Sore ini aku kembali ke rumah lama. Bang Agam sudah mewanti-wanti agar aku tutup mulut, tidak memberitahukan tentang usaha dan rumah baru kami. Aku tidak bisa menolak, biarkan saja terserah dia mau apa. Sebelum pulang, aku menyempatkan belanja ke supermarket. Mumpung tahu kalau Bang Agam ternyata banyak duit. Dia langsung memberiku kartu ATM. Katanya, kalau aku butuh sesuatu ambil saja. Sebab, dia akan sangat sibuk mengurus usaha baru, yaitu bekerja sama dengan perusahaan di kota. Suamiku berinvestasi di sana bersama Ryan. Ryan mengajari Bang Agam berbagai bisnis. Suami Mita itu sangat baik, tetapi mengapa bisa punya kebiasaan menggoda wanita di luaran sana. Aku akan ke rumah Mita besok. Ya, rumahnya ternyata tepat di depan rumahku yang baru. Saat menjemput Asti tadi di rumah Rima, aku memberikan satu kantong jeruk dan satu kotak donat untuk Salsa. Tadinya, Rima menolak, tetapi aku memaksanya untuk menerima. Aku jelaskan, kalau Bang Agam dapat bonus dari Pak Wijaya. Akhirnya, adik
Wanita dengan tubuh tinggi kecil itu mengenakan kacamata cokelat. Rambutnya panjang indah tergerai. Gaun di atas lutut memamerkan kulit pahanya yang mulus. Dia berjalan bak model papan atas, lalu berdiri di samping Aksa sembari merangkul lengannya. "Rim, Ibu dapet karma," bisikku. Sekuat hati aku menahan tawa. "Iya, Mbak. Aku masih ingat saat Ibu dan Bapak komen soal penampilan anak Bu Rika." Iya, saat kuliah, anak Bu Rika naksir berat sama Aksa. Siapa yang tidak jatuh hati kepada adik iparku itu. Kulitnya putih karena sering perawatan. Bajunya selalu rapi serta wangi. Jangan lupakan gayanya yang cool, membuat para gadis terpikat. Ibu tidak suka sama anak Bu Rika karena cara berpakaiannya yang seksi. Selalu memakai celana jeans ketat atau rok pendek di atas lutut. Belum lagi kerah bajunya yang selalu memperlihatkan belahan dadanya. "Pokoknya Ibu gak mau punya mantu kaya anak Bu Rika. Bajunya kaya gak ada lagi, kekurangan bahan begitu," amuk Ibu. "Aku gak suka sama dia, Bu. Lagi
"Mbak, setelah ngupas kentang selesai, langsung goreng, ya!" ujar Ibu Tini. "Iya," sahutku pelan. Aku menyeka keringat yang bercucuran dari kening. Pasalnya, dari Zuhur sampai sekarang bakda Isya, pekerjaan memasak belum selesai. Aku sampai meninggalkan Asti dan Bang Agam. Mereka anak serta suamiku. Ibu Tini adalah mertua rasa majikan. Ya, kenapa aku mengatakan begitu? Sebab, beliau sering kali meminta bantuanku untik membereskan rumah atau memasak. Apalagi, jika anaknya yang bungsu akan pulang. Sebenarnya, aku tidak masalah, tetapi beliau seperti menganggapku pembantu kalau sedang menyuruh-nyuruh. Adik bungsu Bang Agam pun sama, dia tidak menghormati suamiku sebagai kakaknya. Selalu menganggap rendah hanya karena Bang Agam tidak bekerja kantoran seperti dirinya. "Sebentar lagi ketupatnya mateng, opor ayam udah mateng, Mbak?" tanya Ibu. Aku mengangguk sambil tersenyum kecil. Suara takbir menggema dari beberapa masjid. Entah kenapa, air mata tidak bisa kucegah. Jika di rumah Ibu
Bagiku, berkumpul ketika Aksa pulang ada senang dan sedihnya. Ya, lebih banyak sedihnya. Sebab, kedua mertuaku tidak hentinya menyanjung dan memujinya. Aku memikirkan perasaan Bang Agam, dia hanya bisa diam. Sering kali aku memintanya untuk menjawab jika sekiranya tidak enak dengan ucapan Ibu atau Bapak. Akan tetapi, dia hanya menjawab, "Abang tidak mau ada keributan, Dek. Biarlah, suatu saat nanti mereka akan sadar, kalau masih punya anak lain selain Aksa." "Makasih banyak ya, Nak, kemarin uangnya sudah Bapak terima. Padahal, gak usah kirim uang kalo mau pulang," ujar Bapak. Perasaanku sudah tidak enak saja. Aku dan Rima saling berpandangan. Sepertinya, pikiran kita sama. "Gak apa-apa, Pak. Mumpung aku dapet rezeki lebih." "Iya, tapi tumben kamu kirim uang sampe 5 juta untuk Bapak? Memangnya kamu gak banyak kebutuhan?" Mulailah cerita Aksa yang ternyata mempunyai usaha. Kami di sini tidak tahu menahu. Katanya, kejutan untuk keluarga. Dia mempunyai kafe bernuansa anak muda di dae
Cuaca semakin terik, aku bertugas membakar daging, iya, mau siapa lagi? Sedangkan Ibu, Bapak, dan Aksa duduk manis di gazebo. Ibu terlihat sedang memotong timun, alhamdulillah, jadi aku tidak repot sendirian. Kulihat Bapak menyodorkan keranjang buah kepada Aksa. Beliau sudah seperti pelayan saja. Mengupas dan memotong buah-buahan untuk anak kesayangannya. Sementara itu, Rima sedang melihat anak-anak di ruang keluarga. Takutnya, mereka pergi keluar rumah tanpa sepengetahuan kami. Sebab, Alan bilang akan pergi sebentar karena ada urusan. "Mbak, satenya udah mateng?" teriak Ibu. "Sudah, Bu." Aku bergegas membawa sate yang telah matang ke gazebo. Kami duduk lesehan. Ibu ke dalam rumah dulu untuk memanggil Rima serta anak-anak. Adik iparku benar, sikap Ibu agak berubah. Biasanya, beliau juga tidak terlalu perhatian kepada istri Alan tersebut. Ternyata, kasih sayang kami hanya diukur dengan materi. Namun, aku masih tidak mengerti, mengapa Ibu dan Bapak masih berharap diberi lebih oleh
Bang Agam bercerita dengan wajah berkaca-kaca. Bagaimana tidak, Pak Wijaya memercayakan rumah yang selama ini sering dibersihkan. Katanya, rumah itu akan ditinggali oleh anaknya dari kota. Akan ada dua orang pembantu, dua satpam, dan satu tukang kebun nantinya. Suamiku dipercaya untuk mengawasi para pekerja, sesekali dia bisa membantu. Akan tetapi, Bang Agam harus lebih fokus dengan mengawasi saja. Jika mereka membutuhkan sesuatu, bisa melalui Bang Agam. Nantinya, dia yang akan menyampaikannya langsung kepada anak Pak Wijaya. Aku mengucap syukur berulang kali. Itu berarti, suamiku akan mempunyai gaji setiap bulannya. Ada harapan untuk mulai menabung dan kami tidak akan kesusahan membeli beras lagi. "Alhamdulillah, Bang, Allah telah memberikan jalan untuk kita mengubah nasib." "Iya, Dek. Perbanyak bersyukur, jangan selalu melihat ke atas, ya. Semoga Allah memudahkan langkah kita." Aku memeluk Bang Agam. Kami memang tidak mempunyai harta yang melimpah, tetapi kami mempunyai jutaan
Sesampainya di rumah, aku langsung minum. Amarahku belum mereda, aku sangat tahu perjuangan Bang Agam. Tanpa terasa, aku menangis. Percayalah, menangis tanpa suara itu sangat menyakitkan. Awal pernikahan, aku dan Bang Agam berjuang bersama. Ekonomi kami masih di bawah, tetapi aku ikhlas mendampinginya. Yang terpenting, dia bisa menjadi imam yang baik untukku. Bang Agam tidak pernah malu bekerja apa pun, asal halal. Suamiku sempat berjualan es lilin karena kena PHK. Bang Agam tidak mengeluh, padahal jarak yang sering dia tempuh, entah berapa kilometer. Banyaknya penjual es yang kekinian, membuat dia kalah saing. Bukan tidak ingin meniru mereka, tetapi modalnya yang tidak ada. Aku sudah menyarankan untuk meminjam uang kepada Bapak, tetapi beliau bilang uangnya akan digunakan untuk kebutuhan Aksa. Lagi-lagi, suamiku menelan kecewa. Harapan satu-satunya sudah hilang, dia merasa terabaikan oleh orang tua sendiri. Aku hanya bisa menyemangati dia dan berdoa. Lantas, memberitahunya agar ti
Selesai menerima telepon, Bang Agam berpamitan akan pergi. Sebelum itu, dia sempat mengganti baju sangat rapi. Dulu, Bang Agam tidak begini. Sekarang, dia mulai memperhatikan penampilan dari ujung kaki sampai ujung rambut. Minyak wangi selalu ada di nakas. "Abang mau ke mana?" tanyaku penuh curiga. "Emm ... aku mau pergi ke rumah Pak Wijaya." "Betul kah?" Aku merapatkan tubuh pada Bang Agam. Suamiku tampak gugup. Aku tahu, dia sedang menyembunyikan sesuatu. Jika pun benar Bang Agam selingkuh, aku tidak akan menangis apalagi memohon untuk dia mengakhiri hubungan dengan wanitanya. Aku istri sah juga ibu dari anaknya. Aku lebih berhak dan berkuasa atas diri Bang Agam. "Benar, Dek. Kamu gak percaya sama aku?" Dia balik bertanya. "Enggak, aku percaya, kok. Yasudah, Abang hati-hati, ya." Aku mencium punggung tangannya. Bang Agam berlalu dengan terburu-buru. Lelaki bertubuh jangkung itu memang sangat tampan, apalagi kalau mempunyai pekerjaan mapan. Aku rasa, akan banyak gadis yang jat