"Ini untukmu, Ian. Sebentar, aku akan menemui Ai dulu. Aku akan memberikan untuknya juga." Ana berucap dengan santai tanpa peduli dengan rasa kacau yang dialami oleh pria itu sekarang.
"Apa? Apa ini?" tanya Ian yang tengah merapikan kemejanya. Memang sudah kebiasaan baginya untuk menggulung tangan kemejanya."Undangan.""Undangan apa?" tanya Ian yang masih merasa penasaran."Undangan pernikahan. Memangnya undangan apa lagi? Masih mau bertanya pernikahan siapa? Pernikahanmu dengan Ai. Ini adalah sebuah acara yang sangat ditunggu-tunggu karena dua pengkhianat akan segera bersatu.""Apa maksudmu, Ana?"Ian baru menyadarinya sekarang. Ia buru-buru mendekat dan mengecek apa yang dikatakan oleh gadis yang sangat dicintainya itu."Omong kosong macam apa ini? Kamu pikir, pernikahan itu candaan? Bisa-bisanya kamu mencetak namaku dan orang lain di kertas ini tanpa sepengetahuanku?""Ketika kamu berkhianat, apa kamu juga minta izin padaku?"Ian terbengong selama beberapa detik."Bukankah kamu sudah memaafkanku, Ana? Bukankah kamu sudah mendengar semua penjelasanku kemarin? Dan jawabanmu adalah ya, iya...""Ssst! Memang ... memang aku telah memaafkanmu, Ian. Memang benar jika aku mendengar penjelasanmu. Tapi, apakah itu semua dapat mengubah kenyataan yang ada? Kamu dan Ai memang telah bersetubuh, 'kan?"Ian menjambak rambutnya sendiri. Ia tampak sangat frustasi sekarang."Ana, apa yang harus aku lakukan agar kamu percaya jika aku sungguh tidak tau apa yang sebenarnya telah terjadi? Apalagi ... harus melakukan itu dengan Ai. Itu mustahil, Ana. Kamu sendiri juga tau bagaimana aku sangat mencintaimu. Aku bahkan tidak ingin ada wanita lain di dunia ini selain kamu. Aku-""Diamlah, Ian. Kamu juga harus belajar untuk mengerti orang lain. Kamu harus memahami bagaimana sakitnya aku sekarang. Sepuluh tahun kita pacaran, apa itu belum cukup untuk membuatku gila karena sebuah pengkhiatan? Tunangan ... kita juga sudah bertunangan, Ian. Lalu, bagaimana-""Ana, aku mohon..." Ian segera memeluk erat tubuh gadis itu dari belakang.Satu hal yang biasanya selalu berhasil membuat Ana segera luluh. Namun, kali ini tidak. Gadis itu bergerak menepis tindakan Ian. Ia benar-benar telah merasa kecewa, sepertinya."Apa kamu benar-benar tidak ingin memperbaikinya lagi denganku, Ana?""Jangan egois, Ian. Kamu dan Ai memang sudah ditakdirkan untuk menikah. Dia adalah adikku. Bagaimanapun, aku juga tidak mau kalau dia hidup menderita ... oleh siapapun itu." Ana terdiam. 'Termasuk kamu,' batin gadis itu sekarang.Diam dan senyap selama sepuluh menit lamanya sampai akhirnya Ian memutuskan sebuah keputusan yang sangat berat dan sulit."Baiklah. Aku terima kemauan kamu, Ana. Tapi, kamu harus dengar ini baik-baik. Aku menikah dengannya bukan karena kemauanku. Rasa cintaku padamu tidak akan pernah tergantikan dan ini semua ... demi kebahagiaanmu juga.""Hm. Bagus." Ana menitikkan air mata sembari tersenyum pahit. Ah, semuanya sungguh sulit untuk dipercayai."Berikan aku pelukan sekarang.""Pelukan apa lagi, Ian? Aku sudah bilang jangan ego-""Untuk terakhir kalinya," pinta Ian dengan nada sendu membuat mantan kekasihnya itu begitu terharu dan ikut sedih.Dalam tangisan, keduanya sama-sama ambruk dalam pelukan perpisahan yang sangat menyakitkan. Perjuangan dan kebersamaan sepuluh tahun bukanlah sebuah hal yang mudah, apalagi jika ini adalah cinta pertama masing-masing."Aku pamit, Ian." Gadis itu meninggalkan satu undangan lagi di meja tanpa disadari oleh pria itu.Tok! Tok! Tok!Ketukan pintu membuat Ian terhenyak. Ia yang mengharapkan Ana kembali malah sangat dibuat terkejut."Ian?" panggil Ai yang tampak sangat kusut dan kusam."Ngapain kamu ke sini?""Aku mau memastikan..." Tak lagi melanjutkan kata-katanya, ia malah sibuk mencari undangan yang dimaksud oleh Ana. Kedua matanya bahkan terbelalak ketika mendapati namanya benar-benar ada di sana.Gadis itu terduduk di lantai sekarang ini. Air matanya tak dapat ia tahankan, sungguh.Masih belum sempat berkata apa-apa, Mario datang bersama Rainy."Ian, apa benar jika kamu batal menikah dengan Ana? Kamu malah akan menikah dengan gadis jahat ini?" tanya pria itu dengan nada penuh amarah."Ayah, hentikan!" teriak Ian.Kedatangan ayahnya memang sangat tidak diharapkan karena hanya akan menambah beban pikiran."Diam, Ian. Ayah ingin bertanya padanya." Mario segera beralih pada Ai yang terbengong dengan wajah frustasinya sekarang. "Hei, apa yang kamu lakukan sampai sesukses itu menipu putraku? Kamu benar-benar pintar, ya? Itu memang sudah jelas. Sejak kecil, sifat licikmu itu sudah terbawa-bawa.""Ayah, hentikan!" teriak Ian sekali lagi."Ian, jangan membentak ayahmu seperti itu." Rainy angkat suara yang malah hanya bisa memperkeruh suasana."Tante, diamlah! Aku atau siapapun di sini tidak ada yang mengundangmu untuk bicara. Diundang saja tidak, entah siapa kamu di sini."Rainy terdiam dan mengeratkan cengkeraman tangannya di lengan suaminya. Mario bisa paham akan perasaan wanita itu sekarang."Sudahlah, jangan bahas yang lain. Aku hanya ingin menyampaikan rasa kecewaku padamu, Ian. Aku sungguh tidak menyangka jika kamu akan sanggup mempermainkan hubungan yang sudah begitu lamanya. Sifat burukmu yang ini tidak turun dariku."Ian menjadi sangat kesal sekarang. "Aku tidak butuh rasa kecewamu, Ayah. Bahkan jika saja boleh, aku hanya ingin menempatkan kalian berdua sebagai tamu di pernikahanku."Jawaban Ian sangat tidak diharapkan oleh Mario. Sesungguhnya, tujuan utamanya untuk datang ke mari adalah menunjukkan rasa pedulinya pada Ian. Namun, masalah antara Rainy dengan putranya yang selalu terbawa dan kembali mengundang masalah baru."Ai, bagaimana kamu akan menjelaskan ini pada ayahmu? Apa dia masih dijamin baik-baik saja setelah mengetahui kenyataan bahwa putrinya adalah perempuan tidak benar?"Ai yang hendak melangkah pergi dari sana harus terhenti karena ucapan menyakitkan dari Mario. Kali ini, ia dengan berani menatap tajam ke arah pria itu."Jika tidak suka dengan pernikahan ini, maka berusaha jugalah untuk merusaknya. Anda juga harus tau jika aku tidak bisa bahagia bahkan masih membayangkan kita akan menjadi sebuah keluarga.""Apa mulutmu benar-benar berani mengeluarkan kalimat seperti itu?" Mario benar-benar tidak percaya.Berbeda sekali dengan Ian yang tampak senang. Ia tak harus banyak bicara untuk melawan sang ayah yang selalu berlawanan dengannya."Kita pergi dari sini, Mas," ajak Rainy. Bagaimana pun, ia juga takut jika suaminya kenapa-kenapa setelah berpikir terlalu keras."Bagus. Mereka telah pergi!" celetuk Ian segera kembali ke mejanya sekarang."Bagaimana sekarang? Apa kamu akan sepaket dengan ayahmu?""Sepaket?""Sepaket untuk membatalkan pernikahan ini. Jangan menyulitkan hidupku dengan kejadian konyol yang entah ulah siapa," geram Ai yang sangat penasaran."Maaf, tapi aku juga tidak bahagia. Jangan bersikap seolah kamu adalah korbannya. Jangan mengundang perseteruan yang membuat kita menjadi musuh kembali seperti dulu.""Kita memang akan selalu menjadi musuh!" tegas Ai. Tatapan matanya yang tajam ia mainkan sekarang."Bagaimana dengan ayahmu?"***Seminggu kemudian, Noah, Arzi, dan Diko akhirnya pulang setelah cukup lama berada di luar kota. Ketiganya segera mencari keberadaan orang-orang tersayang mereka.Arzi tampaknya sangat paham dan tahu jika putrinya tidak sedang baik-baik saja. Untuk kali ini, ia segera menarik gadis itu menjauh dari sana."Ada apa, Sayang? Kamu sedang ada masalah apa, coba jelasin ke ayah sekarang..."Pria itu mengelus puncak kepala Ai yang tengah menghadap ke arahnya. Seketika ia teringat akan pertanyaan Ian satu minggu yang lalu. 'Bagaimana dengan ayahmu?'"Tidak ada, Ayah. Aku hanya sangat rindu pada Ayah. Dua minggu bukan waktu yang singkat loh, Yah."Arzi tersenyum tipis sekarang. Sungguh, ia sangat merasa prihatin akan rasa rindu yang dirasakan oleh Ai sebab mereka tidak pernah berpisah selama itu sebelumnya. Dalam hati kecilnya, yang selalu ia khawatirkan setiap harinya adalah ketika ia meninggal nanti. Entah akan semenderita apa Ai tanpanya.Oleh karena itu, tak jarang ia juga berusaha untuk seg
Pagi itu, Ana bangun dan segera bergerak untuk menemui sang ayah. Tampak jika Noah menunjukkan sikap yang tak jauh berbeda dengan Arzi. Tentu saja, ia tak menyangka jika putrinya menyembunyikan masalah sebesar ini darinya.Gadis itu memang sangat andal dalam masalah mengambil hati sang ayah. Dengan segera, ia memeluk lelaki itu sambil sedikit tersenyum."Maaf, Papa. Tapi, sampai aku sedewasa sekarang, tak seharusnya kan semua masalah aku limpahkan padamu."Ucapan itu tak segera dibalas oleh Noah. Ia malah memilih diam dan menjauh."Pa, kalau Mama masih ada, aku akan menjelaskan semuanya padanya. Memangnya, sampai sekarang, apa ada yang bisa menggantikan posisi pekerjaan di hidupmu?"Ucapan itu seketika membuat Noah tertegun. Ia mengingat bagaimana sakitnya ia ketika ditinggal mati sang istri. Ah, tak seharusnya gadis ini mengulang kenangan itu lagi. Rasa sakitnya masih tak kunjung hilang sampai sekarang."Ana, keluarlah dari ruangan papa. Tidak ada lagi, kan, yang mau dijelaskan sekar
Sah menjadi suami istri, Ian segera menemui Ana yang sejak tadi tak menyapanya. Untungnya, acara dan pesta pernikahan memang telah selesai, sehingga tak menjadi masalah berat lagi."Ana, apa kamu baik-baik saja?" tanya pria itu ketika Ana terlihat sangat lemas."Tidak usah pedulikan aku," kata gadis itu menjawab dengan ketus."Belum makan selama dua hari ini," terang Diko.Dengan segera, Ian mengambil makanan dan segera duduk di samping gadis itu. Segala cara ia upayakan untuk membuat Ana mau makan. Tentu saja, sakitnya Ana masih menjadi cemas dan urusannya.Ai hanya bisa melihat dari jauh. Begitulah ia ketika ditarik paksa oleh Danny yang baru terlihat batang hidungnya. Wanita itu menolak sekeras Danny menariknya."Apa yang kamu lakukan, Danny? Bukankah sudah jelas jika aku telah mengakhiri segalanya? Bersikaplah dewasa, aku sudah menjadi istri orang lain sekarang!" tegasnya.Suara itu terdengar oleh Arzi dan Noah yang segera mendekat."Om, aku hanya ingin menunjukkan sesuatu dengan
Terbangun dari tidurnya, Ai segera membereskan tempar ia tidur. Tatapannya seketika tertuju dengan keadaan Ian yang tengah memeluk Ana di atas ranjang. Ia tampak tak ingin peduli. Bagaimana pun, hidupnya harus terus berlanjut.Ingin menghirup udara segar, wanita itu segera menyibakkan gorden di kamarnya. Ia tersenyum lebar sekarang. Cahaya matahari yang masuk bahkan segera menerpa wajahnya. Bersyukur untuk nikmat sang pencipta."Ck! Siapa sih itu?!" gerutu Ana yang terdengar sangat jelas. Memang sudah kebiasaan baginya untuk bangun kesiangan.Hal itu ternyata lolos membuat Ian terbangun lalu membentak Ai dengan nada yang amat sangat jelas. "Kamu tidak melihat kami masih tidur? Mengganggu saja!"Ai terhenyak. Dalam hitungan detik, gorden di kamar itu tertutup kembali. Ia juga segera membersihkan wajahnya sebelum ke luar dan bergabung dengan ibu mertuanya."Sudah bangun? Kamu bangunkan suamimu juga, kan?" Nada ketus itu didapat dari Rainy yang tampak sangat tidak menyukainya. Padahal,
Ai tampak keheranan ketika baru saja tiba di kamarnya namun mendengar gemercik air. Seketika ia sadar akan keberadaannya sekarang. Di kamar Ian yang adalah kamarnya juga. Tatkala hendak bersantai sejenak di sofa, telinganya mendengar suara dua orang yang berbeda dari dalam kamar mandi. Ian sedang bersama siapa?Tatkala ia hendak melangkah untuk mendekat, Ana segera ke luar dari sana dengan handuk yang masih melilit di tubuhnya. Gadis itu benar-benar tidak tahu malu."Ngapain, sih? Mau ngintip, ya? Kepo banget!" Ian mendukung perlakuan Ana, ia malah mendorong istrinya itu untuk menjauh dari mereka. Hati Ai sudah benar-benar teriris sekarang. Ia hendak melangkah pergi yang segera dihentikan oleh Ian."Selangkah saja kamu ke luar dari kamar ini, jangan menyesal jika kita harus bercerai. Aku tidak peduli dengan konsekuensinya," ancam pria itu dengan nada santai.Ai terdiam sekarang. Air matanya masih tersimpan dengan baik.
Seperti biasa, Ai melakukan aktivitasnya dengan sangat cekatan. Ia juga selalu sendirian di dapur. Hal itu ternyata baru saja disadari oleh Mario yang hendak menemui istrinya."Di mana dia? Bukankah dia membantumu?" tanyanya."Em ... aku tidak tau di mana, Pa." Ai menjawab dengan singkat sebelum akhirnya segera melanjutkan kegiatannya.Mario memilik duduk sekarang. Ia menanti kapan istrinya akan datang ke sana. Tepat saja dugaannya, wanita itu datang setelah menghitung waktu jika menantunya telah selesai memasak.Prok! Prok! Bertepuk tangan menyambut kedatangan Rainy yang tampak gelagapan sekarang."Kamu dari mana aja, Rainy? Katamu akan jadi istri dan mertua yang baik. Setiap hari bangun pagi tapi bukannya masak malah kelayapan. Dari mana coba? Sekarang berikan alasanmu!"Rainy tercengang sekarang. Ia menggaruk kepalanya yang sebenarnya tidak gatal.Kecanggungan itu segera terjeda ketika Ai pamit lalu berlari ke kamarnya. Sudah waktunya untuk Ana pulang sekarang."Kamu juga!" bentak
Arzi menghentikan laju mobil Ana ketika gadis itu masih hendak berangkat bekerja. Ia juga masuk dan memerintah gadis itu untuk melaju. Ana tak berkomentar. Ia bahkan dengan sengaja memberikan sedikit sikap yang tidak mengenakkan.Bagaimana tidak, ia bahkan memasang lagu dengan nada yang sangat kencang sehingga membuat pria itu merasa tidak nyaman."Hentikan, Ana," perintahnya yang segera dilakukan oleh Ana.Gadis itu juga mematikan musiknya sekarang. Tak lupa, segera bergegas ke luar dari mobil menyusul Arzi yang sudah ke luar dan tengah duduk menunggunya. Ana masih memasang senyumnya ketika sadar akan keberadaan mereka yang tengah berada di sebuah kafe.Meletakkan tasnya dengan santai, ia juga ikut duduk. "Ada apa, Om? Sepertinya ada hal yang sangat penting yang ingin dibicarakan. Kenapa?"Arzi mengembuskan napasnya dengan kasar. Ia menatap gadis itu dengan perasaan sedikit kecewa."Ana, hentikan. Tolong jangan ganggu adik kamu lagi. Biarkan dia bahagia. Dengan kehidupan kamu yang se
6 bulan telah berlalu dan itu bukan waktu yang singkat untuk Ai. Sudah begitu banyak penderitaan yang harus dia hadapi. Ana muncul tepat di hadapannya dan memberikan penandaan tanggal di kalender di kamar itu."enam bulan," tukasnya.Tak ingin peduli dengan ucapan Ana yang mungkin akan lebih jahat daripada ini, ia memilih untuk segera membersihkan diri. Beberapa saat kemudian, Ian juga datang dengan membawakan makanan. Seperti biasa, keduanya akan melakukan pertunjukan sebagai pasangan paling romantis di hadapan Ai, mungkin itu juga alasan Ai membersihkan dirinya dua kali."Kamu sudah melakukan hubungan dengan Ai, kan?""Ck! Jangan membicarakan hal seperti itu ketika makan!" balas Ian."Sudah atau belum. Aku hanya bertanya, Ian. Apa itu salah?"Ian bergerak untuk menutup acara makannya, ia benar-benar sudah tidak berselera sekarang."Ian, kamu tidak lupa, kan? Ini sudah enam bulan, kita perlu memastikan apakah dia bisa hamil atau tidak. Jika kalian sudah melakukannya dan belum ada ha