“Ayo, kita ketemu.”
Pagi-pagi sekali Lily sudah menelepon Hansel. Semalaman dia tidak tidur. Waktunya habis untuk menangisi kisah cintanya dengan Hansel serta merutuki kebodohannya sendiri.
[Kangen, ya, Babe?]
Kalau biasanya Lily akan menjawab dengan manja, maka kali ini Lily mengernyit jijik mendengar balasan dari Hansel. Lily yakin sebenarnya Hansel sudah tahu dari Melati perihal kemarin. Namun, lelaki yang menjabat sebagai pacar Lily selama tiga tahun itu pura-pura tidak mengetahui.
“Nanti aku share waktu dan tempat pertemuan kita.” Tanpa menunggu jawaban dari Hansel, Lily menutup sambungan telepon.
Lily menaruh ponselnya di atas nakas dan kembali merebahkan diri. Otaknya mulai menyusun rencana untuk hari ini. Lily akan menginterogasi Hansel habis-habisan. Siapa tahu nanti bisa digunakan sebagai bukti perselingkuhan lelaki itu dengan Melati.
Kepala Lily terarah ke kanan. Matanya langsung menangkap pigura dengan potret sang ibu yang bernama Nina. Nina sudah meninggal sejak Lily berada di kelas dua SMP. Bisa dikatakan sejak saat itu Lily berhenti mendapatkan kasih sayang seorang ibu, walaupun tiga tahun setelah Nina meninggal Andrean menikah lagi.
Sania bukan ibu tiri yang jahat, tetapi bukan jenis ibu sambung yang memberi kasih sayang dan perhatian penuh untuk anak sambungnya. Lily tidak dekat dengan Sania, meski tidak benci juga. Lily justru jauh lebih dekat dengan Mbok Sum, ART di rumahnya. Sayang sekali Mbok Sum sudah berhenti setahun lalu karena sudah cukup tua untuk bekerja. Berhentinya Mbok Sum bertepatan dengan kepulangan Lily dari luar negeri.
Tangan Lily menjangkau pigura tersebut. Telunjuknya mengelus wajah cantik mendiang sang ibu. Sepasang bola mata Lily terselimuti embun.
“Ma, Lily harus gimana? Lily nggak punya siapa-siapa untuk dimintai pendapat. Mbok Sum udah nggak ada di sini. Sementara Papa udah nggak pernah jadi ‘teman’ Lily lagi.” Embun yang menyelubungi mata Lily kini menetes.
Lily mendekap pigura di tangannya dengan erat. Ia biarkan air mata terus mengalir. Tak dipedulikan lagi matanya yang akan bertambah sembap. Lily hanya ingin menumpahkan segala kerinduan dan kegundahan hatinya. Sembari otaknya mengimajinasikan sedang memeluk sang ibu.
***
“Kamu kemarin ke mana?” tanya Lily to the point. Anak dari salah satu orang golongan old money itu menatap Hansel. Sorot matanya tajam.
“Kemarin aku di rum—”
“Di rumah selingkuhan kamu?” potong Lily.
“What do you mean, Baby? Selingkuhan?” Hansel terkekeh di akhir kalimat. Kepalanya menggeleng-geleng, seolah tidak habis pikir dengan pertanyaan Lily.
Lily tidak langsung menjawab. Pandangannya beralih pada kolam ikan milik adik seayahnya, Fero. Lily dan Hansel memang tidak jadi pergi karena Lily ketiduran. Jadi, mereka bicara di rumah Lily.
“Kak Melati. Selingkuhan kamu, ‘kan?” tanya Lily lirih.
“Baby, aku makin nggak ngerti maksud kamu. Melati selingkuhanku? Mana mungkin. Kamu tahu kalau aku dan dia nggak begitu dekat. Lagian aku mana pernah berpikir selingkuh dari kamu. Kamu udah lebih dari cukup buatku.” Hansel mencoba meraih tangan Lily, tetapi perempuan itu menepisnya.
“Nggak dekat kelihatannya, tapi di belakang semua orang kalian tak terpisahkan. Kalian bahkan nggak malu untuk saling menelanjangi diri. Kalian dengan tega mengkhianati aku. Sebelum selingkuh, kamu nggak mikirin perasaanku, ya? Kamu mikir nggak, sih, kalau sebentar lagi kita itu mau nikah? Mikir nggak?!” Lily tidak lagi mampu menutupi sakit hatinya.
Hansel tidak menyahut. Dia memalingkan wajah.
“Jangan diem aja, Hansel! Benar ‘kan kamu selingkuh sama Kak Melati?” cecar Lily. Wajahnya sudah basah oleh air mata.
Hansel kembali menatap Lily. “Kalau iya, memang kenapa?” Bukannya merasa bersalah, Hansel malah menantang.
“Kalau iya, berarti pernikahan kita batal!” putus Lily.
“Batal, ya, batal. Dipikir gue mau apa hidup sama cewek sok suci kayak lo? Asal lo tahu gue itu udah bosen harus bertahan sama cewek kayak lo. Pengangguran, mana nggak ada yang bisa dibanggain. Kelebihan dari lo itu cuma lo yang anak orang tajir dari lahir.” Cara bicara Hansel seketika berubah. Mulutnya dengan tega merendahkan Lily.
Lily tergemap. Seumur-umur kenal dengan Hansel, Lily tidak pernah melihat Hansel marah padanya. Apalagi sampai berucap sekeras dan sekasar itu. Cacian Hansel barusan serupa perasan jeruk yang diteteskan di atas luka bagi Lily.
Mata Lily kembali berembun. Kedua tangannya mengepal di samping tubuh. Badannya gemetar menahan luapan luka dan amarah.
“Kamu tahu,” ucap Lily pelan, “tadinya aku hanya ingin meminta penjelasan. Aku ingin bertanya siapa yang akan kamu pilih antara aku dan Kak Melati. Masih ada sedikit harapan di hatiku kalau kamu akan memilih aku. Tapi sekarang aku nggak perlu bertanya. Karena aku yang akan memilih.”
Lily berjalan masuk ke rumah. Tujuannya hanya satu, membicarakan pembatalan pernikahannya dengan Hansel kepada sang ayah. Hari ini ayah Lily bekerja dari rumah karena Fero si anak lelaki satu-satunya keluarga Barata tidak ingin ditinggal.
Tanpa mengetuk, Lily membuka pintu ruang kerja Andrean. Andrean yang semula fokus pada laptopnya kini menatap Lily dengan sorot menuntut.
“Aku mau membatalkan pernikahanku sama Hansel, Pa. Pokoknya aku mau batal,” tegas Lily.
Andrean berdiri. Pria paruh baya itu mendekatkan diri pada Lily. Tatapannya berubah tajam. “Kamu lupa ucapan Papa kemarin?” tanya Andrean dengan nada rendah.
Lily merasa ciut, tetapi ia harus tetap mengutarakan pendapatnya. Ini demi masa depan Lily. “Pa, Hansel ngaku kalau dia udah selingkuh sama Kak Melati. Dia bilang sendiri, Pa,” ucap Lily meyakinkan Andrean.
“Bohong, Om!” Hansel muncul di belakang Lily dan menyanggah ucapan Lily. “Lily yang menuduh aku macem-macem, Om. Entah kenapa Lily kekeh mau membatalkan pernikahan kami. Kalau ini sampai terjadi, keluarga aku bisa malu, Om.”
Mendengar ucapan Hansel yang sebenarnya sedang playing victim itu membuat Andrean makin meradang. “Kalian akan tetap menikah.”
“Nggak mau, Pa! Lily nggak mau menikah sama cowok b*ajingan. Nggak akan pernah ma—”
Suara tamparan yang nyaring menghentikan penolakan Lily. Tubuh Lily gemetaran. Pipi kirinya terasa kebas. Rasa sakit menyebar ke relung hati Lily.
“Kalau kamu menolak menikah dengan Hansel, pergi dari rumah ini. Silakan hidup semaumu, tetapi jangan pernah menggunakan apa pun yang saya beri untuk kamu.” Andrean berbalik badan usai mengusir Lily.
Lily masih terhenyak di tempatnya. Hansel pun terdiam di sebelah Lily.
“Baik, Pa. Lily akan pergi. Maaf kalau Lily selalu membuat masalah dan masih belum bisa membuat Papa bangga.” Akhirnya Lily bisa bersuara setelah terdiam beberapa saat.
Hansel mengejar Lily. Lelaki itu berusaha membuat Lily goyah pada keputusannya. Namun, Lily tidak memedulikan ocehan Hansel. Lily menutup pintu kamarnya guna menghindar dari lelaki itu.
Seperempat jam kemudian, Lily sudah keluar dari gerbang tinggi rumah keluarga Barata. Tidak ada seorang pun yang mencegah kepergiannya. Perempuan bertinggi 168 sentimeter itu berhenti sejenak untuk merekam megahnya rumah tersebut. Entah kapan dia bisa kembali tinggal di sana.
“Atau justru aku nggak akan pernah bisa kembali?” Setetes air mata turun bersamaan dengan lirihnya tanya Lily.
Lily dengan berat melangkahkan kakinya. Di tangan kanannya ada sebuah tas yang diisi beberapa potong pakaian lawas dan barang penting yang Lily punya. Sementara tangan kirinya memegang ponsel keluaran lama. Ponsel yang dulu dibeli dari uang jajannya tanpa sepengetahuan sang ayah.
Sepanjang jalan menuju jalan raya, Lily menghubungi teman-temannya. Lily ceritakan secara singkat apa yang terjadi padanya guna mengharap bantuan. Namun, tidak ada yang bersedia mengulurkan tangan. Lily tersenyum miris. Rupanya dia tidak memiliki teman sejati.
“AWAAAS!”
Tiba-tiba ada suara klakson motor yang panjang disertai teriakan membuat Lily tergeragap. Namun, tahu-tahu Lily sudah terjatuh dengan lengan membentur pinggiran trotoar. Perempuan berkulit putih itu meringis.
“Mbak, bisa nggak kalau melamun jangan di jalan?” Lelaki berwajah kebule-bulean berdiri di dekat Lily dengan kesal. “Ini yang salah Mbak, tapi yang jadi sasaran orang-orang pasti saya.”
Alih-alih menyahuti teguran lelaki itu, Lily justru menangis. Air mata Lily keluar dengan deras. Sebenarnya Lily bukan menangis karena diomeli orang asing, tetapi dia menangisi keadaannya yang berubah hanya dalam 24 jam.
“Eh, Mbak, kok malah nangis. Mbak jangan nangis itu orang-orang makin banyak yang mau nyamperin.” Lelaki yang baru saja menyerempet Lily itu terdengar panik. Dia berjongkok di depan Lily. “Oke, oke, saya minta maaf. Ayo, ke rumah sakit. Saya akan tanggung jawab.”
Lily berusaha menghentikan tangisnya. “Sa-saya boleh minta tolong aja nggak?” tanya Lily terbata.
“Iya, boleh. Tapi kita bisa pergi dulu nggak? Saya nggak mau dihakimi orang-orang itu,” sahut lelaki itu cepat.
Lily mengedarkan pandangannya. Benar, ada beberapa orang yang berjalan mendekat. Mungkin mereka ingin menolong Lily yang baru saja diserempet motor lelaki blasteran di depannya ini.
“Iya, kita pergi aja dari sini. Tapi nama Mas siapa? Mas orang baik, ‘kan?” Pertanyaan bodoh itu mendadak keluar dari mulut Lily.
Lelaki itu berdecak. Bisa Lily tebak kalau dia makin kesal. Namun, dengan cepat lelaki tersebut menarik tangan Lily untuk berdiri.
“Lucas. Nama saya Lucas.”
***
BAB 17BERTEMU PAPA“Ly, are you okay?”Lily terkesiap kala bahunya ditepuk pelan oleh Celine. “Apa, Lin? Maaf aku nggak dengar.”Celine menggeleng. “Yuk, kita cari tempat duduk,” jawab Celine tidak bertanya lagi.Lily berjalan dengan tangan yang kini dirangkul oleh Celine. Sesekali netranya melirik ke meja yang menyita perhatiannya tadi. Konsentrasi Lily kembali buyar sampai-sampai mejanya telah penuh makanan.“Ly, aku nggak tahu kamu lagi kenapa. Tapi kamu harus makan. Ini makanan yang kita pesan udah datang, lho. Aku nggak mungkin habisin semua ini sendirian.”“Oh, iya.” Lily kembali tergeragap.Tangan Lily menyentuh sendok. Ia harus fokus agar tidak membuat Celine khawatir. Selera makannya tidak ada, tetapi Lily terpaksa menyuap.“Ly, setelah ini kita pulang aja, ya,” ucap Celine setelah beberapa saat hanya sibuk makan.Lily mengangkat wajah. “Bukannya kamu mau beli buku dulu?” tanya Lily.“Udah besok aja,” jawab Celine ringan.Rasa bersalah menyusup di hati Lily. Celine pasti mem
“Jawab dengan jujur, Lily. Apa yang terjadi?”Lily meringis mendengar pertanyaan Lucas. Dia yang mewanti-wanti agar Jo tidak melaporkan kepada Lucas tentang apa yang terjadi. Namun, Lily dengan bodoh malah membongkarnya sendiri.“Ehmm ….” Lily memutar otak mencari alasan yang masuk akal.“Lilyana?” Suara Lucas sarat intimidasi.Sepasang kelopak Lily tertutup. Memang mau dibuat-buat sebagaimana pun tetap tidak ketemu alasan masuk akal untuk menjawab Lucas. Sepertinya Lily harus mengatakan dengan jujur apa yang terjadi di rumah produksi yang Lucas dirikan.“Sebenarnya, aku ngasih SP buat dua orang tim promosi. Namanya Sherly sama Dania. Dua orang itu berpakaian kurang sopan di kantor. Niatnya cuma kutegur, tapi mereka ketahuan ngata-ngatain aku. Sejujurnya, ….” Lily mengamati perubahan ekspresi Lucas, tetapi tidak ada perubahan berarti.Karena itu, Lily berani melanjutkan ceritanya. “Sejujurnya, apa yang aku lakukan itu kekanak-kanakan. Aku ambil keputusan karena emosi. Aku udah nggak pr
Kaki jenjang Lily membawa perempuan itu ke depan meja resepsionis AnA Construction. Siang ini Lily datang ke perusahaan tempat sang suami bekerja. Selain untuk menyampaikan suatu hal yang penting, juga untuk makan siang bersama. Lily datang sendiri sebab Jo sedang memantau persiapan syuting miniseri.“Permisi, saya mau bertemu Pak Lucas Andromeda,” ucap Lily.“Sudah ada janji, Bu?” tanya sang resepsionis sesuai standar.“Tadi saya sudah kirim pesan ke Pak Lucas langsung tadi.”“Baik. Saya konfirmasi ke sekretaris Pak Lucas sebentar, ya, Bu. Atas nama Ibu siapa?” Tanggapan resepsionis itu kian ramah.“Bilang saja atas nama Lilyana dari ImajinasiKu.”Setelah mendapat jawaban dari sekretaris Lucas, Lily dipersilakan naik. Sesampainya di lantai yang dituju Lily diminta menunggu. Ternyata Lucas sedang rapat. Di pojok ruangan dengan 3 sofa single dan meja bundar yang cukup nyaman itu Lily duduk seorang diri. Kaca besar yang menampilkan pemandangan kota menjadi perhatian Lily.“Silakan dimin
Lily menghapus air mata yang diam-diam keluar. Ia terharu melihat pemandangan di hadapannya. Celine sedang memeluk Edward di atas ranjang rumah sakit setelah menangis tersedu. Celine yang ceria kini hilang. Adik Lucas itu sudah tidak mampu menutupi kesedihan mendengar sang ayah sakit.Serapat-rapatnya keluarga menutupi dari Celine, pada akhirnya dia mengetahui jika Edward kecelakaan dan tengah dirawat. Itulah alasan Celine pulang dari London. Saat menelepon untuk mengonfirmasi kebenaran berita tentang Edward memang Celine menangis, tetapi sekadar menitikkan air mata.Kepala Lily menoleh ke samping kala dirasa ada yang memeluk bahunya. Ternyata itu datang dari sang suami. Lucas menatap lurus ke depan. Kini Lily menelengkan kepalanya agar bisa melihat ke mata Lucas. Mungkin karena merasa diperhatikan, Lucas menoleh kepada Lily.“Apa?” gumam Lucas.Gelengan Lily berikan untuk Lucas.Lucas mendengkus, tetapi kepalanya kembali diarahkan ke depan. Lily pun mengikuti gerakan itu.“Udah, ya,
“Astaga!”Lengkingan serta gerakan heboh Lily membuat lelaki yang tidur satu ranjang dengannya terganggu.“What’s wrong?” tanya Lucas serak. Matanya terbuka sekejap, lalu terpejam lagi.“Kita kesiangan, Mas,” jawab Lily sambil lalu. Lily melesat ke walk in closet untuk mengambil baju ganti. Berlari kecil Lily menuju kamar mandi. Ini memang akhir pekan, tetapi Lily dan Lucas ada agenda pagi ini. Sekarang sudah terlambat 20 menit dari waktu seharusnya mereka pergi. Gara-gara mengobrol sampai dini hari Lily dan Lucas terlambat bangun.Tidak selama biasanya Lily berada di kamar mandi. Ia hanya melakukan aktivitas di kamar mandi dengan kilat. Dia sudah mencoba bersiap secepat yang dirinya bisa, tetapi saat kembali ke kamar Lily dibuat kesal.Lucas masih bergelung di balik selimut. Sepertinya pria itu tidur lagi. Rasanya Lily mau mencak-mencak.“Terserah, deh. Aku pergi sendiri aja. Minta diantar sopir aja,” ucap Lily bicara sendiri.Lily tidak sempat merias wajah. Dia hanya menggunakan ba
Waktu menunjukkan hampir tengah malam. Lily baru saja terbangun karena merasakan kantung kemihnya penuh. Karena besok weekend, tadi sore Lily dan Lucas mampir ke rumah sakit lagi. Mereka cukup lama di sana. Lily pun banyak minum sehingga malam-malam dia harus terbangun untuk menuntaskan hajat.Sebelum kembali ke ranjang, Lily melirik sofa bed tempat tidur Lucas selama di rumah orang tuanya. Melihat posisi selimut yang melorot, Lily berinisiatif memperbaikinya. Saat berdiri di samping Lucas tidur baru Lily sadari jika sofa bed itu tidak mampu menampung tinggi badan Lucas.Lily terenyuh. Lucas pasti menahan ketidaknyamannya. Padahal ini di rumahnya sendiri, tetapi Lucas malah tidak tidur dengan baik.“Mas, bangun.”Lily menepuk lengan Lucas yang tidur di sofa bed. Beberapa kali tepukan Lucas tak kunjung bangun. Pria itu terlihat begitu pulas. Di wajahnya juga terdapat gurat kelelahan. Akan tetapi, kasihan kalau dibiarkan tetap tidur di tempat tidak nyaman begitu. Pada akhirnya, Lily me