Share

5. Aku Harus Membela Diriku Sendiri

Aku harus memasak untuk makan siang majikan dan semua pembantu. Ada lima pembantu wanita, tiga sopir dan lima penjaga rumah dan bagian taman.

Mereka selalu mengerjai aku dengan memberikan pekerjaan mereka. Hampir semua pekerjaan berat diberikan kepadaku. Tapi kalau Iqbal atau Faruq sedang di rumah, mereka tidak berani menyuruhku bahkan sangat menghormatiku.

"Fahim, habis memasak jemur baju terus seterika!" perintah Ruby berlagak bos.

"Tapi sebelumnya sapu dan pel kamar ku dulu, soalnya ada pecahan gelas." sahut Sena.

Tanpa membantah aku menuruti apa kata mereka. Tapi sebelumnya aku menyiapkan makan siang buat nyonya. Aku dengan sabar berdiri di dekatnya agar kalau dia membutuhkan sesuatu  tidak kesulitan.

Nyonya hampir selesai makan, tiba-tiba Tuan Hussein datang.

"Sekalian siapkan makan buatku, Fahim!" pinta Tuan Hussein.

"Baik, Tuan." kataku dengan patuh.

Aku berjalan ke dapur mengambilkan lagi sayur yang hangat. Aku melihat para pembantu di dapur sedang bergerombol ngrumpi sambil tertawa-tawa. Begitu mengetahui aku masuk dapur, sontak mereka diam dan semua menatapku menyelidik. Aku jadi risih dibuat pusat perhatian mereka.

"Apa sih lebihnya, nggak ada kan? Tubuhnya kecil mungil biasa-biasa saja, apalagi wajahnya, pas-pasan!" seru Sena berdiri di dekatku.

"Udah lepas saja cadarmu, sok-sokan pakek cadar wanita kotor saja sok suci!" Ruby menimpali sambil tangannya menarik cadarku hingga lepas dan terjatuh kemudian dia menginjaknya. Bersamaan mereka tersenyum nyengir dan mengejek.

Aku menatap mereka dengan menahan kesal. Tapi mereka terbelalak menatapku, kemudian ngakak.

"O ternyata untuk menutupi luka bibir kamu yang pecah? Pasti itu ganjaran dari Tuan Muda Faruq, kamu sih suka ngebantah ... syukurin!" ejek Ruby diiringi tawa mereka.

Aku malas merespon, aku paling malas bicara yang tidak berguna. Dengan hati-hati aku menyiapkan sop daging di mangkuk bersama acar dan beberapa makanan yang lain di nampan.

Karena aku diam tidak meresponnya, ternyata membuat mereka penasaran dan sakit hati. Saat aku mulai melangkah dengan membawa nampan berisi makanan, semua pandangan tertuju padaku. Aku berpikir pasti mereka akan mengerjaiku lagi. 

Ternyata tidak salah, Ruby menyerampang kakiku agar aku terjatuh tentunya. Sontak aku melompat kecil sehingga kakiku lolos dari keusilannya. Bahkan dengan sengaja aku menjatuhkan kakiku tepat di jari kakinya. Dia berteriak kesakitan.

"Aduh, kurang ajar! Berani kamu!" teriak Ruby.

Memang kadang aku harus bersikap demikian. Meskipun badanku kecil dan nampak lemah tapi aku punya bekal pencak silat yang aku pelajari sejak kecil dari suatu perguruan di kampungmu. Tapi anehnya, aku tak berdaya berada dalam tindihan dan ancaman Faruq. Ilmu yang selalu ayahku banggakan yang katanya bisa menjaga diriku, ternyata tak berguna di hadapan Faruq. 

"Awas kamu!" Ruby berteriak mengancam.

Dan aku berlalu tanpa menghiraukannya. Di ruang tengah aku bertemu Priya, dia tersenyum sambil berbisik.

"Sekali-kali kamu harus melakukannya, Fahim! Biar mereka jera dan tidak meremehkanmu!"

Dan aku membalasnya dengan senyum dan anggukan setuju. Sesampai di meja makan aku melihat Faruq sudah berdiri di dekat meja makan sedang bercakap dengan kedua orang tuanya.

"Kok dia sudah pulang sih!" gerutuku dalam hati.

"Ambilkan untuk Tuan Muda sekalian!" perintah nyonya.

"Tidak usah, Umi, aku tadi meeting di restoran sudah sekalian makan siang. Di kantor sedang tidak ada pekerjaan aku pulang saja, capek!" ujarnya sambil menatap aku dengan tajam seolah kata-kata itu ditujukan kepadaku.

"Ya sudah istirahatlah! Fahim, buatkan minuman hangat buat Tuan Muda!" perintah nyonya kepadaku.

"Baik Nyonya!" jawabku.

"Sekalian ambilkan lagi sop dagingnya, Fahim. Sop kamu gurih dan segar!" sela Tuan Hussein.

"Sop daging? Aku juga mau, ambilkan juga buat aku, Fahim, dan bawa ke kamarku!' sela Faruq dari atas tangga begitu mendengar ada sop daging kesukaannya.

"Baik Tuan Muda!" jawabku.

Aku kembali ke dapur dan menyajikan kembali dua mangkuk sop.

"Mana buat Tuan Muda? Biar aku yang antarkan ke kamarnya!" Sena menawarkan diri sambil menatanya di nampan.

Dia mungkin tidak bisa menyakiti tubuhku dengan kekerasan, tapi mereka  pandai memfitnah dan bertipu muslihat. Aku mulai waspada. Aku membiarkan Sena mengantarkan sop daging dan susu kurma ke kamar Faruq. Padahal dalam lubuk hatiku yang paling dalam aku tahu, Faruq bukan saja menginginkan sop itu, melainkan dia ingin aku mendekatinya.

Aku membawakan sop ke meja makan sambil merapikannya.

"Kamu tadi keluar kemana, Umi?" Tuan Hussein bertanya kepada nyonya.

"Aku ke rumah Zaenab ambil baju-baju pesenanku, Abi!"nyonya menjawab. "Aku juga baru saja pulang." lanjutnya.

Tiba-tiba aku mendengar Faruq berteriak marah.

"Berani-beraninya dia meremehkan perintahku!" teriak Faruk marah.

Pyarrrr! Suara barang pecah belah dibantingnya.

"Kamu melimpahkan tugasmu pada orang lain, Fahim?" tanya Tuan Hussein.

"Iya, Tuan," jawabku menyesal.

"Bodoh! Dia memerintah kamu, bukan orang lain! Jelas saja dia marah?" hardik Tuan Hussein.

"Apakah dia akan mengamuk dan memukuliku lagi? Apa sih bedanya cuma ambilkan sop saja, baik dia maupun aku yang mengantar kan sama saja?" pikirku mengerutu. 

"Cepat kamu naik, cari gara-gara saja! Apapun alasannya, dia ingin cuma kamu yang melayaninya, tau?" hardik nyonya.

Aku segera berlari naik ke lantai atas menuju kamar Faruq. Sena di dalam kamar sedang membereskan pecahan kaca yang berceceran.

Saat aku datang dia menatapku dengan tatapan tajam dan geram.

"Maafkan aku, Tuan Muda!" ujarku ragu dan takut.

"Apa maksudmu? Aku menyuruh kamu kan, kenapa kamu lempar ke Sena? Kamu meremehkan aku ya? Bikin sakit hati, tau!" hardiknya melotot tepat di mukaku.

Aku melirik ke arah Sena yang jongkok membereskan pecahan kaca, dia tampak tersenyum puas melihat kemarahan Faruq kepadaku. Spontan aku punya ide agar emosi Faruq tidak berujung dengan main tangan di depannya. Dia akan tertawa menang bila sampai itu terjadi.

"Maafkan aku, Tuan Muda!"

"Maaf ... maaf saja bisanya!" sahutnya lagi.

"Kaki saya masih sakit, Tuan Muda. Saya kesulitan naik tangga sambil membawa sop panas. Kalau saya sedang baik-baik saja, pasti saya sendiri yang akan melayani Tuan Muda. Kan selama ini selalu saya yang melayani Tuan Muda," kataku dengan lembut dan manis.

Dalam hatiku bersedih, aku melakukan apa yang ada di luar kemauanku. Tapi tidak apa-apa, ini demi diriku sendiri agar tidak selalu ditindas oleh mereka.

"Kalau memang kamu masih sakit kan bisa bilang, biar aku saja yang turun makan di meja makan, Fahim." jawab Faruq melunak.

"Alhamdulillah!" ucapku dalam hati. 

Aku melirik ke arah Sena yang menatapku dengan kecewa.

"Sena, apa kamu belum selesai?" tanya Faruq kesal.

"Sudah, Tuan Muda," jawabnya gagap.

"Ya sudah kamu ke luar! Kenapa masih di situ?" usir Faruq.

"Baik, Tuan Muda."

Aku melihat Sena keluar kamar sambil melirikku dengan kesal. Aku yakin teman-temannya sudah menunggu di dapur untuk mendengar kabar tentang aku.

"Fahim, ...." panggil Faruq sambil menghampiriku.

Aku menatap Faruq dengan takut, tapi tak sengaja mataku justru melihat serpihan pecahan gelas itu di lantai. Sontak aku berlari menghampiri Faruq tanpa berpikir panjang. Entah kenapa aku tidak ingin pecahan kaca itu melukai  Faruq.

"Tuan Muda, berhenti!" teriakku sambil mendorong tubuhnya.

"Auh!" jeritku histeris.

"Fahim!" pekik Tuan Muda.

Aku merintih kesakitan, pecahan kaca itu menancap di kakiku. Darah segar mengucur hebat karena luka yang lumayan dalam. Serpihan kaca itu masih menancap di telapak kakiku.

"Kenapa kamu melakukan ini? Kenapa kamu tidak membiarkan aku yang terluka? Bukankah kamu membenciku?" cerca Faruq.

Aku diam tidak menjawabnya, dengan tidak sabar lagi aku terpaksa menahan sakit dengan mencabut pecahan kaca itu dari kakiku.

"Auh!" pekikku lirih.

"Apa  yang kamu lakukan? Sebentar kupanggil dokter!" ujarnya gugup.

"Tidak usah, Tuan Muda, biar kuobati sendiri saja!" kataku lirih.

Tapi Faruq tidak mendengarkan bahkan dia membopong tubuhku dan mendudukkan aku di bibir ranjangnya yang empuk. Dia segera mengambil kotak obat dan mengobati lukaku.

"Jangan Tuan Muda, biar kuobati sendiri!" kataku karena tidak enak hati dia memperlakukan aku seperti itu.

"Sudah diam, jangan bawel!" hardik Faruq.

Akhirnya aku membiarkan dia mengobati lukaku. Aku menatap wajah tampannya yang sedang mengkhawatirkan aku. Saat tangannya yang kekar itu mengoleskan anti biotik aku terperanjat karena sakit dan perih. Faruq menatapku dengan iba, sambil meniup lukaku dengan lembut. 

"Tahan sedikit lagi ya, kuolesi yodium!" pintanya sambil menatapku. Aku hanya diam membalas tatapan Faruq. Kami saling berpandangan sekejap, tapi dalam.  Setelah mengoles yodium, dia membungkus lukaku.

"Si ceroboh Sena harus dihukum! Sena ..!" teriak Faruq.

"Tidak perlu Tuan Muda, kan saya sudah tidak apa-apa." Aku menahannya agar tidak memperpanjang masalah.

"Bagaimana mungkin aku bisa memaafkan dia? Dia sudah melukaimu, Fahim!" pekiknya.

Aku hanya tersenyum pasrah meskipun hatiku sedih.

   ***

Pagi sekali, aku membantu Iqbal menyiapkan keperluan sekolah di kamarnya. Sebenarnya kakiku masih sangat sakit. Tapi aku tidak mau membuat Iqbal khawatir bila melihatnya.

"Ruby ... Sena ... Priya ...!" nyonya berteriak dengan keras.

"Ada apa dengan oma sih, pagi-pagi sudah teriak-teriak!" keluh Iqbal.

"Siapa kemarin yang memberesi kamarku?" tanya nyonya berteriak.

"Ada apa sih, Umi?" tanya Faruq menghampirinya.

"Faruq, perhiasan dan uang Umi hilang di lemari!" teriak nyonya lagi.

"Mana mungkin sih, untuk pertama kalinya kita kehilangan harta di rumah kita?" kata Tuan Hussein.

Aku dan Iqbal saling berpandangan, mendengar gaduh di bawah mengenai kehilangan.

Terlintas dalam pikiranku, ini pasti skenario mereka untuk memfitnahku lagi.  "Apa yang harus kulakukan?" pikirku dalam hati.

Sepertinya Iqbal juga sedang memikirkan sesuatu. Apakah yang dipikirkannya sama dengan apa yang sedang kupikirkan?

"Kalau sampai diantara kalian ada yang berani mencuri di rumahku, kalian tahu aku seorang polisi kan, aku penjarakan kamu! Dan hukuman untuk pencuri adalah potong tangan." Tuan Hussein berteriak marah dan mengancam.

Apa yang bakal terjadi denganku?

Bersambung ....

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status