âGimana kalau kita liburan ke Bali?â cetus Nisha tanpa aba-aba apalagi kalimat pembukaan. Itupun setelah melamun cukup lama.Alhasil, Shareefa dan Diana yang tengah cekikikan menonton drama korea di sisi Nisha langsung menatapnya kaget. Beda dengan Bahri yang masih asyik bermain game seolah tidak peduli. Dia memang belum mengerti, kok.âBali?!â seru Ana dan Efa berbarengan. Nisha menyender di bangku outdoor Cuko. âHe-eh,â jawabnya pasti diiringi anggukan.Memang sudah lama mereka tidak liburan. Sejak Bahri dan Efa masuk ke sekolah baru, ke tingkat yang lebih tinggi, atau sejak Mak pergi lima bulan yang lalu. Nisha juga disibukkan dengan kegiatannya di sini. Terlebih lagi Diana tahun ini melakulan grand opening Cuko.âMau!â seru Efa senang. Sudah tidak dipedulikannya lagi drama korea yang masih berjalan di smartphone-nya.âTapi, Efa masih ujian dua hari lagi.â Wajah yang tadi cerah mendadak berubah mendung. Gimana mau ke Bali, kan dia masih ujian.Nisha baru menyadari sesuatu. O, iya.
Nisha menghabiskan hari-harinya dengan menemani Bapak ke makam almarhum sang ibunda. Sebisa mungkin dia selalu sempatkan karena Bapak tidak pernah berhenti merindukan belahan jiwanya itu.Nisha juga rindu, tapi tetap harus melanjutkan hidup. Selain itu dia juga sibuk mengantar anak ke sekolah, menjalankan bisnisnya, atau meet up dengan sahabat-sahabatnya. âNis,â panggil Elza.Nisha menyeruput es americanonya sebentar, lalu menatap sahabatnya itu. âHm?ââCowok yang kemarin ada di rumah duka itu siapa?â tanya Elza hati-hati.âPak Akbar? Gurunya Efa.âVika dan Elza saling bertukar pandang, sebelum menatap Nisha kembali.âBukan yang pakai baju PNS, yang pakai kemeja hitam.â Elza menelan air ludah. Sepertinya Nisha belum juga mengerti apa maksud ucapannya. âYang itu, loh. Yang rambutnya lebat, matanya agak gede, rahangnya tuh gagah banget gitu.â Vika juga membantu menjelaskan.Nisha pun menepuk tangannya sekali. âOh, itu. Andreas. Kenapa?ââKayaknya dia ada rasa, deh sama kamu, Nis.ââEm
Tiba-tiba Nisha berdiri. Sontak, Akbar ikut berdiri. âAku permisi dulu,â pamit Nisha tiba-tiba.âTunggu!âNisha menoleh. Tatapannya seolah berkata tidak ingin mau tahu apa yang terjadi sekarang ini. Dia hanya ingin pergi dan pulang ke rumah. âAda yang harus aku jelaskan ke kamu,â ucap Akbar dengan wajah serius.Nisha terdiam bagai manekin seraya menunggu Akbar mendekat. Bola matanya sempat bergetar. Degup jantungnya terdengar jelas oleh telapak tangan yang menangkup dada. Dinginnya hembusan angin malam tidak serta merta mampu menghapus piluh mengalir di keningnya.âSepertinya ada kesalahpahaman di sini,â simpul Akbar.âKesalahpahamam?ââIya. Baik itu apa yang Andre atau kamu pikirkan sekarang.â Akbar berhenti karena sudah tepat berada di dalam jarak satu kaki di hadapan Nisha.âMemangnya, apa yang kupikirkan ... menurutmu?â Nada bicara Nisha agak turun di akhir kalimat.âKamu mengira kalau aku menyukai kamu, Nisha. Oh, lebih tepatnya menaruh perasaan sama kamu.ââHaha.â Tawa Nisha t
âMama mau ke mana?â tanya Efa curiga karena menjelang malam belum ada tanda-tanda Nisha berniat pulang dari butik. Malah Bunda Ana disuruh mengendarai mobil untuk mengantar Efa dan Bahri pulang. Mencurigakan? Banget.âMama mau pergi sama Mami Elza,â jawab Ana membantu.Efa menoleh ke arah Ana, lalu kembali pada Nisha. âO, ya?! Pakai dandan segala.â Tidak segampang itu membohongi gen-Z satu ini.âDandan gimana? Biasa aja,â dalih Nisha lantas masuk ke kantornya. Ditinggalkannya Efa yang masih menatapnya penuh curiga.Setengah jam kemudian, Nisha melambai singkat ke arah mobil merah yang biasa dikendarainya. Namun, kini sosok Ana yang berada di balik kemudi. Sementara itu, Efa terus saja menatap sang mama tanpa mengedipkan mata. Bahkan, terkesan sinis. Ditambah lagi mulutnya yang manyun. âEmangnya Mami Elza bisa keluar malem-malem begini, Bun? Bukannya dia paling malas keluar malam karena anak-anaknya sudah tidur jam segini?â tanya Efa dalam satu tarikan napas.âMungkin dijagain sama s
Almira, Bianca, dan Shareefa duduk di kantin. Hal biasa yang mereka lakukan kalau sedang istirahat begini. Ini bukan istirahat biasa, mereka baru saja habis mengikuti mapel olahraga.Tatapan mereka tertuju pada sosok Pak Akbar, yang tengah menghukum anak yang ketahuan menuju kantin di jam pelajaran. Terlebih lagi lima anak lelaki yang berdiri di dekat pintu kantin itu tidak ada yang berpenampilan rapi. Penggaris besi terarah ke bagian pinggang Angga âanak kelas satu. âKenapa kamu berkeliaran tanpa menggunakan ikat pinggang? Mana ikat pinggangmu?!ââKelupaan pakai, Pak,â jawab Angga tanpa merasa bersalah.âJongkok!â teriak Pak Akbar bergema di kantin.Decakan kesal Angga terdengar jelas, namun tetap mematuhi apa yang dikatakan Akbar. âSquat jump 25 kali. Habis itu kembali ke kelas.âDengan helaan napas berat, Angga meletakkan tangannya di bagian belakang leher dan mulai squat jump.âKamu lagi!âYudi melirik penggaris yang menyeruak masuk di antara rambut lembatnya. âJangan dipotong, P
Nisha mendekati dinding pembatas dapur dengan bagian restoran. Meskipun dapur berada di bagian tengah, tapi tidak merusak nuansa mewah restoran itu.Nisha berhenti tepat di sebelah Andreas, yang tengah menyeruput segelas jus buah bercampur soda.Melihat kedatangan Nisha, Daniel pamit secara halus untuk kembali mengawasi para staffnya. Andreas menoleh tepat ketika wanita berhijab itu berada di sisinya. Ia sedikit terkejut namun dengan mudah dikendalikannya emosi itu.Dia tersenyum sumringah pada Efa dan Bahri yang melambaikan tangan ke arahnya seraya menuju lobi. Kemudian tersenyum tipis pada Salma, Sarah, Firdaus, juga Bella yang dibalas dengan perlakuan serupa. Lantas, kembali menatap Nisha seolah bertanya ada apa.Sementara Firdaus melirik dari kasir ketika menemani Sarah membayar biaya makan malam mereka. Lagi-lagi, dia tidak tahu kalau Bella memerhatikan dari lobi.âSaya mau berterima kasih karena kamu sudah menyelamatkan Bahri tadi sampai luka begitu.â Nisha menunjuk samar luka