“Ya, aku hanya ingin mengetahui.”
“Tentu saja aku mencintaimu.”
Anna menarik sudut bibir penuh kemenangan. Seharusnya Anna tahu berargumen dengan Drey bukanlah yang tepat karena sesungguhnya lelaki itu menjaga jarak.
Sekarang mereka sedang di rumah sakit, tentunya mereka tidak seharusnya membicarakan masalah pribadi di sana. Takut Auryn tiba-tiba keluar dari ruangan mendengar obrolan mereka.
Bunyi pintu terbuka membuat Drey dan Anna menghentikan obrolan mereka. Anna memutar kepalanya ketika mamanya baru keluar ruangan dan menghampiri mereka tanpa ada rasa curiga.
Drey langsung berdiri di hadapan Mama Katerina. “Keadaan papa gimana, Ma?” tanya Drey mengkhawatirkan papa Auryn. “Apa baik-baik saja?”
Katerina mengangguk. “Ya, dia baik-baik saja. Hanya butuh istirahat,” jawabnya. “Kamu mau masuk? Masuk saja temui Papa. Kalian sudah lama tidak bertemu.”
Ya. Se
Agak menyesal memang dan kecewa karena hanya beberapa hari saja berkeliling kota Berlin. Tapi ya, semua hal yang dilalui aku bersama Drey menjadi kenangan tersendiri.Andai aku tidak pulang ke Jakarta dengan cepat, pasti banyak tempat wisata yang aku kunjungi.Akhirnya aku kembali menginjakkan kaki di kampus, suasana kampus masih sama seperti terakhir kali aku ingat. Tentu saja, apa yang bisa berubah hanya dalam waktu satu minggu?Baru pertama kali masuk ke kelas, aku disambut dengan ocehan sahabatku yaitu Jessica dan Viola. Astaga! Mereka berdua sudah siap mengadahkan tangannya.Bibir Viola maju beberapa sentimeter dan matanya memincing sebal kepadaku. “Sumpah, Ryn. Lo sebenarnya sahabat gue bukan? Masa nggak beliin gue oleh-oleh dari Berlin.”“Jadi bener dari Berlin? Mana oleh-oleh buat gue,” tadah Jessica kepadaku.“Oleh-oleh?” Viola tertawa hambar. “Gue aja yang ngom
[Author POV]Auryn merasa tidak tenang. Dia sudah berkali-kali menghubungi Drey tapi tidak diangkat, entah sudah keberapa kali Auryn menelfonnya. Masalahnya Drey tidak bisa dihubungi. Bahkan dia mondar-mandir di depan ruang tv lalu ngirim pesan.Bertanya apa yang telah terjadi hingga tidak bisa dihubungi?Awalnya Auryn berpikir positif, lama kelamaan berpikir yang tidak-tidak.Sementara di tempat lain, Drey dengan Anna tengah berciuman mesra di apartemen Anna. Tentu mereka tidak memakai busana. Drey dengan panasnya memainkan lidahnya di mulut Anna tanpa memperdulikan Anna yang sudah kehabisan napasnya.“Drey?” kata Anna lirih ketika melepaskan tautan bibir mereka. “Ponselmu berbunyi,” lanjut Anna, menunjuk ponsel milik Drey yang menyala di atas nakas dan berdering kecil.Ya. Anna sejak tadi merasa terganggu melihat ponsel Drey berkali-kali menyala.
[Auryn POV]Aku tertidur di meja belajar, kedua tanganku digunakan menjadi bantal. Sebelumnya aku menunggu Drey sambil membaca novel, malah ketiduran.Kantukku telah sirna saat aku sadar ada seorang masuk ke dalam kamar. Aku langsung mengucek-ucek mataku, menyipitkan mata melihat jam dinding menunjukkan pukul satu. Aku segara dan berdiri, meraih tas Drey.“Kamu baru pulang?” tanyaku.Ngomong-ngomong mataku terasa sulit untuk melebar, mungkin karena tadi aku menangis.“Hm,” gumam Drey sebagai jawaban.“Sudah makan, Drey?” tanyaku. “Kalau belum makan, aku buatkan Indomie.”Drey mengangguk. “Aku sudah makan. Aku menyuruhmu jangan menungguku kalau kamu mengangguk,” ucap Drey. “Lain kali kalau aku pulang telat, kamu tidak usah menungguku. Kamu harus tidur duluan,” imbuh Drey.Aku menggeleng. “Tidak bisa, Drey. Aku akan tetap menunggumu,” balasku.
Aku langsung beranjak dari duduk, mengambil ponsel di atas meja belajar dan segara dia perlihatkan foto kita kepada Drey, foto saat di Berlin.“Foto ini,” kataku memperlihatkan layar ponsel akun media sosial—instagram. “Kalau bukan kamu yang posting lalu siapa?”Drey merebut ponselku agar terlihat lebih jelas. Drey terperangah. “Aku tidak pernah memposting foto kita lagi.” Ekspresi wajahnya terlihat terkejut dan matanya melotot tidak percaya apa yang baru saja dilihatnya.Aku kecewa. Sangat. Padahal aku sudah berharap Drey yang memposting foto tersebut. Tapi, ternyata bukan dia. Lantas siapa?“Terus siapa, Drey?”Aku menggigit bibir, menahan kekecewaan atas reaksi Drey yang tampak tidak menyukai foto kita di Instagramnya.“Pasti ini kerjaannya si Zany.”Aku tidak bisa berkata-kata lagi ketika aku mendengar nada kekesalan dari Drey.“Waktu tadi
Bagiku sebuah pernikahan adalah hal yang sangat rumit seperti bentuk gundukan piramid semakin besar dan tinggi, semakin pula memakan hati—rasa sakit.Pernikahan yang harusnya berjalan semestinya, namun penuh liku-liku dengan berbagai cobaan masalah datang silih berganti. Ya, masalahku dengan Drey. Cinta Drey kepada AnnaKalau dipikir-pikir, aku merasa menjadi wanita paling terbodoh di dunia. Ya, bodoh. Sudah tau kenyataan bahwa suamiku mencintai kakakku, perlu digaris bawahi bernama Anna, wanita itu adalah kakakku.Bodoh!Cinta itu membutakanku. Aku sangat mencintai Drey, takut kehilangan dirinya.Aku mengerutkan kening bingung saat melihat sebuah amplop putih tergeletak. Aku segara meraih benda tipis itu. “Surat apa ini?” gumamku heran.Aku baru saja datang ke kampus dan melihat surat itu. Entah siapa pengirimnya aku tidak tahu. Aku membolak-balik benda tipi
Aku baru pulang dari kampus, tadi aku sempat mampir ke sesuatu tempat untuk mengambil foto yang sudah dibingkai. Sekarang aku masuk ke rumah membawa bingkai besar sekali tertutup karton coklat cukup kuat dan aku membuka benda besar tersebut. Itu adalah foto pernikahanku dengan Drey. Ya saat itu aku sedang memegang bunga, menggandeng tangan Drey dan terseyum lebar ke arah kamera.Aku menggantung di dinding ruang tamu dan memandang foto itu cukup lama.Lalu aku naik tangga, meletakkan tasku dan melepaskan coat panjang. Aku juga sempat menganti baju. Setelah itu aku menuruni tangga dan melihat kembali foto pernikahan. Bibirku terseyum miring melihat foto itu tampak sempurna.Untuk apa Drey menikahiku? Kalau berakhir seperti ini?Malang sekali.Bunyi mobil masuk ke garasi membuat aku berlari ke kamar, aku sudah tau—Drey pulang lebih awal. Jadi, aku bisa menanyakan perihal surat cinta dari An
Aku menyenderkan kepala di bahu Drey, aku mengigit bibir bawah. Drey tampak menangkup wajahnya dengan kedua tangan, bahkan wajahnya terlihat memerah. Sejujurnya hatiku sangat sesak, untuk bernapas saja sulit.“Maafkan aku, maaf ....” lirih Drey.“Tak apa, Drey,” ucapku begitu lembut. “Aku baik-baik saja.”Biarkan aku dianggap wanita sering berbohong, membohongiku perasaanku sendiri. Cukup aku yang tahu perasaanku sekarang, aku tidak mau ada orang lain yang mengetahui betapa nestapa menghadapi masalahku. Aku akan menyimpan rapat-rapat.Drey mengecup puncuk kepalaku. “Seharusnya aku yang menguatkanmu, Ryn, tapi aku menyakitimu,” kata Drey. “Betapa brengseknya diriku!” maki Drey pada dirinya.“Aku telah memaafkanmu,” dustaku.Cukup, Ryn! Sudah cukup! Berhentilah seolah-olah baik-baik saja. Berhentilah seolah tidak terjadi apa-apa! Nyatanya aku masih belum bisa maafkan
Aku tidak mampu menahan tangis. Harapanku tidak terkabul, karena Drey beringsut duduk di sampingku sambil memandangiku. Aku bisa melihat sorot matanya tersirat kekhawatiran yang luar biasa.“Katakan kepadaku. Mengapa kamu menangis, apa ada sesuatu yang mengganggu pikiranmu?” tanya Drey dengan sangat lembut. Dia membelai pipiku, menghapus air mataku yang sudah mengalir turun membasahi kedua pipiku. “Katakan kepadaku, aku mohon, Ryn.”Bukannya menjawab, aku malah menangis pilu. Bahuku naik turun diiringi tangis yang sudah pecah. Seakan tidak mampu menahan beban yang aku tanggung.Drey membawa tubuhku yang bergetar hebat ke dalam dekapan, direngkuh tubuhku dengan erat. Aku menangis dalam dekapannya. Bukannya mengurangi rasa sakit yang aku rasakan, melainkan pelukan itu menambah kesedihan yanga aku rasakan.“Ayo ceritakan, apa yang terjadi denganmu?” tanya Drey mengusap puncuk kepalaku.Aku tidak