Mag-log inCahaya putih terang menyilaukan mataku saat perlahan aku membuka mata. Bau antiseptik menyeruak masuk ke hidungku, menyadarkanku bahwa saat ini aku sudah tak berada di kantor polisi.
Aku di rumah sakit. Ku lihat selang infus menggantung dan jarumnya tertancap di lengan kiriku. Aku mencoba untuk bangkit namun terasa nyeri di perut dan kepalaku. "Jangan bangun dulu, Nak!" Terdengar suara lembut ibuku. Ia duduk di samping ranjang, menggenggam tanganku erat. Matanya tampak sembab, seperti habis menangis. "Ibu..." Suaraku parau. Aku merasa bersalah karena sudah membuat ibuku khawatir. Sementara Ibu hanya tersenyum penuh keteduhan. Tak lama kemudian, seorang wanita berseragam dokter masuk ke ruang di mana aku dirawat. Aku langsung mengenali wanita itu. "Dokter Livia?" Ucapku spontan. Sedikit terkejut karena tak menyangka akan bertemu dengannya di kondisi seperti ini. Dokter Livia tersenyum hangat, "Iya Bu Indira, senang akhirnya bisa bertemu. Meski bukan di ruang praktik seperti biasanya." Seketika hatiku terasa campur aduk. Dokter Livia adalah dokter kandungan langgananku. Jum'at lalu, harusnya aku ada jadwal periksa kehamilan denganya. Namun akhirnya batal karena Mas Farhan menghilang begitu saja tanpa kabar. "Bagaimana kondisi kandungan saya, Dok?" Tanyaku cemas, mencoba duduk namun langsung ditahan olehnya. "Tenang Bu, tetaplah berbaring ya! Saya akan periksa sekarang" ujarnya sambil mengenakkan sarung tangan medis dan mengambil alat pemeriksa kandungan. Perlahan ia mengoleskan gel dingin ke perutku lalu mulai memindai dengan transduser. Suara detak jantung janin terdengar pelan, mengisi keheningan ruangan. "Kenapa Jum'at kemarin tak jadi periksa, Bu?" Tanya dokter Livia lembut. Matanya fokus pada layar, sementara tanganya dengan lincah bergerak di atas perut buncitku. Aku tak langsung menjawab. Tenggorokanku tercekat. Tatapanku kosong menatap langit-langit ruangan. Perlahan air mata jatuh begitu saja. Melihat reaksiku, Dokter Livia menghentikan gerakanya sejenak, wajahnya berubah cemas. "Loh, Bu Indira kok menangis... Maaf kalau pertanyaanku menyinggung" ucapnya penuh penyesalan. Aku menggeleng, berusaha tersenyum tapi tak berhasil. "Bukan salah dokter..." Bisikku lirih. "Hari itu... Suami saya menghilang." Dokter Livia terdiam, menunggu lanjutan ceritaku dengan penuh empati. "Sejak Jum'at sore, suamiku hilang. Dia pergi ke masjid untuk sholat Maghrib tapi tak pernah kembali. Hingga saat ini tak ada kabar darinya. Sosial medianya hilang, nomornya juga tak aktif. Dia seolah lenyap begitu saja..." Tangisku pecah. Aku menutup wajah dengan kedua tangan. Ibuku mengusap bahuku untuk menenangkan. "Aku takut dok... Takut terjadi sesuatu yang buruk padanya" Dokter Livia mendekat, perempuan berwajah oriental itu meletakkan tangannya di atas tanganku. Seolah memberiku kekuatan. "Bu Indira, saya turut prihatin. Saya tahu ini pasti berat sekali. Tapi satu hal yang harus Bu Indira pahami, Ibu tidak sendirian. Ada orang tua Ibu yang selalu mendukung dan saya yang siap membantu Ibu kapanpun" ucapn dokter Livia, ia menatap Ibuku yang dibalas dengan senyum dan anggukan oleh Ibu. Aku menatap dokter Livia dengan mata berkaca-kaca. Selain Ibuku, masih banyak orang yang peduli padaku. "Terima kasih dok... Terimakasih karena masih peduli padaku" ucapku. "Saya senang melakukanya Bu Indira..." ucap Dokter Livia sambil tersenyum ramah seperti biasanya. Dokter cantik itu kembali fokus ke layar monitor yang menampilkan kondisi bayiku dalam perut. Aku pun memperhatikan gambar janinku yang bergerak lincah di layar monitor. "Bayinya sehat tak ada masalah berarti. Ibu hanya terlalu stres dan kelelahan." Dokter Livia mengelap gel di perutku menggunakan tissue, kemudian melepas sarung tangannya. Aku dan Ibuku cukup lega mendengarnya. "Bu Indira harus jaga pikiran agar tidak stres dan mempengaruhi janin dalam kandungan. Percayalah, semua masalah akan menemui jalan keluarnya" ucap dokter Livia lembut. Nasihat dokter Livia membuatku tersadar, bahwa aku juga harus bertanggung jawab menjaga bayi dalam kandunganku. Aku merasa bersalah karena hampir membahayakan janinku akibat tak bisa menjaga emosi. "Apa anak saya sudah diizinkan pulang dok?" Ibuku bertanya. "Untuk izin pulang, kita lihat dulu hasil cek laboratorium ya Bu" jawab Dokter Livia atas pertanyaan ibuku. "Kalau hasil lab nya juga baik, kemungkinan hari ini Bu Indira sudah bisa pulang" Saat itu, terdengar suara ketukan pintu diiringi suara laki-laki yang dalam namun hangat, “Boleh saya masuk, Dok?” Kami semua menoleh hampir bersamaan. Sosok pria tinggi, berkulit sawo matang dengan wajah tegas, berdiri di ambang pintu. Matanya langsung tertuju padaku, kami saling bertatapan untuk sesaat, tapi kemudian pria itu memalingkan pandangab ke arah lain. Aku menahan napas. Jantungku berdetak lebih cepat, bukan karena rasa cinta, tapi karena terkejut. Suara itu… tatapan itu… terlalu familiar. “Aksara?” suaraku nyaris berbisik. Dokter Livia menatapku lalu menatap Aksara secara bergantian. "Perkenalkan, ini dokter Aksara. Beliau yang akan memeriksa hasil laboratorium pasien rawat inap hari ini. Jadi, beliau yang akan memastikan kapan Bu Indira bisa pulang.” dokter Livia menjelaskan. Aku hanya mengangguk dengan senyum yang dipaksakan. Sesaat suasana di ruangan terasa canggung. "Karena sudah ada dokter Aksa dan pemeriksaan kandungan sudah selesai, saya undur diri ya. Semoga sehat selalu Bu Indira dan kandunganya" ucap dokter Livia sebelum meninggalkan ruang perawatan. Aku mengangguk pelan, masih berusaha mengatur napas karena terkejut tiba-tiba bertemu dengan Aksara di rumah sakit ini. "Terimakasih dokter Livia" Sementara Aksara menatapku dengan tatapan yang sulit kuartikan, seolah ia punya banyak hal yang ingin ia katakan, tapi menahannya.Dua tahun kemudian.Jam dinding menunjukkan pukul tiga sore. Di dalam butik kecil bernuansa pastel itu, Indira tampak sibuk melayani seorang klien yang datang untuk memesan gaun pengantin muslimah. Perutnya yang mulai membuncit tak sedikit pun mengurangi keanggunannya. Tak tampak lelah di wajahnya—justru senyum cerah dan gerakannya yang lincah menunjukkan betapa bahagianya ia kini.Tak lama kemudian, Aksara datang. Baru saja ia menyelesaikan shift di rumah sakit, dan seperti biasa, tujuannya hanya satu: menjemput istrinya pulang. Ia berdiri di dekat pintu, memperhatikan Indira yang masih berbincang dengan kliennya, lalu memilih menunggu dengan sabar.Begitu tamu itu pergi, Aksara melangkah mendekat dan berbicara lembut, “Sudah sore, Sayang. Saatnya pulang dan istirahat di rumah.”Indira menoleh sambil tersenyum kecil. “Butik lagi ramai, Mas. Aku pulang setelah Maghrib, ya?”Indira menoleh sambil tersenyum kecil. “Butik lagi ramai, Mas. Aku pulang setelah Maghrib, ya?”Aksara menggelen
Akibat kondisi mental Mayangsari yang terguncang, Indira tidak mendapatkan informasi apa pun tentang Ikhsan, meski naluri keibuannya menjerit ingin menolong anak yang tak berdosa itu. Dengan langkah berat, Indira bersama Aksara dan Randy meninggalkan kantor polisi. Namun baru saja mereka melangkah keluar dari gerbang, seorang perempuan tua berkerudung lusuh tampak tergopoh menghampiri. Napasnya terengah, tangannya gemetar memegangi tas kecil yang disampirkan di bahu. “Indira... tunggu, Nak... Ibu mau bicara!” serunya dengan suara serak, nyaris tercekik oleh usia dan kelelahan. Indira spontan berhenti, menoleh ke arah sumber suara. Wajahnya menunjukkan keheranan sekaligus simpati saat melihat sosok renta itu berjalan tertatih mendekat. “Ada apa, Bu?” tanyanya lembut, menahan diri untuk tidak membuat perempuan itu semakin gugup. Perempuan tua itu menatap Indira dengan mata berkaca-kaca. Garis-garis usia di wajahnya semakin jelas di bawah cahaya sore yang redup. “Nak Indira...” suar
“Kondisi Mayangsari saat ini tidak memungkinkan untuk menjalani proses hukum." Ucap seorang perempuan paruh baya dengan seragam polisi. Petugas tersebut menatap Indira dengan tatapan lembut namun serius. "Setelah kami lakukan pemeriksaan fisik dan psikis, hasil sementara menunjukkan kemungkinan besar ia mengalami gangguan mental. Kami berencana merujuknya ke rumah sakit jiwa untuk penanganan lebih lanjut,” ujarnya dengan nada penuh empati.Indira menatapnya tak percaya. Suaranya bergetar saat bertanya, “Maksud Ibu... Mayangsari sakit jiwa?”Polisi wanita itu mengangguk perlahan. “Benar. Tapi kami masih menunggu hasil diagnosa resmi dari dokter. Sementara ini, dia kami amankan agar tidak membahayakan diri sendiri maupun orang lain.”Indira terdiam. Ada sesuatu yang mengganjal di dadanya, antara marah, kasihan, dan hampa yang sulit dijelaskan. Semua luka dan amarah yang sempat membara, kini bercampur dengan rasa iba yang tiba-tiba menyergap.“Apa saya diizinkan untuk bertemu dengannya?”
"Siapa... siapa yang melakukannya?" Suara Aksara terdengar bergetar, nyaris tak bisa menyembunyikan kepanikan yang menyesakkan dadanya."Mayangsari. Tapi perempuan itu sudah ditangkap." Randi menjawab dengan nada menahan emosi. Wajahnya tampak tegang, seperti menanggung beban rasa bersalah yang berat.Aksara mengepalkan tangan. “Sudah kubilang, jaga dia, Randy! Aku tahu ada orang yang ingin mencelakainya!” Nada suaranya meninggi, bukan karena marah semata, tapi karena takut kehilangan. Tatapan matanya menusuk penuh kekecewaan.Randy menunduk dalam, suaranya nyaris berbisik. “Maaf... aku lengah. Aku kira aman membiarkannya berjalan sendiri.” Pandangannya tertuju ke lantai klinik yang dingin, tempat Indira masih terbaring dengan perban di tangan dan lututnya.Beberapa detik kemudian, kelopak mata Indira bergerak pelan. Ia membuka matanya, pandangannya buram sebelum akhirnya fokus pada dua sosok pria yang berdiri di hadapannya.“Kak Aksa... Randy... ada apa?” suaranya lirih, serak, seola
“Selamat pagi, nama saya Randy. Saya diminta Pak Aksara untuk menjaga Bu Indira selama beraktivitas di luar rumah,” ucap seorang pria bertubuh tinggi dan berwajah tegas.Bu Fathimah yang baru saja membuka pintu menatapnya dengan dahi berkerut. “Menjaga Indira?” tanyanya, separuh kaget, separuh bingung. Sejak kapan putrinya perlu dijaga segala? batinnya.“Iya, Bu. Indira-nya ada di rumah?” tanya pria itu lagi dengan nada sopan dan ramah.“Sebentar ya, saya panggilkan dulu.” Bu Fathimah segera masuk ke dalam rumah, masih dengan ekspresi heran di wajahnya.Indira yang sedang bersiap di kamar langsung menoleh saat ibunya datang. “Nak, ada laki-laki di luar. Katanya namanya Randy, disuruh Aksara buat jagain kamu. Emangnya benar begitu?” tanya Bu Fathimah, nadanya penuh rasa ingin tahu.Indira menghela napas panjang, lalu melepasnya dengan satu hembusan berat. “Iya, Bu. Kak Aksa yang maksa. Katanya supaya Indira aman, jadi disuruhlah bodyguard itu datang.” jawabnya jujur.Tepat saat itu, po
"Kak Aksa, terima kasih… sudah datang tepat waktu," ucap Indira lirih, suaranya masih bergetar, meski mobil sudah melaju perlahan meninggalkan tempat penuh keributan akibat ulah Mayangsari.Aksara menatapnya sekilas dari balik kemudi, ekspresinya penuh khawatir. “Lain kali jangan pergi sendirian, Indira. Dunia ini nggak seaman yang kamu kira, apalagi setelah semua yang kamu alami.” Suaranya tegas, tapi nadanya lembut dan penuh perhatian.Indira hanya menunduk, menatap jemarinya yang saling menggenggam di pangkuan. “Aku… aku nggak menyangka Mayangsari akan kembali menyerangku,” katanya pelan. “Setelah kejadian di pengadilan itu, aku pikir semuanya sudah selesai…”Aksara menarik napas dalam, menoleh sekilas lagi ke arahnya. “Jadi ini bukan pertama kalinya dia menyerangmu?” tanyanya, nada suaranya berubah kali ini ada kemarahan yang ditahan di sana.Indira mengangguk pelan, matanya menerawang ke luar jendela. “Iya, Kak. Entahlah, kenapa dia bisa sebegitu tega. Dia sudah mengambil segalan







