PoV NiaUcok ternyata bisa juga merajuk, dia tak bicara sampai malam tiba. Saat kami ajak makan malam di luar, Ucok juga tidak mau ikut. Akan tetapi dia titip pesan supaya dibeli nasi goreng juga pada Butet."Bang, bagaimana lagi Ucok ini, Bang, aku takut dia makin tersesat," kataku Saat kami dalam perjalanan."Entahlah, Saat ini adalah saat-saat dia mencari jati diri, umurnya delapan belas tahun, di umur segitu tahap pergantian dari remaja ke dewasa, kita harus sabar, Dek," kata Bang Parlin."Padahal harapan kita sangat besar untuknya, dulu aku berharap dia mau kuliah di Mesir atau Maroko, kemudian jadi penerus pengelola pesantren, jadi kyai haji, harapan memang terlalu tinggi," kata Bang Parlin lagi."Gertak saja, Yah?" Butet tukang nguping itu tiba-tiba ikut bicara."Gertak bagaimana, Tet?""Bilang aja pesantren akan dijual karena yang diharapkan jadi pengurus justru lebih suka urus cewek," kata Butet lagi."Usul bagus, kita lihat dulu bagaimana tanggapan Ucok," jawab Bang Parlin.
PoV UcokTernyata orang tuaku menaruh harapan yang sangat besar padaku. Mendengar ayah berkata kalau saja beliau ingin aku jadi kiyai haji, aku merasa terharu. Apakah aku bisa? Setengahnya sudah, aku kini seorang haji, konon haji termuda di kabupaten ini, akan tetapi untuk jadi kiyai? Lagi-lagi aku harus angkat topi dan ucapkan salut pada ustadz Rizal, biarpun memimpin pesantren adalah impiannya, dia tidak langsung terima ketika ada yang tawarkan. Alasannya tidak enak padaku. Aku makin salut pada ustadz ini, dia memang satu tingkat di atasku. Hari itu jadwal Salsabila akan datang lagi, sebelumnya dia datang aku sudah kirim pesan lewat wa."Jika pria cepak itu ikut, pengukuran tanah tak akan kudampingi," begitu pesan yang kukirim."Dia hanya teman, lo, Bang Ucok," balas Salsabila."Aku tidak tanya dia siapa?" pesanku lagi."Oke, Bang, aku bawa notaris sekalian, biar urusannya cepat kelar," balas Salsabila."Okeh,"Pagi itu aku bangun lebih cepat, Salat Subuh dan masak sarapan sen
PoV UcokMamak justru seperti tak merasa bersalah, justru menantanglu untuk bicara semua yang kurasakan. Sebenarnya aku ingin meledak saja. akan tetapi aku justru tidak tahu harus bilang apa lagi."Entah bagaimana lagi menasehati kau, Cok," kata Ayah."Apa aku jahat, Yah?" tanyaku."Ayah capek, itu-itu saja masalahnya, pakai ini dan ini," kata Ayah lagi, selalu begitu, pakai otak dan hati."Ayah selalu bilang begitu, seakan-akan aku tidak punya otak, seakan-akan aku tidak punya hati," kataku lagi."Kamu punya, Cok, tapi pikiranmu melenceng, hatimu tercoreng, tapi Mamak tidak akan pernah capek, mamak akan terus menjagamu dari iblis itu," kata Mamak.Aku tak tahu harus bilang apa lagi, kembali ke kantor adalah pilihan, kantor kepala desa jadi tempatku merenung lagi. Butet datang, begitu sampai dia langsung marah-marah. Dia Masih berpakaian sekolah. "Kok gak dijemput aku, Bang?" tanyanya. "Oh, lupa, Tet, maaf, kau pun, ditelepon kenapa, dikirimkan pesan kan bisa," kataku membela diri.
PoV ButetSaat itu aku baru pulang sekolah , akan tetapi aku tak melihat Bang Ucok datang menjemput. Yang ada justru Bang Sandy, cukup terkejut juga, karena setahuku, dia tinggal d kota sekarang."Bang Sandy!" seruku kemudian."Aku tinggal sama ibu sekarang, kasihan ibu gak ada temannya," kata Bang Sandy sebelum aku sempat bertanya."Oh, Alhamdulillah, semua baik-baik saja," "Iya, Butet, aku sadar kini, mamak pun sudah berubah, tidak begitu mengekang lagi." kata Sandi lagi.HP -ku bunyi, ada panggilan dari mamak."Butet, dah datang si Ucok jemput kau?" tanya Mamak begitu telepon tersambung."Belum, Mak,""Dia lagi ngambek itu, belikan dulu dia nasi," kata Mamak lagi."Oh, iya, Mak,""Antar ke kantor desa," "Iya, Mak, kenapa lagi Bang Ucok?" "Masih hal yang lama,""Aku coba nasehati Bang Ucok ya, Mak," kataku lagi."Gak usah, Tet, nanti dia ngamuk sama kau,""Nggaklah itu, Mak, aku bawa teman," kataku kemudian.Akhirnya aku beli nasi bungkus dua, sengaja kubeli ikan asam padeh kesuk
PoV NiaUcok akhirnya minta maaf lagi, entah apa yang dikatakan Butet pada Anakku ini, dia tiba-tiba sudah mau daftar ulang. Kebetulan Butet pun libur panjang. Bang Parlin menyarankan kami antar Ucok ke Jakarta, sekalian jalan-jalan.Aku tentu saja senang sekali, karena Cantik masih bayi, juga aku yang baru pulih, Bang Parlindungan menyewa mobil mewah, yang di dalamnya bisa rebahan. Bang Parlin mengeluarkan uang dua kali lipat dari ongkos biasa biar dapat mobil mewah seperti ini. Di dalam mobil itu memang sangat leluasa, kami yang cuma empat orang, tapi kursinya ada delapan. Si sopir justru mencopot dua kursi yang di tengah, disulapnya jadi tempat tidur. Bahkan dalam mobil itu aku bisa mengikat ayunan untuk Cantik.Sebelum berangkat aku buatkan story wa di HP Bang Parlin dengan caption. "Otw raun-raun""Mau ke mana, Bang Parlin?" ada yang kirim pesan. Aku kenal pria yang kirim pesan tersebut. Dia teman lama Bang Parlin yang juga teman bisnis jual beli sapi. "Jakarta," balasku singkat
Aku tak bisa menahan emosi lagi, aku jadi benci Salsabila, Ucok di kampung, dia mau beli lahan di kampung. Ucok ke Jakarta, mau kembali pula dia ke Jakarta."Sabar, Dek, kali ini kamu salah," kata Bang Parlin."Kok salah, Bang, aku hanya melindungi anakku dari godaan iblis wanita itu," aku makin emosi "Yang bisa kita lakukan adalah mendidik anak kita, Dek, bukan memarahi anak orang, hubungan itu ada dua arah, jika satu menolak, tak akan terjadi." kata Bang Parlindungan. Sementara Ucok masih tidur."Di Jakarta nanti, pasti orang seperti si Salsabila itu banyak, bahkan lebih parah dari Salsabila, jadi yang kita lakukan membentengi anak kita, bukan melarang anak orang," kata Bang Parlin.Mobil yang kami tumpangi sudah memasuki wilayah Lampung, kami istirahat di sebuah penginapan. Rencananya esok harinya akan menyeberang ke pulau Jawa. "Cok, di Jakarta Kamu tak bisa mendampingimu lagi, kau bertanggung jawab pada dirimu sendiri, tolong, Nak, jangan kecewakan kami orang tuamu, itu saja,"
PoV UcokButet benar, di kota, aku memang tidak adanya apa-apanya, gadis seperti Salsabila banyak. Baru pertama sampai di Jakarta, aku sudah melihat gadis cantik bernama Annisa. Dia putri Kapolres, dan ternyata dia sudah pernah dengar namaku.Dia gadis yang supel, kami cepat akrab, , akan tetapi dia sepertinya memandang rendah orang kampung seperti aku."Juara kelas di kampung, kalau kota itu hanya rangking lima belas," begitu kata Annisa saat kami berbincang-bincang di teras rumah mereka. "Oh ya, kamu rangking berapa?" tanyaku kemudian."Aku rangking tiga, pernah dapat lompat kelas, rangking tiga di sini sudah biasa juara umum di sekolah kampung," katanya lagi. "Ohhh," Ayah justru membeli rumah untuk kutempati di Depok, dekat dengan kampus. Kamar rumah itu ada tiga. Rencananya akan kukontrakkan. Dua kamar, satu juta per kamar per bulan, jadi dapat dua juta, itulah biayaku hidup di kota ini. Aku berjanji dalam hati, tidak akan menyusahkan orang tua lagi.Matematika Ayah memang
Hari berlalu, aku mulai bosan tidak ada kegiatan, sementara di rumah tetap aku sendiri, belum ada juga yang menempati dua kamar kosong tersebut. Saat tiba hari Minggu, aku dapat telepon dari Annisa."Cok, dipanggil Papa," begitu kata Annisa saya telepon tersambung."Mai ngapain ya?" tanyaku."Gak tau, pokoknya datang saja," kata Annisa.Aku pun berangkat ke rumah Annisa, jalan kaki ke jalan besar baru naik angkutan kota. Baru jalan lagi ke komplek perumahan tempat Annisa tinggal.Ketika aku sampai, Pak Ali Akhir sedang duduk di teras rumah bersama Annisa."Ucok!" bapak itu memelukku."Maaf ya, Cok, jika sambutan kami kurang ramah," kata polisi tersebut."Iya, Pak,""Bagaimana, sudah dapat tempat kos?" tanya Bapak itu lagi."Sudah, Pak, ayah beli rumah," jawabku jujur."Beli rumah?" kata Annisa."Iya,""Jadi rumah kos itu milikmu?""Ya, begitulah,""Kulihat kau jalan kaki, gak ada kendaraan ya?" tanya Pak Ali Akhir lagi."Belum ada, Pak,""Itu lihat di garasi, pilih yang mana saja, amb