Share

Takut kehilangan keluarga

Mungkin inilah cobaan untuk Shelomitha, Allah mungkin sedang rindu akan air matanya. Air mata yang entah kapan terakir kali menetes, karwna selama ini ia selalu bahagia. Berbeda saat ini hatinya penuh dengan air mata di mana rumah tangga Shelomitha sedang diuji, haruskah ia bertahan apakah justru harus melepaskannya?

Mobil terparkir di halaman sekolah Raka, Shelomitha mengantar anaknya sampai depan kelas. Ia lalu bergabung dengan ibu-ibu wali murid, ada, Bu Sari juga Bu Ani yang setia mengantar anaknya, yang lainnya sibuk kerja mencari tambahan nafkah untuk sang suami.

"Jeng, Mitha, pangkling aku kirain siapa tambah cantik saja," sapa Bu Sari

"Iya Bu, do'ain ya? biar istikomah terus bisa seperti ini," jawab Shelomitha pada Bu Sari

"Iya, Jeng Mitha, tenang saja pasti kita dukung terus kok!"

"Makasih ya, Bu."

Shelomitha masih bersama ibu-ibu mengobrol, lumayan kali ini Shelomitha bisa sedikit menghilangkan penat di dalam dada. Shelomitha pamit duluan untuk pulang, ia pulang sambil membawa belanjaan dapur. Arya juga Mama Wulan masih ada di sini, Shelomitha mendekat Mama Wulan mencium punggung tangannya.

"Sudah pulang sayang?" tanya Mama Wulan.

"Iya, sudah, Mama. Tadi mampir dulu belanja ke pasar juga."

"Mitha, yakin kamu gak papa sayang?" tanya sang Mama.

Shelomitha menatap ke arah sanga Mama mertua. "Mitha, baik, Ma."

"Bagaimana pendapatmu tentang kehamilan, Siska? Apa yang selanjutnya akan kamu lakukan?"

Glek

Shelomitha mendadak beku, dan mencoba untuk tetap tenang. "Mitha belum tahu Mama, tapi bagaimanapun, Mas Bram yang menanam benih itu? Kasihan bayinya jika lahir tanpa, Ayah."

"Jadi?"

"Biarkan aku yang mengalah, Ma," perkataan Shelomitha membuat Mama Wulan ikut sedih.

"Sayang, apa kamu yakin?"

"Mitha enggak tau, Mama. Haruskah kakak adik menikahi pria yang sama, Ma?"

"Tidak bisakah di pertahankan pernikahan kalian sayang? Mama juga enggak tahu harus bagaimana, tapi yang jelas Mama enggak mau kehilangan kamu, kamu harus ada di samping Mama." Jelas sang Mama.

"Pantaskah, Mitha menumpang sama ibu mertua? Sementara suaminya menikah lagi, Ma." Shelomitha mencoba menahan air matanya jatuh.

Mama Wulan menarik napas panjang. "Mama enggak peduli omongan orang, kamu harus tinggal sama, Mama."

"Mitha punya, Ayah. Ma, Mitha akan tinggal sama Ayah."

Mama Wulan memekuk erat tubuh menantunya, sungguh ini sangat menyakitkan untuk Mama Wulan. Arya hanya bisa diam memandang kakak iparnya yang terluka. Bramantyo mendengar percakapan mereka

Apa pernikahan ini benar-benar akan hancur, Bramantyo menjatuhkan tubuhnya di balik pintu depan ia mendengarkan semuanya, tidak adakah kata maaf untuknya?

Hari sudah mulai sore Shelomitha membantu Mbok Darmi masak, wanita oaruh baya itu memperhatikan Shelomitha, Simbok harus bicara selesai masak. Makanan sudah siap di atas meja, Mbok Darmi meminta Shelomitha, untuk ke gazebo belakang.

"Ada apa, Mbok?" tanya Shelomitha sambil menatap Mbok Darmi penuh tanda tanya, pasti ada sesuatu sampai minta bertemu.

"Sebenernya sama, Ayahmu. Mbok ga boleh cerita, Non, tapi Mbok harus cerita!"

"Ada apa mbok?" Shelomitha semakin penasaran sebenarnya apa yang akan disampaikan Mbok Darmi.

"Sebenernya, Non Siska itu bukanlah Adik kandung, Non Mitha," jelas Mbok Darmi serius.

"Hah ... jangan bercanda, Mbok enggak lucu?" Shelomitha terkejut dan makin penasaran.

"Non,apa pernah, Mbok berbohong, Siska itu anak dari, Pak Doni, yang tak lain adalah orang yang menggelapkan dana perusahaan, Ayah Non dulu."

"Masa sih, Mbok?"

"Iya Non, Mbok enggak bohong kalau tak percaya silahkan tanya sama, Tuan Ferdi."

Mbok Darmi menceritakan, dulu Ayahnya Siska kerja di tempatnya Ayahnya Shelomitha sebagai orang kepercayaanya Sang Ayah, Tapi Ayahnya Siska menggelapkan dana perusahaan. Akhirnya ketahuan, ketika mau ditangkap Ayahnya Siska melarikan diri menaiki mobil lalu terjadilah kecelakaan. Kedua orang tua Siska meninggal di dalam mobil hanya Siskalah yang selamat. Karena kasihan Ayah Shelomitha yang mengadopsi Siska sebagai anaknya.

"Mungkin saja, Non Siska sudah tahu tentang jati dirinnya, Non, Makanya dendam sama, Non Mitha."

"Serius Mbok, pantesan sekarang, Siska sama Mitha bisa jahat banget."

"Simbok kemarin sudah menduganya sifatnya, Non Siska persis kayak Ayahnya, atau mungkin pamannya, Non Siska dulu jahat banget kalau, Mbok enggak lupa namanya Jarwo."

"Terus apa yang harus Mitha lakukan Mbok?"

"Jawabannya ada di hati, Non Mitha, katena hanya Non yang tahu."

"Untuk sementara apa aku ikut, Ayah? Biar sedikit tenag hatiku, Mbok."

"Terserah, Non bagaimana baiknya,"

Senja mulai menguning pertanda sore hari telah tiba. Menemani Raka belajar dan juga Rania bermain membuat hati Shelomitha sedikit damai. Bramantyo pulang mendekati istrinya. Bramantyo terlihat sedikit takut mendekatinya, tapi ia berusaha semoga masih ada sedikit harapan. Shelomitha terlihat gugup tapi ia harus membicarakan masalah ini.

"Tha, bisa kita bicara."

Hening

"Shelomitha!"

"Bicara saja!"

"Maafin, aku, Tha!"

"Ya, sudah di maafkan."

"Terus?"

"Besuk, aku minta izin ke rumah Ayah? Masalah hubungan kita, sebaiknya kita pisah, Mas."

Bramantyo meremas rambutnya dengan kasar. "Tha.... "

"Sebenernya aku masih mikirin anak-anak kita, Mas. Mereka pasti jiwanya akan terguncang, jika kita berpisah, aku sempat akan mempertahankan kekuarga kecil kita. Tapi, wanita itu hamil anakmu jadi maafkan aku, mungkin memang aku yang harus pergi, Mas."

Shelomitha mencoba mengatur napasnya yang naik turun.

"Tidakkah kau memberi kesempatan aku sekali saja, Tha?"

"Terus bagaimana dengan kandungannya Siska, di dalam perut itu ada anakmu, Mas? Apa kamu akan memberikan aku seorang madu?"

"Bukan begitu Tha."

"Terus apa?"

"Kita bisa selesaikan baik-baik Tha."

"Bahkan dimimpipun aku enggak pernah ingin jadi istri pertama ataupun kedua."

"Percayalah, aku dijebak."

"Mas tahu kan pintu rumah, jika tidak dibukakan, sama yang punya rumah tamu itu tidak akan bisa masuk, begitupun kamu, Mas. Sebesar apapun Siska menggodamu kalau kamu tidak membukakan pintu ,Dia tidak akan masuk ke dalam rumah."

"Shelomitha."

"Sebelum, Mas menikahi wanita itu surat cerainya aku tunggu."

Bramantyo prustasi, ia tak sanggup lagi menahan sesak di dadanya. Ia memanglah bersalah, perkataan Shelomitha benar ia lah pria yang bo**h, hanya di manfaatkan oleh Siska, hingga harus kelilangan mutiara yang berkilauan.

Shelomitha berjalan pergi seraya menahan sesak menahan agar kali ini tak mengeluarkan air mata. Akhirnya sampai disini perjalanan kisah pernikahannya. keluarga kecilnya akan hancur, namun inilah inilah keputusan yang terbaik.

Mama Wulan cemas is mondar-mandir memikirkan menantu yang akan pergi ke rumah, Ayahnya. Bagaimana caranya agar Shelomitha mau pulang ke rumah Mama Wulan. Arya memperhatikan Mamanya aneh dari tadi kayak orang bingung hanya mondar-mandir tanpa bicara tapi mukutnya komat kamit memikirkan sesuatu.

"Mama kenapa sih jalan bolak-balik lagi dari tadi?"

"Mama lagi pusing nih, gimana caranya agar kakakmu itu mau pulang ke rumah kita Arya? Bisa gila Mama kalau ditinggal kakakmu itu."

"Ma ... mama mikirnya jangan kejauhan nanti sakit saja, Arya yang repot kan."

"Makanya bantuin, Mama mikir? Malah diledekin." Gerutu sang Mama.

"Mama pura-pura sakit saja?" usul Arya.

"Aduh jangan gila, Arya, nanti, Mama sakit beneran gimana."

Arya terlihat bingung. "Suruh kerja saja di kantor, Mama saja."

"Tuh kan anak, Mama memang cerdas," Mama Wulan mencubit pipi Arya.

"Siapa dulu dong Arya. Ma, kayaknya keluarga kita dalam masalah besar deh. Mama lupa musuh kita serigala, hati-hati Ma nanti hartanya diambil semua sama istri barunya, Mas Bram."

"Kamu bener, Arya kita harus lebih cerdik dari Siska. Mama sudah rencanakan ada pengacara Pak Rudi yang bantuin Mama. Begitu Shelomitha keluar dari rumah itu, rumah itu mau, Mama bikin disita oleh salah satu Bank.

"Makaud, Mama?"

"Ya Arya, kita harus lebih cerdik dari, Siska."

Mereka sudah merencanakan sesuatu, semoga ini bisa menyelamatkan keluarganya dan menantu kesayangan.

-

Shelomitha memakai pashmina senada dengan rok memakai baju warna hitam, Shelomitha terlihat begitu anggun dan elegan, hari minggu rencana mau mengajak anak-anak kerumah Eyang Wulan sekalian pamit. Shelomitha menuruni tangga, ia berjalan ke arah anak-anak bermain.

"Jadi ikut, Bunda enggak?"

"Ikut dong, Bun."

"Ayo, siap-siap."

"Iya, Bunda."

Shelomitha pamit sama Simbok untuk pergi ke rumah Mama Wulan. Bramantyo yang melihat istrinya dari sofa dekat televisi begitu terpesona. Ia membanting koran yang ia baca, betapa bo**hnya ia telah menyia-yiakan wanita yang baik juga sangat istimewa.

Shelomitha berjalan hampir dekat suaminya, Bramantyo langsung berdiri dan memintanya untuk mengantar sekali saja, anak-anaknya pun ingin Papanya ikut bersama mereka.

"Papa boleh? Kok semua rapi mau kemana?" tanya Bramantyo pada Ranua.

"Bunda, boleh ya Papa ikut." Rania memohon.

Shelomitha mengagguk.."Iya boleh."

"Makasih, Tha."

Shelomitha hanya diam

Hening

Hanya ada suara langkah kaki menuju mobil. Shelomitha mengela napas panjang, betapa sejujurnya ia merindukan suasana seperti ini, dimobil hanya ada canda kedua putra putrinya. Shelomitha dan Bramantyo hanya diam seribu bahasa. Shelomitha hanya bisa diam setidaknya ini mungkin satu mobil dengan suaminya untuk yang terakhir kali.

Keputusan memilih pergi mungkin ini yang terbaik, semoga kedepannya Shelomitha dan anak-anak akan baik-baik saja. Sesekali Bramantyo mencuri pandang ke arah Shelomitha yang ada di sampingnya. Bramantyo begitu bahagia setidaknya bisa melihat wajah istrinya, meskipun pandangan Shelomitha lurus kedepan. Bramantyo yang bersalah ia harus menanggung resikonya meskipun sakit yang ia rasakan.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status