LOGINDi sebuah cafe ternama di Jakarta, terdapat sepasang kekasih saling menatap satu sama lain. Tidak ada pembicaraan dari keduanya. Gadis itu menatap kekasihnya dengan kerutan didahinya bingung. Sebenarnya ada apa? tidak biasanya sang kekasih banyak diemnya seperti ini.
"Apa yang mau kamu omongin, trus kemana aja kamu selama ini? Kenapa menghilang tidak ada kabar?" tanya Azura. Pria itu hanya terdiam ditempat. Pikirannya menerawang akan semua hal yang terjadi, cukup mendadak baginya. Namun, kalau tidak dibicarakan sekarang pasti Azura akan kaget kalau ia harus ke luar negeri karena masalah kantor disana. "Nathan, Sebenernya kamu kenapa? Seperti ada masalah. Coba cerita sama aku, jangan di pendem sendiri. Kalau kamu tetap diam seperti itu mending aku pulang aja deh." kata Azura lagi setelah melihat keterdiaman Nathan. Ya, gadis itu Azura. Sepulang kampus dia menyempatkan diri untuk bertemu dengan kekasihnya. Semalam pria itu tiba-tiba menelpon ingin bertemu dengannya, membuat banyak tanda tanya dikepala Azura. Niat hati ingin memberitahu soal perjodohannya. Namun, melihat raut wajah kekasihnya membuat dia bimbang. Seperti ada hal penting yang akan terjadi. "Sebelumnya aku minta maaf kalau aku gaada kabar selama beberapa hari ini. Aku bener-bener sibuk, banyak masalah dikantor yang harus aku tangani. Sebenernya aku gamau ini semua terjadi. Tapi, perusahan sangat membutuhkan aku. Jadi aku harus berangkat ke luar negeri untuk membereskan kekacauan disana." Azura tersentak mendengarnya. Padahal ia berniat untuk memberitahu Nathan soal perjodohan ini. Jika pria itu pergi bagaimana dirinya bisa menyelesaikan masalah ini? Nathan sangat dibutuhkan untuk membatalkan perjodohannya. "Kapan?" tanya Azura setelah terdiam beberapa saat. "Besok pagi aku terbang. Papah yang ngurus semuanya, aku tinggal berangkat aja. Tadinya aku mau langsung bilang ke kamu, tapi semalam kamu ada acara makannya aku baru bilang sekarang. Maafin aku." Pria itu menggenggam tangan Azura. Sambil menatap mata gadis itu yang sudah memerah menahan tangis. Dia juga tidak ingin hal ini terjadi, Papahnya yang memberitahu secara mendadak. Ini semua demi kebaikan perusahan ia harus pergi, Papahnya tidak bisa kesana karena harus mengurus perusahaan di Indonesia. "Berapa lama, aku harus nunggu kamu disini? Kamu sebenarnya nganggep aku apa? Aku juga butuh kamu disini, kalau aku tiba-tiba dijodohin sama Ayah. aku harus gimana?" Azura sudah tidak bisa menahan air matanya. Semuanya terjadi secara bersamaan, harusnya Nathan bisa membantunya mengagalkan perjodohan itu. Kalau sudah seperti ini semuanya seperti sia-sia. "Kamu jangan bercanda, Ayah kamu gabakal setega itu buat jodohin kamu. Aku gatau sampe kapan disana, tapi aku usahakan cuma sebentar. Kamu bisa kan ngertiin aku sekali ini aja, jangan egois. Aku gabisa ngebiarin perusahaan yang Papah bangun mundur gitu aja." Gadis itu menyentak tangan Nathan yang masih menggenggamnya. Mendengar perkataan pria itu membuat kekesalan Azura bertambah. Azura berdiri menatap tajam pria itu. "Apa kamu bilang? Egois? Aku selalu ngerti kesibukan kamu. Kamu yang gak ngerti perasaan aku! Kemana-mana aku sendiri tanpa minta bantuan kamu karena kamu selalu sibuk. Terus sekarang kamu bilang aku egois?" Pria itu bungkam. Bibirnya kelu akan pernyatan gadisnya itu. Rasa bersalah menghantam dadanya, melihat kondisi kacau gadisnya itu. Melihat keterdiaman Nathan, Azura melanjutkan perkataannya. "Oke, sekarang mau gue ngertiin lagi kan? Silahkan pergi kemana pun yang lo mau. Gue gabakal larang lo, baik-baik disana. Maaf besok gabisa nganter, ada kelas pagi. Gue permisi." Azura mengambil tasnya dan berlalu meninggalkan pria itu dengan isakan tangis pilunya. Gadis itu terlalu kecewa akan ucapan kekasihnya sampai tidak sadar mengubah panggilan keduanya. Pria itu terdiam sesaat dan bergegas mengejar Azura. "Sayang, maafin aku ya. Aku anterin kamu pulang. Maafin aku, aku janji gaakan lama disananya." Dia menyesali perkataannya, tangannya meraih tangan Azura sebelum memasuki mobilnya. "Basi, gue bisa sendiri. Jangan ganggu gue." Azura menyentak tangan Nathan, masuk kedalam tanpa menghiraukan pria itu dan meninggalkan parkiran dengan hati yang terluka. Sedangkan pria itu hanya terdiam ditempat, sambil melihat mobil Azura yang mulai menjauh. "Sialan, apa yang lo lakuin. Nathan!" gumam Nathan menyalahkan diri sendiri. Tangannya menjambak rambut karena terlalu kesal. * Azura turun dari mobil kesayangannya. Dengan wajah sembab ia melangkahkan kaki menuju dalam rumah. Namun, pandangannya terhenti pada mobil hitam di dekat mobilnya. "Mobil siapa nih? Temen Ayah kali," ucapnya tanpa ambil pusing. Dia melangkah masuk kedalam rumahnya. Tidak lupa membawa semua keperluannya, supaya tidak balik lagi ke luar. Dia melangkah dengan lesu. Pikirannya berkeliaran pada perkataan kekasihnya tadi. Dia sangat kecewa pada pria itu. Untuk menceritakan masalahnya saja ia tidak bisa. Azura berharap ia bisa atasi masalahnya sendiri. Walaupun rasa ragu masih ada. Langkah kakinya terhenti setelah melihat seorang pria dengan tampang dingin, sangat ia kenali sedang duduk di sofa dengan santainya. Ditemani oleh Rina, ibu sambung Azura. "Bapak! Ngapain disini?" ucap Azura tidak ada sopan santun. "Eh Nak, jangan gitu dong sama Damian. Kasian dia udah nunggu kamu daritadi loh, katanya udah janjian sama kamu makannya dia datang kesini." Rina menasehati anaknya itu dengan pelan. Azura tidak terima dengan omongan Rina, ia menatap tajam kedua manusia itu. "Apaan sih, Tan! Jangan ikut campur!? ini lagi Bapak aku udah bilang nanti aku kabarin lagi kenapa tiba-tiba ngejogrog disini coba? Gaada kerjaan banget." Amarah Azura tidak terkendali sejak kejadian di cafe, ditambah kesal oleh kedua manusia beda generasi. Membuat Amarah yang terpendam seketika keluar. Damian terdiam di tempat, perhatiannya teralih saat melihat mata sembab Azura. Dia bisa melihat ada luka yang tersembunyi di dalam matanya, entah masalah apa yang ia hadapi. "Gaboleh gitu Azura. Omongin baik-baik jangan kasar kek gitu, Tante ke kamar dulu." Rina meninggalkan keduanya diruang tamu, ia sengaja melakukan itu untuk memberi peluang keduanya lebih dekat. "Jaga sikap ke orangtua bisa kan?" Azura hanya bisa mengdengus kesal tanpa menjawab pertanyaannya, sambil manatap tajam pria yang dengan santainya masih duduk di sofa. Dia menghentakkan kaki, terduduk di sopa samping Damian. "Ini Dosen perasaan bikin masalah mulu dihidup gue," dumelnya dalam hati. "Satu keberuntungan bisa dekat dengan saya," ucap Damian seolah tau isi kepala dari Azura. Gadis itu cengo mendengarnya. "Lah, kayak cenayang." ucapnya lagi dalam hati. "Saya bukan cenayang!" Azura mengidik ngeri melihat Damian dia berdiri dari duduknya. "Yaudah, tunggu sebentar saya mau siap-siap dulu." Dengan terpaksa ia mengiyakan ajakan dari Damian. Azura beranjak dari ruang tamu. "Beneran bisa gila gue kalau tiap hari ketemu dia. Huaaa, gue harus gimana."Di luar rumah bernuansa minimalis, terlihat dua mobil memasuki bagasi rumah dengan cepatnya. Mereka pun keluar dari mobil secara bersamaan, seperti ada hal yang mendesak yang mengharuskan mereka harus cepat sampai ke dalam. "Lah, lo juga ke sini Dev?" tanya Bima saat melihat besannya baru saja keluar dari mobil bersamaan dengannya. Sedangkan pria paruhbaya itu tersentak karena tidak menyadari keberadaan temannya itu. "Astaghfirullah lo ngagetin gue terus sih, Bim. Untung aja jantung gue masi normal," omel Devan tanpa menjawab ucapan dari Bima. Pria paruhbaya itu memang sedikit cerewet. Membuat Bima yang mendengar itu hanya bisa menghela nafas sabar. "Diem lo Dev gausah ngomel kayak emak-emak, ayo masuk udah ditungguin di dalam. Gue gamau ya gara-gara lo, guetidur diluar. Kalau mau ngomel sana sama mobil lo aja." Kesabaran Bima setipis tisu sekarang. Dia benar-benar lelah akan pekerjaannya ditambah oleh ocehan besannya itu membuat kepalanya ingin meledak seketika. Suara pintu terde
"Bunda gak habis pikir sama kalian!" omel Kirana saat kedua anaknya telah tiba di ruang tamu yang ada di rumah Damian. Rencana ingin membahagiakan diri malah di buat kaget dengan tingkah kedua anaknya itu. Dia tidak habis pikir dengan apa yang terjadi di rumah ini sampai-sampai mereka pisah kamar. Padahal niat mereka menyuruh pindah rumah supaya lebih dekat malah kaya gini. "Kenapa si Kir?" tanya Rina heran dengan kelakuan Kirana yang tiba-tiba marah, setelah berpamitan padanya untuk mengikuti keduanya. "Aku gak habis pikir sama mereka Rin, masa udah nikah masih pisah kamar." Perkataan Kirana membuat Rina yang ada disana pun otomatis menatap keduanya. "Beneran kalian pisah kamar?" tanya Rina memastikan ucapan dari Kirana. Kedua pasangan suami istri itu hanya terdiam, Azura tertunduk lesu Merasa bersalah pada orangtuanya. Padahal mereka harusnya tahu banyak hal yang harus di pertimbangan setelah pernikahan dadakan itu. Mereka benar-benar kecolongan saat kedatangan kedua w
Di kediaman sepasang suami istri terdapat sebuah mobil memasuki rumah minimalis itu. Turunlah dua orang wanita paruhbaya dari dalam mobil itu. Setelahnya mobil itu bergegas meninggalkan pekarangan rumah itu. "Rin, aku udah lama banget ya gak ketemu anak-anak kanget banget aku sama si Azura," ucap salah satu dari wanita paruhbaya itu. Mereka memang sudah berencana mengunjungi kedua anaknya tanpa sepengetahuan mereka. Mereka pun sepanjang jalan tidak habis akan obrolan tentang anak-anaknya. Segala hal mereka obrolkan tanpa ada henti. "Aku mah udah beberapa kali ketemu mereka. Si Azura selalu ngebujuk Ayahnya buat bawa si mony kesini, Kir." Rina menceritakan hal konyol yang dilakukan anaknya itu pada ayahnya. Hal itu membuat Kirana menggelengkan kepalanya tidak habis pikir. "Dia memang ada aja tingahnya gak kebayang pasti banyak alesan yang dia gunain buat bisa keruamh ayahnya." Membayangkan hal itu membuat keduanya tersenyum. Namun Kirana menghentakkan kaki seperti anak muda. "Mere
"Bi Rusti nyebelin banget deh, gue udah kaha gak punya muka sekarang di hadapan pak Damian. Mana muka gue jelek banget lagi tadi," dumel Azura sambil menatap pantulan dirinya di cermin yang ada di kamarnya. Sejak kejadian tadi Azura segera berlari menuju kamarnya karena malu akan penampilannya. Dia benar-benar tidak menyadari keberadaan pria itu di meja makan. Kalau tahu pasti Azura akan berkemas dulu sebelum keluar dari kamar. "Sialan pasti dalam hatinya pak Damian ngetawain gue tadi huaa malu banget gue." Azura jalan menuju kasurnya dan menangkupkan wajah di balik bantal. Entahlah rasanya seperti makan sop dengan banyak garam. Azura terus menggerutu di kamarnya, padahal perutnya sudah lapar karena tidak makan sejak pulang dari kampusnya. Melisa yang notabennya temennya itu malah tidak menyediakan apa-apa di rumahnya membuat Azura sungguh kelaparan sekarang. Deringan ponsel terdengar begitu nyaring, Azura terdiam di tempat. Setelahnya langsung mengambil ponsel yang ia simpan di n
"Hua, cape banget badan gue. Padahal gak habis buat kegiatan tapi kok rasanya kaya cape banget ya," ucap seorang gadis yang baru sajah meninjakkan kakinya di kamarnya. Setelah mengunjungi kediaman Melisa, mereka memutuskan untuk pulang ke rumahnya masing-masing. Azura diantarkan oleh Rena karena memang tidak membawa mobil, alias belum dia ambil semenjak kejadian itu terjadi. Mengingat mobil kesayanganya membuat Azura terdiam di kasur. "Si Mony gimana ya keadaannya? Gue telepon ayah aja lah. Siapa tau ada ilham bisa ngasih mobil gue." Azura segera mengambil ponselnya dari dalam tasnya untuk menghubungi sang ayah. Dia segera menghubungi Ayahnya tanpa menunggu lama sudah di angkat dari sebrang sana. Azyra mendekatkan ponselnya kearah telinganya. Namun, dia mengerutkan dahinya mendengar suara ibunya. "Hallo, Zura." Sapa orang disana dengan pelannya. Seolah memastikan Azura mejauhkan ponselnya untuk melihat siapa yang ia hubungi sekarang. Tertera nama Ayahnya yang ada disana. "Hallo,
Brak"Dosen sialan! Udah syukur gue mau disuruh sama dia. Dengan seenak upil malah hukum gue padahal cuma 5 menit. Gedek gue lama-lama sama dia," ucap seorang gadis sembari melemparkan buku di atas meja. Orang-orang yang ada disana tersentak kaget mendengar gebrakan di meja itu. Fokus mereka berpusat kepada Azura yang masih dengan wajah memerah menahan amarah dengan mulut tidak mau diam. "Azura! Bisa santai gak sih kaget gue." Rena yang ada di meja itu menatap tajam ke arah Azura. Namun, dihiraukan oleh pemilik namanya. Sedangkan Azura terduduk di dekat kursi yang di duduki temannya itu. "Udah diem deh, Ren. Kalau gue gunung udah meletus kali, kesel banget gue mana hukumannya sejibun lagi." Azura menatap lesu ke arah buku yang harus ia pahami dan dijadikan proposal itu. Rena yang mendengar itu hanya bisa menghela nafasnya, sembaki menatap iba nasib sial yang selalu temannya itu. Dia mengelus pundaknya dengan pelan. Seolah menenangkan temannya itu. "Yaudah, nanti gue bantuin deh n







