu penasaran.”

Sinta tercekat, wajahnya pucat. Ia ingin bicara, tapi tenggorokannya tercekat.

Arga segera menutup pintu separuh, berusaha melindungi istrinya dari tatapan asing itu. “Katakan pada Maya, kalau dia berani mendekati Sinta, aku sendiri yang akan menghentikannya.”

Pria itu tidak terlihat gentar. Ia menyelipkan amplop itu ke sela pintu, memaksa Arga menerimanya. “Bacalah. Karena setiap keputusan yang Anda buat malam ini… akan menentukan siapa yang masih hidup besok pagi.”

Arga merenggut amplop itu, lalu menutup pintu dengan keras. Suara hujan kembali mendominasi, tapi ketegangan di dalam rumah tetap menggantung pekat.

Arga berdiri terpaku dengan amplop di tangannya. Sinta mendekat, matanya tak lepas dari benda itu. “Buka,” desaknya.

“Tidak sekarang,” jawab Arga cepat.

“Kenapa tidak sekarang?” Sinta mulai meninggikan suara. “Aku sudah terlalu lama hidup dalam kebohongan. Jangan tambah lagi dengan rahasia.”

Arga menatap istrinya, wajahnya letih, matanya penuh rasa bersalah. “Sin, aku takut kalau kamu baca isinya… kamu akan semakin menyesal menikah denganku.”

Air mata Sinta jatuh, tapi ia menatap suaminya dengan tatapan keras. “Aku lebih menyesal kalau kamu terus menganggapku lemah. Buka, Ga. Sekarang.”

Arga terdiam. Dengan tangan bergetar, ia merobek amplop itu. Dari dalam, ia mengeluarkan selembar kertas tebal berlogo Mahendra Group. Tulisan di atasnya singkat, tapi menusuk:

Datanglah ke Jakarta. Dewan menunggu. Bawa istrimu, atau konsekuensinya akan lebih buruk.

Sinta menutup mulut dengan tangan. Dadanya naik turun cepat. “Mereka mengancam aku juga sekarang?”

Arga meremas surat itu hingga kusut. “Aku tidak akan biarkan mereka menyentuhmu.”

“Tapi bagaimana kalau mereka benar-benar datang lagi? Kalau mereka”

Tiba-tiba suara langkah berat terdengar di luar, menyusuri jalan depan rumah. Sinta menegang, memeluk lengan Arga. Mereka menunggu, tapi langkah itu berlalu. Hanya sisa hujan yang terdengar lagi.

Arga menggenggam tangan istrinya erat. “Aku janji, Sin. Apa pun yang terjadi, aku akan melindungimu.”

Sinta menatapnya, matanya berkaca. “Kalau kamu benar-benar mau melindungiku, jangan ada lagi yang kamu sembunyikan. Aku harus tahu semuanya. Tentang Maya. Tentang keluargamu. Tentang siapa yang sebenarnya ingin menghancurkan kita.”

Arga mengangguk lemah, seolah beban puluhan tahun menimpa pundaknya. “Besok… aku akan ceritakan semua. Dari awal sampai akhir.”

Malam itu mereka tidak tidur. Sinta duduk di kursi ruang tengah, memeluk lutut, sementara Arga mondar-mandir dengan wajah gelisah. Surat dari Maya tergeletak di meja, tinta hitamnya masih basah oleh air hujan.

Menjelang dini hari, suara motor berhenti di depan rumah. Mereka saling berpandangan, tubuh menegang.

Arga meraih Sinta, menyuruhnya diam. Dari balik tirai, ia mengintip ke luar. Lampu motor menyala sebentar, lalu padam. Hanya bayangan samar seseorang berdiri menatap ke arah rumah.

Tak ada ketukan kali ini. Tak ada salam. Hanya sosok hitam yang berdiri diam di tengah hujan.

Ketika petir menyambar, bayangan itu terlihat jelas sebentar, mengenakan jas hitam yang sama seperti pria pembawa surat tadi.

Arga menutup tirai cepat, wajahnya pucat. “Mereka belum pergi.”

Sinta memeluk dirinya sendiri, tubuhnya gemetar. Untuk pertama kalinya, ia sadar rumah kontrakan kecil mereka bukan lagi tempat aman. Maya tidak hanya mengetuk pintu… ia sudah menjejak masuk ke dalam kehidupan mereka.

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • Suamiku Bukan yang Kukira   BAB 9 : Pertemuan Pertama

    “Halo, Sinta. Aku Maya. Kita perlu bicara. Tanpa Arga.”Suara itu dingin, tenang, namun penuh kuasa. Begitu telepon terputus, Sinta masih memegang ponsel dengan tangan gemetar. Jantungnya berpacu, dadanya sesak. Nama itu Maya selama ini hanya muncul sebagai bisikan di tengah malam, bayangan di balik rahasia Arga. Kini, suara nyata itu menembus telinganya, menghantam rasa penasaran sekaligus ketakutannya.Sinta terduduk di tepi ranjang kamar tamu rumah Rani. Ia menatap layar ponselnya yang gelap, seolah berharap suara itu kembali, memberi penjelasan. Tapi heninglah yang menyahut. Satu hal pasti: pertemuan itu tidak bisa dihindari.Di pagi itu, Rani menemukan Sinta di meja makan, wajahnya pucat, matanya sembab.“Kamu nggak tidur semalaman, ya?” tanya Rani sambil menuangkan teh hangat.Sinta hanya menggeleng. “Maya menelponku.”Rani membeku, cangkir hampir tumpah dari tangannya. “Maya? Maksudmu… perempuan itu?”“Dia bilang kami harus bicara. Tanpa Arga.”Rani menaruh cangkir, menatap ser

  • Suamiku Bukan yang Kukira   BAB 8 : Jejak Lama

    Hujan tipis masih membasahi jalanan ketika Sinta tiba di rumah Rani. Lampu teras menyala, memantulkan bayangan samar tubuhnya yang gemetar karena lelah dan bimbang. Rani, sahabat sejak kuliah, membukakan pintu dengan wajah terkejut.“Sin? Astaga, kamu kenapa? Mukamu pucat sekali,” Rani menariknya masuk tanpa banyak tanya.Sinta hanya mengangguk pelan, menyerahkan tas ke lantai. Rumah Rani jauh lebih besar dan nyaman daripada kontrakan sempitnya, tapi kehangatan itu terasa asing. Ada ruang kosong dalam dirinya yang tak bisa diisi oleh sofa empuk atau aroma kopi segar dari dapur.“Aku... butuh tempat tinggal sebentar,” ucap Sinta lirih. “Boleh kan?”“Ya ampun, tentu saja boleh. Kamu itu sahabatku. Duduk sini, ceritain semuanya.”Sinta menelan ludah. Ada bagian dirinya ingin membuka semua, tapi lidahnya kelu. Bagaimana menjelaskan bahwa suami yang selama ini ia kenal ternyata bukan teknisi biasa, melainkan bagian dari keluarga bisnis besar yang namanya hanya ia dengar di berita?Ia hanya

  • Suamiku Bukan yang Kukira   BAB 7 : Retakan di Rumah

    Pagi datang tanpa tidur. Matahari menembus celah tirai rumah kontrakan, tapi cahaya itu terasa dingin. Sinta duduk di kursi ruang tamu, menatap kosong pada meja di mana surat berlogo Mahendra Group masih tergeletak, kusut oleh genggaman tangan Arga semalam.Arga keluar dari kamar dengan mata merah, rambut acak-acakan. Ia menatap istrinya lama, tapi Sinta tidak berpaling.“Sin, kita harus bicara,” ucapnya akhirnya.Sinta mendengus pelan. “Akhirnya kamu sadar kalau kita memang perlu bicara? Setelah semua yang kamu sembunyikan?”Arga menarik kursi, duduk berhadapan dengannya. “Aku memang salah. Aku takut kehilanganmu. Tapi sumpah, aku hanya ingin melindungimu.”“Melindungi?” Sinta menatapnya tajam. “Kamu pikir dengan menyembunyikan semua ini aku jadi terlindungi? Tidak, Ga. Aku jadi sasaran mereka sekarang. Nama aku tertulis di surat itu. Ancaman itu untuk kita berdua!”Arga tertunduk, wajahnya menegang. “Aku janji, aku akan menyelesaikan ini. Aku akan pastikan mereka nggak akan menyentu

  • Suamiku Bukan yang Kukira   BAB 6 : Tamu Tak Diundang

    Hujan masih turun, menetes deras di atap seng yang berisik. Sinta berdiri kaku di ruang tengah, jantungnya menghentak lebih keras daripada bunyi ketukan yang baru saja terdengar di pintu. Arga mendekat, langkahnya berat, tangannya terulur ke gagang.Tok. Tok. Tok.Ketukan itu terdengar lagi, kali ini lebih keras, seakan seseorang di luar benar-benar tak sabar.“Jangan dibuka,” bisik Sinta dengan suara parau.Arga menoleh, menatap mata istrinya yang penuh rasa takut. Tapi di wajahnya sendiri, ada ketegangan bercampur tekad. “Kalau aku tidak buka, mereka akan terus datang. Lebih baik aku hadapi sekarang.”Tangannya memutar kunci. Pintu berderit, membuka celah ke malam basah di luar.Di ambang pintu, berdiri seorang pria berbadan tegap dengan jas hitam basah oleh hujan. Wajahnya dingin, matanya tajam, seperti tidak terpengaruh cuaca yang menusuk. Ia tersenyum tipis, tapi senyum itu lebih mirip ejekan.“Selamat malam, Tuan Mahendra,” katanya datar.Arga mengepal tangan di balik pintu. “Ja

  • Suamiku Bukan yang Kukira   BAB 5 : Bayangan Di Pintu

    Telepon itu masih bergetar di tangan Arga ketika suara Maya terputus. Ruang tamu seketika menjadi sunyi, tapi bukan sunyi yang menenangkan. Sunyi itu menekan dada Sinta seperti beban berat. Ia berdiri tegak di depan suaminya, kedua tangannya mengepal di sisi tubuh.“Apa maksudnya tadi?” suaranya pelan, tapi menusuk. “Kenapa dia sebut ayahmu? Dan kenapa terdengar seperti ancaman?”Arga mengusap wajahnya kasar, napasnya tersengal. “Maya tahu kelemahanku. Dia tahu aku nggak akan diam kalau Ayah dijadikan taruhan. Itu cara dia memaksaku kembali.”Sinta menatapnya tak percaya. “Jadi dia akan terus mengejarmu? Menekanmu sampai kamu menyerah?”Arga menunduk, suaranya berat. “Sepertinya begitu.”Belum sempat mereka bicara lebih jauh, ponsel itu kembali berdering. Nama yang sama terpampang jelas: Maya. Sinta menegang. Rasanya darahnya mendidih hanya dengan melihat huruf-huruf itu.“Angkat,” desaknya, tatapannya tajam. “Aku mau dengar sendiri.”Arga ragu. Jemarinya bergetar di atas layar. Tapi

  • Suamiku Bukan yang Kukira   BAB 4 : Nama Yang Kembali Hidup

    Pagi itu meja makan dipenuhi keheningan. Sinar matahari menembus tirai tipis, tapi suasana di dalam rumah justru lebih dingin daripada sisa hujan malam. Sinta duduk di seberang Arga, piringnya terhidang tapi belum disentuh. Matanya menatap kosong, hanya sesekali berpindah ke wajah suaminya yang muram.“Aku tunggu ceritamu,” ucapnya akhirnya. Suaranya pelan, tapi tegas, seolah tak memberi ruang lagi untuk pengalihan.Arga menunduk, jemarinya mengusap sendok yang tak bergerak. Ia menarik napas dalam-dalam sebelum membuka suara.“Maya... dia bukan sekadar mantan. Dia tunanganku. Pilihan keluarga. Semua diatur oleh Ayah, pernikahan, bisnis, masa depan. Aku hanya boneka di rumah itu.”Sinta mengernyit, dadanya terasa sesak.“Aku mengikuti semuanya karena aku takut. Tapi aku nggak pernah cinta sama dia,” lanjut Arga, suaranya bergetar. “Maya lebih mencintai nama Mahendra daripada aku. Segala tindakanku harus sesuai dengan citra keluarga. Sampai akhirnya aku merasa terpenjara.”Ia berhenti s

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status