Share

Bab 4

Bang Agam bercerita dengan wajah berkaca-kaca. Bagaimana tidak, Pak Wijaya memercayakan rumah yang selama ini sering dibersihkan. Katanya, rumah itu akan ditinggali oleh anaknya dari kota. Akan ada dua orang pembantu, dua satpam, dan satu tukang kebun nantinya. 

Suamiku dipercaya untuk mengawasi para pekerja, sesekali dia bisa membantu. Akan tetapi, Bang Agam harus lebih fokus dengan mengawasi saja. Jika mereka membutuhkan sesuatu, bisa melalui Bang Agam. Nantinya, dia yang akan menyampaikannya langsung kepada anak Pak Wijaya. 

Aku mengucap syukur berulang kali. Itu berarti, suamiku akan mempunyai gaji setiap bulannya. Ada harapan untuk mulai menabung dan kami tidak akan kesusahan membeli beras lagi. 

"Alhamdulillah, Bang, Allah telah memberikan jalan untuk kita mengubah nasib." 

"Iya, Dek. Perbanyak bersyukur, jangan selalu melihat ke atas, ya. Semoga Allah memudahkan langkah kita." 

Aku memeluk Bang Agam. Kami memang tidak mempunyai harta yang melimpah, tetapi kami mempunyai jutaan cinta dan kasih sayang. Terlebih, sikap Bang Agam yang sangat lembut serta setia, membuatku banyak-banyak bersyukur. 

Teman SMP-ku mempunyai banyak uang, tetapi suaminya tukang selingkuh. Beberapa waktu lalu, kami sempat bertemu di pasar. Setelah bertahun-tahun berpisah karena dia pindah rumah, akhirnya Allah mempertemukan kami lagi. Dia sangat senang, pun denganku. Kami memilih mengobrol di kedai bakso yang agak jauh dari pasar. 

Namanya Mita, dia teman terbaikku saat sekolah. Sekarang, Mita sangat berkelas. Terlihat dari baju dan aksesoris yang dia kenakan. Namun, biar pun sudah menjadi sultan versiku, dia tetap ramah serta baik hati. 

Mita bercerita kalau suaminya sudah dua kali ketahuan selingkuh. Air matanya berderai, sesekali dia sesenggukan. Aku menjadi iba, padahal dia memiliki segalanya yang tidak aku miliki. Kuusap tangannya lembut untuk memberikan kekuatan. Kami terpaksa mengakhiri bercerita karena Mita sudah ditelepon suaminya. 

Dering ponsel Bang Agam membuyarkan segala lamunanku. Dia mengangkat seraya menjauh. Aku melongo melihat sikap Bang Agam, tidak biasanya dia begitu. Apa ada sesuatu yang dia rahasiakan? 

Cukup lama Bang Agam menerima telepon, aku menjadi gelisah dan berpikiran hal yang tidak-tidak. Daripada aku mati penasaran, lebih baik menghampirinya keluar. 

"Bang," panggilku lembut. 

Bang Agam tersenyum seraya memasukkan kembali ponselnya ke saku celana. 

"Ibu meminta kita ke rumahnya besok pagi. Katanya, ada sesuatu yang akan Aksa sampaikan." 

"Jadi yang barusan telepon itu Ibu?" 

"Emm ... iya, Dek." 

Bang Agam terlihat gugup, naluri seorang istri biasanya kuat. Aku yakin, suamiku itu tengah menyembunyikan sesuatu. 

"Oh, iya, insyaallah besok kita ke sana." 

Aku memilih tidak membahasnya sekarang. Bang Agam bernapas lega, terlihat dari cara mengembuskannya. Wajahnya pun tersenyum dipaksakan. 

***

Sekitar pukul 9 pagi, aku ke rumah Ibu bersama keluarga Alan. Bang Agam hanya bisa singgah sebentar. Sebab, Pak Wijaya meminta untuk melanjutkan membersihkan rumah yang kemarin belum selesai. 

Kami sudah kumpul di ruang tamu. Salsa dan Asti bermain di taman belakang. Di atas meja, sudah tersaji kue-kue basah serta teh panas. Aku memperhatikan Ibu yang tengah sibuk menyodorkan kue-kue tersebut kepada Aksa. 

"Mumpung kamu lagi di sini, Nak. Ayok, dimakan bugisnya! Tuh, itu juga. Kue cokelat kesukaanmu," tawar Ibu. Telunjuknya sibuk menunjuk sana-sini. 

Bapak pun bersikap demikian. Tidak ingat kah mereka, jika di ruangan ini masih ada Bang Agam dan Alan? 

"Pak, aku tidak punya banyak waktu. Aksa mau menyampaikan apa?" tanya Bang Agam tanpa basa-basi. 

"Iya, Pak. Aku juga mau ke toko kain sebentar lagi," timpal Alan. 

"Kalian itu, ada adik pulang bukannya meluangkan waktu malah pada sibuk. Terutama kamu, Gam. Cuman membersihkan kebun saja pake acara gak punya waktu," cibir Bapak. 

"Meskipun membersihkan kebun, itu tetap harus disiplin, Pak. Namanya juga kerja sama orang lain." Bang Agam sudah tersulut emosi. 

"Bapak sama Bang Agam malah ribut, seperti anak kecil saja," ujar Aksa. 

Akhirnya, Bang Agam dan Bapak pun diam. Di antara anak-anaknya, memang suamiku yang selalu menjawab ucapan Bapak kalau terlalu menyakiti. Dulu, Bang Agam tidak begitu. Jika tidak enak dengan omongan orang tuanya, dia pasti akan diam atau memukul tembok untuk melampiaskan rasa kesalnya. 

Aku sangat khawatir, tidak jarang darah segar mengucur dari jari-jarinya. Terakhir kali Bang Agam melakukan itu, saat kesal dengan ucapan Bapak. Beliau berkomentar, kalau motor Bang Agam itu sudah banyak kerusakan karena jarang di-service. 

"Motor itu dirawat, Gam, jangan hanya dipake saja! Udah mah tua umurnya, eh, jarang diservice. Kamu sisihkan uang dari hasil kerja, palingan ini cuman 400 atau 500 ribu." 

Mendengar Bapak berkata begitu, Bang Agam sangat marah. Orang tuanya itu seakan buta dengan keadaan anaknya yang hanya kerja serabutan. Sudah dapat makan setiap hari pun untung, tidak menyusahkan beliau dengan meminta beras atau nasi. Walaupun suamiku tahu, di rumah ibunya banyak makanan dan beras. 

Aku menasehati Bang Agam saat dia tenang. Kuobati lukanya sembari memberinya semangat. Aku tidak kuasa menyembunyikan tangis. 

"Abang, jika tidak suka dengan ucapan Bapak atau siapa pun itu, tidak usah didengarkan, anggap saja angin lalu. Abang itu suami hebat bagiku. Menunda keperluan lain demi kebutuhan anak istri. Jangan dipikirin, ya, ucapan Bapak. Fokus saja dengan kehidupan kita." 

Kulihat matanya berkaca-kaca. Saat dia terluka begini, aku jauh sakit darinya. Tidak menyangka, kok, ada orang tua yang seperti itu? 

"Bang, jangan mengingat setiap kesalahan orang lain kepada kita, tetapi ingatlah kebaikannya. Jangan menaruh dendam, itu tidak baik." 

Bang Agam menenggelamkan wajahnya di dadaku. Aku usap kepalanya lembut. Sekuat-kuatnya seorang lelaki, tetap akan lemah jika di hadapkan dengan urusan seperti tadi. Harga dirinya terluka karena belum bisa membahagiakan anak istri. 

"Aksa, kamu mau bicara apa?" tanya Ibu lembut. 

"Aku ingin melamar pacarku, Bu, dalam waktu dekat," sahut Aksa. 

Kami semua kakak-kakaknya saling pandang. Melamar? Dikenalkan saja belum, main lamar saja. Dulu, saat Bang Agam menyampaikan niatnya padaku, Ibu memintaku untuk berkunjung ke rumahnya. Tentu saja aku bersedia, sebab kami harus mengenal satu sama lain. Mendekatkan diri dengan keluarga Bang Agam agar tidak ada penyesalan di kemudian hari. 

"Alhamdulillah, kapan itu, Nak?" Ibu sangat antusias. 

"Mungkin sekitar dua atau tiga minggu lagi." 

Bapak dan Ibu terlihat bahagia, lalu mereka bertanya tentang calon istrinya Aksa. Ternyata, wanita itu satu tempat kerja dengannya. Kata Aksa, gadis itu sangat cantik dan sopan. Sesuai dengan harapan Bapak dan Ibu. Aku tersenyum sekilas, ingin tahu, seberapa kuat istri Aksa nantinya jika tinggal di sini. 

"Calonmu gak disuruh main ke sini dulu, Sa?" tanyaku santai. 

"Emm ... dia sibuk, Mbak. Lagi pula, dari sana ke sini, kan jauh beda kota." 

"Cuman tiga jam perjalanan, Sa. Gak terlalu jauh, kok. Mbak aja dulu kenalan dulu dengan keluarga di sini sebelum Bang Agam melamar." 

Sengaja aku berkata demikian untuk menyindir Ibu. Jika Bang Agam dan Alan diperlakukan sama, Aksa juga, dong. Ibu terlihat salah tingkah, beliau pasti ingat dengan sikapnya dulu padaku dan Rima. 

"Iya, Sa. Mbak juga pengen kenalan sama calon istri kamu," timpal Rima. 

Aku tertawa jahat dalam hati. Akhirnya, adikku itu mau mendukung ucapanku. Kulirik Rima, dia tersenyum kecil. 

"Namanya orang kerja di kantoran, Mbak, pasti sibuklah. Buktinya, Aksa juga susah sekali mau pulang. Gak apa-apa, kita aja nanti yang ke sana untuk lamaran," jawab Ibu kesal. 

"Ya terserah, sih, tapi lucu saja. Calon menantu dan calon mertua gak saling kenal, tiba-tiba lamaran aja," sarkasku. 

Ibu mengalah, beliau tidak menjawab lagi. Setidaknya, aku merasakan kelegaan dalam hati. Kami mengobrol sambil memakan hidangan yang ada. Bang Agam berkali-kali mengecek ponselnya. Sesekali dia mengetik, mungkin mengirim pesan. Aku tidak berani mengintipnya. 

"Pak, Bu, aku harus berangkat sekarang. Aku pamit, ya." Bang Agam mencium tangan orang tuanya. 

"Aksa, sebaiknya kamu bawa dulu ke sini calon istrimu itu. Kenalkan kepada kami. Kalian tidak sesibuk presiden yang menunggu jadwal berbulan-bulan untuk bertemu seseorang," sindir Bang Agam sebelum pergi. 

Aksa terdiam, kulihat kilatan amarah dalam sorot matanya. Ya, suamiku dan Aksa sama-sama keras kepala, hanya Alan yang bisa bersabar dan mengalah. Dia jarang sekali ribut dengan keluarganya. 

"Aku juga pamit, Pak, Bu." Alan melakukan hal yang sama, yaitu mencium punggung tangan orang tuanya. 

"Abang pengen tahu, cantikan calon istrimu atau Mbak Rima," gurau Alan. Dia menepuk bahu Aksa seraya tersenyum. 

Setelah Bang Agam dan Alan pergi, aku duduk mendekat ke arah Rima. Wanita itu memberiku sepotong kue. Kami memakannya sambil bergosip tipis-tipis. Ibu dan Bapak mengobrol dengan Aksa. Mereka sangat bahagia, apalagi saat anak bungsu bercerita tentang penghasilannya dari usaha yang kini sedang dirintis. 

Tidak dipungkiri, aku pun sangat bahagia jika salah satu adik Abang ada yang sukses. Setidaknya, mereka tidak akan kesusahan untuk mencari makan macam keluargaku. Ya, walaupun terkadang aku kesal juga dengan Aksa atau kedua mertua yang selalu meremehkan pekerjaan suamiku. Kalau mereka sayang dan peduli dengan Bang Agam, mengapa tidak membantu saja? Memberi pekerjaan yang layak untuk Bang Agam. Sebab, jika diberi uang atau sawah, suamiku sudah tidak mau lagi, dia sangat kapok. 

"Tidak sia-sia Bapak menyekolahkan kamu tinggi-tinggi, Nak. Sekarang kamu berhasil," ujar Bapak bangga. 

"Iya, Pak, alhamdulillah," sahut Aksa. 

Aku menyenggol lengan Rima, memberi kode untuk mendengarkan percakapan Ibu, Bapak, dan Aksa. 

Adik bungsu Bang Agam itu bercerita kalau usaha kafenya sangat ramai pengunjung, apalagi di akhir pekan. Belum lagi usahanya dengan teman yang lain. Jadi, selain kafe, Aksa pun membuka distro bersama temannya. Di pasarkan lewat online, jadi lebih luas jaringannya. Syukurlah, jadi biaya sekolah Aksa yang entah berapa, tidak sia-sia. 

Aku masih tenang mengobrol dengan Rima, sampai akhirnya hatiku tidak terima saat Aksa bilang, "Bang Agam tidak sekolah tinggi-tinggi, sih, jadi hanya bekerja serabutan." 

Aku mendelik kesal ke arah Aksa, tetapi dia malah tersenyum seperti tidak merasa kalau apa yang diucapkannya hal yang wajar. Didukung dengan sikap Bapak dan Ibu yang biasa saja, membuat Aksa semakin menjadi-jadi. 

"Bang Agam kerja sama aku aja, Mbak. Mendingan disuruh adik sendiri, kan, daripada sama orang lain," ujar Aksa tanpa berdosa. 

"Nah, betul itu. Agam bekerja di kafe Aksa saja. Pulang sebulan sekali," timpal Bapak. 

Aku mengatur napas agar tenang, aku tidak terima Bang Agam direndahkan begini, meskipun dengan keluarganya sendiri. Untung saja, suamiku sudah berangkat kerja. 

"Aksa, kau tahu? Abangmu berhenti sekolah agar kamu dan Alan bisa sekolah sampai menjadi sarjana. Dia mengorbankan masa depannya untuk kalian. Dulu, Bapak tidak seperti sekarang yang mempunyai banyak harta. Ah, kamu gak akan ingat karena masih kecil." 

Bapak, Ibu, dan Aksa langsung terdiam. Padahal, sebelum aku bicara, mereka masih tertawa. 

"Jangan memandang rendah abangmu, Aksa!" sentakku meluapkan emosi. Tidak peduli kalau nanti orang tuanya marah padaku. 

"Loh, kok, jadi marah, Mbak? Apa yang Aksa sampaikan itu benar," bela Ibu. 

"Jika yang dikatakan Aksa benar, bagaimana dengan ucapanku?" Aku balik bertanya. 

Ibu saling pandang dengan Bapak. Aku yakin, mereka pun tahu kalau apa yang aku ucapkan benar adanya. 

Bang Agam dan aku menikah muda  karena kami sama-sama tidak kuliah. Daripada menimbulkan fitnah, jadi kami memutuskan untuk menikah saja. Sebenarnya, Bang Agam ingin sekali kuliah jurusan bisnis. Akan tetapi, sejak SMP dia sudah menghapus semua cita-citanya demi kedua adiknya. Apalagi Aksa, sejak kecil dia paling beda sendiri. Membeli barang harus yang mahal. Dari mulai pakaian, mainan, sampai makanan pun harus beda dari teman-temannya. Dulu, ekonomi Bapak belum seperti sekarang. Maka dari itu, Bang Agam yang sudah besar, mengalah saja. 

"Aku mau pulang, Bu, Pak. Terima kasih kuenya." 

Meskipun aku sedang kesal, kucium tangan Bapak dan Ibu. Mereka berwajah masam, aku tidak peduli! Aku menghampiri Asti di taman, lalu mengajaknya pulang. 

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status