Nisha sudah hapal banget jadwal harian suaminya. Seperti pagi biasanya, jam enam pagi Firdaus sudah absen di kamar mandi. Pastinya bersiap pergi bekerja.
Di kamar, Nisha gerak cepat meraih ponsel suaminya. Sayangnya dikunci berupa titik-titik. 'Paling pola huruf L,' tebaknya cukup paham cara berpikir suaminya yang simpel.“Tuh, bener, kan?” gumam Nisha senang karena tebakannya betul.Bersemangat, dia duduk di pinggir tempat tidur. Kedua buah hatinya masih terbuai dalam mimpi indah.Fokus, Nisha membuka chat. Ada chat terakhir yang menarik perhatiannya. Pemilik akun itu di save suaminya dengan nama Sahrul.Nisha jelas curiga. Seingatnya, ngga ada, tuh teman Firdaus yang bernama Sahrul. Tapi ngga tahu, deh kalau customer-nya.Berdegup cepat jantung Nisha membaca chat panjang itu.‘Bella, tuh iri banget sama istri Mas. Bangun tidur bisa langsung lihat muka Mas. Bisa nyiapin minum juga sarapan buat Mas. Memang Bella bukan siapa-siapa. Yang Bella punya cuma perasaan sayang dan cinta.’‘Gaya lama,’ ucap benak Nisha seraya mencibir. Selingkuh pertama kali juga 'kan pakai nama pria.‘Tapi, siapa lagi perempuan ini? Dia tahu kalau Firdaus itu sudah memiliki istri tapi tetap saja menjalin hubungan. Kurang ajar sekali,’ gerutu Nisha membatin.Nisha buru-buru memfoto percakapan itu, lantas mengirimkan pada sahabatnya. Tidak aman jika disimpan di ponselnya. Bukti bisa langsung hilang kalau Firdaus bertindak gila dengan menghancurkan ponsel itu.Tak cukup bukti berupa chat, Nisha mencari di galeri foto. Dia yakin pasti akan menemukan sesuatu di sana. Betul saja, galeri kamera dipenuhi dengan foto mesra suaminya dan seorang wanita di dalam mobil. Mereka duduk berdekatan, tersenyum lebar, dan tangan suaminya berada di paha wanita itu.Nisha terdiam. Jantungnya seolah berhenti berdetak. Ini terlalu mengejutkan. Dia tak tahu sejauh mana hubungan keduanya, walaupun diduganya hubungan mereka pasti sudahlah sangat jauh.Nisha mengerjap, tersadar. Dia harus cepat sebelum Firdaus keluar dari kamar mandi.Dengan tangan gemetar, Nisha mengabadikan foto itu dengan ponselnya sendiri, lantas mengirimkan pada sahabatnya, Elza.‘Za, tolong di save dulu, ya. Kalau disimpan di hapeku takutnya dirusak Kak Firdaus,’ pinta Nisha. Jemarinya bergetar saat mengetik chat itu.‘Okay,’ balasan dari Elza sangatlah singkat.Nisha mengunci ponsel suaminya kemudian menuju kamar mandi yang satu lagi. Dia duduk di closet, air matanya deras berjatuhan, suaranya tak terdengar walaupun mulutnya terbuka.Nisha tidak mau membuat keributan. Dia juga tidak mau kedua orang tuanya tahu. Malu sekali dirinya jika mereka tahu. Dulu, yang ngotot pengen nikah siapa? Ya, dia. Tidak lucu kalau sekarang dia cerita tentang perselingkuhan suaminya.“Pulang jam berapa, Kak?“ tanya Nisha sambil memberikan kunci mobil pada suaminya, dikala mengantarkan Firdaus berangkat kerja.“Malem mungkin,” jawab Firdaus singkat. “Pergi dulu, Ma,” pamit lelaki itu seadanya.Nisha mengangguk. Kedua tangannya bersedekap di dada. Dipandanginya terus mobil silver yang kian menjauh itu.‘Sepertinya Kak Firdaus lupa kalau hari ini anniversary pernikahan yang ke sepuluh. Tapi, dia sudah memberikanku kado. Kado terburuk yang pernah aku terima selama ini.’Nisha bukan seorang ibu rumah tangga. Dengan bantuan mertuanya yang seorang dekan universitas islam, dia menjadi salah satu pegawai honor di kampus itu. Di bagian kemahasiswaan.Hari ini teman-temannya bisa melihat perubahan yang signifikan pada diri Nisha. Hari-hari sebelumnya wanita berhijab penyuka warna biru itu akan selalu ceria, ngoceh tanpa henti, dan makan dengan lahap. Tapi hari ini Nisha hanya diam, diajak makan pun lebih memilih ke masjid kampus.Selesai menunaikan sholat Dzuhur, masih mengenakan mukena, Nisha duduk bersender di sudut masjid. Dia tidak ingin menangis, namun dorongan rasa sedih dalam benak membuat air matanya keluar seolah tak ada habisnya.“Ada apa, Nis?“ tanya Dewi, yang baru mau sholat setelah makan siang tadi. Dia tidak satu kantor dengan Nisha, tapi cukup mengenal wanita itu. Dia masih memiliki hubungan keluarga dengan Daus.Nisha mendongak, dihapusnya air mata. “Ngga. Ngga ada apa-apa, Kak,” bohongnya berusaha tersenyum.“Nisha sakit? Minta izin pulang aja. Nanti Kakak bantuin bilang sama kepala bagiannya.” Dewi sudah cukup lama bekerja di sini sebagai pegawai honor. Dia lumayan kenal sama setiap pejabat di fakultas ini.Nisha mengangguk. Iya. Dia lebih baik pulang daripada tidak fokus bekerja seperti ini. “Terima kasih, Kak.”“Kakak sholat dulu, ya,” pamit Dewi.Nisha kembali mengangguk. Dia sendiri mulai melepaskan mukena, lantas membereskannya. Pergi dari sini sementara waktu, mungkin adalah pilihan yang tepat.Tapi, lagi-lagi Nisha salah. Selama perjalanan pulang, seraya menyetir mobil milik orang tuanya ini, dia selalu teringat akan bukti-bukti yang ia temukan. Hatinya hancur lebur. Sepuluh tahun yang dijalani bersama seolah tak ada arti.Sore itu Nisha menjemput Elza dari kantornya. Sahabatnya itu tengah hamil lima bulan, bawaannya makan melulu.“Nis!” Serunya saat masuk mobil. Dalam dekapannya ada sebungkus roti sobek.Nisha menjawab seadanya, tersenyum saja sulit sekarang buatnya.Elza jadi bingung harus bilang apa.“Jemput Vika, yuk,” cetus Nisha tiba-tiba.“Sudah bilang sama Vika? Memangnya dia mau pergi dadakan?” tanya wanita berkulit kuning langsat itu.Sahabat mereka yang satu lagi, Vika adalah seorang ibu rumah tangga dengan satu anak. Tengah hamil juga sama seperti Elza, lima bulan. Kalau jemput IRT satu itu harus jauh-jauh hari, ya karena mau nitip si kecil dulu ke rumah ibunya.“Sudah. Katanya kebetulan sore ini Andre dijemput neneknya, mau ke rumah sepupunya.”Elza pun mengangguk setuju. Kalau gitu ya beres. Tidak ada masalah jemput Vika sekarang juga.Diam-diam Elza menatap sahabatnya itu. Menerima pesan itu tadi pagi berhasil membuatnya shock. Untung jantungnya cukup kuat menerima informasi itu.Dibandingkan Vika, Elza lebih sering pergi bertiga dengan Nisha dan Firdaus. Dia tahu betul tabiat keduanya, juga perasaan Mariya terhadap menantunya itu.“Za, besok kalau nikah jangan cari suami yang cakep. Cari suami yang benar-benar sayang sama kita, tulus,” nasehat Mariya agak ngotot. Dipangkuannya ada Shareefa berumur baru lima bulan. Bukan tanpa musabab beliau berkata seperti itu.Jantan serta ketangguhan seorang suami baru terlihat keasliannya ketika sudah memiliki anak. Mariya tidak habis pikir menantunya bisa tidur terlelap sementara istrinya sampai jam tiga subuh masih terjaga dengan mata sayup-sayup. Ganti popok anak sendiri saja dia tidak bisa, apalagi berurusan dengan yang namanya bedong.Tidak salah memang Mariya tidak menyukai menantunya itu, wong ngga bisa ngapa-ngapain di rumah. Bukan seorang suami yang bisa diandalkan.Elza tidak bertanya tentang perihal chat itu pada Nisha. Dia menunggu kehadiran Vika —ibu muda berhidung mancung— terlebih dahulu.Mereka memilih singgah untuk mengisi perut. Begitu selesai memesan di restoran yang terkenal dengan ramen pedasnya ini, Elza tidak menunggu lama untuk mencari tahu.“Foto apa tadi pagi, Nis?”Kening Vika mengernyit. “Foto apaan?!” Dia tidak suka, deh ketinggalan info begini. Sewotnya bakal kumat.“Aku tunjukin ke Vika ngga apa-apa, Nis?” tanya Elza meminta izin.Nisha mengangguk.Elza pun memberikan ponselnya ke Vika setelah membuka foto yang dimaksud. Awalnya sahabatnya itu berkerut keningnya, namun akhirnya dia seratus persen fokus menghayati foto chat itu.“Apa ini?! Firdaus selingkuh? Lagi?!” Serunya mengagetkan pelayan yang membawakan minuman mereka. Dia menggeser foto chat itu dan tampaklah foto suami sahabatnya bersama perempuan berdagu lancip walaupun pipinya chubby. “Sama perempuan ini?!”Raut sedih Nisha menjawab semua pertanyaan Vika itu. Dia hanya menunduk seraya berusaha tersenyum tipis.“Kamu yakin kalau ini selingkuhan Kak Firdaus?”Dengan lancarnya, Vika memukul pundak Elza. “Ya, iyalah. Fotonya mesra begini.”“Maksud aku, tuh awalnya gimana bisa tahu,” ralat Elza.Nisha menarik napas. Dia harus menceritakan semuanya dari awal supaya bisa lega. Bukan karena ingin mengumbar masalah rumah tangganya, tapi demi kebaikannya sendiri. Kalau tidak, bisa gila mungkin. Toh tanpa dia memburukkan suaminya, sahabat-sahabatnya sudah tahu tabiat suaminya dari dulu, kok. Mereka kan sudah berteman sejak kuliah.“Nis, kamu harus tegas sama Kak Firdaus,” ujar Elza walaupun tahu tidak akan bisa memaksakan nasehat itu pada sahabatnya yang tengah down.Nisha menggeleng. Dia rapuh. Mana mungkin bisa tegas pada suaminya. Bagaimana dengan anak-anaknya.“Kali ini ngga bisa dimaafin, Nis,” sambung Vika. Mereka tahu, kok kisah perselingkuhan Firdaus tempo dulu itu. Tidak bisa dibenarkan, tapi sahabatnya memilih bertahan ya mau bagaimana lagi. Menyarankan cerai juga bisa berdosa, kan.Nisha menunduk. Makanan sudah datang sedari tadi, namun tak ada keinginannya untuk menyantap. Kepalanya juga luar biasa pusing karena belum makan dari siang.“Nis, kalau selingkuh sekali memang khilaf mungkin, ya. Tapi, kalau berkali-kali itu namanya doyan. Jangan berharap dia bakal berubah, ngga bakal,” kata Vika mencoba membuka logika Nisha.Nisha kembali menunduk. Sungguh, ia tidak tahu harus bagaimana saat ini. Tidak pernah terlintas dalam pikirannya untuk bercerai dari Firdaus.Bersambung...“Nis,” panggil Mariya. Keriput di kening kian tampak kala berkerut.“Ya, Mak,” sahut Nisha disela-sela menyuapi anak keduanya makan.“Kok matamu bengkak gitu?” tanya Mariya heran. Mata Nisha sudahlah sipit seperti dirinya, bengkak pula di bagian kelopak atas dan bawah, yang ada malah tampak seperti garis.“Ngga tahu, nih, Mak. Bangun tidur tadi sudah begini,” jawab Nisha. Sudah pasti berbohong.“Digigit semut kali, Mak. Makanya, kalau mau tidur tuh bersihin dulu tempat tidurnya,” celetuk Diana, adik bungsu Nisha yang baru kelas dua SMA.“Kau ini!” Nisha mengangkat tangan kanannya seolah hendak memukul adiknya itu.Diana membalas dengan juluran lidah, lantas kembali menikmati acara televisi.Nisha berdecak seraya menggelengkan kepala melihat kelakuan adiknya ini. Diana tengah sarapan dengan rambut lurus tergerai, lutut naik sebelah macam duduk di warung kopi, dan makan sambil berbunyi. Cowok mana yang mau naksir gadis semrawutan begitu.“Apa lihat-lihat?!” tantang Diana. Nasi dalam mul
Jantung Firdaus sempat berhenti berdetak. Terasa seperti mau mati saja. Ini baru yang namanya kejutan sebenar-benarnya. Tak ada dugaan atau kepikiran kalau Nisha bakal hadir siang ini tepat di hadapan.“Mama?” ucap Firdaus bingung. “Ngga kerja?” tanyanya.“Udah minta izin tadi,” jawab Nisha. Tidak lupa sambil mengukir senyum. Harus itu. Tidak ada gunanya toh memamerkan wajah muramnya. Ia juga tersenyum sekilas pada Eko dan Affan, yang membalas dengan canggung.Firdaus mengambil alih cake dari tangan istrinya. “Ini…” Ia tak sanggup melanjutkan kalimatnya. Tertera 'Happy 10 Years Anniversary' di atas cake bertahtakan serbuk-serbuk keemasan itu. Saking asyiknya meniti kisah kasih bersama Bella, ia lupa akan hari penting ini.“Bukannya sudah beberapa hari yang lalu?” Kalau diingat tanggalnya, perayaan ini sudah terlambat.Nisha tersentak sekilas. ‘Kak Daus ingat. Terus, kenapa ngga seromantis biasanya? Karena wanita itu?’“Kita makan siang, yuk. Ngga usah jauh-jauh. Di restoran cepat saji
Nisha sudah mulai bisa mengatur perasaannya. Sedikit lega seperti bebannya perlahan terangkat hanya karena sudah mengakui pada Firdaus kalau tahu semua kebusukan suaminya itu. Sesekali tentu saja ia masih menangis, akan tetapi sudah tidak seperti dua minggu silam, saat air matanya mengalir deras tanpa diminta.“Nis, makan melulu,” timpal Mbak Ade ketika melewati rekan satu ruangannya itu.Di ruangan ini ada lima orang karyawan bagian kemahasiswaan. Wanita berhijab panjang ini salah satunya, tugasnya sebagai staff bagian registrasi. Sementara Nisha bagian kemahasiswaan bersama Fadli. Terakhir bagian akademik diisi oleh Yuli dan Yusman.Nisha memang tengah mengunyah mie goreng pedas yang dibelinya di kantin belakang kantor. Telepon ke mamang kantin, langsung datang, deh pesanannya ke atas meja. Keringatnya bercucuran karena sengaja memesan pedasnya sampai level sepuluh.“Habis ini rencananya mau makan mie ayam. Tapi, jeda dulu, lah kira-kira satu jam,” jawab Nisha sambil nyengir, disamb
Nisha duduk di tepi ranjang. Hanya ia seorang diri di kamar. Shareefa tengah bersekolah, kebetulan masuk siang. Sementara Bahri ikut kedua orangtuanya ke rumah A’ Engkus—sepupu Nisha.Tumben-tumbenan Firdaus pulang siang menjelang sore ini. Saat ini dia sedang mandi, sepertinya mau pergi lagi.Nisha mengambil kesempatan ini untuk melihat isi ponsel suaminya. Dengan mudahnya ia menemukan chat antara suaminya dengan wanita rendahan itu.‘Cepatlah kemari, Mas. Aku merindukanmu.’ Itu adalah chat terakhir dari Bella.Tangan Nisha bergetar seperti orang tremor. Ponsel yang dipegangnya juga ikut bergetar. Dada Nisha terasa sesak, hatinya terasa perih sekali begitu mengetahui kalau suaminya membasuh diri hanya untuk bertemu dengan wanita itu.Siulan Firdaus terdengar kian jelas seiring langkahnya kian dekat masuk ke dalam kamar. Namun, Nisha bergeming dari tempatnya.Firdaus terperanjat begitu sadar kalau ponsel di tangan Nisha adalah miliknya. Langsung saja ia rampas. Lebih kagetnya lagi, ta
“Aku ngga rela, Mas diputusin seperti ini,” tolak Bella egois. Ya, harus egois dong. Kalau ngga, mana bisa ia mempertahankan hubungan yang tampak tidak mungkin ini.Firdaus membuang tatapannya keluar mobil. Tangannya bertumpu di dagu. Pantulan wajahnya yang mengguratkan kesedihan terlihat samar dari kaca jendela. Tak ada pemandangan yang menarik di luar. Hanyalah ilalang yang bersiap menyambut embun malam.Firdaus membawa kekasihnya ini berkeliling kota lagi, mencari tempat sepi meskipun jauh. Sepanjang perjalanan, jemarinya terus saja terkait di antara jemari gemuk Bella. Pikirannya masih kalut bagaimana caranya mengungkapkan kalau dia harus putus dengan Bella.Hingga terucaplah kata itu, “Sayang, kita harus putus,” cetusnya seraya menatap mata bulat Bella cukup dalam.Mulanya mata bulat kecoklatan milik Bella membesar, bergetar hebat seraya berkaca-kaca, lantas menunjukkan sorot mata amarah pada akhirnya.“Apa maksud, Mas? Kita putus?!” tanyanya ingin melepaskan tangan Firdaus, ya
Nisha terduduk di kursinya. Setelah mengeluarkan nada tinggi begitu, perasaannya memang sedikit lega, tapi malah jadi ngga enak sama teman-teman satu kantornya.Fadhil yang duduk bersebelahan dengannya sudah menyuruh Mbak Ade kembali ke mejanya. Nisha itu jarang sekali menunjukkan wajah kusut seperti ini, jadi Fadhil memilih untuk menjauhkan semua orang darinya. Biarkan Nisha untuk tenang terlebih dahulu.Seraya menghela napas panjang, Nisha melirik ke arah ponselnya yang bergetar. Sebuah notifikasi muncul di layar. Pesan dari Elza, ada namanya di sana.Nisha pun membuka pesan itu. Keningnya mengernyit. Beberapa buah foto yang dikirimkan oleh Elza sontak membuat jantungnya berdegup kencang.‘Aku ketemu, nih sosmednya Bella. Nih mukanya. Ternyata dia udah nikah, lho. Punya anak laki-laki masih seumuran Bahri kayaknya, sih.’Nisha pun membuka foto pertama. Deretan foto selfie Bella. Salah satunya berada di dalam mobil. Dari bantalan kursi, Nisha bisa mengenali mobil siapa itu. Tentu sa
“Nis, hari ini temenin Mama ke acara peresmian ya.” Suara terakhir dari Firdaus pagi ini ketika menelepon Nisha. Bukan menanyakan keadaan anak-anak apalagi Nisha, tapi malah memberikan tugas. Dikiranya Nisha itu ngga ada kerjaan apa.Tidak ada bosan-bosannya Salma meminta tolong pada menantunya, yang selalu siap kapan saja. Barusan dia menelepon Firdaus. Anak kandungnya itu bilang kalau sedang sibuk sekali, jadi ngga sempat menemani Mama-nya ini. Salma polos aja, sih mengira anaknya itu memang sibuk bekerja, padahal sedang asyik berselingkuh dengan Bella.“Ajak Nisha aja, lah, Ma. Nanti aku telepon dia, suruh antar Mama,” cetus Firdaus sekaligus menolak beberapa saat lalu.Bukan sekali dua kali, sih. Memang ngga pernah malah Firdaus menemani Salma sejak beristrikan Nisha. Selalu istrinya itu yang disuruhnya pergi. Sebenarnya Salma sudah menduga akan jawaban Firdaus itu.Lah, memangnya Salma tak punya anak lain lagi yang menemani? Kok ketergantungan melulu sama menantunya, yang kalau d
Di tahun 2005 pernikahan Nisha dan Firdaus belum satu tahun berjalan. Saat itu Nisha tengah hamil anak pertama mereka, Pratama. Kebetulan baru satu bulan menikah dia langsung hamil. Hal inilah yang dijadikan bahan bully-an beberapa teman sekolahnya, kalau dia hamil duluan sebelum melangsungkan pernikahan.Perutnya membuncit saat mengambil ijazah. Jelas saja menjadi tanda tanya bagi beberapa orang. Nisha berusaha tutup kuping akan semua itu.Namun, nahas. Sang bayi harus pergi terlebih dahulu sebelum sempat menghirup udara selain di rahim ibunya. Baru berumur tujuh bulan, janin malang itu terpaksa dikeluarkan.Malangnya, malah gosip buruk kian beredar. Pasti sudah sembilan bulan, memang sudah waktunya melahirkan, pikir para pemilik lidah setajam silet itu. Itu bayi paling sengaja digugurin, begitulah selentingan yang beredar.Nisha sedih. Bukan hanya karena gosip itu saja, yang membuatnya enggan ke luar rumah, tapi juga kehilangan sang bayi yang seharusnya sudah berada dalam dekapannya