Share

6. Pertama Kalinya Faruq Membelaku

Suara di lantai bawah mulai gaduh, kemarahan tuan dan nyonya sangat jelas terdengar.

"Fahim, turun kau!" teriak nyonya kemudian.

Aku dan Iqbal saling berpandangan, ada perasaan khawatir.

"Umi turun dulu, Iqbal!" pamitku kepada Iqbal.

"Aku ikut, Umi! Aku tidak mau Umi kena masalah. Aku takut mereka mengerjai Umi lagi!" ujar Iqbal.

"Tidak perlu takut sayang, selama kita  benar dan jujur, Allah pasti menolong kita," kataku menenangkannya, padahal hatiku sendiri ragu.

"Tapi Umi ...."  katanya terpotong.

'"Sudahlah kamu siapkan alat sekolah kamu dan segera turun untuk sarapan ya!" kataku kemudian berjalan meninggalkan Iqbal.

Aku lihat di bawah sudah berkumpul semua pembantu sedang di sidang oleh majikan laki dan perempuan, juga Faruq. Saat aku berjalan turun tangga semua mata tertuju kepadaku.Aku jadi salah tingkah dan tidak tahu harus bagaimana?

"Sini kamu, cepat!" bentak nyonya kepadaku.

"Baik Nyonya!" jawabku ragu.

Sebenarnya jujur saja aku minder dan takut juga, karena mereka licik dan pandai bersiasat.

"Apa kamu merapikan kamarku kemarin?" tanya nyonya keras.

Memang sekeluarga kalau bicara keras dan kasar apalagi kalau terhadap pembantu.

"Iya betul, Nyonya," kataku pelan dan lembut.

"Fahim, apa itu tugas kamu?" sahut Faruq.

"Itu dia Tuan Muda, tiba-tiba dia bilang ingin membersihkan kamar Nyonya. Padahal kan bukan tugas dia, dan saya tidak berani membantah karena Fahim kan mamanya Iqbal, kekasih Tuan Muda," jawab Markamah berbohong.

Untuk kesekian kalinya aku dibuat kecewa oleh Markamah sesama TKW dari Indonesia. Dia tega menjatuhkan aku dan itu sudah sering dilakukannya.

"Fahim, sudah kukatakan berkali-kali kepadamu, tugas kamu cuma melayani aku dan Iqbal. Yang lain tugasnya pembantu, kamu berbeda dengan mereka!" hardik Faruq menatapku.

Tapi aku menunduk takut, bagaimana kalau aku salah bicara dan dia memukulku di depan orang-orang ini, pasti rasa sakit karena malu akan terasa lebih perih daripada rasa sakit karena pukulannya.

"Bagaimana kalau kita geledah saja kamar mereka satu-persatu?" usul Tuan Hussein.

"Iya Abi, berani-beraninya dia mencuri di negara orang. Emangnya dia tidak tahu hukuman bagi pencuri?" sahut nyonya.

Aku sepintas melirik ke arah Markamah yang nyengir licik ke arah Ruby. Spontan hatiku menuduh bahwa ini pasti rekayasa dari mereka. Ya Allah lindungi hambaMu!

Faruq diam-diam mengamati aku yang sedang menatap Markamah dan Ruby. 

Semua mulai berjalan menuju kamar pembantu yang berada di lantai bawah dekat dapur dan gudang penyimpanan makanan. Diawali kamar Ruby kemudian Sena baru Markamah dan Priya. Sementara penjaga rumah dan pekerja taman dan kebun tidak di periksa. Karena mereka tinggal di luar rumah yang jauh dari rumah utama.

Dari pemeriksaan di kamar mereka tidak ditemukan, kenapa aku jadi berdebar takut. Aku melihat Ruby menatap Sena dengan tersenyum puas.

Kini giliran kamarku yang jadi sasaran penggeledahan berikutnya. Semua orang berjalan menuju lantai dua, dimana kamar berada. Kamarku memang diistimewakan, aku berada di lantai atas dekat kamar Faruq dan Iqbal. Saat di kamarku sedang ramai di geledah aku berada di samping pintu. Mataku terpejam dan mendongak ke atas memasrahkan semuanya kepada Allah.

"Umi bilang selama kita jujur, Allah pasti akan menolong kita, iya kan? Umi jangan takut, Iqbal tahu Umiku tidak mungkin melakukan hal serendah itu," bisik Iqbal yang sudah di sampingku.

"Betul sayang!" gumamku lirih.

Faruq tiba-tiba menghampiriku sambil berbisik, "Kamu harus bisa menolong dirimu sendiri."

"Ini aku menemukannya!" teriak nyonya dengan keras.

Deg! Jantungku serasa copot, seketika mukaku bak terbakar.

"Ini tidak mungkin, Abi! Umi difitnah, Abi!" teriak anakku histeris kepada Faruq.

Aku meraih tubuhnya dan kupeluk dengan erat, dalam hatiku berkata, "Yang penting kamu percaya bukan umi pelakunya, itu sudah cukup buat umi"

"Fahim ...!" teriak Tuan Hussein dari dalam kamar.

"Aku yakin, di lubuk hatimu yang paling dalam kamu tahu aku tidak mungkin melakukan ini, iya kan?" gumamku lirih di depan Faruq, kemudian berlalu pergi.

Aku berjalan masuk kamar, Tuan sedang membawa bungkusan kain yang dalamnya berisi perhiasan dan uang.

"Ini apa? Aku menemukannya dibawah kolom tempat tidurmu. Ini barang bukti, Fahim, kamu tidak bisa mengelak lagi!" gertak Tuan Hussein.

"Tapi saya tidak pernah menaruh barang itu di kamarku, Tuan. Jangankan untuk menaruh, memegang atau melihat pun saya belum pernah, Tuan!" pekikku.

"Opa, Umiku tidak mungkin melakukan itu!" sela Iqbal yang tiba-tiba muncul di sampingku.

"Opa seorang polisi, Iqbal. Ada barang bukti di kamar Umi, banyak saksi melihatnya, ini harus tetap diusut!" ujar tuan.

Aku terdiam, pandanganku ke luar kamar melihat Markamah dan Ruby serta Sena tersenyum licik. Mereka bersorak dengan memadukan tangan mereka dan tertawa mengejek. Apakah perlakuan yang istimewa ini yang membuat mereka iri kepadaku? Bukankah harusnya aku berada di kamar bawah bersama mereka, bukannya di kamar yang luas, mewah dan nyaman seperti ini?

Aku melihat Tuan Hussein mengambil ponselnya di saku. Dia mulai menekan kontak entah telepon siapa??

"Apa yang Abi lakukan?" tanya Faruq.

"Abi mau telepon polisi!" katanya dengan tegas.

"Jangan Abi! Kita bicarakan dulu baik-baik!" sahut Faruq.

"Aku tidak mau menyembunyikan pencuri di rumahku. Tidak perduli dia kekasih kamu, ataupun uminya Iqbal. Tapi dia adalah pencuri ...." Kata Tuan Hussein dengan marah.

"Abi, lihatlah Iqbal, tidakkah Abi menaruh iba padanya? Demi Iqbal cucumu, Abi!" Faruq memohon.

"Oke, aku tidak laporkan ke polisi tapi aku tetap mau menghukum dia, biar dia jera!" teriak Tuan Hussein emosi. "Umi, ambilkan tongkatku!" lanjutnya memerintah nyonya.

"Iya Abi, biar jera dia!" ujar nyonya sambil pergi mengambil tongkat.

"Pergi semua kalian! Faruq, bawa Iqbal pergi, bukankah dia harus sekolah?" perintah tuan berteriak.

Begitu nyonya datang membawa tongkat untuk mencambuk, tuan segera mendorong tubuh Faruq dan Iqbal ke luar dan pintunya di tutup.

Kini di dalam kamar aku dan tuan serta nyonya.

"Abi, buka pintunya, jangan lakukan itu, tolong!" teriak Faruq.

"Opa, jangan sakiti umi! Umi ...!" teriak histeris Iqbal.

Dadaku terasa sesak, rasa sakit dan perih di hati bukan karena luka tubuh tapi karena jerit Iqbal yang lebih menyayat hatiku.

Nyonya memegang kedua tanganku ditumpangkan di atas meja. Aku memejamkan mata karena takut dan ngeri menatap tongkat kecil bagai gagang pancing ikan.

Dengan emosi dan geram Tuan Hussein mengayunkan tongkat itu dan mencambuk tanganku.

"Auh ... ampuuun Tuan ... ampuuuun ...!" teriakku histeris.

"Umiiiii ...!" teriak dan tangis histeris Iqbal sambil menggedor-gedor pintu kamarku.

"Abi.... hentikan! Tolong demi aku, hentikanlah!" Faruq berteriak memekik.

Aku menahan berkali-kali cambuk yang mendarat di tanganku. Tapi tubuhku semakin lemah untuk menahannya, hingga tiba-tiba aku tidak tahu apa yang terjadi.

Apakah Faruq dan Iqbal bisa menolongku?

Bersambung ...

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status