Share

22. Pelarianku Dari Pernikahan Yang Tak Kuharapkan

Ruby dan Sena masuk ke kamarku. Aku yakin di benaknya dipenuhi pikiran kotor. Ruby dan Sena menatapku dengan tatapan tajam dan licik.

"Wah kayak Cinderella aja," ujar Ruby.

"Aku tahu kamu tidak menginginkan pernikahan ini, bukan?" tanya Ruby kepadaku.

"Apa kamu yakin bisa bahagia hidup dengan Tuan Muda? Apalagi kalau Tuan Muda nanti menikah lagi dengan Non Marwa," tanya Sena mendekatiku. 

"Dan yang perlu kamu ingat, ancaman Nona Marwa tidak main-main!" Ruby mengingatkan.

"Apa yang kalian inginkan sebenarnya?" tanyaku kepada Ruby dan Sena.

"Aku ingin membantumu pergi dari istana ini," tawar Sena.

"Ini yang kamu inginkan sejak lama kan, aku kalah dan pergi dari Faruq?" gumamku dalam hati. "Aku mengalah bukan karena kalah, demi kebahagiaan Tuan Muda dan Iqbal anakku aku harus pergi," lanjutku.

"Apa hatimu masih bebal dengan semua yang kamu alami di sini? Tidak gentar juga?" tanya Sena mengumpat.

"Aku capek dengan semua ini, kalau kamu ingin aku pergi, apa yang bisa kamu bantu untukku?" tanyaku.

"Aku bisa membantumu keluar dari sini. Untuk yang lain maaf aku tidak bisa!" kata Ruby dengan sombong.

"Baik, itu sudah cukup bagiku, aku tidak menginginkan bantuan apapun dari kalian. Karena aku tidak suka berhutang budi kepada orang yang membenciku," jawabku dingin dan ketus.

"Oke cepat, kamu sudah kehabisan waktu, mobil penghulu sudah datang!" teriak Sena yang berdiri di depan jendela dan melihat jauh ke halaman.

"Ayo cepat!" desaknya tanpa memberiku kesempatan bersiap.

Ruby dan Sena bekerja sama menarik seprai, korden dan apa saja untuk disambung kemudian dikaitkan besi loteng agar terjuntai kuat ke bawah. Aku menatap ke tali itu dan sudah siap membawaku turun.

"Ruby, suruh Markamah matikan penerangan di halaman sebentar agar penjaga tidak melihat Fahim turun dan lari keluar!" perintah Sena kepada Ruby.

Dengan gerak cepat Ruby menelepon Markamah agar penerangan di halaman dimatikan sebentar. Dan tak berselang lama lampu halaman pun mati.

"Cepat Fahim lampu sudah mati! Kamu bisa lari sampai ke luar karena penjaga pasti sibuk mengurusi lampu," desak Ruby.

"Cepat!" Sena pun mendesak.

Aku gugup, panik, semua begitu tiba-tiba, aku pergi tanpa berpesan apapun kepada Iqbal maupun Priya, sahabatku. Aku meraih dompet yang berisi sedikit uang. Karena Faruq memberiku gaji langsung masuk rekening tanpa uang tunai. Dan tak lupa ponsel Faruq kubawa juga, kelak bisa bermanfaat bagiku. Aku memasukan semua di dadaku agar tanganku bisa berpegangan kuat pada tali dan bisa dengan aman turun ke lantai bawah.

Aku melangkah jendela dan kini mulai menitih tali yang terjuntai ke bawah. Kini aku sudah bergelantungan di tengah-tengah tali itu.

"Cepat Fahim, lampunya keburu di nyalain!" desak mereka berdua dari atas.

Aku tidak menjawabnya, antara takut dan capek aku masih bergelantung di tali. Saat aku melihat ke bawah ternyata tali itu tidak sampai ke tanah. Masih ada jarak sekitar tiga meter lebih. Itu berarti aku harus melompat. Aku jadi ragu dan takut.

Aku menatap ke atas, tidak mungkin untuk kembali ke sana. Aku melihat ke bawah, bagaimana aku turun? Untuk melompat masih jauh dan takut. Apalagi di bawah ada taman penuh kerikil hias yang tajam.

"Cepat turun Fahim, lampunya keburu menyala!" bentak mereka mendesak dan aku masih bisa mendengarnya.

Dengan kepasrahanku yang kuat, kupejamkan mataku dan Bismillahirrahmanirrahim! Aku melompat.

"Auh!" jeritku spontan.

Kini aku sudah di tanah, diatas kerikil tajam. Pahaku perih berdarah, ternyata ada luka. Aku mengamati dari mana luka ini kudapat. Ternyata ada ranting kering yang berdiri dan menancap di pahaku. Aku tidak memperdulikannya lagi karena lampu sudah menyala. Aku masih bersembunyi diantara dedaunan sambil memastikan keadaan aman.

Aku berlari menuju mobil itu untuk bersembunyi di bagasinya. Perlahan aku masuk dan merebahkan tubuhku di bagasi yang pengap dan sempit. Gaun pengantin yang lebar dan panjang sangat menyulitkan aku menata tubuhku. Aku harus menarik gaunku yang panjang agar bisa masuk semua. Setelah bisa masuk aku mulai merebahkan tubuhku dengan debar-debar jantungku yang berpacu hebat.

Clek! 

Aku terperanjat, bagasi itu terkunci dengan sendirinya. Aku tidak berani berkutik, kudengar mobil mewah bisa membunyikan alarmnya bila dalam keadaan tidak aman. Aku mulai pengap dan berkeringat, dadaku terasa sesak. Aku mengeluarkan dompet dan ponselku dari dadaku.

Sepuluh menit kemudian mobil itu menyala. Aku berharap mobil segera pergi dari sini, keburu Faruq menyadari aku tidak ada di kamarku. Mobil pun mulai berjalan, aku merasa sesaat mobil  berhenti itu pasti karena melewati pintu penjagaan.

"Selamat jalan, Tuan, hati-hati!" ucap penjaga pintu.

"Penjaga ... tutup pintunya! Periksa setiap mobil yang ke luar!" teriak Faruq keras.

"Baik, Tuan Muda!" jawab satpam tegas.

Deg! Bagai dihantam sebongkah batu dadaku. Aku masih bisa mendengarnya sekalipun suaranya tampak jauh dan samar-samar.

"Ayo cepat pergi!" gumamku dalam hati.

Mobil yang kutumpangi pun berjalan dan kemudian melaju dengan kencang.

Alhamdulillah! Plong rasanya dadaku. Aku benar-benar terbebas dari pernikahan itu, terbebas dari penderitaan. Lukaku semakin terasa sakit dan perih. Dadaku semakin sesak dan kepalaku pusing.

Apa yang terjadi denganku kemudian?

Bersambung ...

..

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status