Share

5. Dokter Livia

Auteur: Rinda
last update Dernière mise à jour: 2025-07-19 17:34:13

Cahaya putih terang menyilaukan mataku saat perlahan aku membuka mata. Bau antiseptik menyeruak masuk ke hidungku, menyadarkanku bahwa saat ini aku sudah tak berada di kantor polisi.

Aku di rumah sakit.

Ku lihat selang infus menggantung dan jarumnya tertancap di lengan kiriku. Aku mencoba untuk bangkit namun terasa nyeri di perut dan kepalaku.

"Jangan bangun dulu, Nak!" Terdengar suara lembut ibuku. Ia duduk di samping ranjang, menggenggam tanganku erat. Matanya tampak sembab, seperti habis menangis.

"Ibu..." Suaraku parau. Aku merasa bersalah karena sudah membuat ibuku khawatir. Sementara Ibu hanya tersenyum penuh keteduhan.

Tak lama kemudian, seorang wanita berseragam dokter masuk ke ruang di mana aku dirawat. Aku langsung mengenali wanita itu.

"Dokter Livia?" Ucapku spontan. Sedikit terkejut karena tak menyangka akan bertemu dengannya di kondisi seperti ini.

Dokter Livia tersenyum hangat, "Iya Bu Indira, senang akhirnya bisa bertemu. Meski bukan di ruang praktik seperti biasanya."

Seketika hatiku terasa campur aduk. Dokter Livia adalah dokter kandungan langgananku. Jum'at lalu, harusnya aku ada jadwal periksa kehamilan denganya. Namun akhirnya batal karena Mas Farhan menghilang begitu saja tanpa kabar.

"Bagaimana kondisi kandungan saya, Dok?" Tanyaku cemas, mencoba duduk namun langsung ditahan olehnya.

"Tenang Bu, tetaplah berbaring ya! Saya akan periksa sekarang" ujarnya sambil mengenakkan sarung tangan medis dan mengambil alat pemeriksa kandungan.

Perlahan ia mengoleskan gel dingin ke perutku lalu mulai memindai dengan transduser. Suara detak jantung janin terdengar pelan, mengisi keheningan ruangan.

"Kenapa Jum'at kemarin tak jadi periksa, Bu?" Tanya dokter Livia lembut. Matanya fokus pada layar, sementara tanganya dengan lincah bergerak di atas perut buncitku.

Aku tak langsung menjawab. Tenggorokanku tercekat. Tatapanku kosong menatap langit-langit ruangan. Perlahan air mata jatuh begitu saja. Melihat reaksiku, Dokter Livia menghentikan gerakanya sejenak, wajahnya berubah cemas.

"Loh, Bu Indira kok menangis... Maaf kalau pertanyaanku menyinggung" ucapnya penuh penyesalan.

Aku menggeleng, berusaha tersenyum tapi tak berhasil.

"Bukan salah dokter..." Bisikku lirih. "Hari itu... Suami saya menghilang."

Dokter Livia terdiam, menunggu lanjutan ceritaku dengan penuh empati.

"Sejak Jum'at sore, suamiku hilang. Dia pergi ke masjid untuk sholat Maghrib tapi tak pernah kembali. Hingga saat ini tak ada kabar darinya. Sosial medianya hilang, nomornya juga tak aktif. Dia seolah lenyap begitu saja..."

Tangisku pecah. Aku menutup wajah dengan kedua tangan. Ibuku mengusap bahuku untuk menenangkan.

"Aku takut dok... Takut terjadi sesuatu yang buruk padanya"

Dokter Livia mendekat, perempuan berwajah oriental itu meletakkan tangannya di atas tanganku. Seolah memberiku kekuatan.

"Bu Indira, saya turut prihatin. Saya tahu ini pasti berat sekali. Tapi satu hal yang harus Bu Indira pahami, Ibu tidak sendirian. Ada orang tua Ibu yang selalu mendukung dan saya yang siap membantu Ibu kapanpun" ucapn dokter Livia, ia menatap Ibuku yang dibalas dengan senyum dan anggukan oleh Ibu.

Aku menatap dokter Livia dengan mata berkaca-kaca. Selain Ibuku, masih banyak orang yang peduli padaku.

"Terima kasih dok... Terimakasih karena masih peduli padaku" ucapku.

"Saya senang melakukanya Bu Indira..." ucap Dokter Livia sambil tersenyum ramah seperti biasanya.

Dokter cantik itu kembali fokus ke layar monitor yang menampilkan kondisi bayiku dalam perut. Aku pun memperhatikan gambar janinku yang bergerak lincah di layar monitor.

"Bayinya sehat tak ada masalah berarti. Ibu hanya terlalu stres dan kelelahan." Dokter Livia mengelap gel di perutku menggunakan tissue, kemudian melepas sarung tangannya.

Aku dan Ibuku cukup lega mendengarnya.

"Bu Indira harus jaga pikiran agar tidak stres dan mempengaruhi janin dalam kandungan. Percayalah, semua masalah akan menemui jalan keluarnya" ucap dokter Livia lembut.

Nasihat dokter Livia membuatku tersadar, bahwa aku juga harus bertanggung jawab menjaga bayi dalam kandunganku. Aku merasa bersalah karena hampir membahayakan janinku akibat tak bisa menjaga emosi.

"Apa anak saya sudah diizinkan pulang dok?" Ibuku bertanya.

"Untuk izin pulang, kita lihat dulu hasil cek laboratorium ya Bu" jawab Dokter Livia atas pertanyaan ibuku. "Kalau hasil lab nya juga baik, kemungkinan hari ini Bu Indira sudah bisa pulang"

Saat itu, terdengar suara ketukan pintu diiringi suara laki-laki yang dalam namun hangat, “Boleh saya masuk, Dok?”

Kami semua menoleh hampir bersamaan. Sosok pria tinggi, berkulit sawo matang dengan wajah tegas, berdiri di ambang pintu. Matanya langsung tertuju padaku, kami saling bertatapan untuk sesaat, tapi kemudian pria itu memalingkan pandangab ke arah lain.

Aku menahan napas. Jantungku berdetak lebih cepat, bukan karena rasa cinta, tapi karena terkejut. Suara itu… tatapan itu… terlalu familiar. “Aksara?” suaraku nyaris berbisik.

Dokter Livia menatapku lalu menatap Aksara secara bergantian.

"Perkenalkan, ini dokter Aksara. Beliau yang akan memeriksa hasil laboratorium pasien rawat inap hari ini. Jadi, beliau yang akan memastikan kapan Bu Indira bisa pulang.” dokter Livia menjelaskan.

Aku hanya mengangguk dengan senyum yang dipaksakan. Sesaat suasana di ruangan terasa canggung.

"Karena sudah ada dokter Aksa dan pemeriksaan kandungan sudah selesai, saya undur diri ya. Semoga sehat selalu Bu Indira dan kandunganya" ucap dokter Livia sebelum meninggalkan ruang perawatan.

Aku mengangguk pelan, masih berusaha mengatur napas karena terkejut tiba-tiba bertemu dengan Aksara di rumah sakit ini. "Terimakasih dokter Livia"

Sementara Aksara menatapku dengan tatapan yang sulit kuartikan, seolah ia punya banyak hal yang ingin ia katakan, tapi menahannya.

Continuez à lire ce livre gratuitement
Scanner le code pour télécharger l'application

Latest chapter

  • Suamiku Hilang saat Aku Hamil   13. Penderitaan yang dalam

    "Suamiku hilang, sahabatku meninggal, dan anak dalam kandunganku gugur... Kenapa semua penderitaan ini harus aku tanggung?" suara Indira pecah, parau, seperti keluar dari rongga dada yang hampa. Tatapannya kosong menembus ruang rawat yang dingin, seolah tak lagi mengenali dunia di sekelilingnya.Air mata yang sudah kering di pipinya seakan tak mampu lagi menetes, tapi matanya tetap sembab, merah, seperti menyimpan lautan duka yang tak terbendung. Tubuhnya gemetar kecil, menahan rasa sakit yang bukan hanya dari luka fisik, melainkan juga dari jiwa yang porak-poranda.Bu Fatma, dengan mata berkaca-kaca, hanya bisa mengelus bahu putrinya, berusaha menyalurkan kekuatan meski hatinya sendiri remuk melihat Indira seperti itu. Sementara ayahnya berdiri di sudut ruangan, menatap penuh iba. Tangannya mengepal menahan rasa sakit karena merasa tak mampu melindungi putrinya, hingga harus mengalami penderitaan sepedih ini.Indira belum boleh pulang. Tubuhnya masih lemah, penuh infus dan perban, te

  • Suamiku Hilang saat Aku Hamil   12. Runtuhnya dunia Indira

    Dalam sekejap, jalanan yang semula lengang berubah kacau. Suara klakson mobil bersahut-sahutan, beradu dengan sirine ambulance dan polisi yang meraung dari kejauhan. Namun kemacetan panjang membuat laju kendaraan darurat itu tersendat, seakan waktu ikut bersekongkol melawan Indira dan Yanti.Indira terbaring di atas aspal panas, napasnya memburu. Tangannya masih menekan perut yang berlumuran darah, sementara sinar matahari yang mulai naik menyorot wajahnya yang pucat. Pandangannya nanar menatap langit biru yang perlahan diselimuti awan tipis, seolah berusaha tetap sadar meski tubuhnya terus melemah.Di sampingnya, Yanti tak bergerak. Rambutnya berantakan, wajahnya tampak pucat di bawah bayangan kendaraan yang berhenti tak beraturan. Orang-orang mulai berkerumun, sebagian panik berteriak minta tolong, sebagian lain hanya berdiri terpaku menatap ngeri.Indira berusaha mengatur napasnya yang semakin pendek. “Bertahan… Kamu harus bertahan bersama Ibu, nak...” bisiknya lirih, meski suarany

  • Suamiku Hilang saat Aku Hamil   11. Selamatkan kandunganku

    "Udah buruan naik, nunggu apa lagi, sih?" seru Yanti sambil menepuk jok belakang motornya.Indira masih terpaku di tempat, tangannya menggenggam ujung tas dengan ragu. "Yan... apa kita batalkan aja ya pergi ke orang pintar itu?" suaranya pelan, lebih seperti berbicara pada diri sendiri."Waduh, jangan gitu dong! Aku udah rapi-rapi, motor juga udah siap, masa mau dibatalin sekarang? Sayang banget, Dira!" Yanti langsung menolak mentah-mentah dengan nada sedikit kesal.Indira menggigit bibirnya. Hatinya penuh keraguan. "Aku bener-bener nggak tenang, Yan. Selain takut dosa, aku juga khawatir, naik motor jarak jauh begini bahaya buat aku. Kandunganku kan udah besar.""Ah, tenang aja! Aku janji bawanya pelan-pelan, aman kok! Jangan kebanyakan mikir, nanti malah nggak jadi-jadi," Yanti meraih lengan Indira, seakan memaksa sahabatnya itu segera naik.Indira menunduk, menimbang sejenak. Rasa takutnya masih ada, tapi dorongan Yanti membuatnya tak enak hati untuk menolak terus. Dengan berat hati

  • Suamiku Hilang saat Aku Hamil   10. Keteguhan yang mulai goyah

    Indira menatap Yanti dengan penuh penasaran, menunggu sahabat lamanya itu melanjutkan kalimatnya.Yanti merapatkan duduknya, lalu menurunkan suara seolah takut ada telinga lain yang mendengar. “Aku dengar… di daerah Karawang ada orang pintar yang cukup terkenal. Katanya, dia bisa membantu menemukan segala hal yang hilang. Barang hilang, uang hilang, bahkan orang hilang seperti suamimu”Spontan Indira menutup mulutnya dengan tangan. “Astaghfirullah, Yanti!” serunya dengan mata membesar. Kepalanya langsung menggeleng kuat. “Mendatangi paranormal itu syirik. Itu dosa besar yang tidak akan diampuni Allah. Aku tidak mau menjerumuskan diri pada hal seperti itu.”Nada suara Indira tegas, bahkan agak bergetar. Jelas sekali penolakannya.Namun Yanti justru semakin mendekat, menatap Indira dengan sorot serius. “Dir, kamu jangan keras kepala dulu. Aku tahu ini bertentangan dengan agamamu, tapi pikirkan baik-baik. Farhan hilang sudah berhari-hari, polisi pun belum bisa memberi petunjuk yang jel

  • Suamiku Hilang saat Aku Hamil   9. Ide dari Yanti

    "Maafkan kami atas kesalahpahaman ini. Jenazah tidak memiliki identitas, sedangkan di mobil tertera STNK atas nama Farhan. Jadi, kami mengira jenazah tersebut adalah orang yang sedang Ibu cari," ucap seorang polisi dengan nada hati-hati, ditemani dokter forensik di sisinya."Indira terdiam. Hanya anggukan kecil yang ia berikan, meski hatinya terasa kian berkecamuk. Matanya masih basah, dadanya berdesir tak menentu. Ia tidak marah, hanya bingung dan perih.Tangannya refleks memegangi perutnya, seakan mencoba menenangkan diri sekaligus calon buah hati dalam kandungannya. "Mas Farhan..." bisiknya lirih. Nama itu pecah di ujung bibirnya, meninggalkan getar yang membuat tubuhnya lemas.Yang membuatnya lebih gelisah, adalah kenyataan bahwa nama yang tertera di STNK itu sama persis dengan nama suaminya 'Farhan Wicaksana'. Sebuah kebetulan atau mungkin petunjuk baru?Indira pulang ke rumah, di temani ayah dan ibunya. Air mata Indira tak berhenti menetes selama perjalanan dari Rumah Sakit ke R

  • Suamiku Hilang saat Aku Hamil   8. Jenazah Farhan?

    "Indira, ada telepon masuk di HP-mu," ucap Bu Fathimah sambil menyerahkan ponsel ke tangan putrinya.Indira menerimanya, menatap layar yang menampilkan nomor tak dikenal. Jemarinya terasa dingin. Ia menoleh pada ibunya, seolah meminta persetujuan. Bu Fathimah hanya mengangguk pelan, memberi isyarat agar Indira segera menjawab."Halo… dengan Indira di sini," suaranya terdengar ragu saat menjawab."Selamat malam, Bu Indira," suara berat dan resmi terdengar di ujung sana. "Kami dari pihak kepolisian ingin menginformasikan bahwa kami menemukan petunjuk baru terkait suami Ibu, Bapak Farhan."Jantung Indira hampir melompat keluar. Nafasnya tercekat. "Pe… petunjuk baru? Apa maksudnya… Mas Farhan ditemukan?""Kami menemukan sebuah mobil yang terdaftar atas nama Farhan, dalam kondisi ringsek."Indira membeku. Mobil? Setahunya, Farhan hanya punya sepeda motor untuk bekerja. Gaji Mas Farhan sangat kecil, bahkan untuk kebutuhan sehari-hari saja masih dibantu pendapatan Indira dari jualan online.

Plus de chapitres
Découvrez et lisez de bons romans gratuitement
Accédez gratuitement à un grand nombre de bons romans sur GoodNovel. Téléchargez les livres que vous aimez et lisez où et quand vous voulez.
Lisez des livres gratuitement sur l'APP
Scanner le code pour lire sur l'application
DMCA.com Protection Status