LOGIN"Halo Mas... Mas Farhan tolong jawab aku!" Aku terus memanggil nama suamiku dengan suara yang semakin ku kencangkan, berharap dia mendengarnya dan menjawab. Namun tetap sama, hanya suara berisik dan suara percakapan orang yang tak bisa kudengar jelas. Sementara Mas Farhan tak menjawab suaraku hingga akhirnya panggilan mati. Entah dimatikan atau mati sendiri, aku tak tahu.
Aku langsung menelpon balik ke nomor Mas Farhan. Terdengar nada sambung, namun panggilanku tak diangkat hingga nada sambung berakhir. Aku ulangi lagi menelpon Mas Farhan hingga beberapa kali, akhirnya nomor Mas Farhan kembali tidak aktif.
Aku menatap layar ponsel yang kini kembali gelap. Harapan tentang kabar Mas Farhan yang tadi sempat muncul sirna begitu saja.
"Indira, bagaimana?" Ibuku bertanya penuh harap.
Aku menggeleng pelan, tak sanggup berkata apa-apa. Tenggorokanku tercekat. Rasanya sesak sekali, seperti ada beban berat yang menekan dadaku, kali ini lebih berat dari sebelum aku menerima telepon itu.
Berbagai pertanyaan seolah berputar di kepalaku.
Apa yang terjadi pada suamiku? Apakah tadi dia berniat menyampaikan sesuatu tapi tak ada kesempatan? Mungkinkah Mas Farhan membutuhkan pertolonganku hingga berusaha menelpon meski tak sempat bicara?
Tiba-tiba, aku merasakan gerakan halus dari dalam perutku. Bayiku menendang pelan, seolah ikut merasakan kesedihan yang sedang kurasa. Aku mengelus perutku perlahan, mencoba menenangkan bayiku dan diriku sendiri. Tetapi justru air mata yang kembali jatuh,
"Nak, kamu pasti rindu suara ayah, ya?" Ucapku dengan air mata berurai.
Mas Farhan tak pernah lupa mencium perutku dan berbicara pada bayi dalam kandunganku sebelum berangkat kerja. Mungkin dia juga rindu suara ayahnya saat ini. Dalam kondisi seperti ini, kehilangan Mas Farhan terasa berkali lipat lebih menyakitkan. Tak hanya kehilangan pasangan, tetapi juga tempat bersandar, pelindung, dan sosok yang akan menyambut kelahiran anak kami bersama-sama.
"Mas... Kalau kamu dengar aku, pulanglah!" Bisikku dalam hati, sambil menunduk dan memegang perutku yang membuncit.
"Aku dan anakmu sangat rindu... Dan menunggumu pulang"
Ibu menatapku iba. Tanpa banyak kata, beliau menarik tanganku dan mengusap punggung tanganku lembut.
"Nak, jangan bersedih yah! Semoga nanti Farhan segera kembali" ucapnya dengan wajah teduh.
"Jika sampai besok belum juga ada kabar baik, kita pergi ke kantor polisi untuk melaporkan kehilangan orang" ucapnya tegas.
Aku menoleh padanya, menatap mata beliau yang mulai berkaca-kaca. "Iya Bu..." ucapku dengan suara serak, menggenggam tangan beliau erat.
***
"Sudah berapa hari suami ibu tak pulang?" Tanya pria berseragam polisi. Tanganya sibuk mengetik di atas keyboard, sementara matanya fokus menatap layar komputer di hadapanya.
"Sejak Jum'at sore" jawabku pelan.
"Hm... Sudah terhitung tiga hari" gumamnya tanpa ekspresi.
Aku mengangguk pelan, sementara ibuku duduk di sampingku menemani. Ya, hari ini adalah Senin. Aku memang baru melapor polisi sekarang setelah menunda selama dua hari dengan harapan Mas Farhan akan pulang sendiri atau setidaknya memberi kabar.
Polisi itu berhenti sejenak, lalu menatapku dengan lebih serius, "Bu Indira, apakah suami Ibu sebelumnya sering pergi tanpa kabar seperti ini?"
Aku menggeleng, "Tidak pernah, Mas Farhan selalu mengabariku, bahkan jika hendak lembur atau ada keperluan lain pun dia selalu mengabariku melalui telepon maupun pesan teks"
"Ada masalah rumah tangga akhir-akhir ini? Mungkin pertengkaran, tekanan ekonomi atau hal lain yang membuat suami ibu pergi begitu saja?"
Pertanyaan itu membuat dadaku kembali sesak, aku menarik napas dalam-dalam sebelum menjawab, "Tidak ada pertengkaran apapun, kehidupan rumah tangga kami harmonis. Kami memang sedang menabung untuk kelahiran anak kami, tapi tidak sedang mengalami kesulitan ekonomi yang parah. Semua masih baik-baik saja..."
Polisi itu mencatat sesuatu, lalu kembali bertanya, "Apakah saat pergi, suami ibu membawa barang berharga? Kendaraan bermotor atau perhiasan ibu ada yang hilang?"
Aku menggeleng, "Tidak dia tidak membawa apapun. Termasuk kendaraan, perhiasan dan barang berharga lainya. Bahkan baju di lemari pakaianya masih utuh, tak ada yang berkurang satupun"
"Ibu sudah mencoba menghubungi semua kerabat dan teman dekat suami ibu?"
"Sudah Pak, kami sudah menghubungi semuanya"
Polisi itu mengangguk kecil, lali kembali mengetik beberapa data. Setelah itu, dia menoleh padaku. Menatapku lekat seperti hendak mengatakan sesuatu yang penting.
"Bu Indira, saya tidak akan memaksaIbu untuk percaya apa yang akan saya katakan, tetapi saya sudah sering menangani kasus seperti ini" ucapnya. Ia berhenti sejenak, menarik napas dalam lalu melirik ke arah perutku yang membuncit.
"Menurut saya, lebih baik ibu berhenti mencari suami yang menghilang. Fokuslah pada kehamilan Ibu, persiapkan persalinan sebaik mungkin, dan hiduplah dengan tenang."
Aku menatapnya bingung, "Kenapa Bapak bicara seperti itu?"
Polisi itu kembali bersandar di kursinya, lalu menatapku datar. "Karena suami Ibu bukan hilang. Dia pergi dengan kesadaran penuh. Mungkin bersama perempuan lain, mengejar sesuatu yang menurutnya lebih menjanjikan"
Deg!
Ucapan sang polisi membuat dadaku terasa seperti diremas. Sakit. Panas. Seperti ditikam dari dalam. Rasanya ingin ku tampar wajah pria berseragam polisi itu. Betapa lancangnya dia berbicara begitu merendahkan suamiku di hadapan seorang istri yang sedang hamil besar dan mencari suaminya yang menghilang.
"Sembarangan sekali Bapak berbicara seperti itu!" Suaraku bergetar, antara marah, sedih,dan nyaris menangis. Membuat nafasku berat "Mas Farhan suami yang baik... dia setia dan bertanggung jawab! Tidak mungkin dia..."
Aku terhenti. Kalimat itu seolah menggantuk di tenggorokan tak sanggup ku lanjutkan. Nafasku semakin berat dan dadaku mendadak sesak. Duniaku tiba-tiba bergoyang dan kepalaku berdenyut nyeri.
"Indira?!" Suara ibuku terdengar panik di sampingku.
"Bu... Tenang dulu, tarik napas pelan-pelan..." Suara polisi yang kubenci masih terdengar samar. Namun lama kelamaan pandanganku kabur, tubuhku tak dapat menopang semuanya.
Brugh!
Tubuhku ambruk ke lantai dengan suara jatuh yang membuat semua orang yang berada di ruangan tersentak. Langit-langit ruangan terasa berputar dan perutku terasa nyeri. Hingga hanya gelap yang terlihat.
Dua tahun kemudian.Jam dinding menunjukkan pukul tiga sore. Di dalam butik kecil bernuansa pastel itu, Indira tampak sibuk melayani seorang klien yang datang untuk memesan gaun pengantin muslimah. Perutnya yang mulai membuncit tak sedikit pun mengurangi keanggunannya. Tak tampak lelah di wajahnya—justru senyum cerah dan gerakannya yang lincah menunjukkan betapa bahagianya ia kini.Tak lama kemudian, Aksara datang. Baru saja ia menyelesaikan shift di rumah sakit, dan seperti biasa, tujuannya hanya satu: menjemput istrinya pulang. Ia berdiri di dekat pintu, memperhatikan Indira yang masih berbincang dengan kliennya, lalu memilih menunggu dengan sabar.Begitu tamu itu pergi, Aksara melangkah mendekat dan berbicara lembut, “Sudah sore, Sayang. Saatnya pulang dan istirahat di rumah.”Indira menoleh sambil tersenyum kecil. “Butik lagi ramai, Mas. Aku pulang setelah Maghrib, ya?”Indira menoleh sambil tersenyum kecil. “Butik lagi ramai, Mas. Aku pulang setelah Maghrib, ya?”Aksara menggelen
Akibat kondisi mental Mayangsari yang terguncang, Indira tidak mendapatkan informasi apa pun tentang Ikhsan, meski naluri keibuannya menjerit ingin menolong anak yang tak berdosa itu. Dengan langkah berat, Indira bersama Aksara dan Randy meninggalkan kantor polisi. Namun baru saja mereka melangkah keluar dari gerbang, seorang perempuan tua berkerudung lusuh tampak tergopoh menghampiri. Napasnya terengah, tangannya gemetar memegangi tas kecil yang disampirkan di bahu. “Indira... tunggu, Nak... Ibu mau bicara!” serunya dengan suara serak, nyaris tercekik oleh usia dan kelelahan. Indira spontan berhenti, menoleh ke arah sumber suara. Wajahnya menunjukkan keheranan sekaligus simpati saat melihat sosok renta itu berjalan tertatih mendekat. “Ada apa, Bu?” tanyanya lembut, menahan diri untuk tidak membuat perempuan itu semakin gugup. Perempuan tua itu menatap Indira dengan mata berkaca-kaca. Garis-garis usia di wajahnya semakin jelas di bawah cahaya sore yang redup. “Nak Indira...” suar
“Kondisi Mayangsari saat ini tidak memungkinkan untuk menjalani proses hukum." Ucap seorang perempuan paruh baya dengan seragam polisi. Petugas tersebut menatap Indira dengan tatapan lembut namun serius. "Setelah kami lakukan pemeriksaan fisik dan psikis, hasil sementara menunjukkan kemungkinan besar ia mengalami gangguan mental. Kami berencana merujuknya ke rumah sakit jiwa untuk penanganan lebih lanjut,” ujarnya dengan nada penuh empati.Indira menatapnya tak percaya. Suaranya bergetar saat bertanya, “Maksud Ibu... Mayangsari sakit jiwa?”Polisi wanita itu mengangguk perlahan. “Benar. Tapi kami masih menunggu hasil diagnosa resmi dari dokter. Sementara ini, dia kami amankan agar tidak membahayakan diri sendiri maupun orang lain.”Indira terdiam. Ada sesuatu yang mengganjal di dadanya, antara marah, kasihan, dan hampa yang sulit dijelaskan. Semua luka dan amarah yang sempat membara, kini bercampur dengan rasa iba yang tiba-tiba menyergap.“Apa saya diizinkan untuk bertemu dengannya?”
"Siapa... siapa yang melakukannya?" Suara Aksara terdengar bergetar, nyaris tak bisa menyembunyikan kepanikan yang menyesakkan dadanya."Mayangsari. Tapi perempuan itu sudah ditangkap." Randi menjawab dengan nada menahan emosi. Wajahnya tampak tegang, seperti menanggung beban rasa bersalah yang berat.Aksara mengepalkan tangan. “Sudah kubilang, jaga dia, Randy! Aku tahu ada orang yang ingin mencelakainya!” Nada suaranya meninggi, bukan karena marah semata, tapi karena takut kehilangan. Tatapan matanya menusuk penuh kekecewaan.Randy menunduk dalam, suaranya nyaris berbisik. “Maaf... aku lengah. Aku kira aman membiarkannya berjalan sendiri.” Pandangannya tertuju ke lantai klinik yang dingin, tempat Indira masih terbaring dengan perban di tangan dan lututnya.Beberapa detik kemudian, kelopak mata Indira bergerak pelan. Ia membuka matanya, pandangannya buram sebelum akhirnya fokus pada dua sosok pria yang berdiri di hadapannya.“Kak Aksa... Randy... ada apa?” suaranya lirih, serak, seola
“Selamat pagi, nama saya Randy. Saya diminta Pak Aksara untuk menjaga Bu Indira selama beraktivitas di luar rumah,” ucap seorang pria bertubuh tinggi dan berwajah tegas.Bu Fathimah yang baru saja membuka pintu menatapnya dengan dahi berkerut. “Menjaga Indira?” tanyanya, separuh kaget, separuh bingung. Sejak kapan putrinya perlu dijaga segala? batinnya.“Iya, Bu. Indira-nya ada di rumah?” tanya pria itu lagi dengan nada sopan dan ramah.“Sebentar ya, saya panggilkan dulu.” Bu Fathimah segera masuk ke dalam rumah, masih dengan ekspresi heran di wajahnya.Indira yang sedang bersiap di kamar langsung menoleh saat ibunya datang. “Nak, ada laki-laki di luar. Katanya namanya Randy, disuruh Aksara buat jagain kamu. Emangnya benar begitu?” tanya Bu Fathimah, nadanya penuh rasa ingin tahu.Indira menghela napas panjang, lalu melepasnya dengan satu hembusan berat. “Iya, Bu. Kak Aksa yang maksa. Katanya supaya Indira aman, jadi disuruhlah bodyguard itu datang.” jawabnya jujur.Tepat saat itu, po
"Kak Aksa, terima kasih… sudah datang tepat waktu," ucap Indira lirih, suaranya masih bergetar, meski mobil sudah melaju perlahan meninggalkan tempat penuh keributan akibat ulah Mayangsari.Aksara menatapnya sekilas dari balik kemudi, ekspresinya penuh khawatir. “Lain kali jangan pergi sendirian, Indira. Dunia ini nggak seaman yang kamu kira, apalagi setelah semua yang kamu alami.” Suaranya tegas, tapi nadanya lembut dan penuh perhatian.Indira hanya menunduk, menatap jemarinya yang saling menggenggam di pangkuan. “Aku… aku nggak menyangka Mayangsari akan kembali menyerangku,” katanya pelan. “Setelah kejadian di pengadilan itu, aku pikir semuanya sudah selesai…”Aksara menarik napas dalam, menoleh sekilas lagi ke arahnya. “Jadi ini bukan pertama kalinya dia menyerangmu?” tanyanya, nada suaranya berubah kali ini ada kemarahan yang ditahan di sana.Indira mengangguk pelan, matanya menerawang ke luar jendela. “Iya, Kak. Entahlah, kenapa dia bisa sebegitu tega. Dia sudah mengambil segalan







