Share

Suamiku Direbut Kakak Tiriku
Suamiku Direbut Kakak Tiriku
Penulis: penuliskecil

Merebut Tunangan

"Ap-apa yang kamu lakukan di sini, Ai? Kenapa kamu bisa ada di sini?!" teriak Ana menggila ketika mendapati saudara tirinya tengah bersama calon suaminya di satu kamar.

Ia sangat frustasi dan hampir gila sekarang. Sungguh, ini tak dapat dipercaya begitu saja.

Ai yang hanya menggunakan tanktop hitam itu pun segera menutupi tubuhnya. Ia bahkan baru sadar jika sekarang hanya menggunakan benda itu. Ada apa? Bagaimana bisa ini terjadi?

Tatkala ia hendak memungut pakaiannya yang baru saja ia lihat, tangannya segera diinjak sengaja oleh Ana. Oh, tentu saja rasanya sangat sakit.

"Sssh, sakit. Jangan lakukan ini, Ana," pintanya ketika salah satu tangannya masih berusaha menutupi bagian tubuhnya.

"Gila kamu! Masih bisa merengek kesakitan setelah apa yang kamu lakukan padaku?" balas Ana yang semakin menyakiti tangan Ai. Ia menginjak-injak tangan itu hingga sedikit mengeluarkan darah.

Setelah dirasa puas, ia segera menyiram Ian agar segera bangun dari ketidaksadarannya. Entah apa yang terjadi pada pria itu sehingga bahkan belum sadar walau sedang ada keributan.

Ian menatap Ai dan Ana dengan penuh keheranan. Ia mengerutkan kening dan masih berusaha mengingat kejadian sebenarnya.

"Kenapa? Mau bilang tidak tau apa-apa juga? Mau bilang kalau kamu korban di sini? Dasar stress kalian berdua. Gila!" teriak Ana frustasi dan mulai menangis.

Ia benar-benar tidak dapat menahan rasa marah dan kecewasanya sekarang ini.

"Ana, aku benar-benar tidak tau apa yang telah terjadi. Sungguh..." Ian memberi keyakinan pada gadis itu agar tidak menyatakan sebuah hal yang sangat ia takuti, sebuah perpisahan.

"Kamu menikahlah dengan perempuan jalang ini. Kalau tidak, aku akan bunuh diri." Ana bahkan sudah memposisikan sebuah gunting ke arah perutnya.

Ian tampak sangat bingung sekarang. Begitu juga dengan Ai yang tak jauh berbeda. Gadis itu segera memberikan tangannya. Ia rela jika harus menjadi bahan pelampiasan adik tirinya, daripada harus melukai diri sendiri.

"Tidak! Aku hanya ingin kalian berdua janji untuk menikah!" teriak Ana yang masih menangis tersedu-sedu.

"Okey, okey. Aku iyakan permintaan kamu, Ana. Tapi jauhkan itu, jauhkan benda itu sekarang juga." Ian merasa sangat takut sekarang. Wajahnya bahkan berubah masam.

"Janji?" tanya Ana untuk memastikan.

"Janji." Ian segera membuat janji yang padahal tak pernah benar-benar tulus dari hatinya.

"Ian?" pekik Ai tak dapat percaya.

Setelah mendapat kepastian itu, tubuh Ana segera ambruk. Ia pingsan. Ai juga berlari pergi dari sana. Ia berlalu dengan sejuta kebingungan di kepalanya.

***

"Ai, apa itu benar?" tanya wanita itu tengah membersihkan luka di tangan Ai sekarang.

Gadis itu segera menangis dalam pelukan Ica. Bagaimana tidak, ia yang bahkan adalah korban harus menjadi korban lagi ketika harus menikah dengan Ian yang notabene adalah tunangan Ana.

"Tante percaya, kan, denganku? Aku tidak pernah melakukan hal seperti itu, Tante. Tidak pernah kepikiran untuk hal semacam itu sama sekali," terang Ai dalam isak tangisnya.

Ica hanya bisa terdiam sekarang. Tak banyak yang bisa ia lakukan selain mencoba menenangkan gadis ini. Dalam hati kecilnya, ia juga lebih banyak mempercayai jika tidak mungkin Ana yang menyusun rencana seperti itu. Ana adalah korban yang sebenarnya.

"Apa aku harus benar-benar menikah dengannya?" tanya Ai dengan penuh kebimbangan.

"Harus, Sayang. Bukan hanya satu dua orang saja yang telah melihat kalian tidur berdua dalam keadaan seperti itu di sana. Jika bukan Ana yang mengusir kalian, mungkin kalian berdua sudah habis diamuk warga."

Ai terdiam sekarang. Dalam benaknya, daripada harus menikah dengan Ian, lebih baik saja ia diamuk warga, tak peduli seberapa sakit yang akan ia dapat.

"Yang paling membingungkan sekarang adalah cara menyampaikan pada mereka," lanjut Ica yang baru saja mendapat panggilan video grup dari keluarganya.

"Di mana Ana dan Ai, kenapa mereka tidak bisa dihubungi?" tanya Noah dan Arzi hampir bersamaan.

"Iya, ke mana mereka berdua. Aku sudah berusaha menghubungi Ai, tapi tidak ada kabar. Ian juga begitu. Ada apa dengan mereka bertiga?" tanya Arzi sekarang.

"Ayah, ini aku ... aku di sini. Hehe..." Ai segera menampakkan diri dengan senyum melebar yang dibuat-buat.

"Kenapa matamu bengkak?" tanya kedua orang itu bersama-sama sekarang.

"Astaga. Dia jatuh tadi, makanya menangis. Tapi tenang saja, sudah aku beri pertolongan, kok." Ica segera memberikan keterangan yang dapat meminimalisir pikiran buruk kedua orangtua itu.

"Kami akan pulang seminggu lagi. Kalian berdua mau oleh-oleh apa, nih?" tanya Noah dengan kamera yang tergeser ke sana ke mari.

"Bisa diam saja tidak? Mataku sakit melihat kameramu yang geser ke sana ke mari," omel Ica sangat tidak suka dengan tingkah Noah yang kekanak-kanakan.

"Tidak. Diam dan tunggu saja." Noah bergerak lasak yang ternyata menuju kamar Diko.

Pria itu tampak tidur sangat pulas, bahkan sampai tidak sadar jika ada orang yang masuk ke ruangannya.

"Bagaimana kalau ada wanita lain yang tiba-tiba masuk coba?" ujar Noah asal-asalan.

"Jangan bicara sembarangan, Bang. Pamali," kesal Ica sekarang.

"Iyalah tuh. Kalian berdua mau oleh-oleh apa tadi?" tanya Noah kembali mengingatkan.

"Kenapa kalian hanya menanyakan mereka saja? Aku dan Ian memangnya tidak?" tanya Ana yang kedatangannya membawa kehebohan.

Ai yang baru saja sadar akan kehadiran kedua orang itu pun bergerak jauh seketika. Ia bahkan tidak sadar jika hal itu benar-benar terjadi sekarang.

"Ada apa, Ai? Apa Ana mengganggumu lagi?" tanya Arzi yang sedang makan sekarang.

"E-eh, tidak ada apa-apa, Ayah. Aku hanya ingin mengambil cemilan saja," jawab Ai dengan segera.

Ia menutupi rasa takut dan canggungnya dengan cara yang tak biasa. Kali ini, ia juga terlihat berbeda sebab banyak bicara sekali. Mungkin, itu adalah salah satu cara untuk dapat menyelamatkan diri.

"Kalau ada apa-apa, jangan segan untuk langsung cerita padaku ya, Nak," kata Arzi yang tampak sadar akan perubahan sikap putrinya itu.

"Sok baik sekali kamu. Memangnya hanya padamu saja Ai bisa cerita? Masih ada om ya, Ai. Papa keduamu," decit Noah yang tidak mau kalah.

"Dasar iri dengki!" ledek Ica dan Ana seketika.

"Aku minta izin untuk pulang." Ian angkat suara dan segera berlalu tanpa mendengarkan basa-basi lebih banyak lagi.

"Mata kamu juga bengkak, Ana. Ada apa ini? Ada apa sebenarnya? Apa kamu sedang ada masalah dengan Ian?" tanya Noah dengan begitu cerewet.

"Ah, sudahlah, sudahlah. Maklum saja, dia tidak pernah muda. Dia terlalu cepat jadi om-om," decit Ica yang tak mau masalah itu semakin panjang.

"Atau jangan-jangan kalian berdua yang sedang bermasalah?" tanya Arzi yang merasa curiga pada Ai dan Ana.

***

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status