Share

Bercak Putih

Ditatapnya ponsel dengan seksama. Nama pengirim pesan dan jam pengiriman. Selama bekerja, ini pertama kalinya Harris mengiriminya pesan. Pesan yang sama sekali tidak ada hubungannya dengan pekerjaan dan dikirimq diluar jam kerja. 

Oh, No! Gerangan apakah ini?

Selena spontan menutup mulut dengan pekikan tertahan. Otaknya mulai mengurai dan menerka-nerka maksud pesan Harris. 

"Tenang, Selena! Jangan bodoh! Pak Harris hanya khawatir saja, tidak lebih!" bisik Selena menghalau ketakutan akan bos pria yang manipulatif. 

Oke, cepat berikan respon! Ingat sopan santun dengan atasan! 

[Terimakasih, Pak Harris. Saya baik-baik saja. Maaf baru membalas pesan. Selamat malam] 

Dibubuhkannya emoticon smile pada akhir pesan. 

Send.

Centang dua abu-abu.

Centang dua biru. 

Dalam hitungan detik dan selanjutnya Harris terlihat mengetik.

Selena menggigit bibir bawahnya. 

Tuh, kan! Harusnya gak perlu dibalas!

Ia buru-buru kembali ke layar utama dan menonaktifkan ponselnya. Ditinggalkannya begitu saja di atas meja dan menuju kamar mandi. Tubuhnya terasa gerah dan lengket. 

****

Selena menggeliat, bibir basah yang menempel di daun telinganya seolah tengah membisikkan kata cinta. Nafas memburu terasa di kulitnya.

Dirapatkannya kedua pahanya menahan desiran halus di seluruh tubuhnya. Ia mendamba sentuhan yang lebih. Lagi.

Bibir itu masih terus mencecap telinganya, Selena semakin terbakar gairah. Tangannya mulai meremas payudaranya. Tak ayal desahan kecil terlepas dari bibirnya. 

Kepalanya mendongak saat bibir basah menjelajah leher jenjangnya. Setiap inci disapu si lidah dengan perlahan seakan sangat menikmati manisnya kulit leher Selena. Gelombang hasrat meledak di dada dan perutnya. Desahan kecil silih berganti dengan lenguhan manja dari bibirnya. 

Tubuhnya bergetar, ia mendamba dan menanti sentuhan yang lebih dalam. 

"Roy ... disini ... aku mau disentuh disini" Selena mengarahkan tangan pria itu ke bawah perutnya. Matanya terus terpejam menikmati gairah yang meletup hingga ke kepalanya. 

Usapan lembut di intinya yang sejak tadi sudah basah oleh cairan cinta. Tangan itu menuntut, membuka pahanya dengan lebar. Selena tak mau berdiam saja, ia mengangkat bokongnya sehingga membuat gerakan indah disana. 

Pipinya memanas, ia semakin birahi. Ia ingin mengecap bibir Roy, ingin menikmati setiap inci lidahnya. Kepalanya memutar ke belakang, telapak kanannya menangkup rahang keras dengan bulu kasar di dagunya.

Ia ingin mengucap cinta dengan seluruh jiwa raga, dengan tatapan mata yang dalam. Perlahan kelopak matanya membuka saat tautan bibir itu semakin intens. 

"Pak Harris!!" 

Selena terbangun, nafasnya tersengal. Tangannya mengusap telinga dan lehernya. Barusan hanya mimpi? Ia seorang diri di ranjang, tapi dasternya tersibak hingga ke perut dan celana dalamnya basah. 

Jam berapa ini? Kenapa Roy belum di rumah? 

Selena merapikan diri dan beranjak keluar kamar. Pukul 11.30 pada jam dinding di ruang keluarga. Matanya tertuju pada ponsel di meja. Ia baru ingat ponsel ia nonaktifkan. 

"Duh ..." Ia khawatir Roy menghubunginya sejak tadi. Tangannya menyugar rambutnya yang panjang sambil menekan tombol daya benda pipih itu. 

Bunyi ponsel menyala, jarinya dengan cepat membuka aplikasi berkirim pesan online dan panggilan telepon. Nihil. Tidak ada pesan dan panggilan dari Roy. 

Mau kamu apa, sih, Roy? 

Ia berusaha menerima dan memahami kesibukan Roy di kantornya. Terutama sejak suaminya dipromosi menjadi Area Manager Marketing setahun yang lalu. Tentu saja Selena tidak menguasai teknis pekerjaan di perusahaan start up IT itu, tapi batas jam kerja setiap perusahaan tentu tidak jauh berbeda. 

Sebenarnya jabatan baru tidak serta merta membuat komunikasi mereka hambar. Jauh sebelum itu mereka sudah jarang berbincang berdua atau sekedar pillow talk. Ia bahkan lupa kapan terakhir kali bercumbu mesra. Ia mencoba mengurai urutan momen kebersamaan mereka sejak menikah, mengandung, melahirkan hingga sekarang. 

Apakah aku yang salah? 

Diusapnya layar ponsel sekali lagi. Ia harus mencari tahu keberadaan Roy. Rasa khawatir dan peduli itu masih ada. Ia juga tidak ingin hal buruk menimpa suaminya. 

Terdengar nama sambung di ponselnya namun yang dituju tidak menjawab panggilan. Dicobanya lagi bergantian dengan panggilan di aplikasi pesan. Hasilnya sama. 

Mungkin Roy dalam perjalanan pulang. 

Jempolnya membuka room chat Roy. Tidak ada tanda online. Terakhir dilihat pukul 20.30. Sesibuk apa sampai tidak ingat anak dan istri. Selena tidak habis pikir. 

Matanya tertuju pada pesan Harris. Syukurlah tidak ada pesan baru. Sejujurnya dia tidak ingin membuat masalah dengan atasannya. Ia membutuhkan pekerjaan ini, sangat menikmatinya. Bahkan hingga tahun kelimanya. 

Selena menertawakan dirinya, terlalu khawatir dengan pesan bosnya. Takut dengan bos yang dengan gampang melecehkan bawahan wanitanya. Sampai terbawa mimpi, tapi tubuhnya merespon terlalu jujur. Cumbuan itu terasa nyata, bahkan ia  menginginkan lebih.

Dasar perempuan bodoh! Bisa-bisanya bermimpi sampai basah begitu!

Selena meringis, membanting ponsel ke sofa. Ia mulai khawatir dengan dirinya. Kenapa tubuhnya mengkhianatinya, memberi respon pada pria yang bukan suaminya. Apakah karena tabrakan sore tadi dengan Harris atau karena dia sangat merindukan sentuhan Roy? 

Jaga harga diri, dong! 

Dia wanita normal dengan umur yang terbilang muda, 29 tahun. Dengan deretan rutinitas harian sejak bangun pagi sampai kembali istirahat malam, ia tentu tidak menolak berduaan dengan suami dipenghujung malam. Sekadar berbincang seputar hidup rumah tangga atau mengeksplor aktivitas seks mereka. 

Selena mengingat lagi kebiasaan Roy kalau sedang menginginkan dirinya. Makan malam sengaja ditunda dengan alasan akan lapar lagi setelah olahraga di kasur. Ekspresi wajah Roy yang dibuat selugu mungkin supaya Selena mengikuti maunya. 

Tentu saja Roy mendominasi foreplay dan Selena selalu menyukainya. Ia tersanjung setiap Roy menciumnya penuh hasrat. Tidak ada sepatah katapun, keduanya saling memahami bahasa mata dan tubuh pasangan. Saling memberi dan memuaskan. 

Itu dulu, sebelum Cheryl ada. 

Pipinya basah oleh air mata. Kenangan bahagia itu membuatnya semakin rindu Roy. 

Apakah kau tidak merindukanku, Roy?

Diambilnya lagi ponsel di sofa. Tidak ada salahnya terus menghubungi dan mencari tahu. Dia berhak atas keberadaan suaminya. Saat nada dering pertama masuk, Roy menerima panggilannya. 

"Halo, sayang" panggil Selena khawatir. 

"Iya, sayang. Ini aku sudah di depan gerbang" Roy membunyikan klakson mobilnya. 

Selena gegas memutuskan sambungan telepon dan menyusul suaminya ke gerbang. Roy sudah membuka pagar dan kembali ke mobil. Terdengar bunyi mesin mobil memasuki carport, Roy keluar membawa tas kerjanya. 

"Sudah makan malam?" Selena enggan bertanya kenapa pulang larut. Ia mencoba metode lain untuk membuat perbincangan lebih lama. 

"Sudah, dong. Aku mana bisa tahan lapar!" Roy masuk ke rumah melewati Selena begitu saja. Langsung menuju kamar, "Aku mandi ya, lengket banget sebadan-badan" 

Selena tidak menyahut. Pagar belum dikunci, istrinya dilalui, pintu rumah belum tertutup, sang suami berlalu dengan cepat ke kamar. Kekhawatiran yang sia-sia. 

Ku bilang juga apa, jangan menunggunya pulang?!

Ia menyusul suaminya setelah urusan per-kunci-an aman. Bunyi gemericik air terdengar dari kamar mandi. 

"Sayang, aku bikinin coklat panas ya. Biar nyenyak tidurnya" Tidak salah mencoba lagi kan? Yang salah terlalu dini menyerah. 

Yang ditawari tidak menyahut. Bunyi air sudah berhenti. Roy keluar dengan rambut basah dan handuk melingkar di pinggangnya. Selena yang menunggu di bibir ranjang menikmati dada telanjang suaminya. Dan bagian lain. 

"Mau coklat panas, gak? Aku bikinin, ya!" Ia berdiri menghampiri suaminya yang sedang memakai kaos oblong longgar. Dipeluknya tubuh kekar itu, punggung bidang itu sangat dirindukannya. 

Roy memutar badannya menghindar, "Aku masih kenyang, sayang. Tidur, yuk. Besok pagi aku harus on-time, ada meeting dengan klien besar, semacam group gitu" 

"Oh ya? Semoga sukses, ya. Meeting jam brapa, sayang?" Selena akhirnya mengikuti Roy berbaring di ranjang dan menarik selimut sampai ke dada.

"Amin, sayang" Roy mengusap pucuk kepala Selena, "Katanya jam 09.00, yang datang CEO-nya langsung pula!"

Selena bisa merasakan antusiasme Roy dengan meeting besok. Ia bangga dengan suaminya itu. Selalu bersemangat dan optimis untuk urusan kerja. Tidak salah ia mendapat promosi dalam kurun 3 tahun kerja. 

"Tidur, ya!" Roy menumpuk bantal dan membuat dirinya senyaman mungkin dan memejamkan mata. Selena lagi-lagi merasa tidak punya kesempatan 'menjebak' Roy. 

"Boleh minta peluk, gak?" entah bagaimana mimik wajahnya, terlihat minta dikasihani atau manja. Selena menunggu Roy membuka mata. 

"Sayang ..." 

Roy bergeming.

Selena kecewa, dadanya penuh sesak. 

Jangan menangis di depannya!

Roy mendengkur halus, Selena tetap pada posisinya, tidur menyamping menghadap Roy. Ia berharap Roy terbangun dan memeluknya. Meski itu tak mungkin.

***

Bunyi alarm membangunkan Selena. Jam 04.30, harinya dimulai. Dipandanginya Roy yang sudah memunggunginya dengan selimut menumpuk di kakinya. 

Beranjak dari ranjang dan menyelimuti tubuh Roy hingga ke pundak. Udara subuh yang sejuk terasa hingga ke kamar. Roy biasanya kedinginan dan Selena selalu mematikan AC supaya lebih hangat. 

Biasanya ia memulai pagi dengan segelas air putih hangat. Tapi ia perlu menyikat gigi sekalian membawa pakaian kerja Roy semalam. 

Turun ke dapur dan mulai mencari keranjang pakaian kotor Cheryl. Mencuci jadi urutan pertama sebelum ia mulai sibuk dengan isi kulkas dan menu makan Cheryl. 

Memasukkan pakaian kotor satu persatu, memisahkan pakaian yang berwarna putih. Tangannya terhenti saat memegang celana dalam suaminya. Ada bercak putih di bagian belakang, masih lengket. Hidungnya kenal bau bercak itu. 

Pikirannya tak menentu. Banyak tanya di kepalanya. Ia sendiri tidak yakin apa perlu menyampaikannya ke Roy. Tangannya melanjutkan pekerjaan yang tertunda. Lekas dinyalakannya mesin cuci setelah memasukkan detergen. 

Dilanjutkannya memasak dengan pikiran yang terus tertuju pada bercak pada celana dalam. Tak ayal ada rasa perih di hatinya. Kepercayaan yang dia bangun seolah runtuh. Susah payah menjaga pikiran dan tidak mencurigai. 

Ia tahu Roy tidak akan berkata jujur jika ditanyai langsung. Apalagi ada jadwal meeting pagi, ah dia tidak ingin mengganggu pekerjaan suaminya. Bahkan ia perlu berpikir jernih dan tetap positif untuk Cheryl.

Bunyi mesin cuci berhenti. Selena memasukkan semua bekas peralatan masak ke wastafel. Setengah berjinjit menuju kamar Cheryl, membuka pintu perlahan. 

"Cheryl ... sudah bangun?"

Bayinya sudah duduk di kasur memeluk boneka panda. Senyuman manis dari Cheryl membuat Selena lega. Bayinya tidur nyenyak dan sehat. Mendadak itu saja sudah membuatnya tenang, alih-alih berpikir keras tentang ulah Roy. 

Selena lebih tenang jika menitipkan Cheryl dengan perut yang kenyang dan sudah wangi. Pun begitu dengan urusan rumah, ia bereskan pagi hari, setidaknya Kak Ipah tidak kerepotan membagi waktu mengurus pekerjaan rumah dan menemani Cheryl sepanjang hari. 

 

Roy sudah di meja makan saat ia membawa Cheryl turun. 

"Selamat pagi, papa!" Cheryl menarik hidungnya saat melihat Roy. 

"Pagi, Cheryl ...." Roy membawa Cheryl ke pangkuannya. Menciumi rambut bayinya, "Belum mandi, ya? Wangi keringat, hhmmm" 

"Papa juga belum mandi, ya? Tumben langsung sarapan?" Selena sibuk menyiapkan MPASI untuk Cheryl juga mengambilkan sarapan untuk Roy. 

"Kecarian kamu, trus ada wangi enak, jadi aku langsung turun" Roy meletakkan Cheryl ke high chair. 

Detik selanjutnya Roy menyantap sarapannya sambil sesekali mengutak-atik ponselnya. 

"Oiya, tadi pas masukin pakaian kamu ke mesin cuci, aku lihat ada bercak putih di celana dalam kamu" Ternyata ia tak bisa menahan diri. 

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status