“Terima kasih,” lirih Catleya.
Berkat bantuan dari Rajendra, sanggulnya kini sudah terlepas dengan sempurna. Tanpa diminta, Rajendra juga membukakan kancing di bagian belakang kebaya Catleya. Setelahnya, pria itu memilih duduk di tepian ranjang sembari mengecek ponselnya.
Suasana di dalam kamar begitu sangat canggung. Baik Rajendra maupun Catleya tidak tahu harus membuat obrolan seperti apa. Terlebih, jantung Catleya sama sekali tidak bisa berdetak dengan normal. Dari balik kaca rias, ia merasa setiap gerakannya seakan diperhatikan oleh Rajendra.
“Emmm, Jendra, aku mandi dulu,” ucap Catleya memecah keheningan. Karena tak tahan dengan kecanggungan yang ada, Catleya memutuskan untuk membersihkan diri dan berganti baju di dalam kamar mandi.
“Iya, saya juga pamit ke peternakan ayam dulu, Mbak,” pamit Rajendra.
"Kenapa?" tanya Catleya bingung. Kenapa juga harus ke peternakan di kala matahari sudah tenggelam.
"Memang sudah seharusnya begitu, peternakan harus tetap dipantau meskipun malam hari. Sebenarnya jam malam seperti ini malah lebih rawan untuk pencurian. Biasanya saya tidak melakukan pengecekan malam, tapi hari ini semua orang sedang bersenang-senang di balai desa," jelas Rajendra.
Catleya hanya mengangguk-anggukkan kepala mendengarnya. Dia tidak tahu apakah Rajendra sekadar mencari alasan, atau pria itu memang sangat protektif terhadap peternakan ayam miliknya. Barangkali karena lelaki itu baru saja menghabiskan uang tabungannya untuk resepsi pernikahan, sehingga dia takut mengalami kerugian.
"Ya sudah kalau begitu pergi saja,” putus Catleya.
Pada akhirnya Catleya mengizinkan suaminya itu pergi, lagi pula tidak ada alasan baginya untuk mencegah Rajendra. Justru lebih baik bila mereka tidak berduaan di dalam satu ruangan.
Setelah berpamitan kepada Catleya, Rajendra pun keluar dari kamar. Bersamaan dengan kepergian Rajendra, Nyonya Nandini yang sedang duduk di ruang tamu melihatnya. Wanita paruh baya itu terheran-heran kenapa menantunya itu harus keluar dari kamar di malam pertamanya dengan Leya.
Tidak mau berspekulasi aneh-aneh, Nyonya Nandini akhirnya menghampiri kamar Catleya. Beberapa kali, ia mengetuk pintu tetapi Catleya tidak merespon.
‘Ck, apa yang dilakukan anak itu di dalam, apa dia sudah tidur,’ batin Nyonya Nandini berdecak kesal.
Pantang menyerah, Nyonya Nandini kembali mengetuk pintu kamar Catleya lebih keras. Beberapa saat kemudian, barulah anak tirinya itu muncul di ambang pintu.
"Leya, ke mana kamu lama sekali membuka pintu?”
“Maaf, Ma, aku sedang mandi. Ada apa, Ma?” tanya Catleya dengan rambut yang masih basah.
“Ke mana Jendra pergi? Kenapa di malam pengantin dia malah meninggalkanmu?" tanya Nyonya Nandini penuh curiga.
"Dia pergi ke peternakan ayamnya, Ma. Katanya takut ada pencuri yang menyelinap karena tidak ada warga yang berjaga," jawab Catleya dengan malas-malasan.
"Sendirian?"
"Iya, terus?"
"Seharusnya kamu ikut dengannya, Leya. Kalian ini pasangan pengantin baru. Tidak baik kalau kalian berpisah di malam pertama pernikahan. Sana cepat susul Jendra ke peternakan!" perintah Nyonya Nandini.
"Tapi, Ma, aku harus melakukan apa di sana? Paling Rajendra sebentar lagi juga balik ke rumah. Kalau aku menemani dia, nanti malah mengganggu," tolak Catleya.
"Mama tidak mau tahu, pokoknya kamu harus menyusul suamimu. Mama akan minta ke Bi Ijah supaya mengantar kamu ke peternakan Rajendra sekarang."
Nyonya Nandini masih terus saja memaksa. Wanita paruh baya itu bahkan langsung menarik tangan Catleya untuk diajak keluar.
Pada saat itu, Catleya hanya bisa mengalah. Jika Nyonya Nandini sudah bersikeras seperti itu, maka tidak ada gunanya menolak. Bisa jadi telinganya justru akan berdengung sakit bila mendengar ceramah dari sang ibu tiri.
"Bi Ijah," panggil Nyonya Nandini.
Dengan tergesa-gesa, Bi Ijah langsung datang. Perempuan paruh baya itu bingung kenapa tiba-tiba Nyonya Nandini memanggilnya dengan lantang.
"Ada apa, Nyonya?"
"Tolong antarkan Leya ke peternakan milik Jendra sekarang," jawabnya.
"Malam-malam begini?"
"Iya, suaminya ada di sana. Jadi tolong antarkan Leya ke sana, setelah itu Bi Ijah bisa meninggalkan Catleya."
Tanpa banyak bertanya, Bi Ijah langsung mengantarkan Catleya ke peternakan milik Rajendra. Sesampainya di sana, aroma khas peternakan ayam langsung saja memenuhi indera penciuman Catleya. Secara refleks, Catleya menutup hidungnya rapat-rapat, berbeda dengan Bi Ijah yang tidak terganggu sama sekali.
Rajendra yang kebetulan baru keluar dari kandang, terkejut melihat kedatangan Catleya dan Bi Ijah.
"Mbak Leya, Bibi Ijah, kalian kenapa ke sini?" tanyanya.
"Aku mengantarkan Non Leya, Jendra. Nyonya menyuruh Non Leya untuk menemanimu. Pengantin baru itu harus selalu bersama," jawab Bi Ijah dengan senyuman menggoda.
Mendengar perkataan Bi Ijah, Catleya hanya diam saja sambil menggaruk belakang lehernya yang tak gatal. Sedangkan Rajendra hanya menatap sekilas kepada Catleya dengan ekspresi yang sulit ditebak.
"Oh, begitu. Seharusnya Mbak Leya tidak perlu ke peternakan ayam, di sini bau dan banyak nyamuk," ucap Rajendra.
“Tidak apa-apa, sesekali aku perlu melihat bagaimana usaha peternakanmu dijalankan,” jawab Catleya tersenyum canggung.
Melihat pasangan baru itu masih malu-malu kucing, Bi Ijah pun segera mengambil tindakan. Dia tidak mau menjadi penghalang di antara Catleya dan Rajendra.
"Kalau begitu, Bibi pamit pulang dulu. Kalian nikmati malam ini berduaan," sela Bi Ijah sebelum akhirnya pergi dari sana.
Sepeninggal Bi Ijah, Catleya menjadi bingung harus berbuat apa. Dia bahkan tidak tahu apa tujuannya datang ke peternakan.
"Mama yang memaksaku untuk ke sini, jadi ...."
"Iya, Mbak, saya tahu." lanjut Rajendra, "karena Mbak Leya sudah di sini, apa mau masuk ke dalam untuk melinat-lihat? Atau mau coba memberi makan ayam, nanti saya ajari caranya."
"Boleh,” jawab Catleya. Walaupun sedikit jijik, tak ada salahnya bila dia mencoba menyesuaikan diri dengan pekerjaan sang suami.
Rajendra lantas mengambil pakan ayam terlebih dahulu sebelum mengajak Catleya masuk ke kandang. Pria itu menceritakan bahwa dia memelihara dua jenis ayam, yaitu pedaging dan petelur. Dia juga menjelaskan kepada Catleya perihal pengelompokan ayam berdasarkan usianya.
Dengan telaten, Rajendra memberi makan ayam-ayamnya. Sementara itu, Catleya hanya mengekor di samping suaminya itu karena masih belum terbiasa. Dari mimik wajahnya terlihat jelas kalau dia tidak nyaman, ditambah lagi bau ayam yang sangat menyengat.
"Banyak juga, ya, ternyata ayam kamu." Catleya mencoba untuk menciptakan obrolan.
"Ya, lumayan, Mbak."
"Tidak kaget kamu dijuluki juragan besar."
"Orang-orang saja yang berlebihan, Mbak. Padahal saya tidak sehebat itu,” ucap Rajendra merendahkan diri.
Catleya pun mencuri pandang ke arah Rajendra yang berjalan di depannya. Meski untuk ukuran wanita dirinya tidak pendek, tetapi saat bersama Rajendra dia hanya sebatas bahu lelaki itu. Sepertinya Rajendra memang bisa dijadikan tempat perlindungan yang aman untuknya.
Ketika asyik mengamati Rajendra, tiba-tiba saja Catleya tidak fokus dengan jalan yang dia lalui. Alhasil, kakinya tersandung oleh batu kecil yang ada di sana.
"Aaa!" teriak Leya dengan lantang. Tubuh wanita itu hampir saja jatuh ke tanah. Untung saja tangan Rajendra lebih gesit menangkap tubuh sang istri sebelum terlambat.
"Hati-hati ...."
Jantung Catleya mendadak berdebar kencang karena pinggangnya dipeluk oleh Rajendra. Apalagi mendapat tatapan kekhawatiran dari suaminya itu, membuat tubuh Catleya seakan lemas seketika.
"Mbak Leya baik-baik saja?" Pertanyaan Rajendra membuyarkan lamunan Catleya. Wanita itu bergegas membenarkan posisinya.
“Iya, aku baik-baik saja. Aku hanya terkejut saja tadi," jawabnya sambil merapikan rambut.
Melihat pipi Catleya yang memerah, Rajendra menyunggingkan senyum hingga lesung pipitnya kembali tercetak jelas.
“Sekarang kita ke kandang anak ayam, Mbak,” ajak Rajendra.
Dengan patuh, Catleya mengikuti langkah sang suami. Namun, perempuan itu berhenti mendadak karena mendengar suara langkah kaki yang memasuki pintu kandang. Sontak, ia bersembunyi di balik punggung lebar Rajendra.
“S-siapa itu, Jendra?”
“Tenang saja, Mbak, itu pasti salah satu pegawai saya. Mbak tunggu di sini, saya akan periksa ke depan,” ucap Rajendra lantas melangkah pergi. Dengan wajah tegang, Catleya pun menunggu Rajendra kembali. Perempuan itu baru bisa bernapas lega tatkala melihat Rajendra datang bersama seorang pria berusia empat puluh tahunan. Dari gestur tubuhnya, tampak bahwa lelaki tersebut sudah mengenal Rajendra dengan baik. “Ini Pak Yadi, pengawas kandang. Dia kemari untuk tugas jaga malam,” kata Rajendra memperkenalkan pria itu kepada Catleya. “Selamat malam, Bu, maaf kalau kedatangan saya buat Ibu kaget. Saya baru saja selesai membersihkan balai desa bersama warga,” kata Pak Yadi sembari menunduk hormat. “I-iya, Pak, tidak apa-apa,” jawab Catleya merasa malu sendiri. Memang dirinya yang terlalu penakut hingga berpikiran macam-macam. “Pak, tolong jaga kandang. Besok sebelum jam tujuh pagi, saya akan datang,” titah Rajendra. Setelah memberikan arahan kepada pegawainya, Rajendra berpaling untuk
Mendengar pengakuan spontan dari Rajendra membuat Catleya tidak dapat menahan tawa. Catleya tidak menyangka masih ada pria sepolos Rajendra di muka bumi. Mana mungkin laki-laki seusia Rajendra tidak mengetahui mengenai hal-hal yang berbau dewasa, kecuali dia benar-benar seorang yang alim. Walaupun tidak pernah melakukan, paling tidak seseorang memiliki pengetahuan lewat buku, artikel maupun film. Di samping itu, Catleya juga tidak percaya bila Rajendra belum pernah berpacaran. Dengan didukung paras tampan dan kantong yang tebal, rasanya mustahil bila tak ada gadis yang berusaha untuk menarik perhatian Rajendra. Merasa ditertawakan, Rajendra menatap heran kepada Catleya. "Apa ucapan saya tadi lucu, Mbak?" Catleya tidak langsung menjawab, karena wanita itu masih berupaya mengendalikan tawanya. Beginilah resiko bila menikah dengan lelaki yang masih bocah biarpun secara fisik sudah terlihat dewasa. Sebagai pihak yang lebih tua, ia harus bisa memahami sisi kekanak-kanakan dalam diri
“Jendra….” lirih Catleya. Sengaja Catleya memanggil Rajendra dengan suara lirih untuk mengetes apakah suaminya itu sudah tidur atau belum. Tak ada sahutan yang terdengar dari lelaki itu, pertanda bahwa ia telah terbang ke alam mimpi. Ternyata Rajendra termasuk tipe orang yang mudah sekali terlelap hanya dalam hitungan menit. Berbeda dengan dirinya yang sulit memejamkan mata bila di sebelahnya ada orang lain. “Sebenarnya dia tidur atau hanya pura-pura?” gumam Catleya bermonolog.Merasa penasaran, Catleya beringsut mendekat kepada Rajendra. Dengan bertumpu pada sikunya, perempuan itu mengintip sang suami. Kedua kelopak mata pemuda itu terkatup rapat tanpa adanya pergerakan sama sekali. Catleya mencoba untuk mengamati Rajendra lebih dekat. Namun, ia malah menjadi gagal fokus saat memperhatikan bentuk wajah, alis, hidung, dan bibir suaminya. Sungguh, seorang lelaki tampan dalam kondisi apa pun tetaplah tampan, bahkan saat ia memejamkan mata. Barangkali jika Catleya bisa melukis, maka
Mendengar itu, Meliana justru memasang ekspresi prihatin sembari melipat tangannya di depan dada. "Kami datang jauh-jauh untuk memberimu ucapan selamat, Kak. Setahuku pengantin baru biasanya penuh kebahagiaan, tetapi kenapa wajahmu masam begitu? Apa kamu mengalami stress berat setelah menjadi wanita desa?” sarkasnya. Sekilas Catleya melihat Adrian menyenggol lengan Meliana agar berhenti bicara. Tindakan Adrian tidak membuat Catleya tersentuh sama sekali. Justru ia ingin menunjukkan kepada lelaki itu bahwa seorang Catleya Wiryawan bisa membela diri tanpa membutuhkan bantuan dari siapapun. “Aku tadi bangun pagi dengan wajah berseri-seri. Tetapi mood-ku langsung hancur saat ada dua lalat pengganggu yang beterbangan di rumahku. Selain bau busuk, lalat itu terus mendengung di telingaku. Aku berencana untuk menggeplaknya dengan raket listrik supaya lalat itu berhenti mengganggu kebahagiaanku,” tandas Catleya menekan setiap kalimatnya. Kini wajah Meliana memanas. Namun, perempuan itu
“Saya memang butuh bantuan dari Mbak Leya, tetapi bukan sekarang. Nanti Mbak Leya juga akan tahu kalau waktunya sudah tiba,” jawab Rajendra penuh teka-teki. Catleya terdiam. Namun, ia mencoba tak ambil pusing dan mengangguk. Mungkin, suaminya ini memang butuh waktu.***** “Jendra, apa kamu akan ke peternakan lagi?” tanya Catleya mengikuti langkah Rajendra yang berjalan menuju dapur. Jika pemuda itu sudah tidak disibukkan oleh pekerjaan, Catleya berencana akan bicara mengenai kepulangannya. Dia juga akan memesan tiket bus agar secepat mungkin bisa meninggalkan desa Purwabinangun. Catleya bertekad untuk mengurus keperluannya sendiri agar tak selalu merepotkan Rajendra. “Iya, dua jam lagi saya akan kembali ke kandang untuk mengawasi penyuntikan vaksin. Mungkin saya pulang agak malam,” kata Rajendra sembari mencuci tangannya dengan air sabun. “Ayam juga perlu divaksin?” tanya Catleya heran. Catleya memang tidak tahu-menahu cara memelihara hewan yang menjadi makanan favorit sebagi
Dalam beberapa detik, Catleya mengerjap-ngerjapkan mata lantas mencubit tangannya sendiri di bawah meja. Ketika merasakan kulitnya tertarik, barulah Catleya yakin bahwa ia tidak bermimpi di siang bolong. Ternyata dewi fortuna sedang berpihak kepadanya hingga Rajendra tiba-tiba mendapat pekerjaan di kota! Meski senang bukan kepalang, Catleya lantas berpikir keras. Bila Rajendra turut serta pindah ke Jakarta, artinya mereka akan tinggal serumah lagi. Bukannya dia benci kepada Rajendra, tetapi Catleya tidak ingin terbawa perasaan jika serumah terus dengan sang suami. Pasalnya dengan jurang perbedaan usia yang cukup jauh, tidak mungkin bagi mereka untuk menjalani pernikahan sungguhan. Di samping itu, Rajendra nampaknya lebih tertarik mengurusi ayam dibandingkan memikirkan masalah cinta...? “Apa kamu akan bekerja di perusahaan peternakan juga? Lalu bagaimana dengan usahamu sendiri di desa ini?” tanya Catleya penasaran. “Pekerjaan saya tidak ada hubungannya dengan ayam, Mbak. Soal pe
Bukannya ikut bersemangat, Catleya justru menguap lebar. Kedua kelopak matanya mendadak terasa berat dan minta untuk dipejamkan dengan segera. Mungkin ini merupakan efek samping dari perutnya yang sudah kekenyangan. Atau bisa jadi dia terlalu bosan mendengarkan informasi yang disampaikan oleh Ineke.“Ley, kamu masih mendengarkan aku?” tanya Ineke merasa diabaikan.“Sorry, aku tiba-tiba ngantuk banget, Ke,” jawab Catleya sambil menguap untuk kedua kalinya.“Ish, bisa-bisanya menguap di saat aku bicara serius denganmu. Aku sumpahin kamu nanti jatuh cinta dengan CEO baru kita,” sembur Ineke.“Itu tidak mungkin terjadi, karena kami beda alam,” jawab Catleya sekenanya. Mana mungkin dia bisa jatuh cinta sedangkan melihat rupa CEO saja belum pernah. Seandainya suatu hari mereka tak sengaja berpapasan di lobi atau lift, paling hanya dianggap angin lalu saja. Mustahil ada adegan jatuh terpeleset atau tabrak-menabrak yang berujung cinta, seperti dalam serial drama. Itu semua hanyalah imajinasi
Mengetahui ada lelaki lain yang menelepon istrinya, entah mengapa Rajendra merasa tidak suka. Pemuda itu pun meraih ponsel Catleya dan bermaksud untuk menerima panggilan tersebut. Namun selang beberapa detik, Rajendra mengurungkan niatnya. Bisa jadi Catleya akan marah bila ranah pribadinya diusik oleh orang lain. Akhirnya, Rajendra mencoba lagi untuk membangunkan Catleya. Kali ini, dia menggoyangkan lengan Catleya lebih kencang dari sebelumnya, tetapi wanita itu masih tak bergeming. Catleya malah mencebikkan bibirnya, seolah kesal karena ada yang berani mengganggu tidurnya. Merasa gemas sendiri, Rajendra pun berpikir untuk membangunkan istrinya itu dengan cara yang sedikit ekstrem. Sementara Catleya yang masih tidur nyenyak memimpikan seorang pria mendatanginya. Wajah pria itu tidak jelas seperti terhalang oleh bayang-bayang hitam. Lambat laun pria itu semakin mendekat hingga bibir mereka berdua hampir menempel. Bukannya menolak, Catleya justru tidak berkutik sama sekali. Dia su