“Aku hanya salah lihat. Aku pasti salah lihat.”
Lily terus merapalkan kalimat yang sama sepanjang ia melangkah. Seolah-olah itu adalah mantra penolak bala. Untung saja sepanjang lorong Lily tidak bertemu dengan siapa pun. Kalau saja berpapasan dengan orang lain, mungkin ia akan disangka aneh.
Sesampainya di ujung lorong, Lily tidak masuk ke dalam kotak lift. Ia justru berbelok menuju tangga darurat. Lily langsung mendudukkan diri pada anak tangga begitu pintu tangga darurat tertutup. Air mata yang ditahannya seketika mengalir deras bak air bah. Satu tangannya menutup mulut agar isaknya tidak terdengar keluar. Sementara tangannya yang lain mencengkeram gagang rantang dengan kuat.
“Aku salah lihat. Salah lihat,” lantun Lily lirih. Kedua pipi Lily sudah sepenuhnya basah. Ketika memejamkan mata, apa yang dilihatnya tadi justru semakin jelas.
“Mereka nggak mungkin tega mengkhianati aku, ‘kan?” tanya Lily yang tidak mendapatkan jawaban karena dia sendirian. Perempuan 24 tahun itu makin tergugu.
Lilyana Santika Barata akan menikah dengan Hansel Wiratmaja satu bulan lagi. Namun, sesuatu yang tidak pernah Lily bayangkan terjadi. Di lamunan terliar pun Lily tidak pernah membayangkan hal itu. Melati Amalina, kakak tirinya, bisa berciuman panas dengan Hansel. Dan pasti tidak hanya berciuman.
Melati dan Hansel berada di atas tempat tidur yang berantakan tanpa sehelai benang pun melingkari keduanya. Orang paling bodoh di dunia pun tahu apa yang terjadi kepada dua orang dewasa berlawanan jenis di posisi seperti itu. Get laid, have sex, make love, bercinta, dan entah apa pun itu istilahnya. Intinya, itulah yang Melati dan Hansel lakukan.
“Gimana bisa ini terjadi? Sejak kapan mereka melakukan pengkhianatan ini?”
Itu pertanyaan lain yang menjejali benak Lily. Selama ini Melati dan Hansel tidak pernah terlihat dekat. Mereka hampir tidak pernah terlibat obrolan berdua. Bahkan sejak Lily mengenalkan Hansel.
“Gimana kalau ternyata itu cara mereka menutupi pengkhianatan mereka?”
Percakapan yang tadi sempat tertangkap rungu Lily, kini bergema lagi.
“Sebentar lagi kamu menikah. Kita nggak akan bisa seperti ini lagi.” Di tengah desahannya Melati berkata.
“Nggak, dong, Sayang. Kita tetap bisa leluasa ketemuan, walau aku menikah sama dia.”
“Kok bisa?”
“Iya, lah! Lily ‘kan pengangguran. Kerjaannya kalau nggak molor, ya, foya-foya ke mal. Di saat itu kita bisa ketemuan sepuasnya. Di rumah juga bisa berduaan. Tinggal alasan aja ada kerjaan bareng.” Hansel tertawa diikuti oleh Melati.
“Terus kenapa kamu mau sama dia?” tanya Melati lagi.
“Tentu aja karena dia gampang dibodohi.” Tawa dua pengkhianat itu terdengar lebih kencang sebelum desahan dan geraman keluar kembali.
Lily tersenyum miris. Perlahan senyum itu berubah jadi tawa. Lily tertawa dalam tangis. Ia merutuki dirinya yang bodoh. Adegan panas dan percakapan itu jelas menunjukkan bukan kali pertama mereka bersama.
Lily menaruh rantang makanan yang dibawanya ke lantai. Ia menumpukan kedua tangannya di atas paha dan menelungkupkan kepalanya di sana. Lily menangis tersedu-sedu. Andaikan ada yang mendengar tangisan itu, pastilah hatinya akan turut merasakan kepedihan.
Entah berapa lama waktu yang digunakan Lily untuk menangis. Sepertinya sudah berjam-jam. Matanya bahkan sulit untuk terlihat terbuka saking sembapnya. Namun, sudah cukup ia berada di tangga darurat tersebut. Lily harus pulang.
“Lily, kamu dari mana sebenarnya? Kenapa baru pulang setelah berjam-jam pergi?” sambut Andrean Barata, ayah Lily. Andrean yang akan keluar ke ruang tamu batal. Pria itu mengikuti sang putri masuk.
Lily tidak memberikan jawaban. Gadis itu berjalan ke meja makan dengan pandangan kosong. Tangannya meletakkan rantang ke atas meja makan. Di sana sudah ada ibu dan saudara sambungnya.
“Lily, tadi kamu pamit ke apartemen Kak Melati, ‘kan? Tapi kata kakakmu kamu nggak ke sana. Kenapa kamu baru pulang? Kak Melati aja udah di sini.” Sania, ibu sambung Lily, menimpali.
“Iya, Lily. Kamu dari mana? Kakak khawatir, lho.”
Pandangan Lily berubah kala mendengar ucapan lembut dari sang kakak tiri. Bibirnya kontan menyunggingkan senyum sinis. “Khawatir?” balas Lily.
“Iya, Kakak khawatir sama kamu,” jawab Melati.
“Bullshit!” sambar Lily sengit.
“Li—”
“KALAU KAMU KHAWATIR SAMA AKU, KAMU NGGAK AKAN TIDUR SAMA HANSEL!” teriak Lily.
Melati terpaku mendengar teriakan itu. Wajah cantik perempuan itu mendadak pucat. Sementara orang tua mereka juga tampak kaget.
“Apa maksud kamu, Lily?” tanya Andrean.
“Melati tidak mungkin begitu,” ucap Sania bersamaan dengan tanya yang Andrean layangkan.
“Aku lihat sendiri kalau mereka ada di ranjang yang sama dan mereka TELANJANG!” Lily berteriak lagi di akhir kalimat. Wajah gadis itu merah karena amarah.
Tidak ada yang menanggapi perkataan Lily tersebut. Semua yang di ruang makan tampak masih mencerna apa yang Lily katakan.
“Aku nggak harus jelasin apa yang mereka lakukan, ‘kan? Karena aku nggak akan sanggup. Aku jijik! Aku benar-benar jijik,” desis Lily.
“Melati, katakan sesuatu.” Sania memerintah. Perempuan itu memandang tajam sang anak.
“A-aku ….” Melati kesulitan mencari kata. Seolah tidak ada satu kosakata pun di otaknya.
“Kak Melati nggak bisa jawab karena apa yang aku bicarakan adalah kebenaran, Tante,” sambar Lily.
“Bu-bukan git—”
Lily buru-buru memotong ucapan Melati. “Bukan gitu, gimana? Aku tadi lihat sendiri kalian bermesraan di apartemen. Kamu bahkan mende—” Lily menggeleng tidak mampu melanjutkan. Di benaknya kembali berseliweran berbagai adegan intim antara Hansel dan Melati.
“Jujur aja, udah berapa kali kalian melakukannya?” cecar Lily setelah diam beberapa sekon.
“Lily diam dulu! Biarkan kakakmu menjelaskan tanpa interupsi kamu.” Andrean menengahi.
Lily mengepalkan kedua tangannya untuk menyalurkan emosi. Kuku tajamnya yang menancap di kulit tidak ia rasakan.
“Aku … aku nggak mungkin melakukan apa yang Lily tuduhkan, Ma, Pa.” Kemampuan bicara Melati sudah kembali. “Aku tadi bingung dengan ucapan Lily, makanya aku sampai speechless.”
Lily mendengkus mendengar penjelasan sang kakak tiri. Namun, Lily berusaha menahan mulutnya agar tidak terburu menanggapi. Perempuan berambut panjang itu ingin tahu apa lagi yang akan dilontarkan Melati.
“Lalu siapa yang Lily lihat di apartemen kamu?” tanya Sania.
“Itu pasti I-Ina. Iya, Ina.” Melati menyebut nama temannya.
“Untuk apa Ina di apartemen kamu, Mel?” Giliran Andrean yang bertanya.
“Ina memang biasa nginap di apartemenku, Pa.”
“Lalu kamu biarkan dia bawa pacarnya juga?” tanya Andrean lagi.
“Y-ya awalnya aku ng-nggak tahu, Pa. Sekarang berkat Lily akhirnya aku tahu. Aku nggak akan lagi izinin Ina ke sana tanpa ada aku.” Wajah Melati terlihat sangat serius dan meyakinkan, tetapi tidak mampu membuat Lily percaya.
“Kamu juga jangan pernah bawa teman lelaki ke apartemenmu, ya, Mel. Bawa ke rumah aja. Biar Papa dan Mama bisa kenal. Jadi, kami nggak akan khawatir.”
“Iya, Pa. Saat ini aku lagi nggak dekat sama cowok mana pun, kok.”
“Jangan sampai kejadian ini terulang dan kami jadi salah paham sama kamu lagi, Mel,” ujar Sania. “Lain kali kamu juga harus hubungi Mama dulu kalau mau pulang waktu weekend biar adikmu nggak sia-sia ke apartemen.”
“Iy—”
Tepuk tangan nyaring menggema di penjuru ruang makan. Ucapan Melati pun terputus oleh tepuk tangan tersebut. Siapa lagi yang berani berbuat gaduh di situasi seperti itu kalau bukan Lily.
Semua mata tertuju kepada Lily. Gadis bermata sipit tersebut tersenyum sinis. Kepalanya menggeleng-geleng dengan tangan yang masih mengeluarkan suara tepukan.
“Well, akting Kak Melati bagus banget. Mungkin Kakak bisa ikutan casting. Kebetulan aku ada teman aktris. Mana tahu bisa ngenalin Kakak ke produser dan sutradara sinetron. Karena kalau nggak disalurkan ke tempat yang tepat bakat Kakak akan sia-sia.”
“Lily, apa maksud kamu bicara seperti itu pada kakakmu? Kamu tadi nggak dengar penjelasan Melati?” tegur Andrean keras. Pria itu menatap anak kandungnya dengan tajam.
“Papa percaya omongan dia,” telunjuk Lily teracung ke arah Melati, “karena Papa nggak lihat sendiri. Aku bisa bedain mana Kak Ina dan mana Kak Melati. Aku hafal postur tubuh dan model rambut mereka. Tadi jelas-jelas itu Hansel dan Kak Melati. Aku berani sumpah, Pa.”
“Mana buktinya?” Andrean menengadahkan tangannya.
“Aku nggak ada bukti karena terlalu kaget. Setelah sadar, aku langsung pergi. Aku nggak sanggup melihat mereka lebih jauh.”
“Kalau begitu Papa nggak bisa percaya dengan ucapan kamu,” kata Andrean santai.
“Tapi Kak Melati juga nggak pakai bukti. Kenapa Papa bisa percaya begitu aja?” Lily terus menyangkal ucapan sang ayah.
“Karena Papa memang lebih percaya Melati. Sejak dulu Melati selalu jujur dan tidak pernah menyalahgunakan kepercayaan Papa. Tidak seperti kamu yang sering berbohong hanya untuk mengejar kesenanganmu sendiri dan akhirnya membuat Papa kecewa.”
Mendadak Lily merasakan sergapan rasa nyeri yang menyakitkan di dadanya. Lily sudah sering diremehkan dan dibandingkan dengan Melati. Namun, ucapan sang ayah kali ini begitu melukai Lily. Ayahnya lebih mempercayai Melati yang anak sambung dibandingkan dia yang anak kandung.
“Masalah selesai di sini. Lily, jangan kamu mengarang cerita untuk menjatuhkan kakakmu lagi. Lebih baik kamu urus pernikahan kamu yang tinggal sebentar lagi. Kalau kamu ada masalah dengan Hansel, segera selesaikan. Jangan sampai pernikahan kalian batal dan membuat malu keluarga. Untuk Melati, malam ini kamu tidur di rumah,” putus Andrean.
“Pernikahan itu nggak akan pernah terjadi, Pa. Aku mau membatalkannya,” ucap Lily lirih, tetapi penuh ketegasan.
“Jaga ucapan kamu!” bentak Andrean seraya tunjuknya teracung pada Lily.
“Aku nggak mau menikah sama Hansel, Pa.” Lily menatap sang ayah.
“Lily, apa tidak bisa sekali saja jangan membuat malu Papa, hah?! Pokoknya, tidak ada pembatalan pernikahan. Kamu dan Hansel tetap harus menikah apa pun yang terjadi. Jika kamu tidak mau, silakan keluar dari rumah ini!” Andrean memberi ultimatum sebelum melangkah pergi.
Semua orang pergi, kecuali Lily. Lily masih berada di tempat yang sama. Kedua tangannya terkepal lagi. Rasa marah dan sakit hati bercampur menjadi satu. Api seolah tengah menyala-nyala di dadanya.
“Melati Amalina, lihat aja, aku pasti akan mendapatkan bukti perselingkuhan Hansel sama kamu. Aku pasti bisa lebih unggul daripada kamu di depan Papa. Walau cuma sekali, aku pasti bisa!”
***
BAB 17BERTEMU PAPA“Ly, are you okay?”Lily terkesiap kala bahunya ditepuk pelan oleh Celine. “Apa, Lin? Maaf aku nggak dengar.”Celine menggeleng. “Yuk, kita cari tempat duduk,” jawab Celine tidak bertanya lagi.Lily berjalan dengan tangan yang kini dirangkul oleh Celine. Sesekali netranya melirik ke meja yang menyita perhatiannya tadi. Konsentrasi Lily kembali buyar sampai-sampai mejanya telah penuh makanan.“Ly, aku nggak tahu kamu lagi kenapa. Tapi kamu harus makan. Ini makanan yang kita pesan udah datang, lho. Aku nggak mungkin habisin semua ini sendirian.”“Oh, iya.” Lily kembali tergeragap.Tangan Lily menyentuh sendok. Ia harus fokus agar tidak membuat Celine khawatir. Selera makannya tidak ada, tetapi Lily terpaksa menyuap.“Ly, setelah ini kita pulang aja, ya,” ucap Celine setelah beberapa saat hanya sibuk makan.Lily mengangkat wajah. “Bukannya kamu mau beli buku dulu?” tanya Lily.“Udah besok aja,” jawab Celine ringan.Rasa bersalah menyusup di hati Lily. Celine pasti mem
“Jawab dengan jujur, Lily. Apa yang terjadi?”Lily meringis mendengar pertanyaan Lucas. Dia yang mewanti-wanti agar Jo tidak melaporkan kepada Lucas tentang apa yang terjadi. Namun, Lily dengan bodoh malah membongkarnya sendiri.“Ehmm ….” Lily memutar otak mencari alasan yang masuk akal.“Lilyana?” Suara Lucas sarat intimidasi.Sepasang kelopak Lily tertutup. Memang mau dibuat-buat sebagaimana pun tetap tidak ketemu alasan masuk akal untuk menjawab Lucas. Sepertinya Lily harus mengatakan dengan jujur apa yang terjadi di rumah produksi yang Lucas dirikan.“Sebenarnya, aku ngasih SP buat dua orang tim promosi. Namanya Sherly sama Dania. Dua orang itu berpakaian kurang sopan di kantor. Niatnya cuma kutegur, tapi mereka ketahuan ngata-ngatain aku. Sejujurnya, ….” Lily mengamati perubahan ekspresi Lucas, tetapi tidak ada perubahan berarti.Karena itu, Lily berani melanjutkan ceritanya. “Sejujurnya, apa yang aku lakukan itu kekanak-kanakan. Aku ambil keputusan karena emosi. Aku udah nggak pr
Kaki jenjang Lily membawa perempuan itu ke depan meja resepsionis AnA Construction. Siang ini Lily datang ke perusahaan tempat sang suami bekerja. Selain untuk menyampaikan suatu hal yang penting, juga untuk makan siang bersama. Lily datang sendiri sebab Jo sedang memantau persiapan syuting miniseri.“Permisi, saya mau bertemu Pak Lucas Andromeda,” ucap Lily.“Sudah ada janji, Bu?” tanya sang resepsionis sesuai standar.“Tadi saya sudah kirim pesan ke Pak Lucas langsung tadi.”“Baik. Saya konfirmasi ke sekretaris Pak Lucas sebentar, ya, Bu. Atas nama Ibu siapa?” Tanggapan resepsionis itu kian ramah.“Bilang saja atas nama Lilyana dari ImajinasiKu.”Setelah mendapat jawaban dari sekretaris Lucas, Lily dipersilakan naik. Sesampainya di lantai yang dituju Lily diminta menunggu. Ternyata Lucas sedang rapat. Di pojok ruangan dengan 3 sofa single dan meja bundar yang cukup nyaman itu Lily duduk seorang diri. Kaca besar yang menampilkan pemandangan kota menjadi perhatian Lily.“Silakan dimin
Lily menghapus air mata yang diam-diam keluar. Ia terharu melihat pemandangan di hadapannya. Celine sedang memeluk Edward di atas ranjang rumah sakit setelah menangis tersedu. Celine yang ceria kini hilang. Adik Lucas itu sudah tidak mampu menutupi kesedihan mendengar sang ayah sakit.Serapat-rapatnya keluarga menutupi dari Celine, pada akhirnya dia mengetahui jika Edward kecelakaan dan tengah dirawat. Itulah alasan Celine pulang dari London. Saat menelepon untuk mengonfirmasi kebenaran berita tentang Edward memang Celine menangis, tetapi sekadar menitikkan air mata.Kepala Lily menoleh ke samping kala dirasa ada yang memeluk bahunya. Ternyata itu datang dari sang suami. Lucas menatap lurus ke depan. Kini Lily menelengkan kepalanya agar bisa melihat ke mata Lucas. Mungkin karena merasa diperhatikan, Lucas menoleh kepada Lily.“Apa?” gumam Lucas.Gelengan Lily berikan untuk Lucas.Lucas mendengkus, tetapi kepalanya kembali diarahkan ke depan. Lily pun mengikuti gerakan itu.“Udah, ya,
“Astaga!”Lengkingan serta gerakan heboh Lily membuat lelaki yang tidur satu ranjang dengannya terganggu.“What’s wrong?” tanya Lucas serak. Matanya terbuka sekejap, lalu terpejam lagi.“Kita kesiangan, Mas,” jawab Lily sambil lalu. Lily melesat ke walk in closet untuk mengambil baju ganti. Berlari kecil Lily menuju kamar mandi. Ini memang akhir pekan, tetapi Lily dan Lucas ada agenda pagi ini. Sekarang sudah terlambat 20 menit dari waktu seharusnya mereka pergi. Gara-gara mengobrol sampai dini hari Lily dan Lucas terlambat bangun.Tidak selama biasanya Lily berada di kamar mandi. Ia hanya melakukan aktivitas di kamar mandi dengan kilat. Dia sudah mencoba bersiap secepat yang dirinya bisa, tetapi saat kembali ke kamar Lily dibuat kesal.Lucas masih bergelung di balik selimut. Sepertinya pria itu tidur lagi. Rasanya Lily mau mencak-mencak.“Terserah, deh. Aku pergi sendiri aja. Minta diantar sopir aja,” ucap Lily bicara sendiri.Lily tidak sempat merias wajah. Dia hanya menggunakan ba
Waktu menunjukkan hampir tengah malam. Lily baru saja terbangun karena merasakan kantung kemihnya penuh. Karena besok weekend, tadi sore Lily dan Lucas mampir ke rumah sakit lagi. Mereka cukup lama di sana. Lily pun banyak minum sehingga malam-malam dia harus terbangun untuk menuntaskan hajat.Sebelum kembali ke ranjang, Lily melirik sofa bed tempat tidur Lucas selama di rumah orang tuanya. Melihat posisi selimut yang melorot, Lily berinisiatif memperbaikinya. Saat berdiri di samping Lucas tidur baru Lily sadari jika sofa bed itu tidak mampu menampung tinggi badan Lucas.Lily terenyuh. Lucas pasti menahan ketidaknyamannya. Padahal ini di rumahnya sendiri, tetapi Lucas malah tidak tidur dengan baik.“Mas, bangun.”Lily menepuk lengan Lucas yang tidur di sofa bed. Beberapa kali tepukan Lucas tak kunjung bangun. Pria itu terlihat begitu pulas. Di wajahnya juga terdapat gurat kelelahan. Akan tetapi, kasihan kalau dibiarkan tetap tidur di tempat tidak nyaman begitu. Pada akhirnya, Lily me