LOGINDi dalam kamar.
Meira membaringkan tubuhnya di atas kasur dengan perasaan gusar. Sial. Mengapa kecupan singkat itu masih terasa hangat. Buru-buru ia memejamkan mata dan menepis pikiran kotornya. Ting! Shelly: [Gawat, Mei. Kamu harus cari pacar mulai sekarang!] Pacar? Meira sempat terdiam sejenak. Namun, tidak lama Shelly langsung meneleponnya. "Meira!" kata Shelly terdengar seperti teriakan. "Kenapa, si, Shell?" Di seberang sana, Shelly berjalan memutari area dapur yang ia gunakan untuk membuat kue. Ia tampak gelisah. "Ceritanya panjang, Mei. Aku salah sebut, aku bilang kamu kabur karena udah punya pacar, nggak mau dijodohkan." Perempuan itu menggigit kukunya tidak tenang. Buru-buru Meira mengubah posisi tidurnya menjadi duduk. "Terus kamu bilang apalagi?" "Udah itu aja. Mereka tanya kamu kabur ke mana, tapi aku nggak jawab karena nggak tau. Kamu sekarang ada di mana, Mei? Semuanya aman, 'kan?" "Aman. Aku ada di apartemen. Kamu jangan bilang ke siapa-siapa." "Oke, sementara jangan keluar dulu, Mei. Mereka masih nyari kamu." Namun, panggilan lain masuk membuat Meira merasa panik sendiri. "Shell, aku tutup dulu. Papa nelepon." Meira menatap layar ponselnya yang terus menampilkan panggilan telepon dari sang ayah. Ia menarik napas sejenak, lalu menekan tombol mati daya. Setelah memutuskan menonaktifkan benda pipih tersebut, Meira pergi ke kamar mandi tidak lama langsung mengistirahatkan tubuhnya berharap pagi hari keadaan menjadi lebih baik. *** "Pagi, Mas." Meira menyapa si pemilik rumah dengan segelas air yang ia ambil dari dapur. Damian datang dan berdiri di depan perempuan yang barusan menyapanya. Menatap dengan kerutan di kening. Ia pikir Meira belum bangun, sebab ini baru jam 7 pagi. "Mau ke mana kamu sepagi ini?" tanyanya. Meira sedikit menegakkan tubuhnya. "Balik ke habitat, Mas. Jadi mahasiswi rajin di kampus." Pria itu mengangguk-anggukkan kepalanya. "Jangan lupa tugas kamu." "Tugas apa? Perasaan saya nggak ada tugas apa-apa, deh." Damian berujar, "Morning kiss." Astaga, Meira tidak habis pikir. Bahkan di pagi buta seperti ini pria menyebalkan itu masih mengambil keuntungan? Sungguh menakjubkan. "Jangan harap, ya, Mas." Ia melirik sinis. "Utang yang harus kamu bayar lunas sebelum keluar dari apartemen saya," ucapnya terdengar serius. Mendengarnya saja membuat Meira membuang napas secara kasar. Apakah Damian memang selalu seenak jidat seperti ini? Dikarenakan tidak mau berdebat panjang, ditambah ia juga harus segera pergi karena ada mata kuliah pagi, mau tidak mau kakinya maju selangkah dan mengecup singkat pria di depannya. "Lunas," kata Meira menatap penuh Damian dengan sorot tajam. Tentu hal tersebut tidak akan Damian sia-siakan. Ia menarik kembali tubuh Meira sehingga kini tidak ada jarak di antara keduanya. "Gimana kalau kita buat kesepakatan?" Meira yang gugup setengah mati hanya mampu terdiam, menunggu kalimat selanjutnya yang hendak pria itu lontarkan. "Kamu bisa tinggal selamanya di sini. Asalkan kita menikah," ujar Damian. Dengan cepat ia mendorong tubuh Damian. Ternyata di sini bukan hanya dirinya yang gila, tetapi pria itu pun sama. "Mas nggak salah minum obatkan? Masih pagi lho, nggak mungkin geger otak bukan?" kata Meira mencari kebohongan di mata Damian. Sedangkan yang ditanya malah kembali mengikis jarak, sehingga batang hidung keduanya hampir betubrukan. "Mau buktikan?" goda Damian. Embusan napasnya bisa Meira rasakan sekarang. Entah bagaimana Meira justru ikut terbawa suasana, ia memejamkan matanya perlahan seakan menunggu benda kenyal milik Damian menyentuh kepunyaannya dengan lembut. Damian, pria itu terkekeh pelan. Merasa gemas karena reaksi Meira cukup di luar perkiraan. Tidak lama, ia menjauhkan tubuhnya membuat adegan romantis itu terputus dengan perasaan puas di dalam diri. "Kamu nggak jadi berangkat ke kampus?" tanya Damian sudah berdiri tegak dengan muka tanpa ekspresi. Buru-buru Meira membuka mata. Sial. Ia benar-benar malu sekarang. Bodoh. Apa yang barusan kamu lakukan Meira? Batin perempuan itu menjerit. "S-saya pergi dulu, Mas." Setelah kejadian memalukan itu, Meira meninggalkan apartemen dengan berbagai makian untuk dirinya sendiri. "Cukup sekali, Meira. Jangan sampai kamu berurusan lagi sama pria itu!" gerutunya tidak habis-habis. Sesampainya di bawah, Shelly sudah menunggu dengan rok selutut dan tangan menyilang di atas dada. Ia berdiri di samping mobil putih miliknya. "Shelly, baby!" panggil Meira dengan dramanya langsung memeluk sang sahabat. Shelly yang sudah muak pun mendorong tubuh Meira dengan kuat. "Nggak usah peluk-peluk. Ini terakhir kali aku terlibat masalah kamu, ya, Mei." "Ahh ... Shelly my baby, kok, kamu gitu, si?" Bibirnya mengerucut sempurna. "Geli aku dengarnya. Cepat masuk mobil, aku udah bawain baju ganti." Senyum Meira lantas mengembang. "Terima kasih, Shelly. Kaulah sahabat terbaikku." Mendengarnya saja Shelly sudah bosan. Perempuan itu selalu mengucapkan terima kasih dengan nada khas Kartun dari Negara tetangga, hal tersebut membuat ia memutar bola matanya malas. Di dalam mobil. "Kamu udah cek grup kelas belum?" kata Shelly menoleh sebentar. "Belum. Notifikasiku penuh gara-gara kabur semalam," keluh Meira menatap nanar ponselnya. Shelly menarik napas panjang. "Kelas Pak Edwin diganti dosen baru. Ada yang bilang dosen barunya lebih pelit nilai, Mei." "Di atas Pak Edwin masih ada dosen baru yang lebih pelit nilai?" Meira membeo. "Yang bener aja, Shell!"Pukul 8 malam.Malam itu hujan turun dengan rintik kecil, menciptakan bayangan tajam di jalanan basah. Lampu-lampu taman menyala redup, sedangkan mobil Damian berhenti dipekarangan besar milik keluarga Meira.Keduanya kompak turun dari mobil. Damian menuntun Meira dan menjadikan tangannya sebagai payung, lalu jalan beriringan menuju pintu utama. Menekan bel rumah dengan sopan.Pintu itu kemudian terbuka, menampilkan Tama dengan tatapan dingin yang mampu membekukan udara. Pria itu memang sudah menunggu sang anak pulang sedari tadi. "Silakan masuk," katanya tanpa senyum.Damian melangkah masuk dengan kepala sedikit menunduk sebagai tanda hormat, hal itu diikuti Meira di belakang sana. Di depan sana, tepat di sofa ruang tamu berwarna putih ia melihat sang Ibu tengah duduk dengan wajah cemas, tetapi berusaha tenang. "Papa sudah tahu semuanya," kata Tama membuka percakapan. Meira memainkan jari-jemarinya di bawah sana, gelisah tiba-tiba menyerang. Ia tahu karena tidak mungkin Ayahnya di
Ruang CEO. Damian masuk ke dalam ruangan dengan muka datarnya. Di sana terlihat sang Ayah tengah berdiri tegak menghadap ke luar jendela besar dengan kedua tangan dimasukkan ke dalam kantong celananya. "Putuskan hubungan kamu dengan perempuan itu," tegas Tristan langsung membalikkan badannya. Keduanya saling beradu tatap. Ruang ber-AC rupanya tidak bisa menyejukkan suasana hati sang Ayah. Sorot mata tajam penuh peringatan itu jelas terpancar di sana. "Reputasi perusahaan itu penting. Seharusnya kamu tau itu, Damian. Kalau kamu terus keras kepala, Ayah nggak bisa menjamin kenaikan jabatanmu."Damian pun protes dengan cepat. "Yah!"Tristan memutus kontak mata dan berjalan ke arah meja kerja, lalu memegang sebuah map hitam yang di dalamnya sudah dihiasi foto Damian dan Meira, lengkap dari mereka di kampus hingga bermalam di apartemen. "Jelaskan. Bagaimana kamu bisa menyelesaikan ini semua?!" Pria itu melemparnya di atas meja.Ia lantas membisu. Menatap foto itu dengan emosi yang ha
Apartemen. Damian menenteng kantong makanan yang sempat dibelinya dari luar. Kakinya berjalan menuju meja makan, menata beberapa hidangan lezat yang mereka pesan secara bersamaan. Meira duduk di kursi meja makan lebih dulu, fokusnya menatap Damian yang terlihat sibuk di sana. Tatapan kosong itu cukup ketara. Meira tampak tidak bersemangat. Siapa saja yang melihat pasti berpikir yang sama. Seolah masalah berputar di atas kepalanya.Damian berjalan, berdiri di samping Meira. "Kenapa?"Lima detik berlalu, pertanyaan itu berakhir tanpa jawaban."Meira?" Ia kembali menyadarkan. Lagi, panggilannya terabaikan. Damian mendekatkan diri, mengusap puncak rambut Meira, kemudian menariknya ke dalam pelukan. Sayangnya, pelukan itu bahkan hanya satu pihak saja. Meira tetap tidak ada pergerakan. Damian yang tidak tahu harus menghibur dengan cara apalagi pun malah makin kebingungan."Makan dulu. Ayo?" ajak Damian usai melepas dekapan itu.Meira akhirnya menurut. Mereka makan siang dengan keheninga
Pukul 12 siang.Hari ini hanya ada dua mata kuliah. Meira seorang diri selama pembelajaran berlangsung. Shelly duduk di bangku paling pojok seakan memperlihatkan jarak di antara keduanya. Meira mencoba tersenyum, tetapi perempuan itu bahkan tidak menoleh.Usai kelas selesai, Meira mulai merapikan buku-bukunya. Rumor itu masih meninggalkan bekas hebat di dalam sana. Orang-orang terus membicarakan tanpa henti. Shelly berjalan lebih dulu. Ia menatap punggung Meira sebelum benar-benar meninggalkan kelas. Namun, egonya masih terlalu tinggi. Ia memilih tidak peduli meski terdengar jelas para mahasiswa mulai mencemooh sang sahabat. "Shelly," panggil Rangga mencegahnya di luar. "Meira masih di dalam?" Perempuan itu tidak langsung menjawab. Pandangannya terpaku pada Rangga. Shelly merasa sesak di dalam dada, sebab ia tidak bisa meyangkal fakta bahwa Rangga yang ia kagumi selama ini ternyata menyukai Meira, sahabatnya sendiri. Rangga kembali menyadarkan. "Shelly?""Dia masih di dalam," jawa
Kabar itu meyebar lebih cepat dari embusan angin pagi. Baru satu hari Damian mengajaknya pulang, tetapi satu kampus sudah tahu. Segala sudut fakultas heboh membicarakan keduanya. Postingan paparazzi milik akun official lambe turah kampus itu kini sudah menjadi trending topik di grup percakapan mahasiswa. Meira masih terlelap indah ketika cahaya matahari mulai menembus tirai jendela, menyentuh kulitnya hangat. Namun, tidurnya terusik dengan suara notifikasi yang terus berdenting tanpa henti dari ponselnya di atas meja.Dengan mata setengah terbuka, Meira meraih ponselnya yang terus bergetar. Layar menyala. Di sana sudah banyak orang-orang menyebut dirinya melalui postingan di media sosial, kontan ia langsung terduduk. Bola matanya membesar.Berita di portal kampus terpampang jelas.[Hubungan Tak Terduga: Dosen Muda Jatuh Cinta Pada Mahasiswi Tingkah Akhir, Mereka Terlihat Pulang Bersama] Ia masih mematung di tempat tidur. Menggulir layar ponsel dengan perasaan cemas. Membaca berbagai
Sore hari setelah menyelesaikan tiga mata kuliah, Meira berjalan dengan isi pikiran penuh. Kejadian di kantin tadi pagi membuat hubungannya dengan Shelly mendadak renggang. Perempuan itu menghindar. Seperti saat ini, pulang lebih dulu.Masih dengan tekanan yang sama, sang bodyguard sudah menunggu di depan sana tepat di depan mobil berwarna hitam. Lagi dan lagi Meira menarik napas panjang. Cukup menyebalkan, pikirnya."Hari ini kita pulang bersama," kata Damian mencegah Meira. Perempuan itu menoleh. Apalagi ini Tuhan? Bisakah semesta lebih adil? Ia lelah. Bahkan tidak ada energi untuk bicara."Saya udah dijemput," tunjuk Meira dengan dagunya.Damian menatap ke depan. Pria yang tidak asing itu terlihat memantau ke sini. Ia kemudian berpikir, apakah hidup Meira memang tidak bebas seperti perempuan seusianya? Seolah penuh kekangan."Nggak masalah. Ayo?" Ia menarik pergelangan tangan sang kekasih.Meira justru diam tidak bergerak. "Kenapa?" tanyanya.Ia melepas cekalan itu, menatap Damian





![Gadis Bodoh [Bego]](https://acfs1.goodnovel.com/dist/src/assets/images/book/43949cad-default_cover.png)

