Masih di tempat dan posisi yang sama, teriakan Azura membuat dua keluarga itu terkejut. Suara yang nyaring mengisi ruangan yang hening.
"Kamu ini bikin kita kaget. Ngomongnya biasa aja! gausah teriak kayak gitu bisa kan?" Omel Bima menatap tajam anaknya. Sedangkan Azura hanya mengeluarkan senyuman tanpa dosa. Azura melihat sekitar, semuanya berfokus pada dirinya. Membuat gadis itu merasa malu. "Maaf aku beneran kaget tadi, makannya spontan teriak," ucap Azura sambil menundukan kepala. Mungkin kalau kantong ajaib Doraemon itu ada, Azura akan mengambil ramuan menghilang, saking malunya. Azura terkejut melihat Damian duduk di sana dengan santainya. Mengerjakan matanya beberapa kali, memastikan jika tidak salah orang. Jadi orang yang akan dijodohkan dengannya adalah Damian? Si Dosen killer itu? Gawat! Gadis itu hanya bisa terdiam ditempat. "Gapapa sayang, jadi kamu kenal sama anak Tante yang dingin kek kulkas sebelas pintu ini?" tanya salah satu wanita paruhbaya dengan senyuman jahilnya "Kenal Tan, Pak Damian itu dosen aku di kampus." Senyuman semua orang tidak bisa dihilangkan setelah mendengar ucapan Azura. "Bagus deh kalau kalian saling kenal, bisa cepat akrab," ucap Wanita paruhbaya di samping Devan antusias. Azura menatap kesal pria datar itu. "Apa katanya? Akrab, yang bener aja!? Siapa juga yang mau deket sama monster jelek kaya pak Damian. Yang ada pengen gue bejek muka datarnya itu." ucapnya dalam hati kesal. "Iya Tan gausah kenalan lagi, mahasiswa di kampus juga pada tahu siapa itu Pak Damian. Dosen killer mematikan," ucap Azura memelankan suaranya di akhir kalimat. Namun suaranya masih terdengar oleh Sang Ayah yang duduk tepat disampingnya. Dia melirik tajam anaknya, dengan cubitan yang diterima Azura dilengannya. "Jangan bikin malu Azura!?" Geram Bima melihat tingkah laku anaknya yang sudah diluar batas itu. Sedangkan Wanita paruhbaya dengan dress hitam terkekah ditempat. Saat mendengar gumaman Azura. "Iya emang killer anak saya. Sampai-sampai para mahasiswa banyak yang tidak suka padanya. Tapi tenang saja, dia tidak makan orang kok." Tawa wanita itu tidak bisa dibendung lagi. Diikuti dengan yang lain. Damian hanya bisa menghela nafas melihat tingkah kedua wanita beda generasi itu. Matanya seolah ada magnet saat menatap gadis di depannya, yang hanya diam ditempat tidak seperti ketika di kampus banyak tingkahnya. Damian tidak habis pikir Bundanya kenapa bisa menjodohkannya dengan gadis menyebalkan seperti Azura. Helaan nafas terdengar, Damian melihat sekitar dan berkata. "Saya izin ingin berbicara sebentar, dengan Azura. Ayo ikut saya." Damian menarik tangan Azura tanpa mendengarkan persetujuan orangtuanya. Entah apa yang akan dibicarakan mereka, sampai harus pergi dari ruang tamu. Mereka yang ada disana tidak bisa menghilangkan senyumannya. Melihat keduanya yang mereka pikir sudah sedekat itu. "Tahan dulu, Dam. Belum sah. Jangan di apa-apain dulu. Nanti ga dapet restu dari calon mertua," teriak Devan Ayah Damian. Mendengar perkataan ayahnya. Damian hanya bisa ngedengus kesal, tapi tidak dihiraukan oleh Damian. Dia harus bicara empat mata dengan Azura. Jangan sampe anak didiknya ini kabur gara-gara masalah ini. "Apaan sih Pak? Bisa pelan tidak, tangan saya sakit gara-gara ditarik kaya gitu." Gadis itu menyentak tangan Damian dengan satu tangannya. Damian hanya terdiam. Tidak mendengar ocehan dari Azura. Melenggang pergi dan duduk di kursi yang ada di taman itu. Diikuti Azura dari belakang. "Ga bisa santai jadi cowo. Liat! Tangan saya jadi merah gini gara-gara Bapak." Gadis itu memperlihatkan tangannya kepada Damian. Pria itu bisa melihat ada tanda merah disana, perasaan ia tidak terlalu keras mengenggam tangan anak didiknya itu. Kenapa bisa sampe semerah itu? Apa karena tangan Azura emang seputih itu. Damian hanya terdiam tanpa menanggapi ocehan Azura. Keduanya terdiam tanpa ada yang mengeluarkan suara. Mereka fokus menatap langit, dengan rembulan yang cukup cantik di kelilingi bintang. Malam ini cukup terang, namun tidak dengan hati gadis itu. Dia gelisah, entah apa yang harus dia lakukan karena pria disampingnya hanya terdiam. Menyebalkan sekali. "Saya harap Bapak tolak perjodohan ini." Gadis itu berkata memecah keheningan, tanpa melihat lawan bicara. Damian terdiam sesaat. Hanya melirik sekilas pada Azura. "Saya tidak akan menolak," jawabnya yang terlihat begitu santai. Berbeda dengan Damian, Azura bahkan tak bisa santai. Dirinya kesal dan bingung dengan jawaban pria itu. Kenapa tidak mau menolak? Tentu saja pasti karena tak ada gadis lain yang bisa tahan dengan sikapnya. Karena itulah dia menerima perjodohan gila ini untuk memiliki seseorang yang menemaninya di hari tua. Dasar pria! "Kenapa? Apa susahnya sih buat tolak aja? Pokoknya saya gak mau dijodohin sama orang yang udah tua, kalo ngomong seenaknya terus emosian. Gak, gak mau!" Azura menggelengkan wajahnya cepat. "Tua?" Damian berdecih. Ia mendekat ke arah Azura dan menundukkan tubuhnya. Apa baru saja seseorang merendahkannya? Banyak gadis yang menginginkannya di luar sana. Saat wajah mereka begitu dekat Damian langsung menyentuh kening Azura dengan telunjuknya. "Memangnya ada yang mau sama perempuan pendek seperti kamu? Cerewet, banyak tingkah, lelet." "Ish!" Dengan cepat kedua tangannya mendorong Damian menjauh. "Batalin perjodohannya!" Damian tak mendengarkan ucapan Azura dan justru malah melangkah hendak pergi. Dengan cepat Azura menghalangi dan merentangkan kedua tangan. Tanpa sadar sudut bibir Damian terangkat karena tingkah gadis di hadapannya. "Minggir!" "Gak mau! Kecuali Bapak mau di ajak kerja sama." Untuk kesekian kalinya Damian menghela nafas berat. Cukup lelah berhadalan dengan gadis menyebalkan didepannya ini. "Jangan khawatir, kamu bukan type saya." "Ya bagus, sih. Jadi batal, kan?" Azura menatapnya berbinar namun senyuman itu luntur saat mendengar jawaban Damian. "Tidak." "Kenapa, sih? Mau banget nikah sama saya?" Damian menyeringai. "Lumayan buat nakutin tikus di rumah saya." Apa? Tangan yang direntangkan kini turun. Matanya menatap Damian yang langsung pergi. Setelah mulai tersadar Azura menunjuk dirinya sendiri. "Gue? Gue dipake buat nakut-nakutin tikus di rumah dia?" "Damian sialan?" teriak frutrasi Azura. Gadis itu terduduk menundukkan pandangan di bangku taman. Tanpa ada niatan untuk pergi dari sana. Namun, sepertinya mereka akan menunggunya. Dia pun bangkit dan segera menyusul Damian. Mereka yang ada di ruang tamu yang sedang berbincang seketika terdiam. Setelah melihat dua orang kembali ke dalam. Tidak ada yang memulai pembicaraan. "Jadi gimana, Zura? Kamu bisa menerima perjodohan ini kan?" tanya penuh harap Kirana. Bunda dari Damian. Mendengar perkataan Kirana, membuat dia menatap tajam Damian. Rasa kesal padanya belum benar-benar hilang, rasanya jngin mencakar muka datarnya itu. "Gila beneran gue kalau beneran nikah sama dosen sinting itu," ucapnya dalam hati. Azura melihat sekitar, helaan nafas terdengar. "Maaf semuanya, apa boleh aku minta waktu, buat mikirin jawabannya? Ini terlalu mendadak buat aku." ucapnya lirih. kembali tertunduk. Semua orang saling melirik. Mereka sudah menduga hal ini akan terjadi. "Gapapa Nak, perjodohan ini terlalu cepat buat kamu. Saya ngerti kamu pasti kaget dengan hal ini. Saya dan yang lain akan kasih waktu. Tapi, setelah itu gaada acara kabur-kaburan ya," ucap Devan diselingi candaan. Azura hanya mengangguk. Mengiyakan, apa katanya. Kabur? Yang bener aja bisa di terkam Azura oleh Ayahnya. "Jangan terlalu lama ya Nak, soalnya ada yang udah ga sabar buat ngerasain malam pertama," celetukan Devan berniat menggoda anak semata wayangnya itu. Sedangkan Damian hanya menatap sinis Ayah-nya. "Ayah! Jangan mulai deh. Kasian anaknya di goda mulu daritadi." Kirana menepuk paha suaminya memperingati. Devan hanya menyengir, kalau singa betina sudah menegurnya ia tidak bisa berbuat apa-apa hanya bisa terdiam. Damian mengeluarkan senyuman mengejek pada Ayahnya itu. "Rasain!" ucapnya berbisik pada Devan. "Daritadi saya liat yang ditanya hanya Azura. Sedangkan Damian tidak ditanya gimana pendapatnya tentang perjodohan ini. Jadi gimana apa kamu bisa menerima perjodohan ini?" Deringan ponsel memotong perkataan dari Ayah Azura. Fokus mereka seketika bertuju pada ponsel Azura yang berdering sangat nyaring itu, Azura segera melihat siapa yang meneleponnya dan berpamitan untuk menangkat teleponnya sebentar. Orang-orang yang berada di ruang tamu saling menatap, dikepala mereka seperti banyak tanya siapakah gerangan yang menelepon Azura dimalam hari seperti ini.Di sebuah cafe ternama di Jakarta, terdapat sepasang kekasih saling menatap satu sama lain. Tidak ada pembicaraan dari keduanya. Gadis itu menatap kekasihnya dengan kerutan didahinya bingung. Sebenarnya ada apa? tidak biasanya sang kekasih banyak diemnya seperti ini. "Apa yang mau kamu omongin, trus kemana aja kamu selama ini? Kenapa menghilang tidak ada kabar?" tanya Azura. Pria itu hanya terdiam ditempat. Pikirannya menerawang akan semua hal yang terjadi, cukup mendadak baginya. Namun, kalau tidak dibicarakan sekarang pasti Azura akan kaget kalau ia harus ke luar negeri karena masalah kantor disana. "Nathan, Sebenernya kamu kenapa? Seperti ada masalah. Coba cerita sama aku, jangan di pendem sendiri. Kalau kamu tetap diam seperti itu mending aku pulang aja deh." kata Azura lagi setelah melihat keterdiaman Nathan. Ya, gadis itu Azura. Sepulang kampus dia menyempatkan diri untuk bertemu dengan kekasihnya. Semalam pria itu tiba-tiba menelpon ingin bertemu dengannya, mem
Hari yang cukup cerah. Jalanan jakarta mulai ramai, dengan lalu lalang orang dengan aktivitasnya masing-masing. Begitu pun dengan Azura yang sedang mengendarai mobilnya menuju kampus. Dia ada kelas pagi hari ini, fokusnya melayang pada kejadian tadi malam, helaan nafas berat terdengar. "Gue harus ceritain soal perjodohan ini kedua curut. Siapa tau kan mereka bisa bantu gue," gumam Azura. Mereka pasti kaget setelah mendengar kabar ini. Apalagi kalau mereka tau kalau yang dijodohkan dengannya Dosen killernya sendiri. Membayangkan wajah cengo keduanya membuat senyuman Azura terbentuk. Beberapa menit dia sudah sampai, menghampiri kedua sahabatnya yang ada di kelas. Azura menepukan pundak kedua temannya. "Gue mau cerita sama lo berdua." Mereka tersentak di tempat, manatap tajam Azura. Sedangkan pelakunya hanya menyengir tidak jelas. "Astaghfirullah, Zura bisa copot jantung gue. Lo Ngagetin aja ada apa sih?" Azura menarik kedua sahabatnya. Supaya tidak ada yang mendengar, apa
Masih di tempat dan posisi yang sama, teriakan Azura membuat dua keluarga itu terkejut. Suara yang nyaring mengisi ruangan yang hening. "Kamu ini bikin kita kaget. Ngomongnya biasa aja! gausah teriak kayak gitu bisa kan?" Omel Bima menatap tajam anaknya. Sedangkan Azura hanya mengeluarkan senyuman tanpa dosa. Azura melihat sekitar, semuanya berfokus pada dirinya. Membuat gadis itu merasa malu. "Maaf aku beneran kaget tadi, makannya spontan teriak," ucap Azura sambil menundukan kepala. Mungkin kalau kantong ajaib Doraemon itu ada, Azura akan mengambil ramuan menghilang, saking malunya. Azura terkejut melihat Damian duduk di sana dengan santainya. Mengerjakan matanya beberapa kali, memastikan jika tidak salah orang. Jadi orang yang akan dijodohkan dengannya adalah Damian? Si Dosen killer itu? Gawat! Gadis itu hanya bisa terdiam ditempat. "Gapapa sayang, jadi kamu kenal sama anak Tante yang dingin kek kulkas sebelas pintu ini?" tanya salah satu wanita paruhbaya dengan senyum
Azura berada di dalam kamar dengan mulut berkomat kamit tidak jelas. Dia cukup kesal dengan apa yang Ayahnya sampaikan tadi, apalagi harus membawa mobil kesayangannya dalam masalah ini. Dengan keterpaksaan Azura harus menuruti semua kemauan Ayahnya. Gadis itu membantingkan diri ke kasur menatap atap kamar. Entah kesalahan apa yang ia buat sehingga sang ayah tega menjodohkan dirinya dengan pria yang tidak dikenal. Apalagi Ayahnya tahu kalau dia sudah memiliki kekasih. Kepala Azura ingin pecah saat memikirkan masalah hidupnya. Ketukan pintu terdengar dari arah luar. Menyadarkan Azura dari alam bawah sadarnya, Dia mendengus kesal pasti ibu tirinya yang datang ke kamar. "Saya gabutuh bantuan Tante, sana pergi." Gadis itu berkata tanpa tahu siapa yang mendatanginya. "Non, ini bibi mau nganterin gaun buat non Azura." Mata Azura melebar saat mendengar suara Bi Ijah dari arah luar, dia segera bangkit dari tidurnya untuk membuka pintu kamar. "Ih bibi, bilang daritadi kek. Aku piki
"Pak Damian tunggu!" Teriak seorang gadis yang tengah berlari dengan setumpuk kertas ditangannya, berusaha mengejar langkah kaki Dosen didepan. Nafasnya tersengal-sengal karena lelah berlari disepanjang lorong kampus. Sedangkan sang dosen menghiraukan teriakan darinya. Mendengar suara teriakan yang melengking, beberapa mahasiswa mulai tertarik perhatiannya. Mereka seperti sudah terbiasa dengan kelakuan Azura yang selalu berisik ketika bertemu Dosennya itu, Damian. Cukup berani untuk mahasiswa yang berhadapan dengan Dosennya sendiri. Gadis itu bisa melihat, dosen yang sangat dia benci akan memasuki ruangannya. Kaki jenjangnya kembali melangkah dengan cepat, menimbulkan suara hentakan sepatu memenuhi lorong. Namun naas nasib sial selalu berpihak padanya. Pintu itu dibanting cukup keras oleh dosen itu tanpa membiarkan dirinya masuk kedalam. Dia meremas tangannya geram melihat kelakuan pria itu. "Dasar Dosen gila! Mimpi apa gue semalam punya dosen monster kek gitu." Ga