Dia lalu melangkah menuruni panggung dengan dekorasi yang sangat mewah. Tak dipedulikan mata yang memandangnya iba. Dia terus berjalan keluar. Tak ada air mata. Dia juga tidak mau mempermalukan diri sendiri di hadapan banyak orang. Dia punya cara tersendiri untuk membalas perbuatan suami dan pelakor itu.
"Cintya, maafkan aku." Bara berucap lirih, menatap punggung Cintya yang semakin menjauh.
Suasana mendadak riuh oleh kasak-kusuk tamu undangan. Ada yang prihatin, ada pula yang mencibir. Bahkan, beberapa tamu undangan meninggalkan acara yang baru saja akan dimulai.
Air matanya kembali lolos saat dirinya baru saja masuk mobil, seakan memberi tahu kalau dia tidak baik-baik saja. Cintya menumpahkan seluruh laranya di tengah kebahagiaan suaminya.
"Maaf Bu, apa perlu saya antar pulang?" tawar pak Udin. Rupanya dia daritadi memperhatikan Cintya.
Cintya lalu mengusap pipinya yang basah.
"Aku bisa sendiri Pak, terimakasih."
"Ibu yakin?" Pak Udin mencoba memastikan. Dia khawatir kalau akan terjadi apa-apa pada Cintya.
"Aku bisa sendiri." Cintya tersenyum getir.
"Maafkan saya, Bu." Pak Udin merasa tidak enak karena merasa ikut membohongi Cintya.
"Kenapa minta maaf?" ucap Cintya sesantai mungkin.
"Em ...."
"Bukan salah Bapak," potong Cintya.
Cintya sudah tidak menangis lagi. Dia langsung meninggalkan pelataran vila termewah di kota Cengkeh.
Cintya melajukan mobilnya dengan kecepatan tinggi. Untung saja jalanan tidak terlalu ramai. Dia terus mengemudi dengan hati berkecamuk. Sesekali, dipukulnya setir mobil untuk meluapkan kekesalannya.
***
Cintya tak berniat melakukan aktivitas apapun. Seharian, dia hanya berdiam diri di kamar. Bahkan, dia juga melewatkan makan malam. Dia tak peduli, kalau perutnya meminta hak. Yang dibutuhkan hanya menumpahkan laranya.
Lama sekali dia bersujud, mengiba kepada Allah. Akal sehatnya mulai berfungsi. Dia mencoba tegar, bahwa Allah tidak akan memberikan cobaan, melampaui batasnya.
Cintya masih berharap, kalau semua yang dilalui hari ini hanya mimpi belaka. Hingga larut malam, Cintya belum juga terlelap. Di hati kecilnya, masih menunggu kepulangan Bara.
Dia kembali menarik nafas dalam-dalam, ketika dadanya mulai sesak oleh segala luka yang digoreskan Bara.
"Kenapa kamu tega sekali, Mas?" monolog Cintya.
Kepalanya serasa mau pecah, memikirkan nasibnya yang kini tiba-tiba dimadu. Apalagi, membayangkan suaminya sedang malam pertama dengan wanita bernama Aisya. Hatinya kian nelangsa.
Cintya beranjak ke kamar mandi untuk berwudhu. Setelahnya, dia membentangkan sajadah dan mengenakan mukena berwarna biru langit. Di saat seperti ini, hanya Allah tempat yang nyaman untuk berkeluh kesah.
Sayup-sayup, terdengar suara qiro'at dari toa masjid Agung Al-Barokah, salah satu masjid terbesar di kota Tolitoli. Cintya mengucek mata, ternyata dia ketiduran masih dengan mukenanya.
Hatinya mulai sedikit lega, setelah menceritakan semuanya kepada Tuhannya. Namun tetap saja, masih ada sekelumit kecewa. Dia lantas menggeliat, melemaskan badan yang terasa kaku, akibat tertidur di lantai.
Sebelum adzan berkumandang, Cintya menuju dapur. Diambilnya gelas, lalu mengisinya dengan air putih dari dispenser. Tenggorokannya terasa kering. Perutnya pun juga mulai terasa lapar, karena semalaman tidak terisi. Tak lama, adzan Subuh berkumandang.
Tok tok tok
Suara pintu diketuk mengagetkan Cintya. Dia baru saja menyantap sarapan paginya. Bahkan, nasi goreng di piringnya belum habis.
Dia bergegas mengenakan jilbab instan yang tergantung di samping pintu dapur, lalu bergegas membuka pintu. Dia sengaja meletakkan gantungan baju di situ, agar memudahkan menggantung jilbab instan. Tujuannya, agar tidak perlu ke kamar, saat ada tamu yang datang.
"Kalian ...."
"Aku benci Mama."Kalimat itu terus terngiang di kepala Cintya. Dia tak pernah menyangka, anaknya bisa berbicara seperti itu. Selama ini, Arka tak pernah menunjukkan sikap tidak sopan kepadanya maupun orang lain. Pendidikan yang ia terapkan, lebih mengutamakan adab dan akhlak. Ia tak pernah menuntut kesempurnaan. Namun, hanya karena satu kalimat, hati Cintya benar-benar hancur. Bahkan, saat dirinya berpisah dengan Bara, hatinya tak serapuh seperti sekarang ini. Hari berikutnya, Arka masih saja murung. Dia yang biasanya ceria, tampak tak bersemangat. Bahkan, di hari ketiga setelah pertemuannya dengan Bara, Arka mendadak demam. "Arka minum obat dulu, ya!" Cintya sengaja izin dari tugasnya, hanya demi bisa menemani buah hatinya. Di tangan kanannya, sudah tersedia sendok yang berisi cairan sirup pereda panas. Arka hanya menurut. Setelah sirup berhasil ia telan, kembali matanya terpejam. "Pusing?" tanya Cintya, hanya dijawab anggukan. "Arka bobok saja kalau pusing!" imbuhnya lagi. Ra
Bara mengelus punggung anaknya. Dia tahu, kini Arka sedang bersedih. Buktinya, ia tak mau berceloteh lagi. "Arka pulang sama mama dulu, ya!" Bara mendudukkan Arka ke kursi depan, setelah Cintya membukakan pintu mobilnya. Arka kecil hanya mengangguk. "Nanti Papa temani bobok, ya!" mohonnya. Bara hanya mengangguk. Entah kapan, dia bisa mewujudkan keinginan anaknya. "Dadah Papa!" Arka melambaikan tangannya, saat Cintya mulai melajukan roda empat tersebut. Tak ada pamitan perpisahan di antara keduanya. Cintya langsung pergi begitu saja. Sepanjang jalan, Arka lebih banyak diam. Bahkan, ketika Cintya mencoba mengajaknya bicara, dia hanya membalasnya singkat. Tak butuh waktu lama, Arka sudah terlelap. Wajah yang lelah dan gurat kecewa, tercetak jelas. Cintya hanya mampu menghela nafas melihat tingkah anaknya. Sesekali, diliriknya Arka. Jika diperhatikan seksama, wajahnya begitu mirip Bara saat kecil. Yang membedakan hanya mata dan hidungnya. Jika Bara berhidung mancung, lain halnya de
Reflek Cintya menggaruk tengkuknya yang tak gatal. Entah kenapa, ia merasa gugup. Padahal yang bertanya hanya anak kecil, tapi sukses membuat jantungnya berdegup kencang. "Arka bermain dulu, ya. Mama sama Papa mau bicara dulu!" pinta Cintya, sambil menunjuk arena bermain, yang tersedia. Secara tidak sadar, dia juga memanggil Bara dengan sebutan papa. Hal itu berhasil membuat lengkungan di bibir Bara. Arka mengangguk antusias. Cintya lantas mengantar Arka hingga ke arena bermain, yang tidak terlalu ramai. Setelah menitipkan kepada salah satu penjaga, ia kembali menghampiri mejanya. Canggung. Itulah yang kini mereka berdua rasakan. Jika ada Arka, mereka tak kehabisan bahan bicara. "Kamu apa kabar?" Kalimat itu meluncur begitu saja dari mulut Bara. Konyol memang. Sedari tadi mereka sudah bertemu, tapi baru kini menanyakan kabar. "Aku dan Arka baik-baik saja. Kamu?" tanyanya gugup, seolah mereka remaja yang baru kasmaran. Bukannya menjawab, Bara justru terdiam. Ia terus memperhatika
"Arka kenapa keluar duluan?" tanya Cintya, saat sudah menghampiri dua laki-laki beda generasi tersebut. Nafasnya agak tersengal, karena berusaha berjalan agak cepat. "Maaf, Ma," jawabnya polos. Cintya kembali mengatur nafasnya. Arka tak sepenuhnya salah. Dialah yang kurang fokus, hingga lalai menjaga Arka. "Lain kali izin mama dulu, kalau mau pergi!' imbuhnya lagi. Arka kecil hanya mengangguk patuh. Terlihat, ia begitu ingin segera memainkan robot barunya. "Arka lapar, kan? Yuk kita makan sama-sama!" Ajakan Bara disambut antusias oleh Arka. Sejauh ini, Arka belum tahu, kalau Bara adalah papanya. "Boleh, Ma?" Lagi-lagi, ia meminta izin mamanya. Cintya memang mewanti-wanti, agar Arka tak mudah percaya pada orang asing. Dan baginya, Bara adalah orang asing, karena ini pertama kali ia bertemu. Namun, sikap lembut Bara, mampu membuat Arka langsung betah bersamanya. Belum sempat Cintya menjawab, Bara sudah membawa Arka memasuki resto makanan cepat saji. Lagi-lagi, Cintya hanya membun
"Cintya," gumam Bara dengan perasaan tak karuan. Setelah lima tahun tak bertemu, kini mereka dipertemukan lagi, tapi dengan status yang berbeda. Ya, mereka benar-benar resmi bercerai. Setelah tiga bulan mereka saling berpisah, berharap bisa bersama kembali. Namun, Cintya tak berubah pikiran. Dia tetap menginginkan perceraian. Bara yang memang merasa salah, hanya bisa pasrah. Kini, jarak antara dirinya dan Cintya semakin dekat. Hatinya bagai orang kasmaran, ketika melihat perubahan pada mantan istrinya. Kecantikan Cintya semakin terpancar, meski sudah tak muda lagi. Bara sungguh tak sabar untuk segera menemui Cintya. Namun, lagi-lagi hatinya ragu. "Mama, keren 'kan?" seru seorang bocah. sambil berlari membawa sebuah robot, mendekati Cintya yang tengah sibuk dengan ponselnya. Mendadak, wanita itu menyimpan ponselnya ke dalam tas kecilnya. "Arka mau ini?" tanya Cintya dengan mata berbinar, sembari memperhatikan mainan yang dipegang anaknya. Deg!Terasa ada yang menghantam dadanya. A
Cintya memalingkan muka, seolah tak sanggup mendengar ucapan Bara. Di hadapannya, umi tak berhenti mengeluarkan air mata. Antara sedih dan ingin marah, terus menguasai hatinya. "Apa tidak bisa dibicarakan lagi?" Bapak menghela nafas berat. Disandarkannya punggung ke sofa. Semua yang berada di ruang tamu terdiam. Mereka sibuk menyelami pikiran masing-masing. "Kami sudah sepakat, Pak." Akhirnya Cintya angkat bicara, setelah beberapa saat mereka terdiam. Helaan nafas berat, keluar dari mulut bapak. Beliau memijit pelipis yang terasa berdenyut nyeri. "Coba kalian pikirkan ulang. Kasihan Arka!" Umi yang dari tadi diam, kini ikut menyumbang suara. Cintya dan Bara sontak memandangi anak mereka. Anak yang kehadirannya ditunggu, tapi di waktu yang kurang tepat. "Kami sudah memikirkan semuanya, Mi," sahut Cintya cepat, takut pikirannya kembali goyah. Dia yakin, hak asuh sepenuhnya diberikan padanya. Dia juga yakin, mampu membesarkan anaknya seorang diri. Bara masih diam. Dia cukup sada