Share

#6. Wanita Mandiri

“Nis,” panggil Mariya. Keriput di kening kian tampak kala berkerut.

“Ya, Mak,” sahut Nisha disela-sela menyuapi anak keduanya makan.

“Kok matamu bengkak gitu?” tanya Mariya heran. Mata Nisha sudahlah sipit seperti dirinya, bengkak pula di bagian kelopak atas dan bawah, yang ada malah tampak seperti garis.

“Ngga tahu, nih, Mak. Bangun tidur tadi sudah begini,” jawab Nisha. Sudah pasti berbohong.

“Digigit semut kali, Mak. Makanya, kalau mau tidur tuh bersihin dulu tempat tidurnya,” celetuk Diana, adik bungsu Nisha yang baru kelas dua SMA.

“Kau ini!” Nisha mengangkat tangan kanannya seolah hendak memukul adiknya itu.

Diana membalas dengan juluran lidah, lantas kembali menikmati acara televisi.

Nisha berdecak seraya menggelengkan kepala melihat kelakuan adiknya ini. Diana tengah sarapan dengan rambut lurus tergerai, lutut naik sebelah macam duduk di warung kopi, dan makan sambil berbunyi. Cowok mana yang mau naksir gadis semrawutan begitu.

“Apa lihat-lihat?!” tantang Diana. Nasi dalam mulutnya sempat menyembur sedikit.

“Kakakmu ini punya mata, bolehlah lihat!” balas Nisha kesal. Adiknya ini kalau diajak berantem pastilah nomor satu.

“Heish!” Mariya mulai mengeluarkan taringnya bersamaan dengan Diana bersiap membalas ucapan kakaknya. Kalau keduanya tak dihentikan sekarang, pertengkaran ini tak bakal ada habisnya. “Ana, cepat selesaikan sarapannya. Shareefa mau pergi sekolah.”

“Ini sudah selesai, Mak,” jawab Diana seraya beranjak berdiri.

Mariya memejamkan mata. Menahan emosi. Harus sabar, ya kalau tak mau ada naga lepas nih pagi-pagi.

Nisha menatap kepergian adiknya itu masih dengan menggelengkan kepala. Memang Diana sekolahnya masuk siang, tapi masak iya, sih nganter Efa sekolah ngga pakai mandi dulu.

“Nis,” panggilan Mariya membuyarkan lamunan anak sulungnya itu.

“Ya, Mak?” sahut Nisha seraya menyedokkan air putih ke dalam mulut Bahri. Si kecil ini kalau makan memang lahap banget. Tidak butuh waktu lama, hanya setengah jam saja, nasi lauk hati ayam dan tumis toge-wortel sudah ludes.

Mariya melirik jam dinding. Hampir pukul setengah delapan, tapi anak sulungnya ini masih mengenakan daster dengan rambut dicepol. “Kamu ngga kerja?”

“Ngga, Mak. Mata begini, ngga enak mau kerja. Sakit, sih ngga. Cuma agak mengganggu,” jawab Nisha, lantas membereskan piring dan menuju dapur.

Sebenarnya Nisha menghindari kecurigaan Mariya. Dia tahu betul pasti ada yang mengganjal di benak Emak-nya melihat bengkak di matanya. Tapi, dia belum mau bercerita. Dia tak bisa membayangkan betapa patah hati kedua orang tuanya nanti.

🥀🥀

Muhammad Firdaus Al-Attar anak kedua dari Prof. H. Bakhtiar Qadir Al-Attar dan Salma Ranggawuni. Ayahnya, yang biasa dipanggilnya Baba, merupakan seorang yang cukup disegani terutama di kampusnya. Karena merupakan salah satu pelopor pembangunan kampus Islam tersebut. Cukup tua memang sudah umur beliau, sudah memasuki kepala tujuh namun tetap menjabat sebagai dekan.

Siapa bilang buah jatuh tak jauh dari pohonnya? Ada juga buah yang menggelinding jauh. Contohnya saja Firdaus. Ayahnya sangatlah cerdas, pendalaman agamanya bagus sekali, dan tetap menuntut ilmu walaupun usia sudah dimakan uzur. Beda banget sama anaknya yang sulit menerima pelajaran, suka bergaul sama anak bandel biar terkesan keren, dan tidak terlalu giat mencari ilmu.

“Us, uruslah S2. Nanti kalau mau jadi dosen biar Baba yang urus. Terpenting, S2 aja dulu,” pinta Bakhtiar suatu hari lebih ke sebuah permohonan.

Awalnya Firdaus tidak mengindahkan permintaan Ayahnya itu. Dia lebih mementingkan belajar sebagai seorang disk jockey.

“Kak, mumpung ada waktu luang, nih. Lebih baik Kakak selesaikan S2 aja dulu. Nanti Nisha pasti bantuin,” bujuk istrinya kala mereka melewati kampus tempat kuliah dahulu.

Pada akhirnya Firdaus menyetujui untuk mengenyam pendidikan magister itu. Tentu saja dengan bantuan sang istri. Nisha-lah yang lebih sibuk mengurus bahan tesis ke sana dan kemari, padahal bukanlah jurusannya. Dia Ekonomi, sementara suaminya fakultas Hukum. Mulai dari mencari referensi, mencari orang yang bisa meng-translate, dan lainnya hingga sidang tesis. Bahkan, Nisha ikut berfoto dengan dosen-dosen yang menguji suaminya itu.

Cukup cepat, dua tahun kemudian Firdaus berhasil menyandang gelar Magister. Kalau saja Nisha tidak membantunya, mungkin ia butuh dua tahun lagi untuk selesai.

Untuk gelar S1 saja lebih dahulu Nisha selesai, lho. Padahal, dia harus mengurus Shareefa saat membuat skripsi. Tapi, karena tekadnya kuat akhirnya ia bisa lulus walaupun butuh waktu lima tahun menyandang gelar Sarjana itu.

Akan tetapi, seperti tak menghargai perjuangan sang istri yang selalu mendukungnya dari nol, Firdaus tega bermain hati dengan perempuan lain.

Benar, ia jatuh cinta pada Nisha. Istrinya pun tetap cantik sama seperti masa sekolah dulu. Namun, perasaan sepuluh tahun yang lalu itu tak berapi-api seperti dahulu lagi. Bosan, kah? Atau, jenuh?

Bagai bunga di gurun pasir tandus, Bella berhasil membangkitkan gejolak perasaan akan cinta dalam benak Firdaus.

Jalan berdua, berpegangan tangan, keliling kota tanpa tujuan yang jelas, bermesraan sambil sembunyi-sembunyi adalah gejolak cinta anak muda yang telah lama menghilang dalam pikiran Firdaus. Ya, kini hadir kembali berkat Bella.

Perasaan yang pada awalnya hanya main-main saja berubah menjadi perasaan sayang. Dia merasa enggan jauh-jauh dari kekasih barunya itu. Sepertinya ia tak sanggup menghirup udara jika tak bisa melihat Bella barang sehari saja.

Sikap manja Bella itu tidak ditemukannya di diri Jenisha. Istrinya adalah wanita mandiri. Dia bisa cek kehamilan sendiri ke dokter, bisa mengurus anaknya sendiri, pokoknya menangani segala macam masalah seorang diri. Tak pernah sekali pun istrinya menggayut manja tangannya seraya berujar, “Kak, temenin aku makan siang, ya. Aku kesepian. Aneh kalau ngga makan tanpa Kakak.” Justru, sekarang kekasih barunya yang bersikap seperti itu.

“Mau ke mana, Us?” tanya Eko karena begitu melihat gawai, Firdaus yang tengah asyik bercengkrama dengan beberapa salesman bergegas beranjak pergi.

Firdaus berbalik. “Mau ketemu pacar, dong,” sahutnya seraya mengerling.

Eko geleng-geleng kepala. Terserah, sih baginya Firdaus mau pacaran dengan berapa banyak wanita pun, yang terpenting grafik penjualan tidak menurun. Ini sudah dua bulan sahabat sejak SMA-nya itu ngga jualan, lho.

“Terlalu asyik pacaran kali,” timpal Affan seolah bisa membaca pikiran team leader-nya ini.

Eko terkejut, menoleh ke arah Affan. “Hebat banget Bella bisa bikin Firdaus lupa akan dunianya. Istrinya, anaknya,” tambah lelaki berkulit hitam manis itu.

“Dulu, di mana ada Nisha pasti ada Firdaus. Sekarang malahan di mana ada Firdaus, ada Bella. Aneh, aku ngga terbiasa dengan ini,” ucap Affan masih tidak suka dengan hubungan terlarang antara Firdaus dan Bella.

“Mereka pasti sudah jauh, ya?” tebak Eko mulai menghibah.

“Pastilah. Tau sendiri darah apa yang mengalir di tubuh Firdaus, terlebih lagi Bella cewek yang bohai, kan? Cocok, deh,” timpal Affan mulai membayangkan yang tidak-tidak.

“Eh, itu ....” Omongan Eko terputus. Namun, jawaban terletak di ujung tatapannya.

Penasaran, Affan juga melihat ke arah yang sama. Seketika matanya terbelalak bersamaan tangan kanannya menangkup mulutnya yang terperangah kaget.

Sementara itu, Firdaus masih tak menyadari hal apa yang membuat kedua rekan kerjanya terkaget-kaget seperti itu. Hatinya terlalu berbunga-bunga dan tidak sabar untuk bertemu kekasih hatinya. Lihat saja senyuman di wajah yang enggan beranjak pergi.

“Kak,” panggil seseorang.

Firdaus mengangkat wajah setelah membuka pintu kaca showroom. Detik itu juga, senyuman di wajahnya menghilang entah ke mana. Jantungnya seolah berhenti saking kagetnya menemukan sosok istrinya berada di hadapan.

Dia lagi tidak bermimpi, ’kan? Benar perempuan berhijab sambil membawa cake ini adalah Jenisha—istrinya? Kalau memang benar, bagaimana dengan Bella yang sudah menanti untuk makan siang dengannya?

Bersambung...

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status