Share

Bab 5

Sesampainya di rumah, aku langsung minum. Amarahku belum mereda, aku sangat tahu perjuangan Bang Agam. Tanpa terasa, aku menangis. Percayalah, menangis tanpa suara itu sangat menyakitkan. 

Awal pernikahan, aku dan Bang Agam berjuang bersama. Ekonomi kami masih di bawah, tetapi aku ikhlas mendampinginya. Yang terpenting, dia bisa menjadi imam yang baik untukku. Bang Agam tidak pernah malu bekerja apa pun, asal halal. Suamiku sempat berjualan es lilin karena kena PHK. 

Bang Agam tidak mengeluh, padahal jarak yang sering dia tempuh, entah berapa kilometer. Banyaknya penjual es yang kekinian, membuat dia kalah saing. Bukan tidak ingin meniru mereka, tetapi modalnya yang tidak ada. Aku sudah menyarankan untuk meminjam uang kepada Bapak, tetapi beliau bilang uangnya akan digunakan untuk kebutuhan Aksa. 

Lagi-lagi, suamiku menelan kecewa. Harapan satu-satunya sudah hilang, dia merasa terabaikan oleh orang tua sendiri. Aku hanya bisa menyemangati dia dan berdoa. Lantas, memberitahunya agar tidak terlalu berharap kepada manusia. Cukup Allah sebagai satu-satunya tempat kita menggantung harapan. 

Aku juga ingat saat Asti sakit. Aku sudah membawanya ke bidan, tetapi bidan itu menyarankan agar aku membawa Asti ke dokter spesialis anak. Aku bertanya-tanya, berapa kira-kira biayanya. Namun, Bang Agam memintaku tidak usah pusing soal biaya, mau tak mau dia akan meminta bantuan orang tuanya. 

"Gimana Asti, Gam? Sakit apa?" Ibu mendekat ke arahku yang masih berdiri di ambang pintu. 

"Cucu Nenek sakit apa, Sayang?" Dari nadanya, Ibu sangat khawatir waktu itu. 

"Katanya harus dibawa ke dokter spesialis, Bu. Soalnya, BAB-nya sudah terlalu sering. Umurnya pun belum dua bulan, jadi bidan tidak bisa menangani," jelas Bang Agam. 

"Mbak Risa, sih, Bapak kan sudah bilang, cepetan bawa Asti ke dokter! Ini malah dibawa ke bidan." Bapak malah memarahiku. 

Di ambang pintu, aku meremas baju. Air mata tidak dapat dicegah. Ucapan Bapak begitu menusuk hatiku. Dengan entengnya beliau menyalahkanku, padahal dia tahu aku dan Bang Agam sedang kesusahan. Jangankan untuk membawa ke dokter, untuk makan saja susah. 

"Bapak jangan salahkan istriku! Kalau kami punya uang, sudah kami bawa Asti ke dokter." Bang Agam menyahut dengan nada tinggi. 

Aku menenangkan Asti yang menangis. Perasaanku semakin kalut, takut terjadi apa-apa dengan Asti. 

Di saat situasi sedang tegang-tegangnya, Bang Agam mendapatkan telepon. Dia mengangkatnya, lalu tidak berapa lama telepon berakhir. 

"Alhamdulillah, Dek, Bapak meminta Abang ke sana. Katanya, beliau mau memberi uang untuk berobat Asti, tapi kalo kurang, kita cari sisanya," ujar Bang Agam. 

Alhamdulillah, memang sebelum ke rumah mertua, aku menghubungi bapakku dulu. Meminta bantuan darinya, aku singkirkan rasa malu. Sebab, orang tuaku juga bukan orang kaya, tetapi setidaknya mereka sering mengusahakan membantuku ketika aku sedang kesulitan. 

"Mertuamu mau kasih berapa?" tanya Bapak. 

"150ribu, Pak," sahut Bang Agam ketus. 

Bang Agam berpamitan kepadaku untuk ke rumah Bapak, tanpa diduga Ibu menghampiri suamiku. 

"Emm ... Ibu ada uang buat nambahin ke dokter, tapi ini uang punya paman kamu. Kemarin, dia menitip untuk beli pupuk." 

"Tidak perlu, aku akan mencarinya sendiri." 

Aku tahu, sebenarnya itu uang Ibu. Mungkin, beliau sayang untuk memberi. Mengapa aku berpikir begitu? Sebab, kemarin paman baru meminta Bang Agam membelikan semua kebutuhan bertani. Jadi, mustahil jika paman menitip kepada Bapak. 

Bang Agam memintaku untuk masuk kamar sembari menunggunya pulang dari rumah Bapak. Aku menurut, Ibu dan Bapak tidak banyak komentar. Mereka memasuki kamar tanpa peduli pada perasaanku yang sedang khawatir. 

Ingin rasanya aku ditemani oleh kedua mertuaku. Diberikan dukungan serta kekuatan. Aku sebagai ibu baru tidak tahu harus berbuat apa. Aku menangis sambil menciumi wajah Asti. 

Mengingat semua itu membuat dadaku semakin sesak. Betapa sengsaranya kehidupanku dan Bang Agam. Biar pun kami hidup satu atap dengan orang tua, tetapi Ibu atau Bapak tidak pernah peduli dengan kehidupan anaknya. Di saat aku mendengar Ibu tengah memasak, di kamar aku sedang menahan lapar. Menunggu suamiku pulang dan berharap akan membawa uang. 

Tidak jarang, aku menginginkan makanan yang ada di meja ruang tamu atau meja makan. Akan tetapi, aku tidak berani meminta. Ibu memang sering menawariku, tetapi hanya basa-basi saja, sedangkan aku tidak terbiasa mengambil makanan kalau tidak diberikan langsung. 

"Dek, kamu kenapa?" tanya Bang Agam mengejutkanku. 

Aku tidak sadar kalau Bang Agam sudah pulang. Kuusap mata yang telah basah. Mencoba mencari alasan agar Bang Agam tidak marah, aku takut rasa kecewanya berubah menjadi benci. Walau bagaimanapun, Ibu dan Bapak adalah orang tuanya. 

"Abang sejak kapan di rumah?" Aku mengalihkan pembicaraan. 

"Jawab aku, Dek! Kamu kenapa?" Jika suaranya sudah dingin begini, aku harus berkata jujur. Jangan sampai Bang Agam semakin marah. 

"Emm ... aku hanya teringat saat Asti sakit, Bang. Waktu itu, kita gak punya uang sepeser pun," sahutku beralasan. "Alhamdulillah, sekarang Abang punya pekerjaan tetap," lanjutku. 

Bang Agam menatapku tanpa berkedip. Aku menjadi takut, kalau dia akan memaksaku untuk bercerita. 

"Aku tahu, pasti di rumah Ibu--" 

"Bang, aku gak apa-apa, kok," potongku cepat. 

Bang Agam menyandarkan tubuhnya ke tembok. Matanya menatap langit-langit rumah. Terdengar helaan napas berat berkali-kali. Aku mendekatinya, lalu menyandarkan kepala di bahunya. 

"Aku sangat kecewa dengan Bapak dan Ibu, Dek." Suara Bang Agam sudah sumbang, mungkin menahan tangis. 

"Abang, ingatlah kalimat bijak dari Ali bin Abi Thalib," sahutku, "ketika kamu ikhlas menerima kekecewaan dalam hidup, maka Allah akan membayar tuntas kecewamu dengan beribu-ribu kebaikan." 

Iya, aku sangat percaya  bahwa Allah akan membalas setiap kecewa, sedih, sakit, dengan beribu kebahagiaan atau kebaikan. Teruslah berbuat baik kepada siapa pun, sebab kita tidak tahu melalui tangan mana yang akan memberi pertolongan. 

"Tapi orang tuaku keterlaluan, Dek. Mereka hanya menganggap Aksa, tetapi lupa padaku." 

Aku mengusap dadanya pelan, tidak menyahut. Biarkan dia mengeluarkan rasa kecewanya. Meskipun kami sudah berumah tangga, tetapi anak tetaplah anak bukan? Seperti halnya Bang Agam. Meskipun dia sekarang menjadi seorang suami dan ayah, tetapi tetap saja mengharapkan kasih sayang dari ibunya. 

"Ibu bukan lupa, Bang. Mungkin, beliau berpikir kalau Abang sudah dewasa dan bisa mandiri tanpa bantuan mereka. Ada aku sebagai istri yang bisa memberikan perhatian, jadi mereka--"

"Alan dan Aksa pun sudah dewasa," potong Agam cepat. 

Aku terdiam, tidak menjawab lagi. Sejujurnya, aku pun merasakan hal yang sama. Akan tetapi, aku mencoba mengarahkan agar Bang Agam tidak berpikir macam-macam tentang orang tuanya. 

Melihat wajahnya yang sendu, aku beranjak dari peluknya. Dia menatapku, lalu berkata, "Kamu mau ke mana?" 

"Ambil air minum. Sepertinya, Abang sangat capek, jadi banyak pikiran." 

Bang Agam tersenyum kecil, lalu aku secepatnya ke dapur mengambil air. Setelah dia tenang, aku mencoba bertanya. 

"Kok, Abang sudah pulang? Memangnya sudah selesai kerjaannya?" 

"Sudah, Dek. Emm ... dua hari lagi Abang kerja di rumah itu. Besok, kalo kamu mau, bantuin aku beresin barang-barang anak Pak Wijaya, ya." 

"Iya, Bang. Nanti aku bantuin." 

Ponsel Bang Agam berdering, dia menerima telepon dengan menjauh dariku. Sebenarnya, siapa, sih, yang sering meneleponnya?  Suamiku tidak selingkuh, kan? 

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status