Azura berada di dalam kamar dengan mulut berkomat kamit tidak jelas. Dia cukup kesal dengan apa yang Ayahnya sampaikan tadi, apalagi harus membawa mobil kesayangannya dalam masalah ini. Dengan keterpaksaan Azura harus menuruti semua kemauan Ayahnya.
Gadis itu membantingkan diri ke kasur menatap atap kamar. Entah kesalahan apa yang ia buat sehingga sang ayah tega menjodohkan dirinya dengan pria yang tidak dikenal. Apalagi Ayahnya tahu kalau dia sudah memiliki kekasih. Kepala Azura ingin pecah saat memikirkan masalah hidupnya. Ketukan pintu terdengar dari arah luar. Menyadarkan Azura dari alam bawah sadarnya, Dia mendengus kesal pasti ibu tirinya yang datang ke kamar. "Saya gabutuh bantuan Tante, sana pergi." Gadis itu berkata tanpa tahu siapa yang mendatanginya. "Non, ini bibi mau nganterin gaun buat non Azura." Mata Azura melebar saat mendengar suara Bi Ijah dari arah luar, dia segera bangkit dari tidurnya untuk membuka pintu kamar. "Ih bibi, bilang daritadi kek. Aku pikir Mak lampir yang datang makannya aku sengaja ga buka pintu." Bi Ijah menatap cengo Anak majikannya itu. "Non ini ada-ada aja kelakuannya. Bibi jadi pusing ngadepinnya," ucap Bi Ijah tidak habis pikir dengan pola pikir Azura terhadap ibunya sendiri. Saat mendengar ucapan Bi Ijah, Azura hanya bisa menyengir sambil menggaruk kepalanya yang tidak gatal. "Bi Ijah baik banget deh," ucap tiba-tiba Azura sambil memeluk Bi Ijah dari samping. "Non mau apa? Bilang aja gausah muji-muji kek gini, bibi udah tau," sindir Bi Ijah tanpa melepaskan pelukan Azura padanya. Dia emang sudah sangat dekat dengan Azura, sampai ia menganggapnya seperti anak sendiri. "Ihh, bibi mah gak asik, Bibi tau gak cowo yang mau dijodohin sama aku siapa?" Sudah Bi Ijah bilang, kalau Azura bertingkah seperti itu pasti ada maunya. "Bibi gatau. Non mending siap-siap deh jangan mikirin hal yang ga harus dipikirin. Bibi keluar dulu." Azura melihat itu hanya bisa mendengus kesal. Dia menghentakkan kaki kesal, setelah tidak mendengar jawaban yang ia harapkan dari Bi Ijah. "Apaan sih Bi Ijah, tinggal bilang aja susah bener. Apalagi ini harus pake gaun segala." Azura meremas gaun yang disimpan di atas kasurnya dengan tatapan membunuh. "Kalau bukan si mony yang jadi jaminan, mungkin gue udah kabur dari perjodohan ini." Azura dengan langkah gontai melangkahkan kaki menuju kamar mandi, untuk bersiap. Setelah beberapa menit, Azura keluar dari kamar mandi dengan dress tosca yang sangat cocok ditubuh putihnya. Tidak lupa ia menghias wajahnya dengan make up simpel andalannya. Azura sangat cantik malam ini. Namun tidak dengan hatinya, bagaimana kalau kekasihnya tahu dirinya dijodohkan oleh Ayahnya. Ingin memberitahu pun sepertinya percuma karena kabar kekasihnya pun ia tidak tau dari kemarin, hal itu membuat Azura tambah kesal dibuatnya. Karena terlalu sibuk dengan lamunannya, Azura tidak menyadari ibu tirinya masuk saat tidak mendengar jawaban dari dalam. Sampai sentuhan di bahunya membuyarkan lamunannya. "Nak, Tante tahu semua yang terjadi ini terlalu cepat. Kamu harus ingat, Ayah kamu ngelakuin semuanya buat kebaikan kamu. Maaf Tante tidak bisa bantu kamu." Azura tersentak ditempat, mendengar suara ibunya secara tiba-tiba. "Siapa yang kasih izin buat masuk? Udah dibilang kalau aku ga butuh bantuan Tante! Keluar sekarang! Aku gak sudi ada pelakor di kamar aku" Lagi dan lagi hanya penolakan yang ia terima. Entah, sampai kapan Azura bisa menerimanya. Tanpa diminta mata Wanita paruhbaya itu memanas seketika mendengar perkataan putrinya. "Tante akan keluar, setelah Tante ngasih gelang yang Ayah kamu kasih. Kamu terima ya, biar tangan kamu tidak terlalu polos. Kalau gitu Tante keluar dulu." Wanita itu menyimpan sebuah kotak disudut meja rias yang duduki anaknya itu. Dia pun segera keluar,dengan cairan bening yang menetes di pelupuk matanya. Sedangkan Azura terdiam di tempat. Tangannya mengambil kotak itu dan membukanya ia bisa melihat didalamnya terdapat gelang emas dengan model yang cukup sederhana. Ayahnya memang tahu selera untuknya. Tanpa Azura ketahui gelang itu pemberian dari Ibunya. Wanita paruhbaya itu berbohong, agar anaknya bisa menerima apa yang ia kasih. Dia memandang Azura dari selah pintu yang sengaja tidak tertutup rapat. Air matanya menetes kembali. Perkataan Azura membekas di hatinya. "Tante akan lakuin segala cara supaya kamu bisa menerima Tante dalam hidup kamu Azura." Wanita itu menatap nanar anaknya. Segera menutup pintu bergegas menuju tempat Suaminya. Ketukan pintu terdengar kembali. Suara ayahnya terdengar dari balik pintu. "Masuk aja Ayah," ucapnya tidak beranjak dari duduknya. Pintu dibuka dengan pelan oleh ayahnya. Azura menampilkan wajah kesal dengan bibir cemberut dihadapan Ayahnya. " Wah, Cantik sekali anak Ayah. Udah ga sabar mau ketemu calon, ya?" godanya sambil menyentuh dagu anaknya. Azura menyentak tangan Ayahnya. "Apaan sih!? Aku gamau dijodohin, batalin aja. Lagian Ayah kan tau aku udah punya pacar." Seolah tidak tersinggung dengan tindakan anaknya. Pria paruhbaya malah tersenyum saat melihat anaknya memakai gelang pemberian istrinya. Dia mengelus rambut putrinya. Rasa haru ia rasakan, anaknya sudah besar sekarang. Mungkin sebentar lagi tanggungjawabnya akan berpindah tempat ke menantunya. "Sayang, Ayah ngelakuin ini semua demi kebaikan kamu. Dia laki-laki baik yang bisa menjaga kamu daripada dia, Ayah yakin suatu saat nanti kamu bisa menerima kehadirannya dihidup kamu. Ayah mohon jangan menolak keinginan Ayah yang satu ini. Ayah engga pernah minta sesuatu sama kamu, cuma ini yang Ayah pinta dari kamu ga ada yang lain," Kata bima, Ayah dari Azura. Mata Azura memanas mendengar penuturan Ayahnya. Apa yang harus ia lakukan sekarang? Membuat Ayah-nya kecewa sama saja melukai dirinya sendiri. *** Setelah acara membujuk berlalu akhirnya Azura mau menuruti kemauan Ayahnya. Dia melangkahkan kaki menuruni tangga satu persatu. Tangan Ayahnya menggandeng, menuntun jalan anaknya. Azura bisa mendengar suara orang-orang yang ada di ruang tamu, jantungnya berdebar entah karena apa. Suara langkah kaki terdengar. Membuat mereka yang sedang berbicara terdiam. Mereka liat sosok gadis dengan gaun sederhana, make up simpel membuatnya terlihat sangat cantik. "Tuh liat sayang, mereka terkesima melihat kecantikan kamu," bisik sang ayah pada anaknya. Azura menundukkan pandangannya menahan malu. Azura duduk diapit oleh ibu dan ayahnya. Tanpa Azura sadari dihadapannya, ada seorang pria yang masih pokus pada ponselnya tidak menyadari kehadiran Azura. Senggolan tangan ayahnya membuat pria itu mendongak, melihat sekitar. Fokusnya terpusat pada gadis dengan dress tosca yang sangat pas di tubuh rampingnya. "Cantik," ucapnya dalam hati. Devan, Ayah Damian yang melihat putranya terdiam dan terus menatap gadis cantik dihadapannya. Pria itu terkekeh pelan dan menyikut lengan Damian pelan sambil berbisik, "cantik, kan? Ayah tidak salah pilih calon mantu." Sang anak hanya terdiam dengan wajah datarnya. Gadis itu hanya tertunduk antara bingung dan malu. Dia tidak menyadari sedang diperhatikan oleh pria yang mungkin dikenalnya. "Hmm, maaf sebelumnya mengganggu istirahat di rumah ini. Kami kesini ingin melanjutkan pembicaraan mengenai perjodohan antara putra putri, yang sudah dari lama direncanakan. Perkenalkan nak Azura, Pria datar disamping saya ini Damian Mahendra putra tunggal saya," ucap pria paruhbaya mengawali pembicaraan. Azura yang tengah menunduk langsung dibuat tersentak. Damian? Tidak mungkin Dosen killernya itu, kan? Nama Damian itu banyak, Tapi karena penasaran akan pria yang dijodohkan dengannya. Gadis itu mendongak, melihat sekitar. Matanya berhenti di seorang pria dengan jas yang hampir senada dengannya. Sedang menatapnya dengan wajah datarnya. Mata gadis itu melebar. "Bapak! Ngapain disini?"Di sebuah cafe ternama di Jakarta, terdapat sepasang kekasih saling menatap satu sama lain. Tidak ada pembicaraan dari keduanya. Gadis itu menatap kekasihnya dengan kerutan didahinya bingung. Sebenarnya ada apa? tidak biasanya sang kekasih banyak diemnya seperti ini. "Apa yang mau kamu omongin, trus kemana aja kamu selama ini? Kenapa menghilang tidak ada kabar?" tanya Azura. Pria itu hanya terdiam ditempat. Pikirannya menerawang akan semua hal yang terjadi, cukup mendadak baginya. Namun, kalau tidak dibicarakan sekarang pasti Azura akan kaget kalau ia harus ke luar negeri karena masalah kantor disana. "Nathan, Sebenernya kamu kenapa? Seperti ada masalah. Coba cerita sama aku, jangan di pendem sendiri. Kalau kamu tetap diam seperti itu mending aku pulang aja deh." kata Azura lagi setelah melihat keterdiaman Nathan. Ya, gadis itu Azura. Sepulang kampus dia menyempatkan diri untuk bertemu dengan kekasihnya. Semalam pria itu tiba-tiba menelpon ingin bertemu dengannya, mem
Hari yang cukup cerah. Jalanan jakarta mulai ramai, dengan lalu lalang orang dengan aktivitasnya masing-masing. Begitu pun dengan Azura yang sedang mengendarai mobilnya menuju kampus. Dia ada kelas pagi hari ini, fokusnya melayang pada kejadian tadi malam, helaan nafas berat terdengar. "Gue harus ceritain soal perjodohan ini kedua curut. Siapa tau kan mereka bisa bantu gue," gumam Azura. Mereka pasti kaget setelah mendengar kabar ini. Apalagi kalau mereka tau kalau yang dijodohkan dengannya Dosen killernya sendiri. Membayangkan wajah cengo keduanya membuat senyuman Azura terbentuk. Beberapa menit dia sudah sampai, menghampiri kedua sahabatnya yang ada di kelas. Azura menepukan pundak kedua temannya. "Gue mau cerita sama lo berdua." Mereka tersentak di tempat, manatap tajam Azura. Sedangkan pelakunya hanya menyengir tidak jelas. "Astaghfirullah, Zura bisa copot jantung gue. Lo Ngagetin aja ada apa sih?" Azura menarik kedua sahabatnya. Supaya tidak ada yang mendengar, apa
Masih di tempat dan posisi yang sama, teriakan Azura membuat dua keluarga itu terkejut. Suara yang nyaring mengisi ruangan yang hening. "Kamu ini bikin kita kaget. Ngomongnya biasa aja! gausah teriak kayak gitu bisa kan?" Omel Bima menatap tajam anaknya. Sedangkan Azura hanya mengeluarkan senyuman tanpa dosa. Azura melihat sekitar, semuanya berfokus pada dirinya. Membuat gadis itu merasa malu. "Maaf aku beneran kaget tadi, makannya spontan teriak," ucap Azura sambil menundukan kepala. Mungkin kalau kantong ajaib Doraemon itu ada, Azura akan mengambil ramuan menghilang, saking malunya. Azura terkejut melihat Damian duduk di sana dengan santainya. Mengerjakan matanya beberapa kali, memastikan jika tidak salah orang. Jadi orang yang akan dijodohkan dengannya adalah Damian? Si Dosen killer itu? Gawat! Gadis itu hanya bisa terdiam ditempat. "Gapapa sayang, jadi kamu kenal sama anak Tante yang dingin kek kulkas sebelas pintu ini?" tanya salah satu wanita paruhbaya dengan senyum
Azura berada di dalam kamar dengan mulut berkomat kamit tidak jelas. Dia cukup kesal dengan apa yang Ayahnya sampaikan tadi, apalagi harus membawa mobil kesayangannya dalam masalah ini. Dengan keterpaksaan Azura harus menuruti semua kemauan Ayahnya. Gadis itu membantingkan diri ke kasur menatap atap kamar. Entah kesalahan apa yang ia buat sehingga sang ayah tega menjodohkan dirinya dengan pria yang tidak dikenal. Apalagi Ayahnya tahu kalau dia sudah memiliki kekasih. Kepala Azura ingin pecah saat memikirkan masalah hidupnya. Ketukan pintu terdengar dari arah luar. Menyadarkan Azura dari alam bawah sadarnya, Dia mendengus kesal pasti ibu tirinya yang datang ke kamar. "Saya gabutuh bantuan Tante, sana pergi." Gadis itu berkata tanpa tahu siapa yang mendatanginya. "Non, ini bibi mau nganterin gaun buat non Azura." Mata Azura melebar saat mendengar suara Bi Ijah dari arah luar, dia segera bangkit dari tidurnya untuk membuka pintu kamar. "Ih bibi, bilang daritadi kek. Aku piki
"Pak Damian tunggu!" Teriak seorang gadis yang tengah berlari dengan setumpuk kertas ditangannya, berusaha mengejar langkah kaki Dosen didepan. Nafasnya tersengal-sengal karena lelah berlari disepanjang lorong kampus. Sedangkan sang dosen menghiraukan teriakan darinya. Mendengar suara teriakan yang melengking, beberapa mahasiswa mulai tertarik perhatiannya. Mereka seperti sudah terbiasa dengan kelakuan Azura yang selalu berisik ketika bertemu Dosennya itu, Damian. Cukup berani untuk mahasiswa yang berhadapan dengan Dosennya sendiri. Gadis itu bisa melihat, dosen yang sangat dia benci akan memasuki ruangannya. Kaki jenjangnya kembali melangkah dengan cepat, menimbulkan suara hentakan sepatu memenuhi lorong. Namun naas nasib sial selalu berpihak padanya. Pintu itu dibanting cukup keras oleh dosen itu tanpa membiarkan dirinya masuk kedalam. Dia meremas tangannya geram melihat kelakuan pria itu. "Dasar Dosen gila! Mimpi apa gue semalam punya dosen monster kek gitu." Ga