Share

Bab 4

Byurrr

Anneth membasuh wajahnya dengan air dingin hingga beberapa kali. Sungguh, dia benar-benar kesal sekarang. Bisa-bisanya dia bertemu dengan pria menyebalkan yang siang tadi mengganggu me time-nya saat berada di cafe. 

"Apa aku perlu melakukan ritual buang sial supaya dijauhkan dari laki-laki seperti Sean ya? Melihat caranya menatapku membuatku sangat ingin mencolok biji matanya," geram Anneth sadis. Dia lalu mengembuskan nafas kasar, sekali lagi membasuh wajahnya supaya lebih segar. "Ck, menjengkelkan."

Belum juga hilang kekesalan di diri Anneth, ponsel di dalam tasnya berdering. Segera dia melihat siapa yang menelpon. Siapa tahu penting. 

"Ibu?" Anneth menarik nafas. Dia berusaha untuk tenang sebelum menjawab panggilan dari sang ibu. "Halo, Ibu. Ada apa?"

["Ann, kau di mana? Sekarang Ibu sedang berada di apartemenmu, tapi kosong. Apa kau masih berada di perusahaan?"]

"Tidak, Ibu. Aku sedang di luar bersama Sofia," jawab Anneth dengan lembut.

["Oh, begitu. Ya sudahlah tidak apa-apa. Tadinya Ibu ingin membicarakan hal penting denganmu, tapi karena kau sedang tidak ada di rumah kapan-kapan saja Ibu baru mengatakannya padamu. Tidak apa-apa, kan?"]

Kedua mata Anneth terpejam erat setelah diberi tahu kalau sang ibu ingin membicarakan hal penting dengannya. Tanpa harus disebutkan, Anneth bisa langsung menebak hal penting apa yang ingin disampaikan padanya. Dia lalu berlapang dada meminta ibunya agar lanjut berbicara. 

"Katakan saja sekarang, Bu. Biar nanti malam aku bisa memikirkannya sebelum tidur."

["Apa tidak apa-apa kalau Ibu bicara lewat telepon?"]

"Tidak apa-apa, Ibuku sayang. Akukan putri Ibu, kenapa musti sungkan," sahut Anneth seraya tersenyum tipis. Dia tahu ibunya merasa tak enak hati, tapi tidak mungkin juga Anneth menolak untuk mendengarkan. Jadi ya sudahlah. Dibicarakan lebih cepat itu akan semakin baik. Toh inti pembicaraannya akan sama saja mau disampaikan sekarang atau besok. 

["Em begini, Ann. Sekarang usiamu sudah tiga puluh tahun. Sudah waktunya untuk kau membangun rumah tangga. Ibu tidak tega melihatmu berjuang sendirian mengurus perusahaan, jadi Ibu pikir akan jauh lebih baik kalau kau mencari pendamping yang bisa membantu meringankan beban di pundakmu. Kau mengerti apa maksud Ibu, kan?"]

Untuk beberapa saat Anneth sempat terdiam. Dia tentu mengerti kalau sang ibu tengah mengatur perjodohan untuknya. 

["Ann, Ibu bukan memaksa. Ibu hanya ingin melihatmu bahagia lagi seperti dulu. Tolong jangan marah ya?"]

"Ya ampun, Ibu. Aku diam bukan karena aku marah, tapi aku diam karena sedang berpikir. Ibu pasti tahu bukan kalau aku tak pernah menjalin hubungan dengan siapapun setelah kejadian itu? Jadi sekarang aku sedang bingung menentukan pria mana yang harus aku nikahi. Begitu," sahut Anneth sambil tersenyum kecut. Berpura-pura santai ternyata rasanya tidak enak sekali ya, tapi apa daya. Demi agar ibunya tidak merasa bersalah Anneth harus rela menunjukkan sikap tenang seperti sekarang. 

["Kalau kau tidak keberatan mau tidak Ibu kenalkan dengan anak dari teman Ibu? Anaknya sangat sopan dan juga pintar. Dia belum lama kembali dari luar negeri dan langsung menggantikan posisi suami teman Ibu di perusahaan mereka. Bagaimana? Kau mau tidak?"]

"Apa Ibu yakin pria itu bukan bajingan?"

["Ibu sangat yakin, sayang. Ibu berani mengatakannya padamu karena kami sudah bertemu. Dan seharusnya sih dia adalah pria baik-baik."]

"Aku terserah Ibu saja bagaimana baiknya. Jika menurut Ibu dia pantas untuk menjadi suamiku, maka aku memilih patuh. Selama itu bisa membuat Ibu bahagia, aku tidak akan melawan."

["Kau yakin?"]

"Iya, Ibu."

["Ya sudah kalau begitu Ibu akan mengatur pertemuan kalian. Kau dan Sofia jangan pulang malam-malam ya. Tidak baik wanita cantik seperti kalian berada di luar rumah tanpa ada pengawalan. Ibu tutup panggilan ini dulu. Kalian bersenang-senanglah."]

"Iya, Ibu."

Anneth memasukkan ponsel ke dalam tasnya kemudian mengembuskan nafas dengan kuat. Lagi-lagi ibunya menuntut agar dia segera menikah. Memang tidak ada salahnya sih, tapi entah mengapa rasanya sungguh malas sekali jika harus terlibat dengan yang namanya laki-laki. Anneth masih terluka. Dan luka itu membuatnya mati rasa. 

"Semoga saja saat pertemuan nanti laki-laki itu menolak untuk menikah denganku," gumam Anneth penuh harap. Dia lalu melangkah gontai saat keluar dari dalam kamar mandi. 

Dan ketika Anneth sampai di luar, dia dikejutkan oleh keberadaan seorang pria yang tengah menyender di tembok sambil bersedekap tangan. Sontak keberadaan pria ini membuat kekesalan Anneth kian bertambah. Malas meladeni, Anneth berjalan melewatinya begitu saja. Dia muak. 

"Apa kau selalu bersikap sedingin ini pada semua laki-laki?" tanya Sean agak kesal saat keberadaannya tidak dianggap. Dia bergegas menyusul Anneth kemudian berjalan di sampingnya. "Atau hanya padaku saja kau bersikap acuh, hm?"

"Bukan urusanmu!" sahut Anneth cetus. 

"Memang."

Sean tersenyum. Mencoba melunak demi agar wanita ini tidak terus memberontak. Ah, benar-benar sangat menarik. Sungguh. Sulit untuk dijelaskan. 

"Menjauhlah dariku. Kau membuatku muak, Sean!" sergah Anneth jengah saat pria ini terus menempel padanya. Ingin rasanya Anneth memukul kepalanya, tapi tak mungkin dia lakukan. Kenapa begitu? Karena Anneth tahu kalau Sean bukan pria dari keluarga biasa. Walau tak terlalu memperhatikan, tapi Anneth tahu kalau semua barang yang melekat di tubuh Sean merupakan barang-barang dengan harga yang sangat mahal. Dan bisa saja Sean adalah salah satu putra dari taipan yang ada di negara mereka. Jadi dia tak boleh asal. 

"Beritahu dulu apa alasan kau begitu membenciku. Bukankah sebelumnya kita tidak saling kenal?" tanya Sean semakin penasaran. Penolakan wanita ini membuat otaknya seperti akan gila. Sangat aneh. 

"Tidak perlu alasan apapun untuk aku membencimu. Pergilah. Jangan ganggu aku!" jawab Anneth lirih. 

Sreett

Hampir saja Anneth berteriak kencang karena terkejut saat tangannya ditarik kuat. Dalam beberapa detik mulut Anneth hanya bisa terkatup rapat saat matanya beradu pandang dengan mata Sean. Posisinya sekarang sedang berada di pelukan pria ini. Bajingan, bukan? Ya, sangat. 

"Why, Ann? Tell me why!" desak Sean penuh rasa ingin tahu. 

"Lepas!"

"No!"

"Aku bilang lepas, Sean!!"

Suara teriakan Anneth berhasil menyita perhatian beberapa orang yang sedang lewat. Kesempatan itu digunakan Anneth untuk melepaskan diri dari pelukannya. 

"Kau benar-benar brengsek, Sean. Jangan pernah lagi kau muncul di depan mataku!" amuk Anneth berapi-api. 

"Ya, kau benar. Aku memang brengsek, tapi aku tidak sebrengsek yang kau pikir!" sahut Sean dengan santai menyanggah umpatan Anneth. Tangannya kemudian bergerak mengusap bibir, dia masih didera rasa penasaran yang begitu hebat. "Beritahu dulu alasan kenapa kau begitu dingin terhadapku. Jika alasanmu masuk akal, aku berjanji tidak akan mengganggumu lagi. Oke?"

Mata Sean tampak menyipit saat dia mendapati ada gelagat yang mencurigakan di diri Anneth. Wanita ini terlihat gelisah dan juga bingung. Apa yang terjadi?

"Ann, you okay?"

"Jangan bicara denganku lagi. Kau menjijikkan!"

Setelah berkata seperti itu Anneth langsung pergi dari hadapan Sean. Jujur, saat ini telapak tangannya sudah mengeluarkan keringat dingin. Bayangan menjijikkan itu tiba-tiba melintas dalam ingatan saat Sean mengakui kalau dirinya adalah pria brengsek. 

Sofia berjengit kaget saat Anneth tiba-tiba memeluknya. Penasaran, dia segera menanyakan ada apa. Namun, Sofia harus berpuas diri dengan hanya mendapat jawaban berupa gelengan kepala dari wanita ini.

(Ada apa ya? Apa saat ke kamar mandi tadi ada kejadian yang membuat Anneth jadi ketakutan begini? Aneh sekali.) 

***

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status