LOGINHari mulai sore, jalanan Jakarta sedikit macet. Mungkin karena waktu pulang kerja membuat jalanan jadi ramai. Karena banyak drama yang terjadi di rumah Azura, sehingga mereka sedikit telat menuju rumah Damian.
Di dalam mobil, mereka hanya terdiam. Tanpa ada yang berbicara, Azura hanya melihat luar jendela dengan raut kesalnya. Dia melirik sekilas Damian dengan ekor matanya. "Pak, kan saya tadi udah bilang nanti dikabarin lagi. Kenapa malah langsung kerumah sih, kena marah kan saya sama Nenek lampir," ucap Azura. Memelankan kata terakhirnya. Walaupun masih terdengar oleh Pria itu. "Itu hak saya, kamu jangan banyak ngatur." Pria itu mengeluarkan suaranya. Azura melebarkan mata, mendengar ucapan dari Dosennya. Kalau bukan menyangkut dirinya tidak mungkin dia mengomentari urusan pria itu. "Heh, jangan kepedean saya bukan ngatur. Tapi Bapak yang telah menganggu-" ucapannya terputus saat Damian ngerem dadakan. Kepala gadis itu akan terbentur ke depan mobil, namun tangan pria itu menghalangi. Azura terdiam sambil melirik pria di sampingnya. Pria itu mendekat, tangannya memegang kepala Azura. Untuk memastikan dahi wanita itu benar aman atau ada luka. Sedangkan Azura membeku di tempat, menetralkan jantungnya. "Bapak yang bener jalanin mobilnya. Kalau tidak bisa, biar saya gantiin. Untung dahi saya masih aman," ucap Azura setelah Damian menjauh darinya. Pria itu sama kaget dengannya. Salahkan mobil di depan yang berhenti mendadak. Damian kan kaget untung masih bisa ia rem kalau tidak sudah nabrak. Dia segera menjalankan mobilnya kembali. "Makannya kamu diem. Jangan banyak omong, saya pusing dengarnya." Damian berucap tanpa melihat gadis itu. Fokus pada jalanan. Setelah kejadian itu, Azura hanya terdiam. Tidak banyak bergerak. Hanya fokus melihat pemandangan di luar. Melihat perubahan gadis itu, Damian tidak merasa bersalah sedikit pun. "Dia yang salah, kenapa malah nyalahin gue. Dasar Damian sinting," gumamnya kecil tanpa menoleh ke arah dosennya. "Saya masih denger." Azura tersentak, perasaan suaranya kecil setajam itu kuping Damian. keduanya pun tidak mengeluarkan perkataan sedikit pun. *** Setelah menempuh perjalanan yang cukup melelahkan. Mereka telah sampai di depan rumah minimalis. Damian memarkirkan mobil di depan rumahnya. Pria itu akan membukakan pintu mobil Azura. Namun diurungkan karena Azura lebih dulu membuka pintunya. Damian bisa melihat wajah gadis itu masih terlihat kesal. Damian menarik tangan Azura, Supaya cepat masuk ke dalam rumahnya. Bundanya pasti sudah menunggu lama. Azura menyentak tangan Damian dengan kasar. "Saya bisa sendiri," ucap Azura sambil berlalu dari hadapan Damian. Pria itu hanya terdiam di tempat. Bingung harus berbuat apa, baru sekarang ia berhubungan dengan seorang gadis. Mungkin Damian harus meminta saran Bundanya nanti. Dia pun segera mengikuti Azura dari belakang. "Eh anak-anak Bunda udah datang. Sini sayang duduk di sini." Wanita paruhbaya itu menghampiri Azura dengan antusiasnya. "Damian kenapa sore banget kesininya? Kasian Azura seperti kelelahan begini. Apa jangan-jangan kamu paksa Azura buat datang kesini?" omel Kirana Bunda Damian. Gadis itu tersenyum mengejek pria di depannya yang sedang berdiri. "Engga Bun, coba tanya aja sama tuh cewe lelet." Senyuman Azura luntur seketika. Damian menyunggingkan senyuman menyebalkan pada Azura. Dari raut mukanya seolah mengatakan cacian pada Azura. Membuat gadis itu cukup kesal. "Bohong Bun aku cepet tadi gak lelet, salahin Dia yang engga bilang kalau udah ada di rumah. Kan aku lagi diluar, makannya aku gatau kalau dia udah ada di rumah," ucapnya membela diri. Azura memang disuruh memanggil Kirana dengan sebutan Bunda. Supaya sama dengan Damian katanya, awalnya masih kaku untuk diucapkan. Namun, sekarang sepertinya telah terbiasa. Wanita paruhbaya itu hanya bisa tersenyum geli. Melihat kelakuan kedua anaknya. Ya, Azura sudah ia anggap anaknya. Apalagi sebentar lagi akan menjadi menantu nya. Tidak sabar rasanya menunggu waktu itu tiba. "Iyaa, udah gapapa. Eh kamu udah makan belum?" Azura menggaruk kepalanya gatal. "Belum Bun. Tadi aku langsung kesini ga sempet buat makan dulu," ucapnya menahan malu. Mungkin sekarang wajahnya sudah merah. Wanita paruh baya itu hanya menghela nafas. "Dasar ya si Damian. Harusnya ajak kamu makan dulu ini malah langsung di ajak kesini. Yaudah sayang ayo kita keruang makan, di sana Bunda udah masak sesuatu buat kamu. Kamu pasti suka." Mereka pun bergegas ke meja makan. Azura hanya bisa pasrah ditarik oleh Karina. Dia menahan lapar daritadi makannya ia langsung mengiyakan ajakannya. Setelah beberapa jam berlalu, Azura masih berada di kediaman Damian. Banyak yang dilakukannya bersama Karina. Dari bercerita, menonton film sampai mencoba resep kue. Sudah lama Azura tidak merasakan hal seperti ini. Hampir tidak pernah ia membantu ibu tirinya. Rasanya berdekatan dengannya saja Azura enggan apalagi memasak bersama. Sepertinya mustahil. Mereka sedang bercengkrama di ruang televisi. Sedangkan Damian entah kemana, mereka tidak peduli. Bunda karina sampai melupakan anaknya sendiri. "Bun, aku pulang dulu ya. Udah lumayan malam." Azura berkata setelah melihat jam di tangannya. Wanita paruhbaya itu menoleh pada Azura. "Lah, kenapa ga nginep aja? Jauh loh kalau harus pulang." Karina mengharapkan Azura untuk menginap di rumahnya. "Maaf Bunda. Aku ada tugas kampus yang belum di kerjain. Next time deh kalau aku kesini lagi ya." Gadis itu mencari alasan supaya bisa pulang. Ucapan keduanya terpotong. Saat mendengar langkah kaki seorang pria menghampiri keduanya. "Damian, anterin Azura pulang ya. Bunda nyuruh dia nginep disini tapi katanya ada tugas kampus yang belum dia kerjain. Tidak mungkinkan dia pulang sendirian ini udah malam banget." "eh, Bun aku bisa sen-" Perkataannya terpotong oleh pria di hadapannya itu. "Iya Bun, dia juga kesini sama aku masa pulang sendiri kalau di culik nanti aku yang di salahin. Saya tunggu kamu di mobil." Damian berucap sambil melangkahkan kaki keluar rumah. Azura yang mendengar ucapan Damian melebarkan matanya. Di culik? Yang benar saja dirinya sudah sedewasa ini. Dia menatap sinis punggung belakang dosennya. "Bun, aku pulang dulu yah. Bunda jaga kesehatan." Azura pamitan pada Kirana. "Iya sayang. Ouh iyah, Bunda masih nunggu keputusan kamu. Pikirkan semuanya baik-baik ya. Bunda berharap kamu bisa menerima perjodohan itu." "Nanti aku pikirin lagi, ya Bun. Maaf membuat semuanya menunggu keputusan aku." Azura menundukkan kepala merasa tidak enak hati. Bunda Kirana mengelus tangan Azura. "Gapapa sayang, jangan terlalu dipikirin mereka juga kan udah maklumin. Udah sana pulang nanti terlalu larut, kasian Ibu kamu pasti nunggu kamu di rumah." "Iya, Bun. Aku pulang dulu ya." Azura menyalami tangan Bunda Karina dan segera keluar dari rumah itu. Pikirannya menerawang, antara memikirkan reaksi kekasihnya tempo hari dan keputusan yang harus segera ia berikan pada Ayahnya. "Gue harus gimana? Apa gue terima aja ya?"Di luar rumah bernuansa minimalis, terlihat dua mobil memasuki bagasi rumah dengan cepatnya. Mereka pun keluar dari mobil secara bersamaan, seperti ada hal yang mendesak yang mengharuskan mereka harus cepat sampai ke dalam. "Lah, lo juga ke sini Dev?" tanya Bima saat melihat besannya baru saja keluar dari mobil bersamaan dengannya. Sedangkan pria paruhbaya itu tersentak karena tidak menyadari keberadaan temannya itu. "Astaghfirullah lo ngagetin gue terus sih, Bim. Untung aja jantung gue masi normal," omel Devan tanpa menjawab ucapan dari Bima. Pria paruhbaya itu memang sedikit cerewet. Membuat Bima yang mendengar itu hanya bisa menghela nafas sabar. "Diem lo Dev gausah ngomel kayak emak-emak, ayo masuk udah ditungguin di dalam. Gue gamau ya gara-gara lo, guetidur diluar. Kalau mau ngomel sana sama mobil lo aja." Kesabaran Bima setipis tisu sekarang. Dia benar-benar lelah akan pekerjaannya ditambah oleh ocehan besannya itu membuat kepalanya ingin meledak seketika. Suara pintu terde
"Bunda gak habis pikir sama kalian!" omel Kirana saat kedua anaknya telah tiba di ruang tamu yang ada di rumah Damian. Rencana ingin membahagiakan diri malah di buat kaget dengan tingkah kedua anaknya itu. Dia tidak habis pikir dengan apa yang terjadi di rumah ini sampai-sampai mereka pisah kamar. Padahal niat mereka menyuruh pindah rumah supaya lebih dekat malah kaya gini. "Kenapa si Kir?" tanya Rina heran dengan kelakuan Kirana yang tiba-tiba marah, setelah berpamitan padanya untuk mengikuti keduanya. "Aku gak habis pikir sama mereka Rin, masa udah nikah masih pisah kamar." Perkataan Kirana membuat Rina yang ada disana pun otomatis menatap keduanya. "Beneran kalian pisah kamar?" tanya Rina memastikan ucapan dari Kirana. Kedua pasangan suami istri itu hanya terdiam, Azura tertunduk lesu Merasa bersalah pada orangtuanya. Padahal mereka harusnya tahu banyak hal yang harus di pertimbangan setelah pernikahan dadakan itu. Mereka benar-benar kecolongan saat kedatangan kedua w
Di kediaman sepasang suami istri terdapat sebuah mobil memasuki rumah minimalis itu. Turunlah dua orang wanita paruhbaya dari dalam mobil itu. Setelahnya mobil itu bergegas meninggalkan pekarangan rumah itu. "Rin, aku udah lama banget ya gak ketemu anak-anak kanget banget aku sama si Azura," ucap salah satu dari wanita paruhbaya itu. Mereka memang sudah berencana mengunjungi kedua anaknya tanpa sepengetahuan mereka. Mereka pun sepanjang jalan tidak habis akan obrolan tentang anak-anaknya. Segala hal mereka obrolkan tanpa ada henti. "Aku mah udah beberapa kali ketemu mereka. Si Azura selalu ngebujuk Ayahnya buat bawa si mony kesini, Kir." Rina menceritakan hal konyol yang dilakukan anaknya itu pada ayahnya. Hal itu membuat Kirana menggelengkan kepalanya tidak habis pikir. "Dia memang ada aja tingahnya gak kebayang pasti banyak alesan yang dia gunain buat bisa keruamh ayahnya." Membayangkan hal itu membuat keduanya tersenyum. Namun Kirana menghentakkan kaki seperti anak muda. "Mere
"Bi Rusti nyebelin banget deh, gue udah kaha gak punya muka sekarang di hadapan pak Damian. Mana muka gue jelek banget lagi tadi," dumel Azura sambil menatap pantulan dirinya di cermin yang ada di kamarnya. Sejak kejadian tadi Azura segera berlari menuju kamarnya karena malu akan penampilannya. Dia benar-benar tidak menyadari keberadaan pria itu di meja makan. Kalau tahu pasti Azura akan berkemas dulu sebelum keluar dari kamar. "Sialan pasti dalam hatinya pak Damian ngetawain gue tadi huaa malu banget gue." Azura jalan menuju kasurnya dan menangkupkan wajah di balik bantal. Entahlah rasanya seperti makan sop dengan banyak garam. Azura terus menggerutu di kamarnya, padahal perutnya sudah lapar karena tidak makan sejak pulang dari kampusnya. Melisa yang notabennya temennya itu malah tidak menyediakan apa-apa di rumahnya membuat Azura sungguh kelaparan sekarang. Deringan ponsel terdengar begitu nyaring, Azura terdiam di tempat. Setelahnya langsung mengambil ponsel yang ia simpan di n
"Hua, cape banget badan gue. Padahal gak habis buat kegiatan tapi kok rasanya kaya cape banget ya," ucap seorang gadis yang baru sajah meninjakkan kakinya di kamarnya. Setelah mengunjungi kediaman Melisa, mereka memutuskan untuk pulang ke rumahnya masing-masing. Azura diantarkan oleh Rena karena memang tidak membawa mobil, alias belum dia ambil semenjak kejadian itu terjadi. Mengingat mobil kesayanganya membuat Azura terdiam di kasur. "Si Mony gimana ya keadaannya? Gue telepon ayah aja lah. Siapa tau ada ilham bisa ngasih mobil gue." Azura segera mengambil ponselnya dari dalam tasnya untuk menghubungi sang ayah. Dia segera menghubungi Ayahnya tanpa menunggu lama sudah di angkat dari sebrang sana. Azyra mendekatkan ponselnya kearah telinganya. Namun, dia mengerutkan dahinya mendengar suara ibunya. "Hallo, Zura." Sapa orang disana dengan pelannya. Seolah memastikan Azura mejauhkan ponselnya untuk melihat siapa yang ia hubungi sekarang. Tertera nama Ayahnya yang ada disana. "Hallo,
Brak"Dosen sialan! Udah syukur gue mau disuruh sama dia. Dengan seenak upil malah hukum gue padahal cuma 5 menit. Gedek gue lama-lama sama dia," ucap seorang gadis sembari melemparkan buku di atas meja. Orang-orang yang ada disana tersentak kaget mendengar gebrakan di meja itu. Fokus mereka berpusat kepada Azura yang masih dengan wajah memerah menahan amarah dengan mulut tidak mau diam. "Azura! Bisa santai gak sih kaget gue." Rena yang ada di meja itu menatap tajam ke arah Azura. Namun, dihiraukan oleh pemilik namanya. Sedangkan Azura terduduk di dekat kursi yang di duduki temannya itu. "Udah diem deh, Ren. Kalau gue gunung udah meletus kali, kesel banget gue mana hukumannya sejibun lagi." Azura menatap lesu ke arah buku yang harus ia pahami dan dijadikan proposal itu. Rena yang mendengar itu hanya bisa menghela nafasnya, sembaki menatap iba nasib sial yang selalu temannya itu. Dia mengelus pundaknya dengan pelan. Seolah menenangkan temannya itu. "Yaudah, nanti gue bantuin deh n







