"Kenapa harus suami orang? Stok laki-laki apa sudah sesedikit itu?"Aku menggelengkan kepala, tak habis pikir dengan Shakila. Ya, memang hati tak sepenuhnya bisa dikendalikan jika sudah jatuh cinta. Tapi, manusia diberi akal. Apa guna akal jika tidak digunakan?Kulihat dua sahabatku saling berpandangan diiringi senyum yang sedikit aneh menurutku. Mungkinkah ada yang salah dengan ucapanku? Bukankah menyukai suami orang adalah hal yang tak dibenarkan?"Niar, kayaknya kamu kurang update deh. Sekarang kan lagi tren, mencintai suami orang. Malah ada yang lebih parah loh," papar Shakila enteng. Sementara Rania menyeruput minumannya dengan santai."Lebih parah gimana?" tanyaku tak percaya. Apalagi setelah Shakila mengatakan kalau itu sudah menjadi sebuah tren. Di mana artinya bukan hal baru bahkan banyak yang melakukannya, menjadi pihak ketiga dalam sebuah hubungan pernikahan orang lain."Banyak kok yang udah punya suami, tapi selingkuh dengan suami orang. Bayangkan aja, dia malamnya melayan
"ada apa? Kenapa aku ngga boleh sampai tahu?" tanyaku penuh selidik.Bisa kulihat dengan jelas dua perempuan di hadapanku saling sikut, memberi kode yang hanya mereka pahami maksudnya."Apa yang tadi kalian bicarakan?" tanyaku lagi.Kulihat Shakila menarik napas panjang sebelum menghempaskannya dengan kasar. Dia lantas meraih tanganku yang kebetulan ada di atas meja."Tadinya kami mau memberi kejutan untuk ulangtahunmu. Tapi karena kamu lebih dulu tahu, kami merasa gagal," ucap Shakila dengan raut wajah sedihnya. Begitu pula dengan Rania yang mengangguk dan memasang wajah sedih."Jadinya gagal deh ngasih kamu kejutan ulangtahun," ucap Rania yang kini angkat suara.Aku mengerjap sesaat. Mengingat-ingat kembali kalau memang ulang tahunku tak lama lagi akan tiba. Aku sendiri sudah lupa. Sementara dua orang di hadapanku mengingatnya."Ya udah, aku pura-pura ngga tau aja, deh!" ucapku bercanda.Mereka kompak berdecak. "Mana bisa gitu!" sahut Rania dan Shakila hampir bersamaan. Dan kami pun
"Mendong Mbak lihat dulu deh, siapa orangnya. Barangkali Mbaknya tahu," ucap pemilik bengkel yang masih menatap iba ke arahku.Ya, aku yakin dia merasa kasihan kepadaku. Apalagi karena kejadian ini, dia tahu kalau aku mendapat pengkhianatan dari suamiku."Ngga usah kayaknya mending enak langsung dilabrak aja," sahutku datar."Iya, Mbak. Laki-laki ngga setia gitu mah cemen. Masa beraninya sembunyi-sembunyi dari istri. Aku kalau udah nikah, ngga bakal istriku aku duain gitu," timpal pekerja bengkel yang menangani motorku mengompori."Emang kamu udah ada istri, Jo?" tanya sang pemilik bengkel."Hehe, belum bos. Masih nyari. Maaf, Bos. Maaf, Mbak. Abisnya kesel. Dia udah punya istri cantik gini malah nyari cewek baru. Saya aja nyari satu susah dapat. Padahal nih, Mbak, wajah suami Mbaknya itu biasa aja, pas-pasan. Lebih ganteng Pak Bos-"Ucapan pria yang tangan dan pakaian kerjanya lebih banyak noda hitam itu terhenti saat pria berkacamata di dekatku berdeham cukup keras. Tanpa sadar aku
"Bagaimana dia bisa tahu kalau Mas Fajar hendak ke bengkel hari ini? Apa mereka ada janji? Dia sebenarnya siapa?" Aku bergumam pada diri sendiri seraya memegang benda pipih milik Mas Fajar yang terkunci.Khawatir Mas Fajar membutuhkan ponselnya, aku berniat untuk mengantar benda itu kepada pemiliknya. Hanya saja saat aku melewati teras, aku berpikir, dengan apa aku menyusul Mas Fajar? Motorku 'kan dibawa dia ke bengkel.Rasanya aku ingin mengutuk diri sendiri yang sedikit sulit berpikir cepat karena kejadian sebelumnya. Aku masih merasa masalah itu belum sepenuhnya selesai.Saat hendak berbalik, aku mendengar suara motor berhenti di depan rumah. Aku pikir orang lain, ternyata itu Mas Fajar yang kembali pulang. Sudah bisa aku tebak apa yang hendak dia ambil karena terlupa."Yang, ponsel," ucapnya saat melihatku berdiri di teras.Aku pun mengangguk dan berjalan menghampirinya. Benda pipih yang dia maksud masih ada di tanganku. Setelahnya, dia pamit kembali ke tujuan semula.Setelah kepe
"Apa yang kalian bicarakan? Ada apa lagi?" Suara Bapak membuat kami menoleh. Tidak tahu sejak kapan Bapak di sana dan mendengar pembicaraan kami berdua."Katakan! Apa lagi yang masih kamu sembunyikan?" desak Bapak kepada Mas Fajar."E … em … tidak ada, Pak," sahut Mas Fajar spontan.Aku yakin dia saat ini tidak menjawab dengan jujur."Ya sudah. Nanti Bapak mau tanya sesuatu. Sekarang subuhan dulu," ucap Bapak berlalu menuju masjid tak jauh dari rumah kami.***Seperti yang sudah Bapak katakan saat subuh tadi, beliau memanggil Mas Fajar. Mereka duduk di kursi tamu yang ada di teras rumah. Dan di sana hanya mereka berdua.Aku mendengar beberapa pertanyaan yang dilontarkan bapakku kepada Mas Fajar. Mendengar jawaban suamiku itu, aku merasa kecewa karena Mas Fajar tidak berbicara jujur dan menutupi kenyataan yang ada."Bapak mendengar dari orang lain kalau kamu dekat dengan seorang wanita. Benar begitu?"Mas Fajar terlihat salah tingkah. Dari jendela aku bisa melihat bagaimana dia menyemb
Panik? Pasti.Tapi aku berusaha agar tak terlalu menunjukkan bahwa pikiranku sedang tak karuan. Aku berusaha bersikap tenang, meminta nomor penyewa itu kepada Mas Fajar dan menanyai keberadaannya terlebih dahulu.Saya ada di Blitar, Mbak. Maaf belum bisa pulang sore ini soalnya hujan.Begitulah tulisan dalam aplikasi perpesanan berwarna hijau itu.Aku membalas pesan wanita itu dengan kalimat sopanSaya mau telepon, Bu. Mohon dijawab.Aku pun menekan tombol gagang telepon di bagian pojok kanan atas melalui aplikasi yang sama.Terdengar suara panggilan yang tersambung. Namun, tak ada jawaban dari orang yang bernama Endang itu.Tiba-tiba sebuah pesan chat yang masih dari aplikasi berwarna hijau itu diterima.Endang: Maaf, Mbak teleponnya gak bisa saya terima. Soalnya di sini hujan berpetir.Aku merasa ada yang janggal. Ada sesuatu yang salah di sini. Apa kaitannya tak bisa pulang karena hujan dengan mobil?"Lacak GPS!"aku mengirim pesan suara kepada Mas Fajar dan saudara-saudaraku untuk