Nisha sudah mulai bisa mengatur perasaannya. Sedikit lega seperti bebannya perlahan terangkat hanya karena sudah mengakui pada Firdaus kalau tahu semua kebusukan suaminya itu. Sesekali tentu saja ia masih menangis, akan tetapi sudah tidak seperti dua minggu silam, saat air matanya mengalir deras tanpa diminta.“Nis, makan melulu,” timpal Mbak Ade ketika melewati rekan satu ruangannya itu.Di ruangan ini ada lima orang karyawan bagian kemahasiswaan. Wanita berhijab panjang ini salah satunya, tugasnya sebagai staff bagian registrasi. Sementara Nisha bagian kemahasiswaan bersama Fadli. Terakhir bagian akademik diisi oleh Yuli dan Yusman.Nisha memang tengah mengunyah mie goreng pedas yang dibelinya di kantin belakang kantor. Telepon ke mamang kantin, langsung datang, deh pesanannya ke atas meja. Keringatnya bercucuran karena sengaja memesan pedasnya sampai level sepuluh.“Habis ini rencananya mau makan mie ayam. Tapi, jeda dulu, lah kira-kira satu jam,” jawab Nisha sambil nyengir, disamb
Nisha duduk di tepi ranjang. Hanya ia seorang diri di kamar. Shareefa tengah bersekolah, kebetulan masuk siang. Sementara Bahri ikut kedua orangtuanya ke rumah A’ Engkus—sepupu Nisha.Tumben-tumbenan Firdaus pulang siang menjelang sore ini. Saat ini dia sedang mandi, sepertinya mau pergi lagi.Nisha mengambil kesempatan ini untuk melihat isi ponsel suaminya. Dengan mudahnya ia menemukan chat antara suaminya dengan wanita rendahan itu.‘Cepatlah kemari, Mas. Aku merindukanmu.’ Itu adalah chat terakhir dari Bella.Tangan Nisha bergetar seperti orang tremor. Ponsel yang dipegangnya juga ikut bergetar. Dada Nisha terasa sesak, hatinya terasa perih sekali begitu mengetahui kalau suaminya membasuh diri hanya untuk bertemu dengan wanita itu.Siulan Firdaus terdengar kian jelas seiring langkahnya kian dekat masuk ke dalam kamar. Namun, Nisha bergeming dari tempatnya.Firdaus terperanjat begitu sadar kalau ponsel di tangan Nisha adalah miliknya. Langsung saja ia rampas. Lebih kagetnya lagi, ta
“Aku ngga rela, Mas diputusin seperti ini,” tolak Bella egois. Ya, harus egois dong. Kalau ngga, mana bisa ia mempertahankan hubungan yang tampak tidak mungkin ini.Firdaus membuang tatapannya keluar mobil. Tangannya bertumpu di dagu. Pantulan wajahnya yang mengguratkan kesedihan terlihat samar dari kaca jendela. Tak ada pemandangan yang menarik di luar. Hanyalah ilalang yang bersiap menyambut embun malam.Firdaus membawa kekasihnya ini berkeliling kota lagi, mencari tempat sepi meskipun jauh. Sepanjang perjalanan, jemarinya terus saja terkait di antara jemari gemuk Bella. Pikirannya masih kalut bagaimana caranya mengungkapkan kalau dia harus putus dengan Bella.Hingga terucaplah kata itu, “Sayang, kita harus putus,” cetusnya seraya menatap mata bulat Bella cukup dalam.Mulanya mata bulat kecoklatan milik Bella membesar, bergetar hebat seraya berkaca-kaca, lantas menunjukkan sorot mata amarah pada akhirnya.“Apa maksud, Mas? Kita putus?!” tanyanya ingin melepaskan tangan Firdaus, ya
Nisha terduduk di kursinya. Setelah mengeluarkan nada tinggi begitu, perasaannya memang sedikit lega, tapi malah jadi ngga enak sama teman-teman satu kantornya.Fadhil yang duduk bersebelahan dengannya sudah menyuruh Mbak Ade kembali ke mejanya. Nisha itu jarang sekali menunjukkan wajah kusut seperti ini, jadi Fadhil memilih untuk menjauhkan semua orang darinya. Biarkan Nisha untuk tenang terlebih dahulu.Seraya menghela napas panjang, Nisha melirik ke arah ponselnya yang bergetar. Sebuah notifikasi muncul di layar. Pesan dari Elza, ada namanya di sana.Nisha pun membuka pesan itu. Keningnya mengernyit. Beberapa buah foto yang dikirimkan oleh Elza sontak membuat jantungnya berdegup kencang.‘Aku ketemu, nih sosmednya Bella. Nih mukanya. Ternyata dia udah nikah, lho. Punya anak laki-laki masih seumuran Bahri kayaknya, sih.’Nisha pun membuka foto pertama. Deretan foto selfie Bella. Salah satunya berada di dalam mobil. Dari bantalan kursi, Nisha bisa mengenali mobil siapa itu. Tentu sa
“Nis, hari ini temenin Mama ke acara peresmian ya.” Suara terakhir dari Firdaus pagi ini ketika menelepon Nisha. Bukan menanyakan keadaan anak-anak apalagi Nisha, tapi malah memberikan tugas. Dikiranya Nisha itu ngga ada kerjaan apa.Tidak ada bosan-bosannya Salma meminta tolong pada menantunya, yang selalu siap kapan saja. Barusan dia menelepon Firdaus. Anak kandungnya itu bilang kalau sedang sibuk sekali, jadi ngga sempat menemani Mama-nya ini. Salma polos aja, sih mengira anaknya itu memang sibuk bekerja, padahal sedang asyik berselingkuh dengan Bella.“Ajak Nisha aja, lah, Ma. Nanti aku telepon dia, suruh antar Mama,” cetus Firdaus sekaligus menolak beberapa saat lalu.Bukan sekali dua kali, sih. Memang ngga pernah malah Firdaus menemani Salma sejak beristrikan Nisha. Selalu istrinya itu yang disuruhnya pergi. Sebenarnya Salma sudah menduga akan jawaban Firdaus itu.Lah, memangnya Salma tak punya anak lain lagi yang menemani? Kok ketergantungan melulu sama menantunya, yang kalau d
Di tahun 2005 pernikahan Nisha dan Firdaus belum satu tahun berjalan. Saat itu Nisha tengah hamil anak pertama mereka, Pratama. Kebetulan baru satu bulan menikah dia langsung hamil. Hal inilah yang dijadikan bahan bully-an beberapa teman sekolahnya, kalau dia hamil duluan sebelum melangsungkan pernikahan.Perutnya membuncit saat mengambil ijazah. Jelas saja menjadi tanda tanya bagi beberapa orang. Nisha berusaha tutup kuping akan semua itu.Namun, nahas. Sang bayi harus pergi terlebih dahulu sebelum sempat menghirup udara selain di rahim ibunya. Baru berumur tujuh bulan, janin malang itu terpaksa dikeluarkan.Malangnya, malah gosip buruk kian beredar. Pasti sudah sembilan bulan, memang sudah waktunya melahirkan, pikir para pemilik lidah setajam silet itu. Itu bayi paling sengaja digugurin, begitulah selentingan yang beredar.Nisha sedih. Bukan hanya karena gosip itu saja, yang membuatnya enggan ke luar rumah, tapi juga kehilangan sang bayi yang seharusnya sudah berada dalam dekapannya
Malam sudah sangat larut saat Firdaus membuka pintu kamar. Walaupun keadaan kamar tidak terlalu terang, namun masih dapat dilihatnya kedua anak mereka tertidur di sisi Nisha. Karena tinggal bersama orang tua, dua bocah kecil itu masih satu kamar dengan mereka.Kepala Firdaus sedikit pusing. Dia baru pulang nge-DJ, tidak lupa menegak segelas-dua gelas minuman alkohol.Malam itu, Bella tidak diajaknya ikut serta karena sedang malas saja membawa kekasihnya itu. Yang ada nanti malah berantem. Belakangan ini ujung-ujungnya ribut kalau bertemu Bella.Bella menuntut waktu lebih bersama Firdaus, sementara lelaki itu masih ingin pulang. Bagaimanapun dia merasakan rindu pada Nisha, walaupun sedikit.Melihat Nisha berbaring hanya mengenakan daster seperti ini, terus diperhatikan wajah istrinya itu, timbullah keinginan untuk memeluknya di benak Firdaus. Mungkin sudah hampir tiga bulan ia tak menafkahi batin istrinya itu karena tengah terlena akan kemolekan Bella.Setelah dilihat-lihat, walaupun
“Fa, Mama-mu mana? Suruh makan dulu, gih,” tanya sekaligus perintah dari Mariya. Tangannya sibuk menata piring lauk-pauk di atas meja. Setelah ini dia siap pergi, Firdaus biasanya agak sungkan kalau harus makan bersama mertuanya ini.Shareefa yang baru menginjak kelas lima sekolah dasar, tapi gayanya yang acuh tak acuh sekilas membuatnya terlihat lebih dewasa. “Di kamar, Mak. Lagi siap-siap,” jawabnya hanya melepaskan sekilas tatapan dari televisi.O, iya. Shareefa dan Bahri tidak memanggil kedua orang tua Nisha ini sebagai nenek atau kakek, tapi Emak dan Bapak—seperti Nisha dan Ana memanggil mereka. Sudah kebiasaan dari kecil.“Panggil, lah. Suruh sarapan dulu sebelum berangkat ke kantor,” ujar Emak. Muka boleh judes tapi hatinya lembut sekali.Meskipun tengah asyik menonton televisi, Shareefa tetap menuruti perintah Mariya. Kaki jenjangnya melangkah menuju kamar Nisha.“Ma,” panggilnya saat melihat punggung Mama-nya. “Disuruh Emak sarapan,” lapor Efa lagi.Nisha berbalik. Ternyata d