Setibanya di klab, Anneth dan Sofia langsung memesan meja. Mereka memilih untuk duduk di meja yang tak jauh dari bartender. Agar mudah memesan minuman. Begitu pikirnya.
"Malam ini ramai sekali. Seseorang sedang membuat acarakah?" tanya Sofia pada seorang waiters yang datang mendekat.
"Benar, Nona. Ada yang membooking klab ini untuk merayakan kepulangannya dari luar negeri."
"Ouwh, begitu ya. Pantas saja pengunjungnya kebanyakan berasal dari kalangan orang-orang kaya. Ternyata bos yang sedang menggelar acara."
Anneth sama sekali tak tertarik dengan pembicaraan antara Sofia dengan waiters. Baginya sama saja mau klab ini ramai atau tidak. Dia tetap kesepian.
"Nona, kau ingin pesan minuman apa?"
"Apa saja. Yang penting kadar alkoholnya tidak terlalu tinggi," jawab Anneth dingin. Dia lalu menghela nafas panjang saat mendengar suara cekikikan Sofia yang bercampur dengan dentuman musik dj. "Kau jangan macam-macam, Sof. Aku masih harus menyetir mobil saat pulang nanti. Kau tidak mau kita mati muda, kan?"
"Haih, baiklah-baiklah. Kau buatkan saja minuman seperti yang diminta oleh Nona batu es ini. Jangan campurkan apa-apa ke dalamnya ya?" ucap Sofia sembari mengedipkan mata pada waiters. Tadinya dia berniat mengerjai Anneth, tapi sialnya malah ketahuan lebih dulu. Jadi ya sudah, gagal rencananya.
"Baik, Nona. Permisi."
Sepeninggal waiters, Sofia terus memperhatikan Anneth. Meskipun mereka sudah bersahabat sedari lama, tapi sampai detik ini Sofia masih sulit memahami apa yang sedang dipikirkan oleh wanita cantik ini. Anneth menjadi sangat tertutup setelah melihat tunangannya tidur dengan wanita lain. Bersamaan dengan itu Anneth juga harus menelan kenyataan pahit di mana ayahnya meninggal dalam kecelakaan mobil. Sejak saat itu Sofia tak pernah lagi melihatnya tersenyum lepas. Padahal dulu Anneth adalah gadis yang periang dan juga menyenangkan.
(Apa aku minta Oliver mencarikan jodoh saja ya untuk Anneth. Aku tidak rela jika harus melihatnya menua karena beban pekerjaan yang tidak ada habisnya.)
"Jangan memandangiku seperti itu. Aku wanita normal kalau kau mau tahu!" ucap Anneth dengan suara yang cukup kuat saat musik semakin keras berdentum.
"Hehehe, tahu saja kalau aku sedang mengagumimu," sahut Sofia. Dia meringis, menampilkan deretan giginya yang putih bersih saat Anneth menatap penuh curiga. "Ayolah, Ann. Jangan kaku begini. Apapun yang kupikirkan adalah demi kebaikanmu. Kau sahabatku, sudah sepantasnya untuk aku resah memikirkan masa depanmu. Tahu?"
"Sok peduli!"
"Ck, aku serius."
"Lalu aku harus berterima kasih padamu begitu?"
"Setidaknya jangan menolak saat aku mengatur kencan buta untukmu!"
"Gila!"
Sofia tertawa. Tubuhnya mulai bergoyang saat dj memainkan musik yang asik. Anneth yang melihat kelakuan sahabatnya pun hanya diam membiarkan. Toh memang inilah yang akan terjadi jika berada di klab malam.
"Permisi Nona-Nona, boleh bergabung?"
Karena kecantikan Sofia dan Anneth cukup mencolok, membuat perhatian seorang pria tertuju pada mereka. Dia lalu memutuskan untuk menghampiri keduanya. Bermaksud ingin mengajaknya berkenalan.
"Oh wow, kau tampan sekali, Tuan!" pekik Sofia seraya menutup mulut. Mimpi apa dia bisa di hampiri oleh pria setampan ini. Ya ampun.
"Terima kasih untuk pujiannya, Nona. Dan kau juga sangat cantik dengan gaun itu. Beautiful in blue."
"Thanks. Matamu cukup jeli untuk membedakan mana wanita cantik dan mana wanita yang sangat cantik. Hehehe,"
Walau tidak saling kenal, nyatanya Sofia dan pria ini bisa langsung akrab bak teman dekat. Anneth yang tak tertarik akan kehadiran pria tersebut hanya diam saja. Malas. Karena di mata Anneth semua pria itu sama. Sama-sama bajingan.
"Ekhmmm, ngomong-ngomong siapa wanita cantik ini, Nona?"
"Dia sahabatku." Sofia mengulurkan tangan. "Kita belum saling bertukar nama. Rasanya agak aneh jika kita mengobrol tanpa mengenalkan diri masing-masing. Right?"
"Yap, aku setuju."
"Sofia. Sofia Wilbert."
Sebelah alis pria itu nampak tertarik ke atas begitu mendengar nama lengkap Sofia. Tak lama setelahnya dia mengulum senyum, tak asing dengan wanita ini.
"Namamu?" tanya Sofia.
"Arsean. Kau bisa memanggilku Sean," jawab Sean sambil terus melirik wanita yang sejak tadi hanya diam saja.
(Kita bertemu kembali, Nona. Sepertinya jodoh.)
Begitu mendengar nama Sean, pandangan Anneth langsung tertuju pada pria tersebut. Di detik selanjutnya Anneth dibuat jengkel karena ternyata pria ini adalah benar pria yang mengganggunya di cafe siang tadi. Benar-benar malam yang sangat sial. Huh.
"Kau!"
"Halo Nona, kita bertemu lagi," ucap Sean sembari memamerkan senyum terbaiknya. Ah, wanita ini benar-benar yang paling cantik dari sekian wanita yang di temui di negara ini. Bagaimana cara mendapatkannya? Sean penasaran.
"Cihhh, sial sekali!" ucap Anneth mengumpat pelan.
"Sean, Anneth. Kalian saling kenal?" tanya Sofia sambil menatap bergantian pada dua orang dihadapannya. Kaget sekali dia saat mengetahui hal ini. Sungguh.
"Aku tidak mengenalnya. Dan juga tidak berniat untuk mengenalnya. Jangan sampai salah mengucapkan!" jawab Anneth cetus. Mendadak moodnya rusak setelah bertemu dengan pria bernama Sean ini.
Alih-alih merasa tersinggung, dengan berani Sean malah bergeser duduk agar lebih dekat dengan Anneth. Ekor matanya bergerak menelusuri wajah wanita ini yang entah kenapa terlihat begitu sempurna. Anneth luar biasa, itu yang Sean pikirkan.
"Jadi namamu Anneth ya? Nama yang cantik. Sama seperti orangnya," puji Sean mulai menebar rayuan.
"Perhatikan matamu, Tuan. Aku tidak seramah yang kau pikir!" sahut Anneth langsung mengirim ancaman.
"Owhh, kau benar-benar liar, Anneth. Tapi aku suka. Di mataku kau terlihat seperti seekor jaguar yang sangat manis. Aku suka!"
"Dasar sinting!"
Jengkel akan sikap Sean, Anneth memilih untuk pergi saja. Namun langkahnya terhenti saat Sofia menarik tangannya kuat.
"Mau kemana?" tanya Sofia.
"Ke kamar mandi. Aku muak melihat wajahnya," jawab Anneth seraya melirik ke arah Sean.
"Abaikan saja. Nanti dia juga pergi sendiri."
"Jadi kau mau melihatku buang air kecil di sini?!"
Sofia meringis mendengar omongan cetus Anneth. Segera dia melepaskan tangan dan membiarkannya pergi ke kamar mandi.
"Galak sekali ya temanmu itu. Tapi jujur, Anneth sangat cantik. Wanita tercantik yang pernah kulihat di negara ini," ucap Sean sambil mengusap dagu bawahnya.
"Jadi menurutmu aku tidak cantik begitu?" protes Sofia seraya memicingkan mata.
"Tentu saja kau sangat cantik, Sofia. Tapi tetap saja Anneth yang lebih menarik."
"Hmmm, mulutmu benar-benar sangat manis, Sean. Aku jadi takut akan terkena penyakit diabetes jika terlalu sering bicara denganmu."
Tak lama setelah itu pandangan Sofia tiba-tiba berubah menjadi datar. Bodohlah dia jika masih tidak mengetahui kalau pria ini mengincar sahabatnya. Meski begitu, Sofia tak berniat mengusir Sean pergi dari mejanya. Cukup menyenangkan juga untuk dijadikan teman bicara. Jadi Sofia memutuskan memberi peringatan dengan cara yang berkelas.
"Sean, kau tahu tidak kenapa barang murah disukai banyak orang?" tanya Sofia kemudian tersenyum saat waiters membawakan minuman miliknya. "Thank's!"
"Tentu saja karena mudah didapat. Apalagi memangnya," jawab Sean santai.
"Lalu kau tahu tidak mengapa barang limited edition selalu menjadi rebutan?"
"Karena kualitasnya adalah yang terbaik. Juga karena tidak semua orang bisa memiliki."
"Itulah Anneth, sahabatku!"
Ekpresi jenaka yang tadinya menghiasi wajah Sean langsung berganti menjadi ekpresi serius saat dia menyadari kalau Sofia tengah menebar peringatan. Namun hal tersebut tak membuat Sean merasa tersinggung. Yang ada dia malah semakin penasaran pada wanita bernama Anneth itu. Ada apa gerangan sehingga membuat Sofia berani memberi peringatan di saat mereka sendiri baru saling kenal? Hmmm, ini menarik.
"So, what do you want?"
"Just have fun. Okey?"
"Ya baiklah. Tapi maaf, Sofia. Aku harus menyapa temanku dulu di sana. Tidak apa-apa, kan?"
"Silahkan saja. Santai," sahut Sofia sambil mengedipkan sebelah mata. Dia lega karena Sean bisa menghargai peringatan tanpa harus ada percekcokan. Pria itu cukup gentel. Setidaknya itu kesan yang Sofia lihat sekarang.
Setelah balas mengedipkan mata, Sean berlalu pergi dari hadapan Sofia. Akan tetapi dia bukan menemui temannya, melainkan pergi menyusul seseorang yang telah membuat jiwa penasarannya bangkit di tengah-tengah gempuran musik dj yang begitu kuat.
(Semakin aku dilarang, maka aku akan semakin tertantang. Dan kau Nona Anneth, bersiaplah. Aku akan mengejarmu mulai sekarang. Haha.)
***
Sean fokus membaca informasi yang dibawakan oleh orang suruhannya. Dia yang begitu penasaran akan kemunculan Maya alias Melinda, tak kaget begitu mengetahui motif wanita itu."Ingin menjadikanku tempat pelarian?" Sean menyeringai. "Mimpi. Kau terlalu jauh berkhayal, Mel. Aku tak sehina itu untuk kau jadikan tempat persinggahan."Wina diam tak bereaksi mendengar ucapan atasannya. Dia hanya diam-diam menebak ejekan tersebut ditujukan pada wanita yang kemarin datang ke kantor. Ini adalah kali pertama, dan besar kemungkinan akan adalagi wanita lain yang datang berkunjung. Hmmm, nasib menjadi sekertaris dari seorang mantan Casanova. Harus rela menghadapi jejeran wanita yang pernah menjadi pasangan one night stand pria tersebut."Meski aku bukan seorang cenayang, aku tahu kau sedang memikirkan hal buruk tentang diriku. Benar?""Anda terlalu pandai menilai seseorang, Tuan." Wina tak menampik. Dia hanya tersenyum kecil karena ketahuan sedang membatin."Itulah aku. Dan terkadang aku sedikit me
Tok tok tok"Selamat siang, Tuan Arsean. Ada tamu yang ingin bertemu dengan Anda." Wina melapor. Dengan sabar dia menunggu saat atasannya acuh akan apa yang disampaikan. Salah satu tabiat buruk yang kini menjadi makanan sehari-hari sejak pemilik perusahaan berganti orang."Tuan Arsean?""Hmm, kau sangat mengganggu, Win." Akhirnya Sean merespon. Dia menarik napas dalam-dalam kemudian berbalik menatap wanita cantik yang telah mengacaukan fantasi liarnya. "Sayang sekali kau adalah sekertaris pilihan ayahku. Jika bukan, aku pasti sudah menyeretmu ke ranjang sebagai bentuk hukuman. Tahu?""Anda terlalu berlebihan, Tuan. Orang seperti saya mana mungkin pantas berada di ranjang yang sama dengan anda," sahut Wina santai. Selain mempunyai perangai yang buruk, atasannya ini juga lumayan mesum."Kenapa tidak? Bukankah kau normal?""Tentu saja iya,""Kalau begitu apanya yang tidak pantas? Jangan terlalu naif, Wina. Aku tahu betul ucapanmu tak sinkron dengan isi hatimu. Benar tidak?"Wina hanya te
"Ann, coba kau pikirkan sekali lagi. Aku tidak mau sahabat ku menjadi janda hanya karena sebuah perjodohan. Itu tidak lucu!""Terserah kau mau bicara apa. Aku tidak peduli.""Tapi aku peduli. Apalagi kalau kau menjadi jandanya Sean. Otomatis kau akan menjadi lebih kaya lagi. Aku tidak mau orang-orang mengejarmu yang berstatus sebagai janda kaya raya. Itu mengerikan."Fokus Anneth terpecah setelah mendengar ocehan Sofia yang tidak masuk akal. Dia lalu mendengus, kesal. Untung sahabat. Kalau bukan, Anneth pasti sudah merujaknya sejak tadi. Benar-benar membuang waktu saja."Oke, aku tahu alasan dibalik kau menerima perjodohan ini adalah karena demi kesehatan Bibi Merly. Tapi Ann, pernikahan tanpa cinta itu apa artinya? Bagaimana jika nanti setelah menikah Sean berubah menjadi bajingan dan memperlakukanmu dengan kasar?" ucap Sofia sembari menggigit ujung jari. Sahabatnya yang ingin menikah, tapi dia yang kebakaran jenggot. Sofia tentu saja ingin yang terbaik untuk Anneth, tapi Sean? Olive
Ponsel di tangan Sean langsung terjatuh begitu karyawan butik membuka tirai. Tampak di hadapannya sosok cantik bak peri kayangan berdiri anggun dengan gaun pengantin berwarna putih menghias tubuhnya. Indah, sangat luar biasa indah. Gaun dengan ekor panjang menjuntai, menampilkan bagian bahu yang dibiarkan terbuka, membuat Sean ternganga seperti idiot."Very beautifull. Luar biasa," puji Sean setengah tak sadar. Saking terpesona, dia sampai tak menyadari kalau reaksinya sedang menjadi bahan tertawaan karyawan butik."Kendalikan tampang bodohmu itu, Sean. Jangan membuatku malu," tegur Anneth. Tapi jujur, reaksi pria ini membuatnya bahagia. Padahal saat di dalam tadi Anneth sempat merasa khawatir apakah Sean akan menyukai gaun pilihan ibu mertuanya atau tidak. Dan hasilnya ... pria ini langsung kicep seraya menampilkan mimik seorang idiot. Anneth kesal, tapi gembira."Honey, kaukah ini?"
"Berhenti menatapku. Aku risih.""Hon, tolong jangan meminta sesuatu yang tidak mungkin bisa ku lakukan. Itu menyakitkan. Tahu?""Masih ada pemandangan lain yang bisa kau lihat. Jangan tak tahu diri.""Tidak ada yang lebih indah dari pesona kecantikan calon istriku. Itu valid, tak bisa didebat.""Keras kepala,""Terima kasih atas pujiannya. Aku tersanjung."Sean menyeringai puas setelah menang debat dari Anneth. Tanpa mengalihkan pandangan, dia membali melontarkan kalimat bualan yang mana membuat wanita ini mendesah jengah. "Kalau saja aku tahu di kota ini ada wanita secantik dirimu, aku pasti sudah kembali sejak dulu. Untungnya aku tidak terlambat datang. Lengah sedikit, kau pasti sudah menjadi milik orang lain."Tak ada respon apapun yang muncul di diri Anneth saat Sean kembali membual. Seperti sudah kebal, padahal mereka baru beberapa
Anneth tak menghiraukan keberadaan pria yang saat ini tengah duduk di sofa. Tangan dan matanya sibuk memeriksa berkas di meja."Hon, mau sampai kapan kau mengacuhkanku?"Tak ada respon. Sean lalu mend*sah pelan. Calon istrinya benar-benar sangat dingin. Ketampanannya seolah tak berarti apa-apa di mata wanita ini.(Sebenarnya apa yang telah membuat Anneth menjadi sedingin ini? Aku jadi semakin penasaran. Haruskah aku bertanya langsung padanya? Tetapi kalau dia marah bagaimana? Astaga, rumit sekali hubungan percintaanku. Padahal aku sudah sangat ingin bermanja-manja padanya. Sedih sekali,)"Kemarilah. Berkasnya sudah selesai ku tandatangani." Anneth menutup panggilan. Ekor matanya melirik ke arah Sean yang masih betah menunggu di sana. Mendapati pria tersebut tengah asik melamun, Anneth memutuskan untuk tidak mengusiknya. Tidak diusik saja sudah membuat kesal, apalagi jika sengaja memulainy