"A-APA??? Sean??!"
Anneth menarik nafas panjang. "Bisa kecilkan suaramu tidak? Di sini bukan hutan, tapi kantor. Seperti tarzan saja kau!"
Sofia meringis. Dia kembali duduk setelah disindir mirip tarzan yang suka berteriak di hutan. Sambil menatap Anneth yang terlihat kesal, Sofia berdehem pelan. "Ekhmmmm. Ann, kau tidak salah mengenali orang, kan?"
"Jadi menurutmu aku ini buta?"
"Bukan begitu, astaga. Maksudku kau yakin kalau pria itu adalah Sean?"
"Kalau bukan dia lalu siapa? Tidak mungkin Tuhan menciptakan manusia yang serupa lengkap dengan kelakuan mesumnya selain Sean." Anneth menekan pinggiran kepalanya, menyandarkan badan ke sofa kemudian menatap langit-langit ruangan. "Aku tak pernah menyangka kalau laki-laki yang ingin dijodohkan denganku adalah dia. Fakta ini membuatku seperti sedang terjebak di dunia mimpi. Sulit untuk dipercaya."
"Lalu rencanamu a
Anneth mendesah tertahan ketika Sean menghisap kuat kulit lehernya. Posisi mereka cukup intim di mana Anneth benar-benar duduk tepat di atas gundukan junior milik Sean."Ahhhhhhh," ....(So seksi .... )"Lepaskan saja, Hon. Jangan ditahan," bisik Sean sambil menelan ludah. Dia hampir gila hanya dengan mendengar suara desahan Anneth. Kelewat seksi, membuat tubuhnya seperti terbang melayang. "Kau seperti heroin, Hon. Suara desahanmu membuatku candu. Bagaimana ini?""K-kalau begitu hentikan," sahut Anneth setengah berbisik. Sayangnya respon tubuh tidak sesuai dengan kata yang terucap keluar. Bibir berkata agar berhenti, tapi tangan masih melingkar di leher pria yang tengah membuatnya terbuai sentuhan."No, tidak akan. Aku suka menjadi gila. Begitu juga dengan dirimu. Kau ingin sentuhan yang lebih dari ini, bukan?""Jangan gila, Sean. Ini
"Mau sampai kapan kau menggangguku?" tanya Oliver. Dia tak henti menghela nafas panjang sambil menatap pria aneh yang sedang duduk di hadapannya. "Ini sudah hampir satu jam, Sean. Apa maumu sebenarnya?"Sean masih enggan membuka mulut. Pikirannya jauh menerawang. Menerka gerangan apa yang membuat calon istrinya menggumamkan kata penuh amarah saat mereka tidur bersama."Ayolah, Arsean. Jangan samakan aku dengan dirimu yang tidak terbebani dengan pekerjaan. Aku bisa gagal menikahi Sofia kalau kau menghambat waktu kerjaku. Tolonglah. Ya?""Siapa orangnya?""Hah?""Siapa orang yang telah lancang menyakiti calon istriku hingga meninggalkan luka mendalam di hatinya?" ucap Sean. Sedetik setelah itu dia mengusap dagu bawahnya, masih penasaran dengan apa yang terjadi. "Tidak mungkin Anneth pernah menjadi korban pelecehan. Aset-aset di tubuhnya masih begitu kencang dan juga kenyal. A
Ding dongSuara bel mengalihkan perhatian Anneth yang tengah asik dengan pekerjaannya. Dia menoleh, menatap sekilas ke arah pintu apartemen. Dari reaksinya, dia seperti enggan membukakan pintu untuk orang yang datang berkunjung. Mungkin orang salah kamar. Biasalah, mabuk.Ding dongSuara bel kembali terdengar saat Anneth tak kunjung membuka pintu. Sepertinya tamu yang datang begitu gigih ingin agar mereka bertemu. Karena setiap kali Anneth abaikan, orang tersebut akan kembali menekan bel. Hal ini tentu saja membuat si pemilik kamar menjadi kesal. Anneth meletakkan pena ke atas meja lalu mendengus kasar."Manusia mana yang tidak tahu diri bertamu di jam sepuluh malam? Heran!" gerutu Anneth sembari beranjak dari duduknya. Penampilannya cukup sederhana dengan hanya memakai kaos kebesaran disertai dengan hotpants pendek berwarna hitam. Rambutnya yang hitam panjang diikat kuncir kuda. Tak lupa
"Boleh bergabung, Nona?"Sebuah suara membuyarkan lamunan Anneth, wanita cantik berusia tiga puluh tahun yang sedang duduk sendirian di sebuah cafe. Dia acuh, enggan merespon seseorang yang meminta izin untuk duduk di meja yang sama dengannya. "Kopi baru bisa dinikmati setelah diseduh dengan air panas. Akan tetapi kenapa kopi satu ini terasa dingin sekali ya? Padahal uap panasnya masih terlihat. Aneh," ucap Sean seraya mengulum senyum. (Menarik. Aku suka wanita cuek dan dingin seperti Nona ini. Biasanya mereka akan sangat ganas jika sudah naik ke atas ranjang. Hmmm.) "Duduklah jika ingin. Pergi jika hanya untuk membual. Aku benci bicara dengan orang asing!"Tatapan Anneth tertuju pada pria yang dengan tidak tahu malunya langsung duduk begitu dia membuka suara. Pria penggoda, itu kesan yang Anneth tangkap saat ini. Dan itu sangat menjijikkan. "Sean!"Arsean Sinclair, pria dengan usia matang yang kini genap berumur tiga puluh empat tahun. Sejak usia belasan dia telah menetap di luar
Tok tok tokAnneth membuang nafas kasar. Kesal karena ada yang mengganggunya. Sambil melepas kaca mata yang bertengger di mata, dia mempersilahkan si pengganggu untuk masuk ke dalam ruangan. Ceklek"Apa aku mengganggu?" tanya Sofia seraya menampilkan cengiran khas di bibir. Dan cengirannya bertambah semakin lebar saat di empunya ruangan menatapnya dengan pandangan tajam. Sudah biasa. "Kalau tidak penting sebaiknya kau pergi saja dari sini. Dasar pengganggu!" omel Anneth ketika Sofia, sahabatnya, berlenggak-lenggok dengan tampang yang sangat menyebalkan masuk ke dalam ruangan. Sebelah alisnya terangkat ke atas saat Sofia dengan santainya duduk di pinggiran meja sambil bersilang kaki. "Sudah bosan punya kaki? Iya?""Ck, ayolah, Ann. Jangan segalak ini pada sahabatmu sendiri. Aku bukan musuhmu. Okey?" sahut Sofia sambil memutar bola matanya. Jengah. "Kalau memang benar kau adalah sahabatku lalu kemana perginya sahabat itu ketika aku sedang membutuhkan?"Sofia meringis. Kini dia tahu p
Setibanya di klab, Anneth dan Sofia langsung memesan meja. Mereka memilih untuk duduk di meja yang tak jauh dari bartender. Agar mudah memesan minuman. Begitu pikirnya. "Malam ini ramai sekali. Seseorang sedang membuat acarakah?" tanya Sofia pada seorang waiters yang datang mendekat. "Benar, Nona. Ada yang membooking klab ini untuk merayakan kepulangannya dari luar negeri.""Ouwh, begitu ya. Pantas saja pengunjungnya kebanyakan berasal dari kalangan orang-orang kaya. Ternyata bos yang sedang menggelar acara."Anneth sama sekali tak tertarik dengan pembicaraan antara Sofia dengan waiters. Baginya sama saja mau klab ini ramai atau tidak. Dia tetap kesepian. "Nona, kau ingin pesan minuman apa?""Apa saja. Yang penting kadar alkoholnya tidak terlalu tinggi," jawab Anneth dingin. Dia lalu menghela nafas panjang saat mendengar suara cekikikan Sofia yang bercampur dengan dentuman musik dj. "Kau jangan macam-macam, Sof. Aku masih harus menyetir mobil saat pulang nanti. Kau tidak mau kita m
ByurrrAnneth membasuh wajahnya dengan air dingin hingga beberapa kali. Sungguh, dia benar-benar kesal sekarang. Bisa-bisanya dia bertemu dengan pria menyebalkan yang siang tadi mengganggu me time-nya saat berada di cafe. "Apa aku perlu melakukan ritual buang sial supaya dijauhkan dari laki-laki seperti Sean ya? Melihat caranya menatapku membuatku sangat ingin mencolok biji matanya," geram Anneth sadis. Dia lalu mengembuskan nafas kasar, sekali lagi membasuh wajahnya supaya lebih segar. "Ck, menjengkelkan."Belum juga hilang kekesalan di diri Anneth, ponsel di dalam tasnya berdering. Segera dia melihat siapa yang menelpon. Siapa tahu penting. "Ibu?" Anneth menarik nafas. Dia berusaha untuk tenang sebelum menjawab panggilan dari sang ibu. "Halo, Ibu. Ada apa?"["Ann, kau di mana? Sekarang Ibu sedang berada di apartemenmu, tapi kosong. Apa kau masih berada di perusahaan?"]"Tidak, Ibu. Aku sedang di luar bersama Sofia," jawab Anneth dengan lembut.["Oh, begitu. Ya sudahlah tidak apa-a
"Mau sampai kapan kau main-main begini, Sean? Lupa ya kalau kau itu sudah tua? Perlu dituliskan di kening tidak berapa usiamu sekarang?"Tepat ketika waktu menunjukkan pukul tiga dini hari, Sean akhirnya sampai di rumah. Dan begitu dia masuk, sebuah ejekan langsung menyapa indra pendengarannya. Siapa lagi pelakunya kalau bukan wanita cantik yang telah berbesar hati melahirkannya ke dunia ini. Nyonya Sinclair, Safina. "Jangan diam saja. Cepat jawab Ibu!" sentak Safina sambil berkacak pinggang. "Bu, ayolah. Sekarang jam tiga pagi, bisa tidak marah-marahnya ditunda besok saja?" sahut Sean dengan santainya. Dia kemudian terbatuk saat tenggorokannya terasa kering. "Uhh, alkohol di negara ini tidak sebaik di tempat tinggalku dulu. Alangkah baiknya jika aku bisa kembali lagi ke sana. Hmmm,"Rasa-rasanya kepala Safina seperti mendidih saat mendengar perkataan putra semata wayangnya. Kesal, dia melepas alas kaki lalu dilemparkan ke arah pria bengal yang malah tertawa melihatnya murka. "Ckck