Share

4. Lapor polisi

Author: Rinda
last update Last Updated: 2025-07-19 16:04:56

"Halo Mas... Mas Farhan tolong jawab aku!" Aku terus memanggil nama suamiku dengan suara yang semakin ku kencangkan, berharap dia mendengarnya dan menjawab. Namun tetap sama, hanya suara berisik dan suara percakapan orang yang tak bisa kudengar jelas. Sementara Mas Farhan tak menjawab suaraku hingga akhirnya panggilan mati. Entah dimatikan atau mati sendiri, aku tak tahu.

Aku langsung menelpon balik ke nomor  Mas Farhan. Terdengar nada sambung, namun panggilanku tak diangkat hingga nada sambung berakhir. Aku ulangi lagi menelpon Mas Farhan hingga beberapa kali, akhirnya nomor Mas Farhan kembali tidak aktif.

Aku menatap layar ponsel yang kini kembali gelap. Harapan tentang kabar Mas Farhan yang tadi sempat muncul sirna begitu saja.

"Indira, bagaimana?" Ibuku bertanya penuh harap.

Aku menggeleng pelan, tak sanggup berkata apa-apa. Tenggorokanku tercekat. Rasanya sesak sekali, seperti ada beban berat yang menekan dadaku, kali ini lebih berat dari sebelum aku menerima telepon itu.

Berbagai pertanyaan seolah berputar di kepalaku.

Apa yang terjadi pada suamiku? Apakah tadi dia berniat menyampaikan sesuatu tapi tak ada kesempatan? Mungkinkah Mas Farhan membutuhkan pertolonganku hingga berusaha menelpon meski tak sempat bicara?

Tiba-tiba, aku merasakan gerakan halus dari dalam perutku. Bayiku menendang pelan, seolah ikut merasakan kesedihan yang sedang kurasa. Aku mengelus perutku perlahan, mencoba menenangkan bayiku dan diriku sendiri.  Tetapi justru air mata yang kembali jatuh,

"Nak, kamu pasti rindu suara ayah, ya?" Ucapku dengan air mata berurai.

Mas Farhan tak pernah lupa mencium perutku dan berbicara pada bayi dalam kandunganku sebelum berangkat kerja. Mungkin dia juga rindu suara ayahnya saat ini. Dalam kondisi seperti ini, kehilangan Mas Farhan terasa berkali lipat lebih menyakitkan. Tak hanya kehilangan pasangan, tetapi juga tempat bersandar, pelindung, dan sosok yang akan menyambut kelahiran  anak kami bersama-sama.

"Mas... Kalau kamu dengar aku, pulanglah!" Bisikku dalam hati, sambil menunduk dan memegang perutku yang membuncit.

"Aku dan anakmu sangat rindu... Dan menunggumu pulang"

Ibu menatapku iba. Tanpa banyak kata, beliau menarik tanganku dan mengusap punggung tanganku lembut.

"Nak, jangan bersedih yah! Semoga nanti Farhan segera kembali" ucapnya dengan wajah teduh.

"Jika sampai besok belum juga ada kabar baik, kita pergi ke kantor polisi untuk melaporkan kehilangan orang" ucapnya tegas.

Aku menoleh padanya, menatap mata beliau yang mulai berkaca-kaca. "Iya Bu..." ucapku dengan suara serak, menggenggam tangan beliau erat.

***

"Sudah berapa hari suami ibu tak pulang?" Tanya pria berseragam polisi. Tanganya sibuk mengetik di atas keyboard, sementara matanya fokus menatap layar komputer di hadapanya.

"Sejak Jum'at sore" jawabku pelan.

"Hm... Sudah terhitung tiga hari" gumamnya tanpa ekspresi.

Aku mengangguk pelan, sementara ibuku duduk di sampingku menemani. Ya, hari ini adalah Senin. Aku memang baru melapor polisi sekarang setelah menunda selama dua hari dengan harapan Mas Farhan akan pulang sendiri atau setidaknya memberi kabar.

Polisi itu berhenti sejenak, lalu menatapku dengan lebih serius, "Bu Indira, apakah suami Ibu sebelumnya sering pergi tanpa kabar seperti ini?"

Aku menggeleng, "Tidak pernah, Mas Farhan selalu mengabariku, bahkan jika hendak lembur atau ada keperluan lain pun dia selalu mengabariku melalui telepon maupun pesan teks"

"Ada masalah rumah tangga akhir-akhir ini? Mungkin pertengkaran, tekanan ekonomi atau hal lain yang membuat suami ibu pergi begitu saja?"

Pertanyaan itu membuat dadaku kembali sesak, aku menarik napas dalam-dalam sebelum menjawab, "Tidak ada pertengkaran apapun, kehidupan rumah tangga kami harmonis. Kami memang sedang menabung untuk kelahiran anak kami, tapi tidak sedang mengalami kesulitan ekonomi yang parah. Semua masih baik-baik saja..."

Polisi itu mencatat sesuatu, lalu kembali bertanya, "Apakah saat pergi, suami ibu membawa barang berharga? Kendaraan bermotor atau perhiasan ibu ada yang hilang?" 

Aku menggeleng, "Tidak dia tidak membawa apapun. Termasuk kendaraan, perhiasan dan barang berharga lainya. Bahkan baju di lemari pakaianya masih utuh, tak ada yang berkurang satupun"

"Ibu sudah mencoba menghubungi semua kerabat dan teman dekat suami ibu?"

"Sudah Pak, kami sudah menghubungi semuanya"

Polisi itu mengangguk kecil, lali kembali mengetik beberapa data. Setelah itu, dia menoleh padaku. Menatapku lekat seperti hendak mengatakan sesuatu yang penting.

"Bu Indira, saya tidak akan memaksaIbu untuk percaya apa yang akan saya katakan, tetapi saya sudah sering menangani kasus seperti ini" ucapnya. Ia berhenti sejenak, menarik napas dalam lalu melirik ke arah perutku yang membuncit.

"Menurut saya, lebih baik ibu berhenti mencari suami yang menghilang. Fokuslah pada kehamilan Ibu, persiapkan persalinan sebaik mungkin, dan hiduplah dengan tenang."

Aku menatapnya bingung, "Kenapa Bapak bicara seperti itu?"

Polisi itu kembali bersandar di kursinya, lalu menatapku datar. "Karena suami Ibu bukan hilang. Dia pergi dengan kesadaran penuh. Mungkin bersama perempuan lain, mengejar sesuatu yang menurutnya lebih menjanjikan"

Deg!

Ucapan sang polisi membuat dadaku terasa seperti diremas. Sakit. Panas. Seperti ditikam dari dalam. Rasanya ingin ku tampar wajah pria berseragam polisi itu. Betapa lancangnya dia berbicara begitu merendahkan suamiku di hadapan seorang istri yang sedang hamil besar dan mencari suaminya yang menghilang.

"Sembarangan sekali Bapak berbicara seperti itu!" Suaraku bergetar, antara marah, sedih,dan  nyaris menangis. Membuat nafasku berat "Mas Farhan suami yang baik... dia setia dan bertanggung jawab! Tidak mungkin dia..."

Aku terhenti. Kalimat itu seolah menggantuk di tenggorokan tak sanggup ku lanjutkan. Nafasku semakin berat dan dadaku mendadak sesak. Duniaku tiba-tiba bergoyang dan kepalaku berdenyut nyeri.

"Indira?!" Suara ibuku terdengar panik di sampingku.

"Bu... Tenang dulu, tarik napas pelan-pelan..." Suara polisi yang kubenci masih terdengar samar. Namun lama kelamaan pandanganku kabur, tubuhku tak dapat menopang semuanya.

Brugh!

Tubuhku ambruk ke lantai dengan suara jatuh yang membuat semua orang yang berada di ruangan tersentak. Langit-langit ruangan terasa berputar dan perutku terasa nyeri. Hingga hanya gelap yang terlihat.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Suamiku Hilang saat Aku Hamil   44. Luka yang kembali berdarah

    Plak!Tamparan itu mendarat telak di pipi Indira—keras, tiba-tiba, dan penuh amarah. Suara tamparan menggema di parkiran yang sepi, membuat beberapa orang menoleh heran. Indira tertegun. Rasa panas menjalar di pipinya, diikuti perasaan campur aduk antara kaget dan marah yang nyaris meledak.“Kurang ajar kau, gundik!” seru Indira dengan suara bergetar, bukan karena takut, tapi karena menahan amarah yang memuncak. Tangannya terangkat, lalu balas menampar pipi kiri Mayangsari dengan keras—bunyi tamparan itu sama nyaringnya.“Berani-beraninya kau menamparku!”Mayangsari terhuyung setengah langkah, rambutnya terurai menutupi wajah. Pipi kirinya memerah, tapi yang lebih menyala adalah matanya—mata seorang perempuan yang dikuasai kemarahan.“Kau tega, Indira!” jeritnya, suaranya pecah, penuh emosi. “Kau tega memisahkan ayah dari anaknya! Anak yang bahkan baru berusia dua tahun!”“Kau tega, Indira!” jerit Mayangsari, suaranya pecah dan menggema di area parkiran yang mulai dipenuhi tatapan her

  • Suamiku Hilang saat Aku Hamil   43. Apa yang diinginkan Mayangsari?

    "Aku hanya ingin tahu bagaimana keadaanmu Indira..." suara Aksara terdengar lembut, nyaris berbisik. Tatapannya menelusuri wajah Indira dengan penuh perhatian, seolah mencoba membaca isi hatinya tanpa perlu bertanya lagi.Indira menunduk, merasakan debaran kuat di jantungnya. Namun satu sisi hatinya merasa bersalah, ia masih menjadi istri orang walaupun sedang dalam proses perceraian. Seharusnya tidak terlalu dekat dengan Aksara.“Seperti yang Kak Aksa lihat,” ucapnya lirih, mencoba tersenyum. “Aku baik.”Aksara mengangguk pelan. “Kamu sudah yakin dengan keputusanmu untuk berpisah dengan Farhan? Aku cuma takut kamu terburu-buru… mungkin karena masih emosi.”Indira terdiam. Matanya tak menatap Aksara, melainkan tertuju pada taman kecil di depan rumah. Sinar matahari sore menyusup di antara daun, menciptakan kilau keemasan di kelopak bunga. Seekor kupu-kupu kuning hinggap, lalu terbang pelan seolah menari di udara."Wanita mana yang masih akan terus bertahan, setelah ditinggalkan dalam

  • Suamiku Hilang saat Aku Hamil   42. Kecanggungan yang hangat

    “Jadi… kalian berdua akan menikah?” tanya Indira dengan nada getir.Aksara dan Livia sontak saling berpandangan, sama-sama kebingungan.“Aku?” Aksara menunjuk dirinya sendiri dengan dahi berkerut, jelas tak paham maksudnya.Livia yang lebih cepat menangkap arah pikiran Indira langsung terkekeh pelan. “Oh, bukan, Indira!” katanya sambil menggeleng cepat. “Bukan aku dengan Aksara… tapi aku dengan Adrian!”“Adrian?” Indira berkedip, tampak malu sendiri. “Oh… aku kira kalian…” ia tak melanjutkan, tapi kalimatnya menggantung cukup jelas.Livia langsung menepuk lututnya sambil tertawa geli. “Astaga, Indira! Dari mana bisa kepikiran begitu? Mana mungkin aku dan Aksara!” katanya sambil melirik pria itu dengan ekspresi geli. “Kami cuma bersahabat sejak kuliah, iya kan, Aksa?”Aksara hanya tersenyum, menggeleng kecil. “Iya Indira, kedekatanku dan Livia lebih seperti sepasang sahabat, jika lebih dekat dari itu maka kami adalah saudara..."Indira ikut tersenyum malu, pipinya memanas, tapi ada kel

  • Suamiku Hilang saat Aku Hamil   41. Kejutan dari Livia

    Sore itu, cahaya matahari yang hangat menembus sela-sela dedaunan, memantul di wajah Indira yang tengah memangkas daun-daun kering di pot milik Bu Fatma. Jemarinya lincah memotong satu per satu ranting, sampai suara mesin mobil yang berhenti di depan pagar rumah membuat gerakannya terhenti.Ia menoleh spontan. Sebuah mobil hitam mengilap terparkir di halaman. Dari balik kaca, ia mengenali sosok yang sangat familiar—Aksara.“Kak Aksa…” gumamnya lirih. Hatinya berdetak tak karuan. Gunting tanaman di tangannya terlepas begitu saja ke tanah. Ada senyum kecil yang tak sempat ia tahan, seolah tubuhnya lebih dulu bereaksi sebelum pikirannya sempat menimbang.Namun senyum itu perlahan memudar begitu pintu sisi penumpang terbuka. Livia keluar menyusul, menutup pintu mobil dengan senyum ramah yang menyilaukan.Indira terpaku. Ada jeda aneh di dadanya—antara malu, kaget, dan sesuatu yang seperti tertusuk pelan.Angin sore yang tadi terasa hangat kini seolah dingin dan kering.Dia menelan ludah,

  • Suamiku Hilang saat Aku Hamil   40. Terkurung oleh dosamu sendiri

    Selepas kepergian Fani, Farhan meringkuk di sudut sel yang lembap. Punggungnya menempel pada dinding semen dingin yang mulai berjamur. Lampu di langit-langit berkedip lemah, menyorot wajahnya yang pucat dan mata cekungnya yang penuh kegelisahan. “Indira…” bisiknya parau, hampir tak terdengar. Napasnya berat, dada naik turun cepat seolah menahan sesak yang tak mau reda. “Seharusnya kamu datang menemuiku… kamu istriku, Indira… masih sah istriku.” Ia menatap kosong ke arah jeruji besi yang kini tampak seperti dinding tak berujung. Suara langkah petugas dari kejauhan terdengar samar, diselingi bunyi rantai pintu yang beradu, mengingatkannya bahwa kebebasan kini hanya sebatas mimpi. “Selama ini kamu yang selalu membelaku,” lanjutnya lirih, suaranya bergetar di antara isak tertahan. “Kamu rela membantu memenuhi kebutuhan rumah tangga dengan jualan baju secara online, kamu menjadi ibu rumah tangga yang seluruhnya melayaniku… Kamu pasti masih peduli padaku, kan?” Farhan menunduk, menatap

  • Suamiku Hilang saat Aku Hamil   39. Harapan terakhir yang pergi

    “Polisi menghubungiku… katanya kamu ada di sini, Farhan.”Kalimat pertama yang keluar dari bibir Mbak Fani terdengar tenang, tapi tajam seperti pisau yang menyayat perlahan tanpa ampun.Farhan menunduk, tenggorokannya terasa kering. Ia berusaha bicara, namun suaranya nyaris tak terdengar.“Maafkan aku, Mbak… aku selalu merepotkanmu.”Mbak Fani terkekeh pelan, tapi tawa itu getir dan pahit.“Merepotkan? Kamu bukan cuma merepotkan, Farhhan. Kamu menghancurkan segalanya!”Suaranya meninggi di akhir kalimat, membuat beberapa petugas menoleh sekilas. Namun ia tak peduli. Air matanya menumpuk di pelupuk mata, tapi ia menahannya dengan paksa.“Berbulan-bulan Indira mencarimu sampai kehilangan bayinya… berbulan-bulan Ibu menunggumu pulang, berharap kamu masih hidup, masih waras. Tapi kamu? Kamu malah hilang bersama perempuan lain, pakai uang orang, dan bikin nama keluarga hancur!”Napasnya tersengal, suaranya pecah di tengah kalimat. “Ibu jatuh sakit karena stres, Han. Dia nggak kuat lagi… da

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status