Share

#4. Feeling Seorang Istri

Bukan hal yang sulit buat Nisha mencari tahu siapa wanita yang menelepon ini. Setelah panggilan terakhir, gercep wanita bergigi gingsul itu memeriksa pesan di ponsel suaminya. Sebelumnya dia sama sekali tidak suka membuka ponsel Firdaus, Nisha percaya seratus persen. Tapi, kalau sudah begini, mau tak mau ia harus kepoin isi ponsel.

Baru sekali menekan tombol ke bawah, Nisha langsung menemukan nama Dion. Kian ke bawah, kian banyak pesan singkat atas nama Dion. Tanpa pikir dua kali, dia membuka pesan-pesan itu bergantian.

‘Hai, Kak. Sudah tidur?’ Pesan pertama yang Nisha baca.

‘Penting banget, nih cewek nanyain laki orang sudah tidur apa belum,’ pikir Nisha jutek.

Nisha buka lagi pesan yang berikutnya. ‘Masih sakit, Kak? Jangan lupa minum obat, ya.’

Nisha lihat tanggal pesan itu baru seminggu yang lalu.

Kepala Nisha miring ke kanan, seraya kening berkerut. ‘Kak Firdaus sakit? Kapan? Seingatku terakhir kali dia flu juga dua atau tiga bulan yang lalu.’

Mungkinkah suaminya berbohong demi mendapatkan perhatian dari cewek ini?

Nisha menyempatkan diri melirik ke arah suaminya. Aman. Firdaus masih saja sibuk ngobrol. Tuh, ketawanya aja paling ngakak.

Tidak menyia-nyiakan kesempatan, Nisha kembali memeriksa pesan.

‘Kakak ngga bisa, nih ke tempat jualanku sekarang?’

‘Jualan? Perempuan ini jualan?’

Nisha kiat giat memeriksa pesan singkat berikutnya.

‘Iya. Tenang aja, Kak. Nih cilok segerobak juga Zahra kasih, deh buat Kakak.’

Jemari Nisha kian keras memencet tombol-tombol ponsel itu. Darahnya mendidih membaca isi pesan yang kian intens itu.

‘Jangan lupa, nanti siang kita makan bareng, ya. Ayam panggangnya kesukaan Kakak, kan?’

Dan, pesan berikutnya yang kian menunjukkan siapa orang yang mengirimkan pesan itu.

‘Bener, Kak. Yang di samping vihara, lah. Memangnya di mana lagi? Kan deket, tuh sama tempat jualan cilokku.’

Nisha berhenti membuka pesan. Dia sudah menemukan jawabannya. Tuh, kan tidak sampai tiga puluh menit, dia tahu siapa dan pekerjaan cewek itu. Cewek itu bernama Zahra dan berjualan cilok dekat vihara. Seingatnya memang banyak orang berjualan di sana, dia saja yang tidak pernah mampir.

“Nis!” Suara sang mertua mengagetkan Nisha, yang masih berpikir. “Bantuin, nih angkat piring kotor,” pintanya sedikit berteriak. Hatinya terusik melihat sang menantu hanya duduk sembari bermain ponsel.

“Iya, Ma,” sahut Nisha. “Bentar, mau ngasih hape dulu ke Kak Firdaus,” imbuhnya seraya beranjak menghampiri suami.

Firdaus berhenti tertawa melihat kedatangan istrinya. “Kenapa, Ma? Mau pulang?” tebaknya. Dia tahu betul kalau Nisha tuh jarang betah berlama-lama kalau ada Mamanya.

Nisha menggeleng. “Ini hape Kakak,” jawabnya sambil menjulurkan ponsel Firdaus.

Firdaus terkejut. Jemarinya sibuk memeriksa saku celana seolah tak percaya kalau yang disodorkan istrinya itu adalah ponselnya. Dia sama sekali tak sadar kalau ponselnya tertinggal di dalam.

Setelah Firdaus menyambut ponsel itu seraya tersenyum canggung, Nisha kembali ke dalam rumah. Tak ada yang aneh dari gelagatnya. Tetap tersenyum ceria.

‘Dia ngga tahu, kan?’ benak Firdaus bertanya-tanya.

🌿🌿

“Kakak punya pacar?” tanya Nisha tanpa kata pembuka, main dor aja.

Firdaus baru saja selesai mandi, terperanjat kaget. Ditatapinya sang istri tengah sibuk merapikan tempat tidur. Sedikit berantakan memang karena semalam suaminya itu butuh melampiaskan hasrat birahinya, padahal Nisha lelah sehabis membabu di rumah saudaranya.

“Hm?” tanya Firdaus sok acuh tak acuh.

“Siapa Dion itu? Ngga mungkin ada perempuan bernama khas laki-laki begitu,” tanya Nisha pantang menyerah. Dia tak terlihat emosi, masih datar seperti biasa.

Firdaus menghela napas. Dia tahu kalau tak bisa mengelak. Istrinya pastilah sudah tahu. “Azzahra, biasa kupanggil Zahra,” akunya.

Bukk! Bukk! Nisha memukul-mukul bantal, tujuannya ya supaya debunya jauh-jauh. Tapi, yang terlihat di mata Firdaus, istrinya tengah melampiaskan amarah pada bantal tak berdosa itu.

“Kerjaannya apa?” tanyanya lagi, kali ini melipat selimut.

“Dia penjual cilok dekat Ekalos,” jawab Firdaus jujur.

“Terus? Sejauh apa hubungan Kakak sama dia? Sudah tidur bareng?”

“Ngga!” bantah Firdaus keras terhadap tudingan itu. “Hanya sebatas ciuman. Itu saja,” lirihnya kemudian.

Jemari lentik Nisha sempat terhenti saat melipat sarung, lantas kembali sibuk menata selimut dan sarung dengan rapi. Selama jeda beberapa detik itu, hatinya wanita lemah ini bagai teriris pisau tajam.

Kurangkah ia sebagai seorang istri sampai-sampai suaminya harus 'jajan' di luar? Apakah Firdaus hanya mementingkan nafsu belaka tanpa memedulikan dirinya yang tengah mengandung?

“Akan aku akhiri,” cetus Firdaus padahal tak diminta.

“Ya. Memang harus diakhiri, memangnya kamu mau anak dalam rahim ini lahir sedangkan status kita bercerai?” tanya Nisha sarkas, seraya berjalan keluar kamar.

Kalau bukan karena mikirin anak, sudah pulang dia ke rumah orang tuanya. Tapi, mungkin kali ini suaminya hanya khilaf. Terbukti hubungan mereka belum terlalu jauh. Nisha akan memaafkan untuk yang ini.

Lima bulan berlalu, setahu Nisha, sih memang tak ada lagi pesan singkat dari Zahra alias Dion. Baguslah, kalau gadis itu sadar diri dan tak berani mendekati suami orang lagi.

Pernah suatu hari, Nisha dibonceng suaminya ke rumah teman mereka. Kebetulan lewat di depan Ekalokasari. Sempat berhenti di simpang lampu merah, dia mengenali Zahra yang tampaknya balik mengenali mereka, Firdaus tepatnya.

Ketika lampu simpang itu berubah hijau, Nisha s***k cardigan, hingga perutnya yang membuncit terlihat jelas. Diliriknya tajam ke arah Zahra, yang terperangah menatapnya. ‘Biar saja itu cewek tahu yang sebenar-benarnya. Biar kapok,’ ujar benaknya.

Nisha kira hanya sampai di situ, lho akhir perjuangan cintanya Firdaus. Ternyata dia salah besar. Waktu itu masih musim pakai BBM, belum android, ia pergoki beberapa chat di ponsel BB sang suami.

“Hai,” Sapa Firdaus. Tahu siapa yang disapanya? Wanita itu adalah Violetta. Mantan kekasihnya sebelum jadian sama Nisha.

“Ya, Kak?” Vio masih sopan membalas. Hampir setengah jam baru ia balas, sepertinya sempat dilema antara membalas atau tidak.

“Tambah cantik aja,” balas Firdaus tak tahu diri kalau sudah beristri. Kalau Nisha pasati foto profil Vio memang banyak berubah kok wajahnya. Pipi tirusnya berganti chubby, dan make-up naturalnya yang pas. Perawatannya pasti mahal, nih.

“Sorry, ya, Kak. Bukannya ngga ramah atau apa, tapi aku menghormati Nisha. Jadi, pembicaraan seperti ini aku hentikan sampai sini aja, ya, Kak.”

'Rasain, dasar laki-laki matanya suka jelalatan!' hardik benak Nisha. Seandainya saja mantannya itu membalas dengan genit, pasti sudah jadi hubungan perselingkuhan ini. Untunglah Vio berbeda. Dia wanita berkelas.

Lima tahun kemudian, Nisha dikaruniai seorang anak laki-laki yang diusahakannya selama ini. Bagi Firdaus memiliki keturunan laki-laki sangatlah berharga, guna meneruskan silsilah keluarga Al-Attar.

Seperti tak tahu terima kasih, satu tahun kemudian Firdaus kembali berselingkuh.

Nisha kira petualangan cinta Firdaus sudah berakhir karena semenjak memiliki Shareefa, suaminya cukup berubah.

Pertama, dia giat bekerja menjadi sales mobil dan pencapaiannya lumayan. Tabungannya sampai dua digit.

Kedua, suaminya memang pulang malam itupun karena dia menjadi Dj. Ketika anaknya menginjak umur dua tahun, sering diajaknya ke belakang panggung.

Namun, Nisha terlalu santai hingga lalai.

Suatu hari, ia meminjam mobil suaminya karena hendak membawa Bahri ke bidan untuk diimunisasi. Biasanya, Firdaus akan setuju saja dan memilih mengendarai motor.

Setelah imunisasi, melihat mobil cukup kotor, Nisha berinisiatif mencuci mobil. Selagi antri di car wash, ia memasukkan tisu juga jajanan anaknya ke laci dashboard. Tapi, apa yang ia temukan di dalam laci itu?

“Apa itu, Ma?” tanya Shareefa yang baru saja masuk kelas satu sekolah dasar. Cukup peka hanya dengan melihat ekspresi wajah seseorang, apalagi sang Mama yang sangat dikenalnya.

“Ini ....”  Nisha menelisik secarik kertas di tangan itu. Struk salah satu restoran cepat saji. Menu yang tertera adalah paket ayam, yakiniku rice, dan mocha float.

Sebagai seorang istri tak tahu kenapa punya feeling kuat aja gitu, ya. Dilihat dari menunya saja ia tahu kalau Firdaus, tuh pasti makan bareng perempuan. Karena kalau laki itu tahunya ya ayam doang, tidak pakai yakiniku sama mocha float segala. Apalagi dia tahu banget suaminya, yang males ribet nyebut menu yang susah.

“Bukan apa-apa,” lanjut Nisha seraya memasukkan struk itu ke dalam tasnya.

Temuan Nisha yang kedua adalah tag sebuah pakaian. Sunflowers diikuti logo bunga matahari sesuai nama brand. Ini pasti pakaian perempuan.

“Shareefa, Baba ada ngasih baju beberapa hari ini?”

Gadis cilik berambut ikal itu menggeleng. “Ngga. Baba ngga ada ngasih apa-apa.”

Firdaus juga tidak menghadiahinya pakaian, jadi ini untuk siapa? Benak Nisha terus bertanya-tanya.

Selama beberapa hari ini, jawaban atas pertanyaannya itu belum juga terjawabkan.

Semenjak Shafeera lahir, Firdaus dan Nisha tinggal di rumah orang tua Nisha. Rumahnya cukup luas dan ada beberapa kamar yang kosong. Kamar paling depan ditempati oleh sepasang suami istri ini bersama kedua anak mereka.

Beberapa hari ini Nisha susah tidur, tapi tak mau menampakkannya di hadapan suami. Ia selalu berpura-pura sudah tidur kalau lewat jam sepuluh malam.

Bunyi celupan khas suara ponsel Firdaus itu berbunyi dua kali. Mata Nisha terbuka sedikit, dalam gelapnya kamar bisa terlihat jelas suaminya memunggunginya sambil melihat ponsel. Tak lama kemudian, suaminya beranjak pergi dari kamar.

‘Mau ke mana Kak Firdaus malam-malam begini?’ gumam benak Nisha.

Perlahan, ia beringsut ke pinggir kasur agar tak membangunkan anak-anaknya. Kemudian, melihat pintu depan terbuka lebar.

‘Kemana, sih Kak Firdaus?’

Nisha masih bertanya-tanya sementara kaki putihnya terus melangkah. Dilihatnya mobil suaminya di garasi terbuka tengah menyala. ‘Di sanakah kira-kira Kak Firdaus berada?’

Nisha menghampiri mobil itu. Beberapa bulan ini kaca film mobil itu memang lebih gelap daripada sebelumnya, jadi ia tak bisa melihat ada orang atau tidak di dalam mobil.

Tok-tok-tok.

Kaca mobil turun. Suaminya tampak gelagapan menyembunyikan ponsel di sisi kirinya.

“Ngapain di sini, Kak malem-malem?” tanya Nisha berusaha tak terlihat curiga, meskipun berjuta pertanyaan menghimpit benaknya.

“Ngga ngapa-ngapain,” jawab Firdaus berkilah lantas mematikan mesin mobil dan kembali ke dalam rumah.

Nisha perhatikan suaminya terus berusaha menutupi kalau ia membawa ponsel. Tangannya tertempel jelas di pinggir boxer, menahan ponsel agar nggak terjatuh.

‘Salah ngga, sih kalau aku curiga Kak Firdaus habis telponan dengan cewek?’ Benak Nisha sangat curiga. Tapi, karena ini tengah malam dan ngga mau orang tuanya terbangun, ia memilih berdamai dengan kecurigaan itu.

Bersambung...

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status