Share

Bab 6

Selesai menerima telepon, Bang Agam berpamitan akan pergi. Sebelum itu, dia sempat mengganti baju sangat rapi. Dulu, Bang Agam tidak begini. Sekarang, dia mulai memperhatikan penampilan dari ujung kaki sampai ujung rambut. Minyak wangi selalu ada di nakas. 

"Abang mau ke mana?" tanyaku penuh curiga. 

"Emm ... aku mau pergi ke rumah Pak Wijaya." 

"Betul kah?" Aku merapatkan tubuh pada Bang Agam. 

Suamiku tampak gugup. Aku tahu, dia sedang menyembunyikan sesuatu. Jika pun benar Bang Agam selingkuh, aku tidak akan menangis apalagi memohon untuk dia mengakhiri hubungan dengan wanitanya. Aku istri sah juga ibu dari anaknya. Aku lebih berhak dan berkuasa atas diri Bang Agam. 

"Benar, Dek. Kamu gak percaya sama aku?" Dia balik bertanya. 

"Enggak, aku percaya, kok. Yasudah, Abang hati-hati, ya." 

Aku mencium punggung tangannya. Bang Agam berlalu dengan terburu-buru. Lelaki bertubuh jangkung itu memang sangat tampan, apalagi kalau mempunyai pekerjaan mapan. Aku rasa, akan banyak gadis yang jatuh hati padanya. Kata orang, umur tiga puluh lima ke bawah itu sedang matang-matangnya, pun dengan suamiku. Rambutnya hitam tebal, biasanya akan dibiarkan acak-acakan, tetapi kini selalu disisir rapi. 

Aku selalu menjaganya melalui doa. Aku yakin, Allah akan melindunginya di mana pun dia berada. Jika terbukti Bang Agam selingkuh, biarlah itu menjadi urusannya dengan Sang Pencipta. Bang Agam bukan anak-anak yang tidak tahu mana hal buruk mana hal baik. 

*** 

Pagi ini, sebelum berangkat ke rumah Pak Wijaya, aku dan Bang Agam ke rumah Ibu. Katanya, Aksa akan berangkat lagi ke kota. Beliau meminta kami membantu menyiapkan barang bawaan anak bungsunya tersebut. 

Sesampainya di sana, Ibu tengah membungkus beberapa kue khas lebaran yang dibuat khusus untuk Aksa, sedangkan Bapak duduk di kursi sambil memperhatikan kesibukan anak dan istrinya. 

Aku dan Bang Agam mencium tangan Bapak-Ibu. Lalu, duduk lesehan di samping beliau. 

"Mbak, tolong bungkus kue salju dan nastarnya, ya," titah Ibu. Aku mengangguk. 

"Kamu gak kerja, Gam?" tanya Bapak. 

"Kan disuruh ke sini dulu sama Bapak. Nanti selesai dari sini aku berangkat." 

Selalu saja menjawab pertanyaan Bapak dengan begitu. Ah, sepertinya Bang Agam memang sangat kecewa dengan orang tuanya. Mau menegur pun, aku tidak enak. 

Aksa tengah memasukkan baju-baju yang telah disetrika ke dalam koper. Pakaian dengan merek-merek terkenal itu sudah tersusun rapi. Bahkan aku tahu itu bermerek berdasarkan cerita Bapak. 

"Aksa beliin Bapak kemeja, Gam, harganya mahal sekali. Dia juga beli beberapa potong baju dengan harga hampir satu juta setiap potongnya." Cerita Bapak waktu itu. 

Bang Agam tersenyum kecil tidak menanggapi, mungkin sudah terlalu lelah mendengar hanya itu-itu saja yang Bapak ceritakan. Setiap kali Aksa mengirim sesuatu untuk beliau, pasti besoknya Bapak atau Ibu akan pamer kepada kami juga tetangga. Apa maksudnya coba? 

"Nak, warna kemejanya bagus, gak mencolok," ujar Bapak. Jarinya menunjuk salah satu kemeja. 

"Oh, ini. Iya, Pak, harganya juga malah. Bapak mau? Ambil saja! Biar nanti aku beli lagi." 

Bapak tersenyum cerah sambil memuji. Bang Agam mengalihkan perhatiannya dengan bermain ponsel. Aku berdeham sambil menyenggol lengan Bang Agam. 

"Abang sibuk banget, sih!" bisikku, malu kalau sampai terdengar Ibu. 

"Enggak juga, Dek. Ini Abang lagi membalas pesan teman." 

Aku tidak menjawab lagi, takut panjang urusan. Aroma kue semakin lama membuat perutku lapar. Wangi sekali, pasti enak. Kue nastarnya sangat cantik. Ini kue kesukaan Bang Agam juga. 

"Kalo kamu mau dikasih kue banyak begini, kamu harus merantau, Gam. Nanti, setiap mudik dikasih sama Ibu," ujar Bapak. 

Tanganku yang sedang menyusun kue ke dalam toples, terhenti seketika. Kulirik Bang Agam, dia menatap Bapak dengan sorot mata kesal. 

"Jika niat memberi, tidak perlu menunggu anaknya pergi merantau, Pak," sahutku. 

"Kalau Mbak mau, silakan ambil aja!" titah Ibu. 

"Tidak, Bu, terima kasih." 

Rasa sakit hati oleh ucapan mertua semakin menggunung. Ibu hanya basa-basi saja. Kalau niat memberi, mengapa tidak dari tadi? Bang Agam menggenggam jemariku, lalu dia berdiri. 

"Aku harus ke rumah Pak Wijaya. Aksa, hati-hati di jalan, jaga kesehatan, jangan lupa salat lima waktu. Jaga batasan kamu dengan perempuan. Abang kerja dulu." 

Itulah Bang Agam. Sekesal dan seiri apa pun dia, tetap menyayangi adiknya. Dia memeluk Aksa sebelum berangkat kerja. Aku tersenyum melihat pemandangan itu. 

"Abang kalo butuh bantuan, bisa hubungi aku," sahut Aksa. 

Bang Agam tersenyum samar. Kurasakan ada yang berbeda, sepertinya aku harus bertanya nanti malam padanya. 

Setelah Bang Agam pergi, Alan dan Rima datang. Mereka membawa satu kresek besar makanan untuk dibawa Aksa. Aku menjadi malu, sebab tidak bisa memberikan apa pun untuk adik bungsu. Biarlah, nanti kalau sudah ada uang, aku akan mengirim makanan ke alamatnya di kota. 

"Wah, kamu bawa apa aja, Lan?" tanya Bapak antusias. Beliau membuka kresek yang dipegang Rima. 

"Camilan, Pak. Lumayan, buat di jalan," sahut Rima. 

Rima duduk di sampingku, lalu membantu memasukkan kue-kue. Aku fokus mengerjakan itu semua, rasanya ingin cepat selesai dan menyusul Bang Agam. 

"Mbak, kenapa diem aja?" tanya Rima pelan. 

"Gak apa-apa, Rim. Mbak hari ini mau bantuin Bang Agam beberes di rumah Pak Wijaya, tapi harus bantuin Ibu dulu." 

"Yasudah, Mbak pergi aja. Ini biar aku yang selesaikan." 

Aku mencoba untuk menimbang-nimbang. Kalau menunggu sampai selesai, bisa terlalu siang aku menyusul. Ah, lebih baik aku pergi saja. Toh, ini juga sedikit lagi selesai. 

"Yasudah, Mbak mau ke rumah Pak Wijaya, ya." 

Rima mengangguk, aku membersihkan remahan kue yang menempel di baju. Lalu, berpamitan kepada Bapa dan Ibu. Aku menjelaskan membantu Bang Agam beres-beres di rumah Pak Wijaya. 

"Suami kamu itu keras kepala, Mbak. Disuruh garap sawah malah gak mau. Lebih memilih jadi pembantu," cibir Bapak. 

"Bapak sendiri yang bilang, kalau Abang harus bisa berdiri tanpa bantuan orang tua karena sudah menikah. Jadi, menggarap sawah Bapak sama saja suamiku mendapatkan bantuan, tidak bisa bergerak sendiri." 

Bapak terdiam mendengar jawabanku. Seandainya aku berkata jujur, kalau Bang Agam kecewa gara-gara masalah penjualan sawah dulu, entah apa reaksi Bapak. 

"Pokoknya, kalau Bapak butuh sesuatu telepon aku, ya. Apalagi misal Bapak atau Ibu sakit, cepat hubungi aku. Aku akan segera pulang untuk mengurus kalian," ujar Aksa. 

Aku semakin tidak tahan ingin segera pergi. Aku berpamitan kepada Aksa juga. Menasehatinya seperti yang Bang Agam lakukan. Secepat kilat aku meninggalkan rumah Ibu. 

Saya menuju rumah Pak Wijaya dengan jalan kaki. Jaraknya lumayan agak jauh, tapi tidak apalah, jalan kaki kan sehat. Sepanjang perjalanan, saya membayangkan penampilan Bang Agam yang berubah. Aku masih tidak percaya kalau dia selingkuh. Memang, dia sedang menyembunyikan sesuatu, dari gelagatnya yang mencurigakan, tapi aku tidak yakin kalau itu soal perempuan. 

Suara klakson bikin kaget. Aku menoleh ke belakang. Mobil putih itu berhenti tepat di sampingku. 

"Risa, kamu mau ke mana?" tanya seseorang dalam mobil. 

"Mita, aku mau ke rumah bosnya suamiku." 

Mita keluar dari dalam mobil. Dia memelukku erat, ah, rindu sekali rasanya. 

"Ikut aku saja. Jangan jalan kaki, capek tahu!" 

Belum juga aku menjawab, Mita sudah mendorong masuk ke dalam mobil. 

Sepanjang perjalanan, kami bernostalgia. Betapa cantiknya Mita sekarang. Menikah dengan pengusaha sukses, menjadikannya ratu dalam sekejap. Akan tetapi, suaminya malah serong utama. Padahal, Mita cukup sempurna menurutku. 

"Eh, sebentar, ya, ada telepon." 

Mita menepikan mobilnya, lalu mengangkat telepon. 

“Iya, Gam, ada apa?” 

Jantungku seperti berhenti berdetak saat mendengar kata 'Gam' apa orang yang dimaksud Mita adalah suamiku? 

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status