Aku masih terdiam tak percaya, seolah semua bagai mimpi. Muzammil telah mengetahui segalanya, bukan saja luka di paha yang sedang kututupi, tapi luka di hatiku pun dia mengetahuinya juga.
"Apalagi yang sedang kamu renungkan, hah? Udah tidur saja, aku menundanya pulang ke rumahku. Aku akan merawat kamu dulu," ujar Muzammil.
"Tidak perlu, Pangeran, aku sudah tidak apa-apa. Nanti keluarga Pangeran menunggu, kasihan mereka datang dari Kerajaan Tukasha yang sangat jauh.
"Ya sudah, gimana kalau sementara aku panggilkan Hermin ke sini, biar dia menemani kamu?" tawar Muzammil.
"Bolehkah, Pangeran Muda? Apa bener pangeran akan memanggil Hermin untukku?" tanyaku seolah tak percaya.
"Aku kan yang menawarkan? Tentu saja sudah kupikirkan sebelumnya. Santai saja, Hermin baik kok aku sudah mengenalnya lama sekali. Dia setiap Sabtu dan Minggu kerja paruh waktu di sini," Muzammil mengungkapkan.
"Iya dia sangat baik, Pangeran, dia membantuku melewati se
Aku menguping pembicaraan di telepon antara Faruq dengan Muzammil. "Sekarang aku di rumahmu, Zammil," ujar Faruq. (...) "Pembantu barumu mempersilahkan aku masuk, dia sedang membuatkan aku kopi," kata Faruq. "Kayaknya bukan Rosa, dimana Rosa?" (...) "O jadi dia bersamamu di situ? Tidak apa-apa kok, aku cuma kangen sop buntut sama susu kurmanya. Semua itu mengingatkan aku kepada Fahim, Zammil." ujar Faruq sedih. Tak lama kemudian Hermin datang dengan membawa nampan berupa secangkir kopi dan makanan kecil. "Silakan diminum kopinya, Tuan!" kata Hermin mempersilahkan. "Iya, terima kasih." jawab Faruq. "Zammil, aku bisa melacak keberadaan Fahim sekarang." ujar Faruq. "Aku mendapat kabar dari pihak bank kalau Fahim habis menarik tunai di Gardu ATM di wilayah Barhee city," ungkap Faruq. Aku baru tahu ternyata posisiku bisa terlacak dari aktifitas ATM. Untung sekarang aku sudah berada di rumah Muza
Muzammil teringat saat itu aku sudah menceritakan kisah hidupku, tapi kali ini matanya melihat lagi bukti kekejaman keluarga Faruq dengan melihat bekas luka di tanganku. "Pasti ini rasanya sakit sekali, Fahim? Mereka selalu mencambukmu ya, di seluruh tubuhmu pasti penuh bekas luka?" tanya Muzammil menebak. "Itu tidak seberapa Pangeran, eh Kak Zammil, asal aku dan Iqbal tidak dipisahkan. Kami saling membutuhkan, aku sangat menyayanginya, Kak Zammil. Perpisahan adalah sesuatu yang paling aku takutkan," kataku sambil air mata menggenang di mataku. "Iya aku paham, Fahim, tapi hubunganmu sangat rumit apalagi setelah Faruq menikah," ujar Muzammil. "Kalau kamu bertahan disitu demi Iqbal maka kamu yang akan selalu tersakiti," lanjutnya. "Iqbal sekarang tenang, setelah tahu saya berada disini, Kak Zammil," ujarku kepada Muzammil. "Jadi dia sudah tahu kalau kamu ada disini?" tanya Muzammil meyakinkan. "Iya." Aku kangen Iqbal, Kak Zammil
Aku terkejut saat Muzammil mengungkapkan perasaannya kepadaku gara-gara mimpi itu. Dan anehnya aku dan Muzammil bermimpi sama, melarikan diri dengan menunggang kuda putih. "Kak Zammil tidak sedang bermimpi kan berkata ini?" tanyaku tak percaya. "Maaf, anggap saja hanya sekedar mimpi, Fahim! Anggap saja aku lagi mengigau juga boleh," kelakar Muzammil mengalihkan pembicaraan. "Aku sudah menduga, Kak Zammil pasti lagi bergurau," ujarku kecewa. Aku berharap apa yang baru saja kudengar itu adalah nyata, bahwa Kak Muzammil sedang jatuh cinta padaku. "Fahim, kembalilah tidur!" perintah Muzammil. "Haruskah aku beritahu Kak Zammil kalau aku juga pernah bermimpi yang sama? Apakah dia percaya? Takutnya dia berpikir aku hanya mengada-ada," batinku. "Kak Zammil, aku mau telepon Iqbal minta izin menikah denganmu, boleh ya?" pintaku kepada Muzammil. "Tentu saja boleh, gimana kalau besuk kita temui dia di sekolahnya?" tawar Muzammil.
Sepulang dari sekolah Iqbal, aku dan Muzammil langsung menuju Kantor Kedutaan Tukasha. Semua surat-surat dan paspor sudah bisa diselesaikan dengan mudah. Mereka mencatat aku sebagai warga Tukasha dengan nama Zhee Amalia. "Rencana berikutnya mohon restu pada orang tuaku," kata Muzammil. "Apa itu harus, Kak Zammil? Kan pernikahan kita cuma bohongan, haruskah melibatkan orang tua?" ujarku bertanya. "Bohongan? Aku seorang Pangeran, seorang Putra Mahkota Tukasha melakukan pernikahan bohongan? Aku sadar tujuanku menikahimu hanya untuk menolongmu, tapi namanya pernikahan itu sakral, Fahim," ujar Muzammil tegas. "Saya cuma takut mengalami banyak pertentangan, akhirnya gagal. Pasti orang tua Kak Zammil tidak mengijinkan Kak Zammil menikah dengan orang rendahan seperti saya," kataku ragu. "Tapi dengan menikah diam-diam keluargaku akan lebih kecewa bahkan marah besar bisa-bisa mereka menghukumku," ujar Muzammil dengan pandangan kosong. "Pernikahann
Tanpa berpikir panjang aku menghampiri pintu dan membukanya. Hah? Aku terperanjat kaget, ternyata Faruq yang datang dengan mendadak tanpa memberi kabar sebelumnya. Aku menatap tajam terpaku seolah tak percaya. Faruq yang menyadari tangannya melambai di wajahku sambil berbisik, "Bisa bertemu dengan Muzammil, Rosa?" Sontak membuyarkan keteganganku, aku gugup dan salah tingkah. "Iya bisa," jawabku lirih. "Kenapa ya setiap kali aku mendekatimu terasa mendekati calon istriku. Suaramu, tatapan matamu dan postur tubuhmu, bahkan aroma tubuhmu pun ...," ujar Faruq sambil wajahnya di dekatkan ke wajahku. "Siapa yang datang, Fa ...," kata Muzammil terputus saat melihat Faruq yang datang. Hampir saja dia keceplosan menyebut nama Fahim di depan Faruq. Hatiku berdebar-debar hanya dengan mendengar dan dekat dengan Faruq. Apalagi tadi Faruq sempat menggoda dengan mendekatkan wajahnya, sontak membuatku sesak bernafas. "Ros
Setelah perlakuan Faruq seperti itu membuat aku tidak nyaman lagi berada diantara mereka. "Permisi aku ke belakang," gumamku lirih. Mereka makan berdua, aku melihat hubungan mereka semakin kaku. Dret ... Dret ... Dret ...! Ponsel di atas meja makan bergetar. "Faruq, nikmati makanmu, sebentar aku masih terima telepon!" pamit Muzammil menuju teras depan rumah. Aku melihat Faruq berdiri dan berjalan menghampiriku. Kini aku merasa dia sedang berdiri di belakangku. Tanpa Muzammil di dekatku aku merasa tidak aman. Jantungku berdegup kencang, dadaku tiba-tiba sesak bernafas. "Ada susu kurma buatku?" tanya Faruq sambil mendekatkan wajahnya. Aku terbelalak, tak menyangka Faruq senekat itu. Tanpa menjawab aku mengambil gelas keramik, memanaskan susu dan menambahkan kurma yang kublender kasar. Faruq tertegun menatapku dari belakang. Hatiku semakin dag dig dug tak menentu. Bagaimana kalau dia menyadari kalau aku adalah Fahim?
"Yakin kamu menikah denganku, Fahim? Kamu masih ada waktu untuk memikirkan ulang, Fahim!" bisik Muzammil di dalam mobil. Aku dan Muzammil duduk berdampingan, tanganku berkeringat dingin. "Aku siap, Kak Zammil," jawabku pelan. "Kamu gugup ya?" tanya Muzammil yang selalu tersenyum mengembang. "Tidak kok," jawabku berbohong. Tak lama mobil yang kami tumpangi, parkir di satu masjid besar yang letaknya tak jauh dari rumah. "Ayo kita turun, Fattah dan Hermin sudah menunggu di dalam," ajak Muzammil. Aku melihat masjid itu tidak ada bedanya seperti hari-hari biasanya. Apakah Muzammil menikah sedemikian sederhananya, pikirku. "Ini akan membuat kamu aman dan nyaman," bisik Muzammil. Oh iya, kalau pernikahan ini meriah akan mengundang kontak banyak orang, bagaimana kalau salah satu ada yang mengenaliku? Kenapa aku tidak bisa berpikir ke sana sih? "Rosa, kemarilah!" teriak Hermin memanggil. Aku senang melihat
Kekuatan Faruq tak sebanding dengan aku yang kebetulan masih sakit tangan maupun kakiku. Aku terdorong ke belakang hingga sempoyongan. Aku tidak mengira Faruq yang datang sepagi ini. "Apa yang kamu lakukan?" tanyaku ketakutan. Tanpa menggubrisku Faruq menutup dan mengunci kembali pintunya. Dia berjalan mendekatiku. "Jangan mendekat!" bentakku. Faruq terus mendekatiku tanpa menghiraukan teriakanku. Kini aku terpojok, tubuhku terhimpit antara dinding dan tubuh Faruq. Aku takut, kebringasannya terbayang lagi di mataku. "Aku sudah menduga itu adalah kau, Fahim. Kamu tidak akan pernah bisa mengelabuhiku!" ujarnya geram. "Siapa yang ingin mengelabuhimu, Tuan Muda? Aku terjerat masalah berat, yang tidak kulakukan. Kamu yakin kan bahwa aku bukan pelakunya? Itu makanya aku harus menyamar" kataku. "Iya aku tahu, tapi itu hukuman yang pantas kamu terima karena untuk kedua kalinya kamu lari dari pernikahanku. Kamu sudah bikin aku malu!" uj