SUAMIKU LUPA PRIVASI STORY W*
Part 1 (Story W*)POV Ilyas
[Yas, gila lu, udah berani bikin sw mesra-mesraan sama si Nadia. Istri lu di privasi gak? awas, kebebolan. Bisa jadi duda Lu.]
Rafli mengirim pesan dengan kata-kata penuh ejekan. Dia pikir, aku bo*oh? oh tentu tidak. Aku sudah sering memamerkan kemesraan dengan Nadia. Bahkan, teman-teman kantor lebih tau hubunganku dengan Nadia. Mereka tak kenal dengan sosok Ela, istriku. Kecuali, Rafli, sahabat dekatku.
Tentu aku lebih bangga mengenalkan Nadia. Dia cinta pertamaku sejak SMA. Kami harus putus, karena ayahku harus pindah ke rumah Mbah Kakung di Surabaya. Namun, cinta kami bersemi kembali. Saat aku balik ke Jakarta, dan menjadi manajer di perusahaan marketplace online. Aplikasi belanja online terbesar dengan warna oren putih.Kami dipertemukan kembali. Nadia menjadi salah satu admin, di perusahaan yang sama. Rasa cinta itu, tak kuasa aku basmi. Semakin hari, terus bersemi.
"Mas, lagi apa, serius banget?"
Nadia bergelayut manja. Di akhir pekan, aku menghabiskan waktu bersamanya. Kami sedang menikmati liburan di kawasan Lembang, Bandung.
Ela tidak pernah curiga. Dia istri penurut. Sangat patuh dan percaya pada suaminya. Secara akhlak, Nurlaila Pertiwi atau Ela, adalah istri salehah. Dia istri ceria dan tak pernah mengeluh. Rumah Kami selalu penuh canda tawa, karena sikapnya yang jenaka. Istriku itu, sebelas dua belas dengan artis stand up komedi yang bernama Arafah.
Meskipun saat awal pernikahan, kami terpuruk dalam segi ekonomi. Ela tetap sabar. Tak pernah marah. Dia malah selalu menyemangatiku. Sampai bisa dititik puncak karir, seperti saat ini.
"Biasa abis bikin story, Dek."
Nadia hanya tersenyum sambil mengangguk. Dia berjalan menuju meja rias. Sedangkan aku, masih setia di atas kasur.
"Kita sarapan yah, Mas. Abis itu jalan-jalan keliling Lembang."
"Iya sayang, apa sih yang enggak buat kamu."
"Hihihi, Mas emang paling the best. Sama kaya zaman SMA dulu."
Cengiran banggak aku tampilkan. Merasa menjadi pria paling hebat, karena bisa menaklukan perempuan cantik dan idolanya kaum Adam.
Sementara Nadia sibuk berdandan untuk persiapan keluar hotel. Perlahan jariku membuka status yang sudah terkirim. Foto aku dan Nadia semalam, di sebuah kafe mahal di Bandung. Kami saling pandang dan tertawa bahagia. Aku tambah caption 'Selalu bahagia jika bersamamu' sebuah status yang sudah aku post hampir setengah jam lalu.
Ucapan Rafli cukup membuat hati jadi cemas. Iseng, aku mengecek siapa saja yang sudah melihatnya.
Dilihat Oleh
Istriku
baru sajaDuar!Mataku melotot bagai tersetrum listrik bertegangan 150 KV (kilo volt). Hampir terjengkang membentur lantai yang terbuat dari marmer.
Aku cek setelan privasi status. Ternyata, kontak istriku tidak tercentang untuk diprivasi. Kenapa aku bisa kebobolan? setahuku, kontak Ela tak pernah luput dari pengawasan. Sengaja tidak dicek ulang. Aku yakin, tak pernah lupa privasi kontaknya. Ternyata, aku terlalu lengah. Bahaya. Status ini bisa menimbulkan hujan angin, badai dan guntur dalam rumah tanggaku.
"Mas kenapa? kaya kesambet gitu?" tanya Nadia bingung.
"Ti-tidak, Dek. Kita pulang sekarang."
"Hah, pulang? katanya sore. Masih pagi, Mas. Kita belom puas jalan-jalan."
"Gak Bisa Dek, aku harus pulang. Zahwa sakit."
Aku bergegas berganti pakaian. Tanpa mandi terlebih dahulu. Sengaja berbohong, dengan alasan anakku sakit. Tak mungkin, aku menceritakan yang sebenarnya. Nadia tahunya, aku sudah pisah rumah dengan Ela. Nadia hanya mengetahui bahwa rumah tanggaku tidak sehat, dan segera bercerai. Padahal, nyatanya, itu hanya ucapan palsu. Agar Nadia mau bersamaku.
"Ini kartu kredit aku, Dek. Kamu jalan-jalan sendiri saja, yah. Aku pamit pulang duluan."
"Tapi, Mas!"
Tanpa menghiraukan panggilannya. Aku sambar tas dan kunci mobil di atas meja. Tujuanku saat ini, hanya satu, yakni bertemu Ela. Aku harus menjelaskan semuanya. Meskipun aku mencintai Nadia, tetapi tak rela jika rumah tanggaku hancur.
Kasihan Zahwa. Putri tunggal kami yang sudah beranjak SMA kelas sebelas. Aku takut putriku akan menjadi korban dan frustasi jika rumah tanggaku berantakan. Sehingga, dia terjerumus pergaulan bebas. Aku akan mengutuk diriku sendiri, jika itu terjadi.
"Ela, buka pintunya sayang. Mas bisa jelaskan semuanya," teriaku panik.Sejak di jalan, nomer Zahwa dan Istriku tak bisa dihubungi. Apa mereka kabur? atau sudah mengadu pada orang tua dan mertuaku. Tidak, aku bisa digantung dipohon toge oleh bapak.
Apalagi, bapakku mantan pensiunan tentara angkatan darat. Dia pria yang setia pada ibu, dan sangat membenci pengkhianatan. Rasa cinta dan kesetiannya pada ibu, sama seperti pada negara. Dia rela bercucuran darah untuk membela kehormatannya.
"Ela, kemana kamu. Maafkan aku, hiks, hiks."
Aku terduduk lemas menyandar tembok. Sambil menutup wajah dengan penuh frustasi. Aku memang tidak mencintai Ela. Pernikahan kami hanya hasil perjodohan. Namun, tak kuasa menceraikannya. Takut membuat kecewa Zahwa dan Bapak. Andai, waktu bisa diulang, aku tak akan menyetujui pernikahan ini.
"Ayah," seru anakku.
Dua perempuan yang aku tunggu tengah berdiri tegak. Mereka menggunakan stelan baju olahraga. Memasang wajah dengan ekspresi yang tak bisa aku pahami.
"Mah, maafin ayah. Tolong dengerin penjelasan ayah, Mah."
Demi umur panjang, agar tidak habis di tangan Bapak. Aku rela bersimpuh di kaki Ela. Merengek bak anak kecil yang minta dibelikan lolipop.
"Ih, lepasin Ayah."
"Maaf Mah," ucapku memasang wajah memprihatinkan.
"Aku tak sudi. Lepaskan, jangan pegang kulitku yang mulus ini!" bentak Ela dengan kilat amarah.
Ela mendorong tubuhku sampai terjungkir. Baru kali ini dia bersikap kasar. Pasti karena story tadi.
"Hahaha, mamah aktingnya bagus. Kaya yang lagi viral di tok tok."
"Hahaha, bagus 'kan nak? mamah gitu."
Aku hanya mengernyitkan dahi mendengar pembicaraan mereka. Apa yang sedang mereka bahas? awalnya Ela begitu marah bak nenek gayung. Sekarang, dia berubah kegirangan seperti Ela yang biasa aku kenal.
"Ayah, maafin, ya. Lagian, ayah nangis-nangis gak jelas. Kaya kesambet mbak Kunti. Yang udah, mamah kerjain aja sekalian."
"Bangun ayah, udahan aktingnya. Kita haus abis olahraga ngepel komplek."
"Hust, bukan ngepel, tapi joging sayang."
"Eh, iya, hahaha."
Ela mengulurkan tangan. Sebagai tanda agar aku bangun. Dengan eskpresi bingung seperti orang kehilangan uang satu milyar, aku mulai bangkit.
"Mamah tidak marah?"
"Ayah ini kenapa sih? kesambet jin kantor? ko, nanyanya aneh."
"Iya, nih. Ayok, mah buat jus mangga. Ayah mah kurang minum Aqua. Jadi, oleng."
Ibu dan anak malah menertawaiku. Lalu, pergi meninggalkanku yang terbengong keheranan. Sebenarnya, aku yang error, atau mereka? aku yakin sekali, Ela membuka statusku. Apa dia tidak sengaja dan tidak memperhatikan stroy itu? atau .... ah, tidak mungkin Ela pura-pura tak tahu.
“Mah, ayok kita ke sana, Mah. Awa mau liat Mah," rengekku setelah Kak Fauzi menutup sambungan telepon."Iya, Wa. Kita pasti ke sana," jawab Mamah."Ya Allah, Nadia, hiks, hiks."Tangisan Ayah pecah. Bagaimana pun, Nadia pernah mengisi hatinya. Memberi suka duka. Pasti kabar ini cukup menekan batinnya."Sabar, Pak. Semua yang bernyawa pasti menemui kematian. Tugas kita yang masih hidup, hanya bisa mendoakan. Semoga segala Dosa Nayla dan Mbak Nadia bisa dimaafkan. Sehingga, dilapangkan kuburnya.""Aamiin," jawab aku dan Mamah.Wajah Mamah juga berubah murung. Aku bisa memahami perasaannya. Masa lalu tentang Nadia pasti berputar-putar memenuhi pikirannya. Ada rasa kecewa, tapi rasa kasihan jelas lebih besar. Mamah bukan tipe orang pendendam. Dia pasti ikut kehilangan Nadia. Begitu pula denganku. Perjalanan kehidupan yang aku lalui dengan hadirnya Nayla dan Kakaknya terus melintasi di kepala. Memang banyak kesan buruk yang membekas. Berusaha aku ikhlaskan, walaupun berat. Semampu diriku,
Pov Zahwa“Kak Fauzi ….”“Zahwa, bidadariku, bangunlah. Kakak ada di sini.”Tubuhku rasanya remuk. Sulit digerakan. Mata remang-remang. Aku seakan melihat keberadaan Kak Fauzi. Apa ini hanya halusinasi. Yang aku ingat, dia tidak bersamaku."Mamah ... Ayah ...."Perlahan aku bisa menatap sekitar dengan jelas. Mamah mengalirkan hujan di pipi. Dia memelukku erat. Bagaikan sudah bertahun-tahun baru bertemu. Begitu pula dengan Ayah. Mengelus kepala dengan mata berkaca-kaca. "Mah, Awa di mana?""Awa di rumah sakit, Nak. Sudah seminggu kamu gak sadarkan diri. Alhamdulilah, Awa bisa kuat melawan rasa sakit. Mamah sayang sama Awa. Cepat sehat Nak."Satu Minggu? selama itu aku tertidur lelap. Perlahan aku ingat-ingat kejadian terakhir sebelum tak sadarkan diri.Setelah mendapat pesan dari Nayla, aku segera datang ke lokasi. Sebelum itu, menelepon Fika untuk menyusul, dan membawa pasukan detektif Arya. Namun, ternyata aku dijebak. Tak ada orang di rumah reyot yang aku datangi. Aku terus mencari
POV FauziMulut ini tak henti melafalkan doa. Memohon pertolongan-Nya. Ruangan pengap, dengan pencerahan minim, jadi saksi bisu. Untukku bertaruh nyawa. "Hey, calon suamiku," sapa Nayla dengan seringai mengerikan.Mulutku dibekap kain yang dililitkan sampai belakang. Tangan dan kaki diikat kencang. Hanya mata yang bisa merespon kejahatan Nayla. Hati tak hentinya beristigfar. Tak menyangka, jika ada perempuan tak berperasaan seperti Nayla.Aku menyesal tidak mendengarkan penuturan Zahwa. Pujaan hatiku, yang malah diabaikan. Padahal, dia bicara sesuai kenyataan. Aku yang terlalu bodoh. Tidak menaruh sedikitpun rasa curiga pada Nayla.Memang kita tidak boleh berprasangka buruk kepada sesama manusia. Namun, berwaspada juga penting. Membela diri sendiri merupakan hal yang diharuskan dalam agama. Dari sini aku belajar. Supaya, tetap berhati-hati menghadapi setiap manusia dengan isi hati yang sulit dipahami.Manusia bukan hanya diciptakan dari tanah. Namun, ada amarah bagai api yang tersimp
"Zahwa!""Mah, Kak Fauzi, hiks, hiks."Aku menangis di lantai. Kepala diletakan di sofa. Tubuh tak ada tenaga. Mengingat nasib Kak Fauzi. Aku tau, Nayla memang mencintainya. Tak mungkin menyakitinya. Namun, kalau Kak Fauzi dijebak, lalu disuruh menikahi Nayla, bagaimana denganku?"Tenang, putri Ayah. Kita pasti bisa menyelamatkan Fauzi."Ayah merangkul tubuhku. Untuk duduk di sofa. Aku sandarkan beban ini padanya. Mamah ikut memelukku. Raut khawatir juga tergambar jelas di wajahnya."Arya, apa Nayla sama sekali tidak meninggalkan jejak?""Tidak ada Pak Ilyas. Kami kehilangan jejaknya. Ponselnya juga tidak bisa dilacak. Sulit menemukan keberadaannya. Tapi tenang, saya dan para polisi, sedang berkeliling daerah sini. Mencari keberadaan Fauzi.""Om Arya, tolong temukan Kak Fauzi, hiks, hiks.""Insyalloh, Wa. Om akan berusaha semaksimal mungkin."Air hujan di pipi, tak henti menetes. Perasaanku bagai daun berguguran di musim semi. Kering kerontang. Layu, dan tak ada energi keceriaan.Mama
POV ZahwaKak Fauzi jahat. Dia bilang cinta. Mau melamarku jadi istrinya. Dulu saja, ketika aku terjebak narkoba, dia yang paling percaya aku bisa keluar dari benda haram itu. Namun, kenapa sekarang tidak? Nayla dan Nayla lagi yang dibela. Padahal, bukan aku yang melukainya. Pasti nenek lampir itu gila. Dia yang melukai dirinya sendiri."Sabar ponakan Aunty. Kita belum kalah.""Tapi Aunty, hati Awa rasanya cenat cenut. Sakit banget.""Hahaha, Aunty paham. Tenanglah, kita dan Fika bukankah sudah mengatur strategi?""Iya, sih, tapi ....""Hust, ada yang sedang mengawasi."Aunty menarikku ke lorong lain dari rumah sakit. Bukan jalur pulang. Lalu, kami bersembunyi di ruang praktek dokter. Untung, ruangannya kosong. Dari balik kaca, aku bisa melihat ada dua preman yang sedang celingukan. Mereka pasti mencari kami."Hati-hati. Aunty yakin, Si Nayla punya rencana jahat untuk kita.""Rencana jahat apa, Aunty?""Ya, mana Aunty tahu.""Yah, gimana dong. Mau sampe kapan kita di sini." "Sabar, A
Kenalkan, namaku Nayla. Kakakku adalah Nadia. Seorang perempuan yang hidupnya di porak porandakan keluarga Ilyas dan Ela. Dua tahun lalu, ketika tahu kakakku masuk rumah sakit jiwa, napas rasanya tercekat. Raga tersesat. Dunia seperti kiamat.Akibat kejahatan keluarga Ilyas. Tanggung jawab keluarga pindah ke pundakku. Biasanya, keluargaku mengandalkan uang Kak Nadia. Ibu yang sakit-sakitan terpaksa tidak bisa berobat. Bapak hanya seorang pengangguran. Keluarga kami miskin dan menderita ketika Kak Nadia gila. Aku yang belum siap dengan permasalahan yang pelik ini, hanya bisa menangis setiap malam. Menahan perut yang kelaparan. Di tambah lagi menyaksikan kedua orangtuaku harus menahan penyakit, dan lapar diusia senja. Kondisi saat itu, merupakan keadaan paling buruk yang pernah aku rasakan.Aku pernah mengunjungi rumah Ilyas. Meminta bantuan pada mereka. Namun, aku malah diusir oleh ibunya Ilyas. Sedangkan kakak iparku itu, sama sekali tidak peduli. Dia kabur ke luar negeri. Tidak melih