Suamiku Menjadi Sultan

Suamiku Menjadi Sultan

Oleh:  Rita Juwita  On going
Bahasa: Bahasa_indonesia
goodnovel16goodnovel
Belum ada penilaian
14Bab
985Dibaca
Baca
Tambahkan

Share:  

Lapor
Ringkasan
Katalog
Tinggalkan ulasan Anda di APP

Agam sakit hati karena kehidupannya sering dibandingkan oleh kedua orang tua dengan sang adik, Aksa. Tanpa orang tuanya tahu, diam-diam Agam mengubah hidupnya. Di saat dia sudah berada di puncak kesuksesan, rahasia besar terungkap.

Lihat lebih banyak
Suamiku Menjadi Sultan Novel Online Unduh PDF Gratis Untuk Pembaca

Bab terbaru

Buku bagus disaat bersamaan

To Readers

Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.

Komen
Tidak ada komentar
14 Bab
Bab 1
"Mbak, setelah ngupas kentang selesai, langsung goreng, ya!" ujar Ibu Tini. "Iya," sahutku pelan. Aku menyeka keringat yang bercucuran dari kening. Pasalnya, dari Zuhur sampai sekarang bakda Isya, pekerjaan memasak belum selesai. Aku sampai meninggalkan Asti dan Bang Agam. Mereka anak serta suamiku. Ibu Tini adalah mertua rasa majikan. Ya, kenapa aku mengatakan begitu? Sebab, beliau sering kali meminta bantuanku untik membereskan rumah atau memasak. Apalagi, jika anaknya yang bungsu akan pulang. Sebenarnya, aku tidak masalah, tetapi beliau seperti menganggapku pembantu kalau sedang menyuruh-nyuruh. Adik bungsu Bang Agam pun sama, dia tidak menghormati suamiku sebagai kakaknya. Selalu menganggap rendah hanya karena Bang Agam tidak bekerja kantoran seperti dirinya. "Sebentar lagi ketupatnya mateng, opor ayam udah mateng, Mbak?" tanya Ibu. Aku mengangguk sambil tersenyum kecil. Suara takbir menggema dari beberapa masjid. Entah kenapa, air mata tidak bisa kucegah. Jika di rumah Ibu
Baca selengkapnya
Bab 2
Bagiku, berkumpul ketika Aksa pulang ada senang dan sedihnya. Ya, lebih banyak sedihnya. Sebab, kedua mertuaku tidak hentinya menyanjung dan memujinya. Aku memikirkan perasaan Bang Agam, dia hanya bisa diam. Sering kali aku memintanya untuk menjawab jika sekiranya tidak enak dengan ucapan Ibu atau Bapak. Akan tetapi, dia hanya menjawab, "Abang tidak mau ada keributan, Dek. Biarlah, suatu saat nanti mereka akan sadar, kalau masih punya anak lain selain Aksa." "Makasih banyak ya, Nak, kemarin uangnya sudah Bapak terima. Padahal, gak usah kirim uang kalo mau pulang," ujar Bapak. Perasaanku sudah tidak enak saja. Aku dan Rima saling berpandangan. Sepertinya, pikiran kita sama. "Gak apa-apa, Pak. Mumpung aku dapet rezeki lebih." "Iya, tapi tumben kamu kirim uang sampe 5 juta untuk Bapak? Memangnya kamu gak banyak kebutuhan?" Mulailah cerita Aksa yang ternyata mempunyai usaha. Kami di sini tidak tahu menahu. Katanya, kejutan untuk keluarga. Dia mempunyai kafe bernuansa anak muda di dae
Baca selengkapnya
Bab 3
Cuaca semakin terik, aku bertugas membakar daging, iya, mau siapa lagi? Sedangkan Ibu, Bapak, dan Aksa duduk manis di gazebo. Ibu terlihat sedang memotong timun, alhamdulillah, jadi aku tidak repot sendirian. Kulihat Bapak menyodorkan keranjang buah kepada Aksa. Beliau sudah seperti pelayan saja. Mengupas dan memotong buah-buahan untuk anak kesayangannya. Sementara itu, Rima sedang melihat anak-anak di ruang keluarga. Takutnya, mereka pergi keluar rumah tanpa sepengetahuan kami. Sebab, Alan bilang akan pergi sebentar karena ada urusan. "Mbak, satenya udah mateng?" teriak Ibu. "Sudah, Bu." Aku bergegas membawa sate yang telah matang ke gazebo. Kami duduk lesehan. Ibu ke dalam rumah dulu untuk memanggil Rima serta anak-anak. Adik iparku benar, sikap Ibu agak berubah. Biasanya, beliau juga tidak terlalu perhatian kepada istri Alan tersebut. Ternyata, kasih sayang kami hanya diukur dengan materi. Namun, aku masih tidak mengerti, mengapa Ibu dan Bapak masih berharap diberi lebih oleh
Baca selengkapnya
Bab 4
Bang Agam bercerita dengan wajah berkaca-kaca. Bagaimana tidak, Pak Wijaya memercayakan rumah yang selama ini sering dibersihkan. Katanya, rumah itu akan ditinggali oleh anaknya dari kota. Akan ada dua orang pembantu, dua satpam, dan satu tukang kebun nantinya. Suamiku dipercaya untuk mengawasi para pekerja, sesekali dia bisa membantu. Akan tetapi, Bang Agam harus lebih fokus dengan mengawasi saja. Jika mereka membutuhkan sesuatu, bisa melalui Bang Agam. Nantinya, dia yang akan menyampaikannya langsung kepada anak Pak Wijaya. Aku mengucap syukur berulang kali. Itu berarti, suamiku akan mempunyai gaji setiap bulannya. Ada harapan untuk mulai menabung dan kami tidak akan kesusahan membeli beras lagi. "Alhamdulillah, Bang, Allah telah memberikan jalan untuk kita mengubah nasib." "Iya, Dek. Perbanyak bersyukur, jangan selalu melihat ke atas, ya. Semoga Allah memudahkan langkah kita." Aku memeluk Bang Agam. Kami memang tidak mempunyai harta yang melimpah, tetapi kami mempunyai jutaan
Baca selengkapnya
Bab 5
Sesampainya di rumah, aku langsung minum. Amarahku belum mereda, aku sangat tahu perjuangan Bang Agam. Tanpa terasa, aku menangis. Percayalah, menangis tanpa suara itu sangat menyakitkan. Awal pernikahan, aku dan Bang Agam berjuang bersama. Ekonomi kami masih di bawah, tetapi aku ikhlas mendampinginya. Yang terpenting, dia bisa menjadi imam yang baik untukku. Bang Agam tidak pernah malu bekerja apa pun, asal halal. Suamiku sempat berjualan es lilin karena kena PHK. Bang Agam tidak mengeluh, padahal jarak yang sering dia tempuh, entah berapa kilometer. Banyaknya penjual es yang kekinian, membuat dia kalah saing. Bukan tidak ingin meniru mereka, tetapi modalnya yang tidak ada. Aku sudah menyarankan untuk meminjam uang kepada Bapak, tetapi beliau bilang uangnya akan digunakan untuk kebutuhan Aksa. Lagi-lagi, suamiku menelan kecewa. Harapan satu-satunya sudah hilang, dia merasa terabaikan oleh orang tua sendiri. Aku hanya bisa menyemangati dia dan berdoa. Lantas, memberitahunya agar ti
Baca selengkapnya
Bab 6
Selesai menerima telepon, Bang Agam berpamitan akan pergi. Sebelum itu, dia sempat mengganti baju sangat rapi. Dulu, Bang Agam tidak begini. Sekarang, dia mulai memperhatikan penampilan dari ujung kaki sampai ujung rambut. Minyak wangi selalu ada di nakas. "Abang mau ke mana?" tanyaku penuh curiga. "Emm ... aku mau pergi ke rumah Pak Wijaya." "Betul kah?" Aku merapatkan tubuh pada Bang Agam. Suamiku tampak gugup. Aku tahu, dia sedang menyembunyikan sesuatu. Jika pun benar Bang Agam selingkuh, aku tidak akan menangis apalagi memohon untuk dia mengakhiri hubungan dengan wanitanya. Aku istri sah juga ibu dari anaknya. Aku lebih berhak dan berkuasa atas diri Bang Agam. "Benar, Dek. Kamu gak percaya sama aku?" Dia balik bertanya. "Enggak, aku percaya, kok. Yasudah, Abang hati-hati, ya." Aku mencium punggung tangannya. Bang Agam berlalu dengan terburu-buru. Lelaki bertubuh jangkung itu memang sangat tampan, apalagi kalau mempunyai pekerjaan mapan. Aku rasa, akan banyak gadis yang jat
Baca selengkapnya
Bab 7
Jantungku jadi berpacu dengan cepat saat mendengar percakapan antara Mita dengan lawan bicaranya. Entah mengapa, perasaanku semakin curiga dengan Bang Agam. Lelaki yang selalu aku banggakan karena selalu menundukkan pandangannya, mungkin kah kali ini dia berpaling?Mobil sudah melaju lagi. Mita terlihat santai, sedangkan aku gelisah. Pikiranku berkecamuk, tidak tahu harus melakukan apa. "Ris, rumah bos suami kamu di mana?" Suara Mita memecah keheningan. "Di-di jalan itu, Mit." Aku menunjukkan jalannya. "Beneran ke situ?" tanya Mita, raut wajahnya tidak terbaca. Ada keterkejutan di sana, aku yakin itu. Aku mengangguk untuk meyakinkan. Mita tersenyum manis, kuyakin setiap lelaki yang melihatnya akan jatuh hati. "Aku juga akan pindah ke daerah sini, Ris," ujar Mita saat mobilnya sudah memasuki perkampungan tempat Bang Agam bekerja. "Untuk memperbaiki hubunganku dengan suami, Papa meminta kami untuk tinggal di sini. Mudah-mudahan suamiku bisa setia, Ris." Nada sedih terdengar jelas.
Baca selengkapnya
Bab 8
Aku dan Bang Agam pulang bakda Asar. Sebelum ke rumah, kami menjemput Asti di rumah Rima. Anakku sudah mandi dan makan. Istri Alan memang sangat baik, aku beruntung memiliki ipar sepertinya. Sesampainya di rumah, Asti langsung mengerjakan PR, sedangkan aku memasak untuk makan malam. Bang Agam tiduran di lantai beralaskan karpet spon. Sepanjang perjalanan pulang tadi, aku tidak mengajaknya bicara, sengaja agar dia tersadar kalau ada yang berbeda dari istrinya. Namun, aku salah besar kalau Bang Agam akan sadar. Nyatanya, dia malah sibuk memainkan ponsel. Jarak ruang tamu dengan dapur tidaklah jauh dan tidak memakai sekat. Jadi, aku bisa melihat jelas apa yang tengah dilakukan Bang Agam. "Oh, iya, insyaallah besok saya ke sana." Bang Agam berbicara melalui telepon. Aku menajamkan telinga, ingin tahu siapa yang menelepon tadi. Apa itu Mita atau Pak Wijaya? Bayam yang sedang aku petik, menjadi tidak karuan. Aku meluapkan kekesalan pada sayuran itu. Mengapa aku jadi curigaan begini, si
Baca selengkapnya
Bab 9
"Belum lama, sih, ada sekitar beberapa bulan. Aku kenal karena dia menantu Pak Wijaya." Kok, aku, masih kurang percaya, ya? Aku mencoba menyusun kalimat lagi. Bertanya, sejauh apa mereka saling mengenal. Akan tetapi, Bang Agam bangun karena lupa sudah berjanji akan bertemu seseorang. Dia segera berganti pakaian, lalu pamit padaku tanpa menunggu jawaban. Ih, Bang Agam menyebalkan! Aku merengut karena kesal. Seandainya aku punya ponsel, pasti aku akan mengganggu dia, tidak peduli sepenting apakah pertemuannya. Tiba-tiba Asti membuka gorden, lalu berucap, "Ibu, aku lupa, tadi kata Tante Rima, main ke sana. Katanya, Tante bikin bakso." "Oh, sekarang, Nak?" "Iya, Bu. Ayok, kita ke sana!" Daripada jengkel di rumah, lebih baik aku ke rumah Rima. Untung saja rumah iparku itu dekat, jadi kami bisa jalan kaki pergi ke sana. Suasana kampung sudah sepi, padahal baru jam setengah delapan. Tidak ada aktifitas anak muda yang bermain gitar atau sekadar bermain kartu. Setelah mengaji bakda Magri
Baca selengkapnya
Bab 10
Sepanjang perjalanan pulang dari pasar, pikiranku tidak fokus. Entah mengapa, ucapan Ibu, sikap Mita dan Bang Agam mengganggu sekali. Apa aku melamar jadi pembantu saja, ya, di rumah Mita? Dengan begitu, aku bisa mengawasi gerak-gerik Bang Agam. Aku bahkan sampai lupa, sudah satu minggu terakhir, Bang Agam belanja baju sepertinya. Sebab, aku tidak pernah melihat kemeja-kemeja yang kemarin dia pakai. Aku terlalu fokus dengan kepulangan Aksa sehingga melupakan itu semua. Aku harus menyelidikinya. Bang Agam sudah berubah semenjak Pak Wijaya memintanya sering bekerja. Biasanya, beliau akan menyuruh Bang Agam seminggu dua atau tiga kali. Sekarang, setiap hari suamiku harus ke sana, ada apa coba? Sesampainya di rumah, aku langsung membantu Ibu. Beliau memberikan perintah seperti biasa. Ibu kembali ke mode semula. Akan tetapi, tidak apa-apa. Setidaknya aku tahu, kalau beliau sayang dan peduli padaku. Buktinya, tadi melabrak Mita di depanku. Selang beberapa menit, Bapak ke dapur. Kukira u
Baca selengkapnya
DMCA.com Protection Status