“Mama mau ke mana?” tanya Efa curiga karena menjelang malam belum ada tanda-tanda Nisha berniat pulang dari butik. Malah Bunda Ana disuruh mengendarai mobil untuk mengantar Efa dan Bahri pulang. Mencurigakan? Banget.“Mama mau pergi sama Mami Elza,” jawab Ana membantu.Efa menoleh ke arah Ana, lalu kembali pada Nisha. “O, ya?! Pakai dandan segala.” Tidak segampang itu membohongi gen-Z satu ini.“Dandan gimana? Biasa aja,” dalih Nisha lantas masuk ke kantornya. Ditinggalkannya Efa yang masih menatapnya penuh curiga.Setengah jam kemudian, Nisha melambai singkat ke arah mobil merah yang biasa dikendarainya. Namun, kini sosok Ana yang berada di balik kemudi. Sementara itu, Efa terus saja menatap sang mama tanpa mengedipkan mata. Bahkan, terkesan sinis. Ditambah lagi mulutnya yang manyun. “Emangnya Mami Elza bisa keluar malem-malem begini, Bun? Bukannya dia paling malas keluar malam karena anak-anaknya sudah tidur jam segini?” tanya Efa dalam satu tarikan napas.“Mungkin dijagain sama s
Tiba-tiba Nisha berdiri. Sontak, Akbar ikut berdiri. “Aku permisi dulu,” pamit Nisha tiba-tiba.“Tunggu!”Nisha menoleh. Tatapannya seolah berkata tidak ingin mau tahu apa yang terjadi sekarang ini. Dia hanya ingin pergi dan pulang ke rumah. “Ada yang harus aku jelaskan ke kamu,” ucap Akbar dengan wajah serius.Nisha terdiam bagai manekin seraya menunggu Akbar mendekat. Bola matanya sempat bergetar. Degup jantungnya terdengar jelas oleh telapak tangan yang menangkup dada. Dinginnya hembusan angin malam tidak serta merta mampu menghapus piluh mengalir di keningnya.“Sepertinya ada kesalahpahaman di sini,” simpul Akbar.“Kesalahpahamam?”“Iya. Baik itu apa yang Andre atau kamu pikirkan sekarang.” Akbar berhenti karena sudah tepat berada di dalam jarak satu kaki di hadapan Nisha.“Memangnya, apa yang kupikirkan ... menurutmu?” Nada bicara Nisha agak turun di akhir kalimat.“Kamu mengira kalau aku menyukai kamu, Nisha. Oh, lebih tepatnya menaruh perasaan sama kamu.”“Haha.” Tawa Nisha t
Nisha menghabiskan hari-harinya dengan menemani Bapak ke makam almarhum sang ibunda. Sebisa mungkin dia selalu sempatkan karena Bapak tidak pernah berhenti merindukan belahan jiwanya itu.Nisha juga rindu, tapi tetap harus melanjutkan hidup. Selain itu dia juga sibuk mengantar anak ke sekolah, menjalankan bisnisnya, atau meet up dengan sahabat-sahabatnya. “Nis,” panggil Elza.Nisha menyeruput es americanonya sebentar, lalu menatap sahabatnya itu. “Hm?”“Cowok yang kemarin ada di rumah duka itu siapa?” tanya Elza hati-hati.“Pak Akbar? Gurunya Efa.”Vika dan Elza saling bertukar pandang, sebelum menatap Nisha kembali.“Bukan yang pakai baju PNS, yang pakai kemeja hitam.” Elza menelan air ludah. Sepertinya Nisha belum juga mengerti apa maksud ucapannya. “Yang itu, loh. Yang rambutnya lebat, matanya agak gede, rahangnya tuh gagah banget gitu.” Vika juga membantu menjelaskan.Nisha pun menepuk tangannya sekali. “Oh, itu. Andreas. Kenapa?”“Kayaknya dia ada rasa, deh sama kamu, Nis.”“Em
“Gimana kalau kita liburan ke Bali?” cetus Nisha tanpa aba-aba apalagi kalimat pembukaan. Itupun setelah melamun cukup lama.Alhasil, Shareefa dan Diana yang tengah cekikikan menonton drama korea di sisi Nisha langsung menatapnya kaget. Beda dengan Bahri yang masih asyik bermain game seolah tidak peduli. Dia memang belum mengerti, kok.“Bali?!” seru Ana dan Efa berbarengan. Nisha menyender di bangku outdoor Cuko. “He-eh,” jawabnya pasti diiringi anggukan.Memang sudah lama mereka tidak liburan. Sejak Bahri dan Efa masuk ke sekolah baru, ke tingkat yang lebih tinggi, atau sejak Mak pergi lima bulan yang lalu. Nisha juga disibukkan dengan kegiatannya di sini. Terlebih lagi Diana tahun ini melakulan grand opening Cuko.“Mau!” seru Efa senang. Sudah tidak dipedulikannya lagi drama korea yang masih berjalan di smartphone-nya.“Tapi, Efa masih ujian dua hari lagi.” Wajah yang tadi cerah mendadak berubah mendung. Gimana mau ke Bali, kan dia masih ujian.Nisha baru menyadari sesuatu. O, iya.
“Firdaus gila, nih,” tuding Eko seenaknya. Suara seraknya membahana di meeting room, yang hanya berisikan dirinya, Firdaus, serta Affan.Mereka tengah menunggu rekan lain berkumpul di ruangan ini. Ada meeting dadakan dari Eko, selaku team leader showroom mobil ini.“Gila kenapa?” tanya Affan karena tidak mengerti apa yang tengah atasannya itu bicarakan.“Dia deketin Bella,” jawab Eko bersemangat.Affan masih mengernyitkan keningnya. Bingung. “Bella siapa, nih?!” Nada suaranya cukup tinggi.Tergurat rasa tidak suka jika Firdaus mendekati wanita lain. Bukan karena ia suka sama rekan kerjanya itu, tapi karena cukup mengenal istri Firdaus. Mereka satu fakultas walaupun berbeda jurusan. Kalau benar Firdaus memiliki wanita lain, Affan akan sangat merasa bersalah jika menutupi hubungan itu. Ia merasa ikut menjadi pengkhianat, dan Affan benci akan hal itu.“Ngga deketin,” kilah Firdaus.“Jangan bohong lo, Us. Gue lihat kemaren elo ngajakin dia pulang bareng abis shift pameran di Botani.” Eko
Senyum, tawa, ramah, ataupun candaan melekat pasti pada sosok Jenisha Munnawaroh. Wanita keturunan Chinese-Sunda ini biasa dipanggil Nisha.Tidak ada yang tidak mengenalnya di kota hujan ini, karena lingkup pertemanannya sangat luas. Mulai dari kelas atas sampai kelas bawah. Mulai dari anak walikota sampai tukang sapu jalanan pun pasti mengenalnya.Dia menikah dengan Firdaus tidak lama berselang setelah Ujian Akhir Nasional diadakan. Ijazah pun belum ada di tangan. Tak luput ia menjadi bulan-bulanan pemilik mulut lemes. Hamil duluan adalah tudingan yang kerap disandangkan pada Nisha.Memang, ia terlalu cepat menikah. Baru delapan belas tahun umurnya kala itu. Namun, itu juga karena kedua orang tua suaminya sudah merestui hubungan mereka setelah hampir satu tahun berpacaran. Orang tua Nisha pun mengiyakan walaupun berat hati.Habis menikah, kebetulan Nisha langsung 'isi'. Seolah membenarkan rumor yang telah beredar selama ini. Namun, ia harus kehilangan sang putra tidak berselang lama
Tiga tahun pernikahannya dengan Firdaus, Nisha sama sekali tidak terpikir jikalau cobaan yang menerpa pernikahannya cukuplah kuat.Firdaus mulai sering pulang malam —paling cepat jam dua belas malam, paling lama pukul setengah empat pagi.Setelah mencari tahu ke semua teman suami yang ia kenal, kini Nisha sudah tahu siapa yang membuat suaminya mengenal salah satu jenis narkotika itu. Dhani. Lelaki dua tahun lebih tua dari Firdaus dan bertubuh tambun. Memang terkenal sangat nakal dan suka main perempuan. Nisha juga mengenal Dhani, kok. Sama sekali tidak menduga kalau kakak kelasnya semasa SMA itu tega menjerumuskan suaminya ke lembah dalam narkoba.Tiap kali ada kesempatan, Nisha menyebar satu paket serbuk putih itu di belakang rumah. Untungnya, Firdaus sama sekali tidak menaruh curiga. Kayaknya dia juga tidak ingat, tuh berapa paket yang tersisa dalam dompet.Selain itu, tiada hentinya Nisha berdo'a siang dan malam, meminta kepada Allah SWt. memberikan hidayah pada suaminya agar kemb
Bukan hal yang sulit buat Nisha mencari tahu siapa wanita yang menelepon ini. Setelah panggilan terakhir, gercep wanita bergigi gingsul itu memeriksa pesan di ponsel suaminya. Sebelumnya dia sama sekali tidak suka membuka ponsel Firdaus, Nisha percaya seratus persen. Tapi, kalau sudah begini, mau tak mau ia harus kepoin isi ponsel.Baru sekali menekan tombol ke bawah, Nisha langsung menemukan nama Dion. Kian ke bawah, kian banyak pesan singkat atas nama Dion. Tanpa pikir dua kali, dia membuka pesan-pesan itu bergantian.‘Hai, Kak. Sudah tidur?’ Pesan pertama yang Nisha baca.‘Penting banget, nih cewek nanyain laki orang sudah tidur apa belum,’ pikir Nisha jutek.Nisha buka lagi pesan yang berikutnya. ‘Masih sakit, Kak? Jangan lupa minum obat, ya.’Nisha lihat tanggal pesan itu baru seminggu yang lalu. Kepala Nisha miring ke kanan, seraya kening berkerut. ‘Kak Firdaus sakit? Kapan? Seingatku terakhir kali dia flu juga dua atau tiga bulan yang lalu.’ Mungkinkah suaminya berbohong demi