Share

Undangan Pernikahan

"Ini untukmu, Ian. Sebentar, aku akan menemui Ai dulu. Aku akan memberikan untuknya juga." Ana berucap dengan santai tanpa peduli dengan rasa kacau yang dialami oleh pria itu sekarang.

"Apa? Apa ini?" tanya Ian yang tengah merapikan kemejanya. Memang sudah kebiasaan baginya untuk menggulung tangan kemejanya.

"Undangan."

"Undangan apa?" tanya Ian yang masih merasa penasaran.

"Undangan pernikahan. Memangnya undangan apa lagi? Masih mau bertanya pernikahan siapa? Pernikahanmu dengan Ai. Ini adalah sebuah acara yang sangat ditunggu-tunggu karena dua pengkhianat akan segera bersatu."

"Apa maksudmu, Ana?"

Ian baru menyadarinya sekarang. Ia buru-buru mendekat dan mengecek apa yang dikatakan oleh gadis yang sangat dicintainya itu.

"Omong kosong macam apa ini? Kamu pikir, pernikahan itu candaan? Bisa-bisanya kamu mencetak namaku dan orang lain di kertas ini tanpa sepengetahuanku?"

"Ketika kamu berkhianat, apa kamu juga minta izin padaku?"

Ian terbengong selama beberapa detik.

"Bukankah kamu sudah memaafkanku, Ana? Bukankah kamu sudah mendengar semua penjelasanku kemarin? Dan jawabanmu adalah ya, iya..."

"Ssst! Memang ... memang aku telah memaafkanmu, Ian. Memang benar jika aku mendengar penjelasanmu. Tapi, apakah itu semua dapat mengubah kenyataan yang ada? Kamu dan Ai memang telah bersetubuh, 'kan?"

Ian menjambak rambutnya sendiri. Ia tampak sangat frustasi sekarang.

"Ana, apa yang harus aku lakukan agar kamu percaya jika aku sungguh tidak tau apa yang sebenarnya telah terjadi? Apalagi ... harus melakukan itu dengan Ai. Itu mustahil, Ana. Kamu sendiri juga tau bagaimana aku sangat mencintaimu. Aku bahkan tidak ingin ada wanita lain di dunia ini selain kamu. Aku-"

"Diamlah, Ian. Kamu juga harus belajar untuk mengerti orang lain. Kamu harus memahami bagaimana sakitnya aku sekarang. Sepuluh tahun kita pacaran, apa itu belum cukup untuk membuatku gila karena sebuah pengkhiatan? Tunangan ... kita juga sudah bertunangan, Ian. Lalu, bagaimana-"

"Ana, aku mohon..." Ian segera memeluk erat tubuh gadis itu dari belakang.

Satu hal yang biasanya selalu berhasil membuat Ana segera luluh. Namun, kali ini tidak. Gadis itu bergerak menepis tindakan Ian. Ia benar-benar telah merasa kecewa, sepertinya.

"Apa kamu benar-benar tidak ingin memperbaikinya lagi denganku, Ana?"

"Jangan egois, Ian. Kamu dan Ai memang sudah ditakdirkan untuk menikah. Dia adalah adikku. Bagaimanapun, aku juga tidak mau kalau dia hidup menderita ... oleh siapapun itu." Ana terdiam. 'Termasuk kamu,' batin gadis itu sekarang.

Diam dan senyap selama sepuluh menit lamanya sampai akhirnya Ian memutuskan sebuah keputusan yang sangat berat dan sulit.

"Baiklah. Aku terima kemauan kamu, Ana. Tapi, kamu harus dengar ini baik-baik. Aku menikah dengannya bukan karena kemauanku. Rasa cintaku padamu tidak akan pernah tergantikan dan ini semua ... demi kebahagiaanmu juga."

"Hm. Bagus." Ana menitikkan air mata sembari tersenyum pahit. Ah, semuanya sungguh sulit untuk dipercayai.

"Berikan aku pelukan sekarang."

"Pelukan apa lagi, Ian? Aku sudah bilang jangan ego-"

"Untuk terakhir kalinya," pinta Ian dengan nada sendu membuat mantan kekasihnya itu begitu terharu dan ikut sedih.

Dalam tangisan, keduanya sama-sama ambruk dalam pelukan perpisahan yang sangat menyakitkan. Perjuangan dan kebersamaan sepuluh tahun bukanlah sebuah hal yang mudah, apalagi jika ini adalah cinta pertama masing-masing.

"Aku pamit, Ian." Gadis itu meninggalkan satu undangan lagi di meja tanpa disadari oleh pria itu.

Tok! Tok! Tok!

Ketukan pintu membuat Ian terhenyak. Ia yang mengharapkan Ana kembali malah sangat dibuat terkejut.

"Ian?" panggil Ai yang tampak sangat kusut dan kusam.

"Ngapain kamu ke sini?"

"Aku mau memastikan..." Tak lagi melanjutkan kata-katanya, ia malah sibuk mencari undangan yang dimaksud oleh Ana. Kedua matanya bahkan terbelalak ketika mendapati namanya benar-benar ada di sana.

Gadis itu terduduk di lantai sekarang ini. Air matanya tak dapat ia tahankan, sungguh.

Masih belum sempat berkata apa-apa, Mario datang bersama Rainy.

"Ian, apa benar jika kamu batal menikah dengan Ana? Kamu malah akan menikah dengan gadis jahat ini?" tanya pria itu dengan nada penuh amarah.

"Ayah, hentikan!" teriak Ian.

Kedatangan ayahnya memang sangat tidak diharapkan karena hanya akan menambah beban pikiran.

"Diam, Ian. Ayah ingin bertanya padanya." Mario segera beralih pada Ai yang terbengong dengan wajah frustasinya sekarang. "Hei, apa yang kamu lakukan sampai sesukses itu menipu putraku? Kamu benar-benar pintar, ya? Itu memang sudah jelas. Sejak kecil, sifat licikmu itu sudah terbawa-bawa."

"Ayah, hentikan!" teriak Ian sekali lagi.

"Ian, jangan membentak ayahmu seperti itu." Rainy angkat suara yang malah hanya bisa memperkeruh suasana.

"Tante, diamlah! Aku atau siapapun di sini tidak ada yang mengundangmu untuk bicara. Diundang saja tidak, entah siapa kamu di sini."

Rainy terdiam dan mengeratkan cengkeraman tangannya di lengan suaminya. Mario bisa paham akan perasaan wanita itu sekarang.

"Sudahlah, jangan bahas yang lain. Aku hanya ingin menyampaikan rasa kecewaku padamu, Ian. Aku sungguh tidak menyangka jika kamu akan sanggup mempermainkan hubungan yang sudah begitu lamanya. Sifat burukmu yang ini tidak turun dariku."

Ian menjadi sangat kesal sekarang. "Aku tidak butuh rasa kecewamu, Ayah. Bahkan jika saja boleh, aku hanya ingin menempatkan kalian berdua sebagai tamu di pernikahanku."

Jawaban Ian sangat tidak diharapkan oleh Mario. Sesungguhnya, tujuan utamanya untuk datang ke mari adalah menunjukkan rasa pedulinya pada Ian. Namun, masalah antara Rainy dengan putranya yang selalu terbawa dan kembali mengundang masalah baru.

"Ai, bagaimana kamu akan menjelaskan ini pada ayahmu? Apa dia masih dijamin baik-baik saja setelah mengetahui kenyataan bahwa putrinya adalah perempuan tidak benar?"

Ai yang hendak melangkah pergi dari sana harus terhenti karena ucapan menyakitkan dari Mario. Kali ini, ia dengan berani menatap tajam ke arah pria itu.

"Jika tidak suka dengan pernikahan ini, maka berusaha jugalah untuk merusaknya. Anda juga harus tau jika aku tidak bisa bahagia bahkan masih membayangkan kita akan menjadi sebuah keluarga."

"Apa mulutmu benar-benar berani mengeluarkan kalimat seperti itu?" Mario benar-benar tidak percaya.

Berbeda sekali dengan Ian yang tampak senang. Ia tak harus banyak bicara untuk melawan sang ayah yang selalu berlawanan dengannya.

"Kita pergi dari sini, Mas," ajak Rainy. Bagaimana pun, ia juga takut jika suaminya kenapa-kenapa setelah berpikir terlalu keras.

"Bagus. Mereka telah pergi!" celetuk Ian segera kembali ke mejanya sekarang.

"Bagaimana sekarang? Apa kamu akan sepaket dengan ayahmu?"

"Sepaket?"

"Sepaket untuk membatalkan pernikahan ini. Jangan menyulitkan hidupku dengan kejadian konyol yang entah ulah siapa," geram Ai yang sangat penasaran.

"Maaf, tapi aku juga tidak bahagia. Jangan bersikap seolah kamu adalah korbannya. Jangan mengundang perseteruan yang membuat kita menjadi musuh kembali seperti dulu."

"Kita memang akan selalu menjadi musuh!" tegas Ai. Tatapan matanya yang tajam ia mainkan sekarang.

"Bagaimana dengan ayahmu?"

***

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status