Share

#5. Itu, Sih Namanya Doyan

Nisha sudah hapal banget jadwal harian suaminya. Seperti pagi biasanya, jam enam pagi Firdaus sudah absen di kamar mandi. Pastinya bersiap pergi bekerja.

Di kamar, Nisha gerak cepat meraih ponsel suaminya. Sayangnya dikunci berupa titik-titik. 'Paling pola huruf L,' tebaknya cukup paham cara berpikir suaminya yang simpel.

“Tuh, bener, kan?” gumam Nisha senang karena tebakannya betul.

Bersemangat, dia duduk di pinggir tempat tidur. Kedua buah hatinya masih terbuai dalam mimpi indah.

Fokus, Nisha membuka chat. Ada chat terakhir yang menarik perhatiannya. Pemilik akun itu di save suaminya dengan nama Sahrul.

Nisha jelas curiga. Seingatnya, ngga ada, tuh teman Firdaus yang bernama Sahrul. Tapi ngga tahu, deh kalau customer-nya.

Berdegup cepat jantung Nisha membaca chat panjang itu.

‘Bella, tuh iri banget sama istri Mas. Bangun tidur bisa langsung lihat muka Mas. Bisa nyiapin minum juga sarapan buat Mas. Memang Bella bukan siapa-siapa. Yang Bella punya cuma perasaan sayang dan cinta.’

‘Gaya lama,’ ucap benak Nisha seraya mencibir. Selingkuh pertama kali juga 'kan pakai nama pria.

‘Tapi, siapa lagi perempuan ini? Dia tahu kalau Firdaus itu sudah memiliki istri tapi tetap saja menjalin hubungan. Kurang ajar sekali,’ gerutu Nisha membatin.

Nisha buru-buru memfoto percakapan itu, lantas mengirimkan pada sahabatnya. Tidak aman jika disimpan di ponselnya. Bukti bisa langsung hilang kalau Firdaus bertindak gila dengan menghancurkan ponsel itu.

Tak cukup bukti berupa chat, Nisha mencari di galeri foto. Dia yakin pasti akan menemukan sesuatu di sana. Betul saja, galeri kamera dipenuhi dengan foto mesra suaminya dan seorang wanita di dalam mobil. Mereka duduk berdekatan, tersenyum lebar, dan tangan suaminya berada di paha wanita itu.

Nisha terdiam. Jantungnya seolah berhenti berdetak. Ini terlalu mengejutkan. Dia tak tahu sejauh mana hubungan keduanya, walaupun diduganya hubungan mereka pasti sudahlah sangat jauh.

Nisha mengerjap, tersadar. Dia harus cepat sebelum Firdaus keluar dari kamar mandi.

Dengan tangan gemetar, Nisha mengabadikan foto itu dengan ponselnya sendiri, lantas mengirimkan pada sahabatnya, Elza.

‘Za, tolong di save dulu, ya. Kalau disimpan di hapeku takutnya dirusak Kak Firdaus,’ pinta Nisha. Jemarinya bergetar saat mengetik chat itu.

‘Okay,’ balasan dari Elza sangatlah singkat.

Nisha mengunci ponsel suaminya kemudian menuju kamar mandi yang satu lagi. Dia duduk di closet, air matanya deras berjatuhan, suaranya tak terdengar walaupun mulutnya terbuka.

Nisha tidak mau membuat keributan. Dia juga tidak mau kedua orang tuanya tahu. Malu sekali dirinya jika mereka tahu. Dulu, yang ngotot pengen nikah siapa? Ya, dia. Tidak lucu kalau sekarang dia cerita tentang perselingkuhan suaminya.

“Pulang jam berapa, Kak?“ tanya Nisha sambil memberikan kunci mobil pada suaminya, dikala mengantarkan Firdaus berangkat kerja.

“Malem mungkin,” jawab Firdaus singkat. “Pergi dulu, Ma,” pamit lelaki itu seadanya.

Nisha mengangguk. Kedua tangannya bersedekap di dada. Dipandanginya terus mobil silver yang kian menjauh itu.

‘Sepertinya Kak Firdaus lupa kalau hari ini anniversary pernikahan yang ke sepuluh. Tapi, dia sudah memberikanku kado. Kado terburuk yang pernah aku terima selama ini.’

Nisha bukan seorang ibu rumah tangga. Dengan bantuan mertuanya yang seorang dekan universitas islam, dia menjadi salah satu pegawai honor di kampus itu. Di bagian kemahasiswaan.

Hari ini teman-temannya bisa melihat perubahan yang signifikan pada diri Nisha. Hari-hari sebelumnya wanita berhijab penyuka warna biru itu akan selalu ceria, ngoceh tanpa henti, dan makan dengan lahap. Tapi hari ini Nisha hanya diam, diajak makan pun lebih memilih ke masjid kampus.

Selesai menunaikan sholat Dzuhur, masih mengenakan mukena, Nisha duduk bersender di sudut masjid. Dia tidak ingin menangis, namun dorongan rasa sedih dalam benak membuat air matanya keluar seolah tak ada habisnya.

“Ada apa, Nis?“ tanya Dewi, yang baru mau sholat setelah makan siang tadi. Dia tidak satu kantor dengan Nisha, tapi cukup mengenal wanita itu. Dia masih memiliki hubungan keluarga dengan Daus.

Nisha mendongak, dihapusnya air mata. “Ngga. Ngga ada apa-apa, Kak,” bohongnya berusaha tersenyum.

“Nisha sakit? Minta izin pulang aja. Nanti Kakak bantuin bilang sama kepala bagiannya.” Dewi sudah cukup lama bekerja di sini sebagai pegawai honor. Dia lumayan kenal sama setiap pejabat di fakultas ini.

Nisha mengangguk. Iya. Dia lebih baik pulang daripada tidak fokus bekerja seperti ini. “Terima kasih, Kak.”

“Kakak sholat dulu, ya,” pamit Dewi.

Nisha kembali mengangguk. Dia sendiri mulai melepaskan mukena, lantas membereskannya. Pergi dari sini sementara waktu, mungkin adalah pilihan yang tepat.

Tapi, lagi-lagi Nisha salah. Selama perjalanan pulang, seraya menyetir mobil milik orang tuanya ini, dia selalu teringat akan bukti-bukti yang ia temukan. Hatinya hancur lebur. Sepuluh tahun yang dijalani bersama seolah tak ada arti.

Sore itu Nisha menjemput Elza dari kantornya. Sahabatnya itu tengah hamil lima bulan, bawaannya makan melulu.

“Nis!” Serunya saat masuk mobil. Dalam dekapannya ada sebungkus roti sobek.

Nisha menjawab seadanya, tersenyum saja sulit sekarang buatnya.

Elza jadi bingung harus bilang apa.

“Jemput Vika, yuk,” cetus Nisha tiba-tiba.

“Sudah bilang sama Vika? Memangnya dia mau pergi dadakan?” tanya wanita berkulit kuning langsat itu.

Sahabat mereka yang satu lagi, Vika adalah seorang ibu rumah tangga dengan satu anak. Tengah hamil juga sama seperti Elza, lima bulan. Kalau jemput IRT satu itu harus jauh-jauh hari, ya karena mau nitip si kecil dulu ke rumah ibunya.

“Sudah. Katanya kebetulan sore ini Andre dijemput neneknya, mau ke rumah sepupunya.”

Elza pun mengangguk setuju. Kalau gitu ya beres. Tidak ada masalah jemput Vika sekarang juga.

Diam-diam Elza menatap sahabatnya itu. Menerima pesan itu tadi pagi berhasil membuatnya shock. Untung jantungnya cukup kuat menerima informasi itu.

Dibandingkan Vika, Elza lebih sering pergi bertiga dengan Nisha dan Firdaus. Dia tahu betul tabiat keduanya, juga perasaan Mariya terhadap menantunya itu.

“Za, besok kalau nikah jangan cari suami yang cakep. Cari suami yang benar-benar sayang sama kita, tulus,” nasehat Mariya agak ngotot. Dipangkuannya ada Shareefa berumur baru lima bulan. Bukan tanpa musabab beliau berkata seperti itu.

Jantan serta ketangguhan seorang suami baru terlihat keasliannya ketika sudah memiliki anak. Mariya tidak habis pikir menantunya bisa tidur terlelap sementara istrinya sampai jam tiga subuh masih terjaga dengan mata sayup-sayup. Ganti popok anak sendiri saja dia tidak bisa, apalagi berurusan dengan yang namanya bedong.

Tidak salah memang Mariya tidak menyukai menantunya itu, wong ngga bisa ngapa-ngapain di rumah. Bukan seorang suami yang bisa diandalkan.

Elza tidak bertanya tentang perihal chat itu pada Nisha. Dia menunggu kehadiran Vika —ibu muda berhidung mancung— terlebih dahulu.

Mereka memilih singgah untuk mengisi perut. Begitu selesai memesan di restoran yang terkenal dengan ramen pedasnya ini, Elza tidak menunggu lama untuk mencari tahu.

“Foto apa tadi pagi, Nis?”

Kening Vika mengernyit. “Foto apaan?!” Dia tidak suka, deh ketinggalan info begini. Sewotnya bakal kumat.

“Aku tunjukin ke Vika ngga apa-apa, Nis?” tanya Elza meminta izin.

Nisha mengangguk.

Elza pun memberikan ponselnya ke Vika setelah membuka foto yang dimaksud. Awalnya sahabatnya itu berkerut keningnya, namun akhirnya dia seratus persen fokus menghayati foto chat itu.

“Apa ini?! Firdaus selingkuh? Lagi?!” Serunya mengagetkan pelayan yang membawakan minuman mereka. Dia menggeser foto chat itu dan tampaklah foto suami sahabatnya bersama perempuan berdagu lancip walaupun pipinya chubby. “Sama perempuan ini?!”

Raut sedih Nisha menjawab semua pertanyaan Vika itu. Dia hanya menunduk seraya berusaha tersenyum tipis.

“Kamu yakin kalau ini selingkuhan Kak Firdaus?”

Dengan lancarnya, Vika memukul pundak Elza. “Ya, iyalah. Fotonya mesra begini.”

“Maksud aku, tuh awalnya gimana bisa tahu,” ralat Elza.

Nisha menarik napas. Dia harus menceritakan semuanya dari awal supaya bisa lega. Bukan karena ingin mengumbar masalah rumah tangganya, tapi demi kebaikannya sendiri. Kalau tidak, bisa gila mungkin. Toh tanpa dia memburukkan suaminya, sahabat-sahabatnya sudah tahu tabiat suaminya dari dulu, kok. Mereka kan sudah berteman sejak kuliah.

“Nis, kamu harus tegas sama Kak Firdaus,” ujar Elza walaupun tahu tidak akan bisa memaksakan nasehat itu pada sahabatnya yang tengah down.

Nisha menggeleng. Dia rapuh. Mana mungkin bisa tegas pada suaminya. Bagaimana dengan anak-anaknya.

“Kali ini ngga bisa dimaafin, Nis,” sambung Vika. Mereka tahu, kok kisah perselingkuhan Firdaus tempo dulu itu. Tidak bisa dibenarkan, tapi sahabatnya memilih bertahan ya mau bagaimana lagi. Menyarankan cerai juga bisa berdosa, kan.

Nisha menunduk. Makanan sudah datang sedari tadi, namun tak ada keinginannya untuk menyantap. Kepalanya juga luar biasa pusing karena belum makan dari siang.

“Nis, kalau selingkuh sekali memang khilaf mungkin, ya. Tapi, kalau berkali-kali itu namanya doyan. Jangan berharap dia bakal berubah, ngga bakal,” kata Vika mencoba membuka logika Nisha.

Nisha kembali menunduk. Sungguh, ia tidak tahu harus bagaimana saat ini. Tidak pernah terlintas dalam pikirannya untuk bercerai dari Firdaus.

Bersambung...

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status