Share

Bab 2 Aturan Gila

Author: Nona Enci
last update Last Updated: 2025-10-03 18:23:11

"Mas, saya boleh nggak ikut Mas pulang?" tanya Meira dengan mata penuh harapan.

Tentu ia tidak setuju. Bagaimana jika perempuan itu buronan? Ah, tidak. Ia tidak boleh membiarkan masalah baru menyerang begitu saja.

"Di mana alamat rumah kamu? Saya antar pulang," katanya terdengar acuh tak acuh.

Meira melirik kaca spion mobil di sebelah kiri. Sial. Para orang suruhan sang ayah sudah berhasil mengikuti di belakang.

"Mereka ngikutin kita, Mas." Meira berujar tanpa membalas kalimat pria itu sebelumnya.

"Kamu ada masalah apa sebenarnya sama mereka?"

"Nanti saya jelasin. Sekarang bawa saya ke mana pun, asal mobil di belakang nggak ngikutin kita lagi, Mas."

Setelah kalimat tersebut terucap, mobil yang ditumpanginya langsung berhenti. Tentu Meira syok. Sedangkan pria itu memasang wajah datar tanpa dosa.

"Mas, kenapa berhenti?" Ia mendadak panik sendiri.

"Mas ... " Meira memberi tatapan melas. Berharap pria itu dapat menolongnya.

Namun, saat kedua bola matanya berotasi. Mobil hitam mengerikan tadi sudah berhasil menghadang di depan. Meira tidak bisa melakukan apa-apa, selain memegang sabuk pengaman dengan kuat dan memejamkan matanya rapat-rapat.

"Non Meira!" Suara itu terdengar dari luar. Mengetuk kaca mobil cukup keras.

"Ayo pulang, Non. Buka pintunya!"

Tangan kekar yang hendak menekan tombol agar pintu tersebut terbuka langsung dicegah Meira.

"Jangan, Mas."

Saat beradu pandang, satu yang ia lihat. Meira tampak gusar. Bibirnya pucat. Bola mata yang tidak mau diam, bergerak tidak beraturan. Mata memerah. Terakhir, tangannya terlihat gemetar. Sebenarnya apa yang terjadi dengan perempuan itu?

"Saya nggak mau pulang," ucap Meira terdengar seperti lirihan.

Pria di luar kembali memanggil. "Non Meira! Tuan bisa marah besar kalau Non Meira tidak pulang!"

"Apa yang saya dapat kalau bantu kamu pergi?" tanyanya dengan sorot mata penuh.

Meira terdiam sejenak. Ia pun tidak tahu. Apa yang bisa ia berikan? Bahkan, mungkin ucapan terima kasih saja tidak cukup.

Cup!

"Anggap aja saya berutang budi sama, Mas." Meira berusaha menahan kegugupannya.

Sial. Kecupan itu masih meninggalkan getaran hebat di tubuhnya. Ia benar-benar takut sekarang. Apakah pria itu akan menendang dirinya dari dalam mobil?

"Saya pegang janji kamu," kata si pemilik mobil penuh makna.

Setelahnya, ia langsung membanting setir ke kanan. Menjalankan mobil dengan keahliannya, sehingga tidak ada yang mengikuti di belakang.

Apartemen.

"Mas," panggil Meira setelah pintu apartemen itu tertutup. "Kayanya kita belum perkenalkan diri, ya?"

Meira menyengir kuda. Mengulurkan tangannya ke hadapan pria yang telah menolongnya. "Saya Meira. Meira Anastasya."

"Damian," kata pria itu tanpa membalas uluran tangan Meira.

Sedangkan sang empu merasa kikuk sendiri. Menyembunyikan tangannya di belakang sana, ada rasa sedikit malu. Namun, ia berusaha menahannya.

"Saya masih kuliah, Mas. Anak Manajemen semester akhir," ungkap Meira tiba-tiba.

Damian menatap Meira dengan wajah datarnya, lalu membalikkan badan seakan tidak peduli atas apa yang perempuan itu katakan barusan. Kakinya berjalan menelusuri apartemen.

"Saya nggak apa-apa, 'kan nginap di sini, Mas?" tanya Meira mengikuti ke mana langkah Damian pergi.

Pria itu berhenti, berdiri di sebuah pintu berwarna cokelat. "Kamar kamu."

"Mas?" Meira membelalakan matanya tidak percaya. "Mas kasih izin saya nginap di sini?"

"Kalau kamu mau pulang, ya, silakan."

"Nggak!" Buru-buru ia menggeleng. "Makasih banyak, Mas."

"Kamu berutang sama saya," kata Damian. Ia mendekat ke arah Meira dan mengikis jarak di sana. "Ini semua nggak gratis."

Degup jantungnya berpacu kencang. Meira sampai menahan napas karena tidak memiliki ruang lain karena Damian benar-benar tepat di depan wajahnya.

"S-saya pasti bayar, kok, Mas."

Pria itu terlihat menyeringai. "Pakai tubuh kamu?"

Gila! Meira langsung merinding. Kedua bola matanya membulat sempurna. Pun dengan tangan yang sigap menutup dua buah gunung besarnya.

Sedangkan Damian malah tersenyum seakan meledek. Apa yang perlu dibanggakan, bahkan milik Meira tidak lebih besar dari punya mantannya.

"Ekspresi kamu lucu sekali," kata Damian.

Apa yang lucu? Sialan! Meira ingin sekali menendang selangkangan pria itu, tetapi ketakutan lebih besar dari nyali yang di punya.

"S-saya nggak bisa napas, Mas." Meira benar-benar menahan napasnya sejak tadi.

Damian langsung menjauh dari tubuh Meira. "Padahal belum saya apa-apakan."

Dasar otak kotor! batin Meira kesal.

"Mana nomor rekening Mas Damian? Saya transfer biaya nginapnya," kata Meira tidak punya alasan, selain bersembunyi di apartemen pria itu.

"Simpan aja uangnya, saya nggak butuh."

Tidak butuh? Dasar pria sombong! Lantas, apa yang harus ia lakukan jika pria itu tidak mau dengan uangnya?

"Cukup lakukan satu hal setiap pagi seperti yang kamu lakukan di dalam mobil tadi," kata Damian penuh makna.

Kening Meira mengerut tidak mengerti. Memang apa yang ia lakukan di mobil? Otaknya berpikir keras.

Tiba-tiba memori di kepala berputar cepat ke arah di mana kejadian memalukan itu berlangsung. Meira dengan cepat menatap tajam pria di depannya.

"Saya nggak mau, ya, Mas!" tolaknya mentah-mentah. "Lagian, siapa yang mau terus nginap di sini?"

Hey, siapa yang mau setiap pagi memberikan kecupan hangat pada pria asing? Membayangkannya saja ia tidak mau.

"Kalau nggak suka, silakan keluar dari apartemen saya."

Meira memandang kesal. "Mas ngusir saya?"

"Itu aturan yang harus kamu patuhi selama tinggal di sini." Damian balik memandang tajam perempuan di depannya.

Setelah mengatakan itu, ia memutar tubuhnya dan masuk ke dalam kamar tepat di depan pintu kamar milik Meira.

"Dasar orang gila!" umpat Meira.

Emosinya hampir di ujung tanduk. "Kalau nggak kepepet mana mungkin aku mau nginap di sini!"

Tepat usai mengeluarkan sumpah serapahnya, pintu itu kembali terbuka membuat Meira dengan cepat menutup mulutnya. Bisa gawat jika Damian mendengar ocehan tadi.

Namun, tidak disangka-sangka pria itu maju satu langkah dan mengecup singkat bibir ranum milik Meira. Sangat singkat, tetapi cukup mengejutkan. Getaran hebat terasa nyata. Seakan waktu berhenti. Hanya ada ia dan Damian di sana. Mengukir moment indah di bawah redupnya lampu apartemen.

"Saya suka bibir kamu," ungkap Damian benar-benar gila.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Suamiku, Dosen Idola Kampus   Bab 14 Keputusan Besar

    Pukul 8 malam.Malam itu hujan turun dengan rintik kecil, menciptakan bayangan tajam di jalanan basah. Lampu-lampu taman menyala redup, sedangkan mobil Damian berhenti dipekarangan besar milik keluarga Meira.Keduanya kompak turun dari mobil. Damian menuntun Meira dan menjadikan tangannya sebagai payung, lalu jalan beriringan menuju pintu utama. Menekan bel rumah dengan sopan.Pintu itu kemudian terbuka, menampilkan Tama dengan tatapan dingin yang mampu membekukan udara. Pria itu memang sudah menunggu sang anak pulang sedari tadi. "Silakan masuk," katanya tanpa senyum.Damian melangkah masuk dengan kepala sedikit menunduk sebagai tanda hormat, hal itu diikuti Meira di belakang sana. Di depan sana, tepat di sofa ruang tamu berwarna putih ia melihat sang Ibu tengah duduk dengan wajah cemas, tetapi berusaha tenang. "Papa sudah tahu semuanya," kata Tama membuka percakapan. Meira memainkan jari-jemarinya di bawah sana, gelisah tiba-tiba menyerang. Ia tahu karena tidak mungkin Ayahnya di

  • Suamiku, Dosen Idola Kampus   Bab 13 Rasa Khawatir

    Ruang CEO. Damian masuk ke dalam ruangan dengan muka datarnya. Di sana terlihat sang Ayah tengah berdiri tegak menghadap ke luar jendela besar dengan kedua tangan dimasukkan ke dalam kantong celananya. "Putuskan hubungan kamu dengan perempuan itu," tegas Tristan langsung membalikkan badannya. Keduanya saling beradu tatap. Ruang ber-AC rupanya tidak bisa menyejukkan suasana hati sang Ayah. Sorot mata tajam penuh peringatan itu jelas terpancar di sana. "Reputasi perusahaan itu penting. Seharusnya kamu tau itu, Damian. Kalau kamu terus keras kepala, Ayah nggak bisa menjamin kenaikan jabatanmu."Damian pun protes dengan cepat. "Yah!"Tristan memutus kontak mata dan berjalan ke arah meja kerja, lalu memegang sebuah map hitam yang di dalamnya sudah dihiasi foto Damian dan Meira, lengkap dari mereka di kampus hingga bermalam di apartemen. "Jelaskan. Bagaimana kamu bisa menyelesaikan ini semua?!" Pria itu melemparnya di atas meja.Ia lantas membisu. Menatap foto itu dengan emosi yang ha

  • Suamiku, Dosen Idola Kampus   Bab 12 Masalah Baru

    Apartemen. Damian menenteng kantong makanan yang sempat dibelinya dari luar. Kakinya berjalan menuju meja makan, menata beberapa hidangan lezat yang mereka pesan secara bersamaan. Meira duduk di kursi meja makan lebih dulu, fokusnya menatap Damian yang terlihat sibuk di sana. Tatapan kosong itu cukup ketara. Meira tampak tidak bersemangat. Siapa saja yang melihat pasti berpikir yang sama. Seolah masalah berputar di atas kepalanya.Damian berjalan, berdiri di samping Meira. "Kenapa?"Lima detik berlalu, pertanyaan itu berakhir tanpa jawaban."Meira?" Ia kembali menyadarkan. Lagi, panggilannya terabaikan. Damian mendekatkan diri, mengusap puncak rambut Meira, kemudian menariknya ke dalam pelukan. Sayangnya, pelukan itu bahkan hanya satu pihak saja. Meira tetap tidak ada pergerakan. Damian yang tidak tahu harus menghibur dengan cara apalagi pun malah makin kebingungan."Makan dulu. Ayo?" ajak Damian usai melepas dekapan itu.Meira akhirnya menurut. Mereka makan siang dengan keheninga

  • Suamiku, Dosen Idola Kampus   Bab 11 Pilihan Meira

    Pukul 12 siang.Hari ini hanya ada dua mata kuliah. Meira seorang diri selama pembelajaran berlangsung. Shelly duduk di bangku paling pojok seakan memperlihatkan jarak di antara keduanya. Meira mencoba tersenyum, tetapi perempuan itu bahkan tidak menoleh.Usai kelas selesai, Meira mulai merapikan buku-bukunya. Rumor itu masih meninggalkan bekas hebat di dalam sana. Orang-orang terus membicarakan tanpa henti. Shelly berjalan lebih dulu. Ia menatap punggung Meira sebelum benar-benar meninggalkan kelas. Namun, egonya masih terlalu tinggi. Ia memilih tidak peduli meski terdengar jelas para mahasiswa mulai mencemooh sang sahabat. "Shelly," panggil Rangga mencegahnya di luar. "Meira masih di dalam?" Perempuan itu tidak langsung menjawab. Pandangannya terpaku pada Rangga. Shelly merasa sesak di dalam dada, sebab ia tidak bisa meyangkal fakta bahwa Rangga yang ia kagumi selama ini ternyata menyukai Meira, sahabatnya sendiri. Rangga kembali menyadarkan. "Shelly?""Dia masih di dalam," jawa

  • Suamiku, Dosen Idola Kampus   Bab 10 Rumor Kampus

    Kabar itu meyebar lebih cepat dari embusan angin pagi. Baru satu hari Damian mengajaknya pulang, tetapi satu kampus sudah tahu. Segala sudut fakultas heboh membicarakan keduanya. Postingan paparazzi milik akun official lambe turah kampus itu kini sudah menjadi trending topik di grup percakapan mahasiswa. Meira masih terlelap indah ketika cahaya matahari mulai menembus tirai jendela, menyentuh kulitnya hangat. Namun, tidurnya terusik dengan suara notifikasi yang terus berdenting tanpa henti dari ponselnya di atas meja.Dengan mata setengah terbuka, Meira meraih ponselnya yang terus bergetar. Layar menyala. Di sana sudah banyak orang-orang menyebut dirinya melalui postingan di media sosial, kontan ia langsung terduduk. Bola matanya membesar.Berita di portal kampus terpampang jelas.[Hubungan Tak Terduga: Dosen Muda Jatuh Cinta Pada Mahasiswi Tingkah Akhir, Mereka Terlihat Pulang Bersama] Ia masih mematung di tempat tidur. Menggulir layar ponsel dengan perasaan cemas. Membaca berbagai

  • Suamiku, Dosen Idola Kampus   Bab 9 Kontrak Pernikahan

    Sore hari setelah menyelesaikan tiga mata kuliah, Meira berjalan dengan isi pikiran penuh. Kejadian di kantin tadi pagi membuat hubungannya dengan Shelly mendadak renggang. Perempuan itu menghindar. Seperti saat ini, pulang lebih dulu.Masih dengan tekanan yang sama, sang bodyguard sudah menunggu di depan sana tepat di depan mobil berwarna hitam. Lagi dan lagi Meira menarik napas panjang. Cukup menyebalkan, pikirnya."Hari ini kita pulang bersama," kata Damian mencegah Meira. Perempuan itu menoleh. Apalagi ini Tuhan? Bisakah semesta lebih adil? Ia lelah. Bahkan tidak ada energi untuk bicara."Saya udah dijemput," tunjuk Meira dengan dagunya.Damian menatap ke depan. Pria yang tidak asing itu terlihat memantau ke sini. Ia kemudian berpikir, apakah hidup Meira memang tidak bebas seperti perempuan seusianya? Seolah penuh kekangan."Nggak masalah. Ayo?" Ia menarik pergelangan tangan sang kekasih.Meira justru diam tidak bergerak. "Kenapa?" tanyanya.Ia melepas cekalan itu, menatap Damian

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status